ššžšœš­ššš« šØšŸ šŒšžš¦šØš«ļæ½...

By Shenshen_88

3.2K 322 158

ššØšØš¤ š¢š§š¢ š›šžš«š¢š¬š¢ š¤š®š¦š©š®š„ššš§ šœšžš«š¢š­šš šØš§šž š¬š”šØšØš­/š­š”š«šžšž š¬š”šØšØš­ ššžš§š šš... More

Woman in White Dress (1)
Woman in White Dress (2)
Woman in White Dress (3)
Knock Knock Loving You (1)
Knock Knock Loving You (2)
Knock Knock Loving You (3)
Knock Knock Loving You (4)

Knock Knock Loving You (5)

118 13 13
By Shenshen_88

Pemain musik jalanan yang bernama Jia Kezi tampak kebingungan sewaktu dua pemuda tiba-tiba datang padanya dan menyeretnya dengan paksa ke sebuah kafe. Dia mengenal salah satunya, yaitu Pangzi. Tapi dia tidak familiar dengan Wu Xie. Namun anak muda yang satu ini yang terlihat sangat bersemangat.

"Sebenarnya ada apa ini?" akhirnya Ji Kezi diberi kesempatan untuk bersuara. Itu pun setelah tiga cangkir kopi dan tiga macam makanan tersaji di meja.

"Kami memerlukan bantuanmu," ujar Pangzi dengan nada persuasif.

"Bantuan apa?" Jia Kezi menatap curiga.

"Ah, santai, kawan. Minum dulu kopimu," Pangzi terkekeh, melirik Wu Xie yang justru sangat tidak sabar.

Pemain musik jalanan itu mengangkat bahu, meraih cangkir kopi dan menyesapnya. Kopinya lezat dan temperaturnya pun sangat pas.

"Oke. Sekarang jelaskan. Aku tidak memiliki banyak waktu. Setelah tengah hari biasanya akan turun salju dan aku harus mengakhiri permainan musikku di tepi jembatan sana." Jia Kezi menatap keluar ke langit yang kelabu saat mengatakan itu.

"Kami akan membayar untuk waktumu yang terbuang," Pangzi menyela sambil tersenyum lebar, lantas dia segera meralat, "lebih tepatnya, pemuda ini yang akan membayarmu."

Dia menggerakkan dagu ke arah Wu Xie yang disambut desisan pelan.

Jia Kezi ikut-ikutan menatap Wu Xie.

"Membayarku untuk apa?"

"Bermain musik," tukas Wu Xie. Kemudian dia mengeluarkan buku tua dan kusam itu dari dalam tasnya.

"Coba kau lihat dan salin nada-nada ini." Tangannya bergerak hati-hati membuka lembaran sepertiga akhir buku.

Sorot mata Jia Kezi tampak tertarik mendengar tentang nada-nada dan musik. Dia mulai memperhatikan penjelasan Wu Xie sambil mengamati bagian-bagian yang ditunjukkan Wu Xie padanya. Di akhir penuturan, pemain musik itu mengerutkan kening, lantas terbatuk kecil.

"Sekali lihat saja, bisa kukatakan ini melodi yang sulit," komentarnya, menarik napas berat, tapi tidak mengalihkan perhatian dari halaman buku.

"Sulit? Tapi kau pandai bermain musik, bukan?" sergah Wu Xie dengan kecewa.

"Uh, begini maksudku. Nada-nada ini aneh dan sulit, tapi bukan tidak bisa dimainkan. Mungkin hasilnya tidak sempurna seperti jika dimainkan seorang musisi profesional," Jia Kezi meluruskan. Sejujurnya dalam hati ia pun merasa tertantang memainkan barisan nada sulit itu.

"Aku tak peduli. Kau coba saja," ujar Wu Xie lagi, suaranya bergetar oleh semangat.

Si pemain musik menimbang lagi sambil sesekali meneguk kopinya. Barisan nada membuatnya fokus hingga tidak menyadari bahwa makanan di meja terus dilahap Pangzi secara perlahan tapi pasti.

"Aku bisa melakukannya. Tapi sebelum itu, katakan alasannya mengapa kalian begitu terobsesi dengan nada-nada ini, bahkan sampai ingin membayarku untuk itu."

Sesaat Wu Xie dan Pangzi saling berpandangan.

"Kami tidak bisa mengatakan ini sekarang. Tapi akan ada sesuatu yang mengejutkan di akhir permainan. Itu pun jika permainan musikmu tepat," ucap Wu Xie.

