Relation-shit!

By ddongki

60 8 0

Logan tidak akan berkencan dengan siapa pun. Dia pacar yang ideal bagi semua orang dan tidak seorang pun yan... More

I

II

11 5 0
By ddongki

__________________________________________________________________

"Kau sampai di rumah dengan selamat semalam?"
Aku tersenyum kecil menatap layar ponselku. Kepala ku terasa berdenyut karena kurang tidur, tapi rasanya tidak begitu buruk. Setelah puas minum bir dan kenyang, kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.

Aku bahkan terlalu mengantuk dan tidak punya waktu untuk menangisi perpisahanku dan Xavier. Malam kemarin terasa aneh tapi membuat ku bersemangat di hari berikutnya. Logan, Yuri dan aku memutuskan untuk bertukar nomor. Kami akan bertemu lagi saat masing-masing punya waktu untuk berkumpul. Mungkin kesan aneh pada pertemuan kami tidak begitu buruk.

"Jadi kalian berbaikan?"

"Hm?" gumamku, akhirnya menatap Wendy.

Dia memutar mata sebelum mengulang, "Kau tersenyum pada ponsel mu. Jadi kau dan Xavier akhirnya berbaikan?"

"Oh, soal itu..." aku mengusap dagu sembari meletakkan ponselku di meja, "Kami putus."

"Putus?" ulangnya dengan setengah melotot dan kening berkerut. "Kapan?"

"Semalam," sahutku singkat, sedikit melirik ponselku saat benda kecil itu berdenting.

"Dan kau masih bisa tersenyum pagi ini?"

Sekarang gantian aku yang memutar mata, "Kau berharap aku menangis semalaman dan menghadiri kelas dengan mata sembab?"

"Bukan kah itu normal saat kau patah hati? Kenapa? Kau tidak menangis?"

Aku tidak menjawab. Mungkin itu - menangis semalaman setelah patah hati - terdengar normal. Tapi, aku bahkan tidak merasa sesedih itu sekarang. Apa itu tidak normal?
"Entahlah, aku tidak merasa sesedih itu," jawabku lambat.

"Lalu?"

"Lalu?" ulangku sambil mengerenyit.

Wendy lagi-lagi memutar matanya, mengetuk-ngetuk layar ponselku dengan telunjuknya. "Lalu siapa dia?"

"Dia?" aku sepenuhnya menyadari tingkah konyolku dan menahan senyum saat Wendy mengerang gemas. Menyenangkan untuk menggodanya saat dia benar - benar penasaran.

"Ayolah, kau tau yang ku maksud. Dia - yang membuatmu tersenyum pada ponsel mu sejak tadi."

Aku tidak bisa menahan tawa ku lagi. "Entahlah, aku tidak mengenalnya," aku tertawa lebih keras saat Wendy memijat pelipisnya dengan agresif. "Sungguh," kataku lagi berusaha meyakinkannya. "Maksudku, kami baru saja bertemu jadi aku tidak benar-benar mengenalnya," jelasku pada Wendy.

Dia hanya menatap ku beberapa saat, matanya dipicingkan, jelas sedang berusaha mencerna penjelasan ku barusan. Lalu akhirnya dia menggeleng untuk menyerah. Aku terkekeh kecil, lalu menceritakan tentang Logan dan Yuri pada Wendy.

Reaksinya dapat diduga. Kebanyakan, Wendy melongok dan menutup mulut dengan tangannya. Lalu menggeleng, memutar mata, dan terakhir, dia hanya memberikan tatapan tidak percaya pada ku.

"Kau baru saja putus dan segera berkenalan dengan pria lain. Bisa kupahami jika kau bahkan tidak merasa sedih setelah putus," komentarnya diakhir ceritaku.

"Ada Yuri disana, kau tidak melewatkan ceritaku tentang Yuri, bukan? Lagi pula, mereka yang datang menghampiri ku," kataku membela diri.

