Alpha Centauri

By nadanulis

70 21 0

Lima sekawan yang berjuang untuk mempertahankan peringkat paralel mereka sampai semester akhir, namun satu di... More

Perang Kelas
Ujian Semester
Liburan
Semester Baru
Problem level 1
Tentang Nilai
Camera, Roll, Action!
Problem Level 99
Consideration
Come Play With Us
Alpha Centauri

Seek the Truth

4 2 0
By nadanulis

"Giudith Azalea, seorang model majalah remaja yang baru menduduki semester pertama masa Sekolah Menengah Atasnya dikabarkan terkena skandal berat. Pencurian yang dilakukan—
Klik!
Giu mematikan siaran televisi yang sempat ia tonton beberapa detik itu. Di beberapa stasiun televisi, berita yang mengumandangkan namanya itu telah muncul sejak semalam. Dan pagi
ini, Giu memastikan semuanya musnah. Tapi tetap saja berita itu masih ada, seolah keberadaannya menjadi topik panas minggu ini.
"For real, ini bener-bener gila. Mereka maunya apa sih?" kesal Giu menaruh remote televisi yang ia genggam tadi ke atas meja.
Mbak Uci telah memberitahunya bahwa berita itu telah menyebar ke seluruh Indonesia. Bahkan Mom dan Dadnya sudah mengetahui hal ini. Tapi Giu sedikit tenang ketika Mbak Uci bilang, Mom dan Dadnya percaya kalau ia baik-baik saja di sini.
Namun firasat orang tua memang tak pernah salah. Giu mengkhawatirkan hal ini, maka kedua orang tuanya pun merasakan hal yang sama. Beberapa menit kemudian, Giu dikejutkan dengan bunyi dering ponselnya.
Itu Mom. Benar, Mom meneleponnya pagi ini.
Giu ragu untuk membalas. Tapi ia juga tak ingin membuat Mom lebih khawatir jika ia tak membalas panggilannya. Lalu diambilnya ponsel itu dan mengangkat telepon Sang Ibu kemudian.
"Hai, Mom?" Giu berusaha menormalkan suaranya agar tak terdengar aneh di sana.
"Oh ya ampun sayang .... dari mana saja kamu? Mengapa Dad meneleponmu tiga kali semalam tidak kamu balas?"
Giu terkekeh pelan. "Ah, maaf Mom, Dad. I've got schoolwork to do."
"Are you okay?" kini suara Dad yang terdengar dari seberang sana. Giu menggigit bibir bawahnya pelan. Bagaimana sekarang? Apa ia harus tetap berbohong dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja meski kenyataannya tidak demikian?
"Eumm." Giu menggumam pelan. Bagaimana cara mengatakannya pada mereka? Giu bingung.
"We know, sayang. Kita tahu semuanya, that's why we're calling you now. Mau cerita sama kami? Mom and Dad selalu di sini, kami akan mendengarkan kamu apapun itu," kata Mom dengan suara yang kelewat lembut.
Giu jadi terisak sekarang. Gadis itu menyandarkan tubuh di sandaran sofa empuk ruang keluarga yang sepi. Sambil menahan tangis dan rindu kepada kedua orang tuanya, Giu mencengkeram ponsel yang ia dekatkan ke telinga bagian kanannya.
"Mom .... Dad .... aku minta maaf," cicit Giu pelan.
"No, no need sorry. Dad yakin kamu nggak akan berani melakukan hal itu. Kalaupun benar, kamu pasti punya motif yang jelas kan? Tapi tidak. Dad tetap tidak percaya pada berita bohong seperti itu."
"Mom juga. Giu anak Mom yang baik, pintar, dan Mom yakin Giu mustahil melakukan hal itu. Benar kan, sayang?"
Giu memejamkan matanya. Rasanya susah untuk bercerita perihal bagaimana hari-hari buruknya tanpa sosok Mom dan Dad di sisinya ini. Giu merasa lebih banyak hal tak mengenakkan saat dirinya tak bersama Mom dan Dad di sini.
Giu butuh mereka berdua untuk hadir hari ini juga di sampingnya, memeluknya, dan memberikan kalimat-kalimat penenang itu langsung di hadapannya. Bukan via panggilan suara seperti saat ini.
"Giu sayang ... it's okay kalau kamu masih belum mau bercerita kepada kami—
"Bukan Giu yang melakukannya." Giu menyela kalimat Mom dari seberang sana.
"Giu difitnah. Giu dijebak, tapi Giu juga nggak tau siapa yang melakukan hal sejahat ini sama Giu. Giu bingung karena tiba-tiba aja kotak perhiasan milik Arabella ada di loker milik Giu. Giu bingung, Mom ... Dad ... Giu bingung harus apa. Giu nggak tahu—
Giu terisak saat menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya di sana. Terdengar hembusan napas lega dari wanita dan pria di seberang sana. Keduanya lega ternyata benar apa yang mereka duga tentang masalah anaknya ini.
"Dad sama Mom percaya kamu, sayang ... sekarang denger Dad ya, Giu," kata Dad mulai angkat bicara. Giu menghentikan isakan tangisnya.
"Kamu mau Dad ikut urus masalah ini nggak, sayang? Nanti Dad ambil pengacara khusus buat kamu."
Giu langsung menggeleng. "No need, Dad. Aku sama temen-temen yang lain bisa selesaiin ini sendiri. Temen-temenku punya solusi bagus untuk ini, kami sedang mencari bukti kuat yang ada di sekolah. Sepertinya jika Mom dan Dad ikut campur, akan jadi masalah besar mengingat kalian berdua punya nama yang cukup besar juga di sini."
"Baiklah, Dad mengerti."
"Oke sayang, kami percaya denganmu," imbuh Mom. "Tolong kalau ada apapun yang kamu butuhkan, segera telepon Mom atau Dad yaa sayang, kami akan berusaha untuk membantumu apapun itu."
Giu mengangguk samar. Meski gerakannya tak terlihat oleh kedua orang tuanya di sana, tapi sepertinya mereka tahu Giu paham maksud mereka. Maka setelah sesi panggilan itu berakhir, Giu merebahkan tubuhnya ke sofa.
"Ya ampun, i miss my Mom and Dad," ujarnya sedikit cemas.
Giu tahu walaupun respon yang kedua orang tuanya berikan padanya adalah baik-baik saja, tapi Giu yakin keduanya juga mencemaskan hal ini. Perasaan Giu bukannya lega, tapi jadi makin cemas setelah ini. Meski Sang Ayah mengatakan bahwa dirinya tak akan ikut campur urusan ini, Giu tak percaya.
Giu tahu Dad kesayangannya itu akan melakukan sesuatu juga pada akhirnya.
Maka setelahnya, Giu kembali mendudukkan diri. Menyambar ponselnya lagi dan mengetikkan sesuatu di atas layarnya. Dengan cepat, Giu kembali menempelkan layar ponselnya ke bagian telinga kanan gadis itu lagi.
Giu menelepon seseorang. Cukup lama sampai orang itu membalas panggilan Giu. Dan ketika panggilan mereka tersambung, Giu langsung berbicara.
"Putra, please do something. Beritanya udah sampai ke telinga Mom and Dad. Gue takut mereka ngelakuin sesuatu duluan untuk ini ...."