Jia Kezi menatap Wu Xie dengan wajah tertekan. "Apa itu?" tanyanya sedikit ngeri.

"Bukan sesuatu yang mengerikan. Kau mungkin akan terkejut, atau hanya takjub. Sudahlah, kau setuju bukan?" desak Wu Xie, tidak ingin jika pemain musik itu berubah pikiran.

"Selain itu," Pangzi tidak mau kalah dalam mempengaruhi Jia Kezi, "nada-nada sulit itu akan menjadi tantangan buatmu. Jika kau berhasil memainkannya dengan baik, artinya kau memang pemain musik yang hebat. Nah, kau bersedia menghadapi tantangan ini?"

Jia Kezi menatap dua pemuda di hadapannya secara bergantian, mencoba mencari jejak kejujuran. Tapi yang membuatnya akhirnya setuju bukan semata-mata tantangan, ia membayangkan sejumlah uang yang dijanjikan Wu Xie. Setelah menghela napas dan menyesap kopinya sekali lagi, dia pun mengangguk setuju.

"Keputusan cerdas, Kawan!" Pangzi terkekeh, menepuk bahu Jia Kezi dengan gaya akrab. Senyum lebar pun menghiasi wajah Wu Xie dan matanya kembali bercahaya seperti sebelumnya.

=====

Pada malam yang telah ditentukan, berdiri kaku di depan penyangga partitur, Jia Kezi telah siap dengan biola dan penggeseknya. Tatapannya menyusuri setiap not, dan lengan lenturnya mulai bergerak memainkan nada pertama. Melodi yang terlahir begitu sendu, menyayat hati, menggali emosi terdalam dari lubuk hati siapa pun yang mendengar, gemanya menyerang kesunyian yang melayang di seluruh ruangan.

Kemudian nada berganti menjadi keras, menghentak, menyakitkan telinga, seperti ribuan senar yang dipetik bersamaan secara brutal sehingga tangan dan kakinya yang terikat rantai mulai mengejang.

Jia Kezi menguatkan tekadnya, kala nada semakin menukik tajam, lantas menghentak lagi, semakin keras. Melodi yang menjerit, tak urung menggetarkan lengan dan bahunya.

Atmosfir malam ini terasa begitu berat. Dia merasakannya sejak dia memainkan sonata ini. Lagu yang begitu menghantui dan tragis, sarat akan kekuatan gaib. Di luar, bulan menyinari kabut yang terbentang di atas lanskap tak bernyawa dan perlahan bergoyang maju mundur meski tidak ada angin berhembus.

Beberapa waktu kemudian, permainan telah menuju akhir. Hingga nada terakhir dimainkan, tidak ada lagi yang terjadi. Bahkan tiupan angin kembali normal. Dengan lunglai, Jia Kezi menurunkan tangannya, mengayun lemah di samping tubuh.

Wu Xie terpaku, tidak percaya pada hasil yang tak sesuai harapan. Tatapan sedihnya menyasar Pangzi, yang membalasnya dengan sorot mata sama bingungnya.

"Aku sudah selesai," gumam Jia Kezi, tidak paham dengan kebisuan di sekitarnya.

Wu Xie mendesah lemas, bahunya turun dan wajahnya muram.

"Kau yakin?"

Jia Kezi menatap partitur lagi, lantas mengangguk.

"Baiklah ... " Wu Xie menghela napas berat, memberi isyarat untuk Jia Kezi keluar kamar.

"Mari kita bicara di ruang tamu," katanya.

Dengan wajah bingung, Jia Kezi berjalan menuju pintu, diikuti Pangzi yang sama cemberutnya dengan Wu Xie.

"Sulit dipercaya," Pangzi berbisik pada Wu Xie. "Entah nada-nada ini yang palsu atau Peri Qilin tidak ingin menemuimu."

"Omong kosong," desis Wu Xie, gusar sekaligus kecewa.

Jia Kezi keluar kamar lebih dulu disusul Pangzi. Ketika Wu Xie baru akan melangkah melewati pintu, satu suara memecah keheningan kamarnya. Ketukan di kaca jendela, terdengar aneh dan menyeramkan.

Knock knock!

Bahu dan punggung Wu Xie menengang, kemudian berbalik cepat dengan senyum mengembang di wajahnya.

"Peri Qilin!" ia berseru riang.

Pangzi tersentak, berbalik ke arah pintu kamar. Tetapi ...

Blaammm!

Wu Xie masuk ke dalam kamar dan membanting pintu hingga tertutup rapat.