Wendy pura-pura tidak perduli dan fokus pada laptopnya. Aku mengambil kesempatan itu untuk memeriksa ponselku. Ada dua pesan disana. Satu dari Logan dan yang lain dari Yuri.

Logan : "Kapan kelas mu selesai?"
Aku   : "Kelas ku sudah selesai sejak tadi, kenapa?"

Yuri  : "Ayo bertemu! Malam ini, pukul tujuh. Akan kukenalkan
        kau pada yang lain."
Aku   : "Tentu, kirimi aku lokasinya."

Logan : "Aku harus menjemput Yuri nanti, mau ku jemput sekalian?"
Aku   : "Tentu! Beri tau aku kapan kau akan kemari."

Aku tersenyum dan membuka pesan baru dari Yuri. Dia baru saja mengirim lokasi, dimana kami akan bertemu nanti malam. Sementara Logan belum membalas pesanku lagi.

Ku letakan ponselku di atas meja, menopang dagu di telapak tanganku selagi menunggu balasan darinya. Wendy masih sibuk dengan laptopnya, kemungkinan besar dia sedang mengerjakan tugas. Bisa ku lihat dari wajahnya.

Pandanganku menjelajah disekitar taman, tempat kami duduk sekarang. Tempat ini lebih hangat sekarang, di banding kemarin. Tidak heran jika banyak orang memutuskan untuk duduk dan menikmati camilan sambil mengerjakan tugas di sini.

"Oh, bukan kah itu..."

Wendy mengintip dari balik layar laptopnya, lalu menoleh mengikuti arah pandangan ku. "Kenapa? Pangeran berkudamu tiba-tiba muncul?"

Aku menunjuk sedan merah yang segera menghilang di persimpangan gedung perkuliahan, "Kurasa aku baru saja melihat mobil Xavier melintas disana."

"Xavier?" Wendi menatapku sebentar, lalu kembali pada titik dimana mobil itu menghilang. "Tapi itu fakultas hukum," katanya lagi.

Sekarang giliran aku yang menatapnya, "Memangnya kenapa kalau itu fakultas hukum?"

"Fakultas kita berlainan arah dengan fakultas hukum. Kalau begitu, mobil tadi pasti bukan Xavier."

"Kau pikir dia akan mencariku setelah minta putus dan meninggalkanku begitu saja?" aku mendecak lidah sambil mengibaskan tangan, membuang jauh pikiran konyol Wendy barusan. "Mustahil."

Wendy mencebik, "Mungkin saja dia menyesal, itu bisa saja terjadi."

Aku pura-pura tidak mendengarnya. Sebenarnya aku cukup yakin sedar merah itu adalah milik Xavier. Mobil itu menjadi cukup familiar setelah ku naiki hampir enam bulan lamanya. Belum lagi nomor plat mobil yang sialnya masih ku ingat. Tapi Xavier bukan berasal dari universitas ini. Jika benar mobil yang melintas itu adalah miliknya, tentu masih ada puluhan kemungkinan yang mengikuti dibelakangnya.

Mungkin seseorang meminjamnya dan datang kemari. Mungkin dia memang datang kemari untuk satu hal, bertemu seseorang, mengantar seseorang, menjemput seseorang, menjemput temannya, seorang pria? Wanita?
Sial! Apa peduliku?

Ngomong-ngomong, Logan akhirnya datang menjemputku sekitar satu jam kemudian. Aku mengatakan padanya untuk menjemputku di depan halte bus, di sebrang universitas. Wendy mengantarku dengan skuternya, lima belas menit sebelum Logan tiba. Tentu saja. Aku tidak mengatakan pada Wendy bahwa Logan akan datang menjemputku. Aku pasti akan mengenalkan Logan padanya. Suatu saat - dilain kesempatan.

"Lho, dimana Yuri? Kau belum menjemputnya?" tanya ku saat tau dia datang seorang diri.

"Kita akan menjemputnya nanti, kelasnya baru akan selesai pukul enam sore."

Ku lirik layar ponsel ku sebelum menyimpannya ke dalam tas. Masih tiga jam sebelum kelas Yuri berakhir. Lalu untuk apa dia menjemputku?

"Kau suka berfoto?" Logan bertanya saat kami sudah berada di jalan utama. Dia berkendara menjauh dari universitas ku. Jelas kami tidak akan menunggu Yuri disini.

"Ehm, tidak juga. Kenapa?" jawabku sambil memperhatikan jalanan. Menebak kemana Logan akan membawa ku.

"Tidak juga?" Dia mengulang, matanya masih fokus pada jalanan. Dia berbelok saat lampu merah menyala, "Sayang sekali."

Logan tidak mengatakan kemana kami akan pergi, Ford Rangernya hanya terus melaju tanpa ragu.

"Yuri mengajakku untuk bertemu nanti malam," aku berusaha menemukan sebuah topik. "Dia bilang akan mengenalkan ku dengan yang lain."

Ponsel Logan bendenting di atas dashboard, dia hanya melirik sekilas dan tetap meletakan kedua tangannya di steer. "Kau akan senang bertemu mereka, Yuri pasti sudah menceritakan tentang mu pada Hanny," dia merespon.

Ponsel Logan masih terus berdenting, aku melirik ke arah dashboard, lalu Logan, lalu kembali memerhatikan jalan. Berusaha tidak terpengaruh pada denting ponselnya, "Entah lah, berfikir untuk bertemu orang baru membuatku gugup."

"Apa sekarang juga kau sedang gugup?" Aku menoleh dan mendapatinya sedang tersenyum padaku. "Aku juga orang baru, bukan?" katanya lagi.

Aku tau senyum itu diberikan untuk menggodaku. Jadi aku balas tersenyum, menopang dagu pada jemari ku dan melempar pandangan kejalanan. "Kau benar, harusnya aku merasa gugup. Atau takut?"

Logan terkekeh, "Takut? Kenapa?"

"Apalagi? Aku berada di dalam mobil orang asing dan si orang asing ini tidak memberi tahu ku kemana kami akan pergi."

Kali ini dia tersenyum, memutar steernya dan berbelok di persimpangan. "Kau tau aku tidak mungkin menyakiti mu, bukan?"

"Oh, benarkah?" aku tersenyum meliriknya, berniat menggodanya seperti yang dilakukan Logan sebelumnya.

Logan mengangguk lalu menoleh padaku, "Kalau tidak, kau tidak akan duduk di sampingku sambil tersenyum manis, bukan?"

Jangan merona, jangan merona sekarang!
Aku menelan senyum jahil ku barusan, dan mengalihkan pandangan dengan kikuk. Aku yakin dia sedang tersenyum seperti biasanya. Tentu saja merasa puas telah membuatku kehilangan kata-kata.

Di tengah-tengah kebisuan kami, ponsel Logan masih terus berdenting. Dia jelas populer, aku tidak pernah mendengar ponsel seseorang sesibuk milik Logan. Dan dia dengan santai mengabaikan benda kecil itu selama perjalanan kami.

"Bukankah kau setidaknya harus mengecek ponsel mu? Ponsel mu terus berdenting, mungkin itu penting?" kataku.

"Tidak ada yang penting disana," sahutnya yakin.

"Bagaimana kau begitu yakin? Kau bahkan belum mengeceknya. Bagaimana kalau itu Yuri?"

"Yuri akan menelpon jika aku tidak membalas pesannya dan kau sedang bersamaku, jadi tidak ada pesan yang penting disana."

God!
Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Apa itu tadi? Apa yang dia maksud adalah pesan dari ku? Penting?
Logan jelas tau bagaimana membuat seseorang merasa istimewa. Dia berbahaya. Berbahaya untuk jantungku.