=====

Jendela mengayun terbuka, dan lampu kamar belum dinyalakan. Tetapi Wu Xie senang dengan kegelapan ini. Rasanya bulan purnama bersinar begitu indah ketika segala sesuatu dalam hidupnya terasa menyenangkan.

Suasana hatinya berbunga-bunga ketika melihat pemuda itu berdiri dalam kamar. Dia menatapnya dan tersenyum samar. Dalam dua bulan terakhir, wajahnya tercetak di ingatan Wu Xie dan ia nyaris yakin bahwa yang dia lihat hanyalah halusinasi. Tapi sosok itu benar-benar nyata. Ketika dia berdiri untuk mendekatinya, Wu Xie melihat dengan jelas tubuh tinggi berbalut pakaian serba hitam yang anggun.

"Demi Tuhan!" Wu Xie terkesiap, melemparkan diri ke dalam pelukannya. "Senang berjumpa denganmu lagi."

Gemuruh di dadanya bergema keras saat sang peri membalas pelukannya. Sebelum Wu Xie tenggelam terlalu dalam dalam pelukan itu, tiba-tiba dia teringat bagaimana mereka berpisah musim gugur yang lalu. Apakah dia akan pergi lagi setelah kunjungan singkat yang menggoreskan kenangan manis?

Wu Xie melepaskan pelukannya, mundur selangkah dan berdiri kaku di depan Peri Qilin, merasa canggung. Tangan pucat dan lembut sang peri naik ke kedua sisi wajahnya dan menahannya di sana saat mata jernih itu mengamati wajah Wu Xie. Wu Xie menggigit sudut bibirnya, gugup dan salah tingkah.

Peri Qilin tersenyum. "Matamu masih seindah dulu," katanya.

"Ah, basa-basimu sangat unik," sahut Wu Xie, mengukir senyum manis di bibirnya.

"Tidak, sungguh." Peri Qilin memiringkan kepalanya ke samping. "Di alam peri yang penuh cahaya, aku tidak bisa melupakan mata ini."

"Itu hanya akibat pantulan cahaya."

Ketika mereka berpisah pada musim gugur yang lalu, Wu Xie membayangkan beberapa adegan yang tak pernah terjadi. Perpisahan yang berkesan dengan sang peri, misalnya, membayangkan peri tampan itu mencium pipinya seperti seorang saudara lelaki yang mengucapkan selamat tinggal kepada saudaranya. Malam ini dia menatap Wu Xie dengan cara yang tidak biasa-dan benar-benar menciumnya. Di bibir, dengan cara yang sangat tidak seperti saudara.

Wu Xie terperanjat hingga ia nyaris tak bisa bernapas. Dia menatap kosong pada mata Peri Qilin yang balas menatapnya lembut.

Bukannya tidak menyenangkan, tapi itu juga tidak memberikan sensasi yang Wu Xie harapkan dari ciuman pertama. Mungkin dia hanya terkejut, tapi yang pasti dia bahagia.

"Apakah ini ciuman pertamamu?" bisik Peri Qilin.

Menyentuh bibir dengan jemarinya sendiri, Wu Xie mengangguk perlahan, memasang ekspresi seperti anak kecil.

"Hmmm, ya," jawabnya sedikit malu.

Peri Qilin tersenyum. "Mari kita bicara di luar."

Wu Xie nyaris menolak. Namun ketika dua pasang mata yang sama-sama cemerlang saling berpandangan, ia tahu apa yang dia inginkan.

"Baiklah."

Senyuman Wu Xie merekah indah. Diam-diam tanpa sepengetahuan Pangzi maupun Jia Kezi, Wu Xie melompat ke halaman lewat jendela.
Lengan Peri Qilin melingkari tubuhnya, menunjukkan kekuatannya yang ajaib dan mengangkat tubuh Wu Xie ke dalam pelukannya.

"Ini luar biasa," gumam Wu Xie terheran-heran. Dirinya merasa bagai es mengapung di permukaan air sungai. Begitu tipis, ringan, dan rapuh. Namun dia tidak takut sama sekali.

"Kita terbang .... "

Ekspresinya seperti anak kecil yang imut dan baru saja menyaksikan keindahan dunia. Dalam pelukan sang peri, ia merasa tubuhnya terus melayang di udara malam. Cahaya ribuan lampu seperti kunang-kunang kecil bertebaran di bawah kakinya. Sesaat tubuh Wu Xie menggigil.

"Jangan takut," bisikan Peri Qilin berat dan penuh wibawa, menggema seperti suara yang datang dari dimensi lain.
"Aku ada di sini. Mulai sekarang aku akan melindungimu."