Hampir satu jam kemudian kami sampai di sebuah dermaga. Letaknya di pinggir kota, jauh dari universitas ku. Langit sore masih sedikit cerah, walau angin terasa semakin dingin.

"Apa yang akan kita lakukan disini?" aku melihat Logan mengeluarkan ransel dari kursi penumpang. Dia membuka ransel dan mengeluarkan sebuah kamera dari sana. Lengkap dengan lensa tele yang panjang dan besar. Kebetulan aku punya seorang teman yang hobi photografi, jadi aku bisa membayangkan seberat apa benda itu.

"Mengambil foto," Logan menjawab setelah selesai mempersiapkan kameranya.

Logan berjalan lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang. Dia mulai mengambil foto, kebanyakan adalah para nelayan yang sibuk membawa ikan hasil tangkapan di laut. Ada puluhan kapal nelayan yang bersandar di sekitar dermaga.

Aku berjalan-jalan disekitar dermaga selagi Logan mengambil foto. Tempat ini punya pemandangan yang luar biasa. Sejujurnya aku tidak menyangka dia akan membawa ku ke tempat ini. Tapi satu jam perjalanan untuk pemandangan seperti ini jelas tidak buruk. Laut terlihat biru dari sini. Aku tetap masih bisa melihat gedung-gedung bertingkat dikejauhan. Karena berada jauh dari tengah kota, udara disini terasa bersih. 

Aku berhenti saat menemukan bangku kosong, tidak jauh dari tempat Logan berada. Kuputuskan untuk duduk dan menunggunya disana. Sesekali Logan terlihat mengecek hasil fotonya, lalu kembali membidik ke kejauhan. Aku memerhatikannya dari jauh.

Kalau difikir-fikir, ini masih terasa cukup gila bagi ku. Aku bahkan tidak yakin tentang apa yang kulakukan disini sekarang. Duduk sambil memerhatikan Logan yang notabene adalah orang asing - kami baru kenal semalam, ingat?!

Bagaimana aku bisa begitu santai menempuh perjalanan selama satu jam tanpa tau kemana kami akan pergi?

Bagaimana kalau dia ternyata membawaku ke suatu tempat dan melakukan hal buruk padaku? Aku bahkan tidak memberi tahu Wendy soal pergi dengan Logan.

Aku pasti melamun terlalu dalam sampai tidak menyadari lensa kamera Logan terus menyorot padaku. Awalnya sedikit tidak yakin, tapi Logan benar-benar sedang mengambil foto ku dari jauh. Dia mengecek kameranya, sambil berjalan kearahku.

"Tidak buruk untuk seorang yang tidak terlalu suka berfoto," komentarnya sambil mengecek hasil jepretan di kameranya.

"Kau mengambil foto ku?"

Logan mengangguk sambil menunjukan hasil foto di kameranya. Hanya sekilas, sebelum menariknya lagi.

"Hei, itu pelanggaran," candaku dengan wajah cemberut, "Kau harus membayar untuk itu."

Dia tertawa kecil, lalu berkata, "Baiklah, lagi pula aku berencana mentraktirmu minuman."

Kami berjalan beriringan, menuju toko kelontong di dekat dermaga. Tidak jauh dari lokasi dimana kami meninggalkan mobil Logan.

Hari sudah semakin sore, dan angin di sekitar dermaga terasa semakin kencang. Aku menyesal tidak membawa ikat rambut dan semacamnya. Rambutku terus berkibar di tiup angin dan aku benar-benar kerepotan untuk merapikannya.

"Aku tidak yakin mereka punya sesuatu yang hangat selain kopi kaleng disini. Mau bir?"

Aku sedikit tersenyum dengan tawarannya, "Kau yakin? Kita masih harus kembali dan menjemput Yuri."

Logan ikut tersenyum, "Kau benar, kopi kaleng kalau begitu."