Perlahan tubuh sang peri meluncur turun dan duduk di sebatang dahan pohon besar. Wu Xie masih berada dalam pelukannya, dan ia mendudukkan pemuda itu dengan hati-hati di sampingnya.

Mereka berada di sana selama hampir satu jam, bicara dan tertawa. Kemudian setelah merasa bosan, Peri Qilin meminta Wu Xie menutup mata untuk beberapa detik.

"Ada yang ingin kutunjukkan padamu," bisiknya di telinga Wu Xie.

"Apa itu?"

"Sebuah tempat yang tak pernah kau lihat."

"Hmmm ... "

Selama memejamkan mata, Wu Xie tidak merasakan sesuatu yang aneh. Hanya ada perubahan aroma pada semilir angin yang menyapu wajahnya.

"Nah, kau boleh membuka matamu sekarang."

Ketika Wu Xie membuka mata, pemandangan yang luar biasa menyambutnya. Dia tidak lagi berada di pohon yang sebelumnya mereka singgahi. Semua yang mengelilinginya sekarang adalah bunga-bunga yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Warna-warni hangat seperti merah anggur, merah muda dan merah tua, tapi memancarkan cahaya. Ada kunang-kunang yang juga berwarna kemerahan beterbangan di sekitar mereka.

"Di mana ini?" gumam Wu Xie takjub.

Peri Qilin merangkul pemuda manis yang masih tercengang, mengelus pipinya lembut.

"Ini Taman Ruby. Bagian dari duniaku," jawabnya.

"Luar biasa. Apakah banyak peri lain tinggal di sini?"

Peri Qilin menggeleng.
"Semuanya mengeluarkan cahaya, tapi warna di sini semuanya merah. Apakah kau menyukai sesuatu yang cerah?"

"Sebenarnya aku suka kegelapan. Karena itulah aku mengenakan selubung jubah hitam. Ini cahaya paling cerah yang bisa kuhadirkan di tamanku."

Wu Xie tersenyum penuh pengertian.
"Kau akan mengajakku terbang mengelilingi taman ini?" ia menatap Peri Qilin penuh harap.

"Tidak. Aku hanya ingin memelukmu."

Di tengah kilau cahaya kemerahan, mereka berpelukan erat. Menikmati debaran di dada masing-masing. Bagi Wu Xie, peri Qilin telah menjadi seseorang yang istimewa baginya, tapi selama berbulan-bulan ia bertanya-tanya apakah perasaan ini adalah sesuatu yang normal ataukah absurd. Mungkin karena ia masih muda, ia telah mengkhayalkan hubungan mereka. Sangat mudah bagi Peri Qilin untuk pergi.
Ekspresinya sedih saat ia bertanya,
"Peri Qilin, ada yang ingin kutanyakan padamu."

"Hmmm, katakan."

"Apakah kau ... merindukanku?"

Peri Qilin tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan satu lagi ciuman yang lembut di bibirnya.
Ini lebih dari sekedar kata-kata. Wu Xie serasa melayang di antara kunang-kunang. Dia sudah tahu sekarang jawaban Peri Qilin. Tapi masih ada satu lagi pertanyaan yang tersisa.

"Bagaimana caraku agar bisa memanggilmu ke duniaku?" ia bertanya saat Peri Qilin mengakhiri ciumannya.

"Mainkan melodi yang sama seperti malam ini, aku akan mendengar panggilanmu, dan aku akan datang kapan pun kau mau."

"Dengan mengetuk jendela?"

Peri Qilin tertawa mendengarnya, sementara sepasang mata Wu Xie berbinar oleh kegembiraan. Dia merasa bahagia, seakan ribuan cahaya menyinari hatinya. Semua belum berakhir. Sebaliknya, kisah yang manis baru saja dimulai. Bersama Qilin.

Peri pelindungnya.

***Knock Knock Loving You***
By Shenshen_88

[ E N D ]

Continue Reading

You'll Also Like

7.5K 947 8
Kagami Taiga seorang omega polos pindahan dari amerika bertemu dengan enam orang alpha dan seorang beta berambut warna warni dengan kepribadian yang...
4K 324 6
Tepat ulang tahun nya yang 16, Wei wuxian gadis cantik yang di sebut 'kembang desa' dari Yillin, harus pergi dari tempat lahir sang ibu di karna kan...
13.7K 784 24
tidak mudah membuat seorang anak kecil yang tersakiti, menjadi aib keluarga, dan sering disiksa memaafkan kesalahan keluarganya. namun apadaya, anak...
10.9K 1K 11
Wu Xie yg ditunangan oleh ke-2 pamanya