Logan masuk ke dalam toko sendirian, sementara aku menunggunya di salah satu meja kosong di depan toko.

Lima menit kemudian dia kembali dengan dua kaleng kopi. Satu diberikan padaku dan yang lain diletakan di atas meja. Aku membuka kaleng dan berniat menyesap isinya, tapi kemudian terhenti. Tiba-tiba Logan berdiri lebih dekat dihadapanku, dia mengeluarkan sebuah ikat rambut, perlahan mengumpulkan rambutku dan mengikatnya ke belakang.

Jantungku bendetak liar, kuharap dia tidak mendengarnya. Logan terus maju mendekat saat berusaha mengikat rambutku. Hampir setengah memeluk. Aku bisa merasakan kehangatan tubuh Logan dari posisi ini. Juga mencium wangi parfumnya dengan sangat jelas.

Kaleng kopi bergemeretak di dalam cengkraman ku. Mulai gelisah saat dia mengambil waktu begitu lama untuk mengikat rambutku.

Ku harap rambutku tidak terlihat kusut. Apakah parfumku masih tercium wangi? Kuharap aku masih wangi.

Aku merinding saat nafas Logan menyapu leher ku yang telanjang. Dia bergerak perlahan, sementara aku dengan susah payah berusaha menelan ludah.

"Kau terlihat lebih cantik dengan rambut ikat," dia setengah berbisik. Matanya turun perlahan, menatap bibirku yang kuharap tidak terlihat pucat atau kering.

Ku remas kaleng minuman ku lebih keras saat Logan perlahan memiringkan kepalanya, wajahnya terus mendekat padaku dan bibirnya hanya bersenti-senti jaraknya dari bibirku.

Dia akan mencium ku? Kami akan berciuman? Disini? Sekarang? Apa kasir di dalam toko bisa melihat kami sekarang? Petugas kasir itu pasti sedang mengintip kami dari dalam toko sekarang. Haruskah aku membiarkannya? Haruskah aku mendorong Logan? Lalu gagal berciuman dengannya?

Lalu ponsel ku berdering di tengah keriuhan pikiranku. Dan Logan berhenti, menatap ku sebentar lalu mengurai jarak diantara kami. Situasi menjadi super canggung-bagi ku.

"Ponselmu berdering," katanya, dia tersenyum melihatku yang masih membeku.

Hey, tidak salah kalau situasi ini membuatku syok!
Aku berdehem lalu mengangkat telpon tanpa memeriksa nama penelpon di layar ponselku. "Halo," suaraku terdengar seperti engsel berkarat. Sialan!

"Siapa ini?" Aku bertanya, menjauhkan ponsel dari telinga ku untuk memeriksa layar dan melihat nama kontak penelpon di layar ponsel. "Lucas? Oh iya, aku tidak bisa mendengar mu dengan jelas ... apa? Aku di dermaga sekarang, kurasa sinyal disini kurang bagus. Hm? Iya iya, aku akan menghubungimu lagi nanti, oke? Oke, dah."

Logan memerhatikan ku sejak tadi, lalu mengambil kaleng minumannya dan berjalan lebih dulu tanpa mengatakan apapun. (*)

Continue Reading

You'll Also Like

18M 479K 41
After being involved with a cold-hearted mafia boss, Robyn Lehman decides its time to run. Little did she know, she was carrying the future heir to h...
14M 78.1K 9
Book Cover Credit- @badbitty10 Book one to the Romano's Crime Organization Series. (18+) In which a rookie detective, Diamond Lee, ends up in the wr...
3.8M 158K 69
Highest rank: #1 in Teen-Fiction and sci-fi romance, #1 mindreader, #2 humor Aaron's special power might just be the coolest- or scariest- thing ever...
11M 360K 53
[The Mr Series #1] ❝oh, you silly girl. didn't they ever tell you?... rich boys don't have hearts.❞ Don't speak to them. Don't go near them. Don't...