****



"Lo tenang aja, Gi. Gua sama anak kelas Alcen lagi muter otak buat cari bukti yang sekiranya kuat untuk urus masalah ini."
Setelah mengatakan beberapa hal lain, Putra menaruh ponselnya kembali ke meja. Saat ini suasana kelas Alpha Centauri sedang sepi karena pagi ini mereka memutuskan untuk membicarakan hal-hal yang bisa membantu Giu keluar dari masalah ini.
Seperti sekarang, tiga puluh satu siswa kelas itu membuat lingkaran kecil di antara meja Sera, Nathan, Putra, dan Giu. Ragas duduk di kursi milik Giu sekarang, menemani Putra yang akan duduk sendiri mulai hari ini karena Giu tak ada.
Anak kelas menatap Putra setelah Putra selesai berbicara dengan Giu di telepon tadi. "Giu bilang apa, Put?" tanya salah satu anak kelas mewakili pertanyaan yang ada di benak yang lainnya.
"Giu bilang, Mom sama Dadnya udah tau berita ini."
"Demi apa?!"
"Tuh kan, berarti bener. Beritanya udah kesebar sampai ke stasiun televisi juga."
Mereka mulai ramai lagi dengan berbagai asumsi yang keluar. Sera meringis pelan. "Masalahnya jadi serius banget gini. Nama Giu udah nggak bagus, please cari ide buat selesaiin semuanya."
Mereka kembali terdiam untuk memikirkan cara supaya mereka mendapatkan bukti kuat apapun itu. Tapi rasanya susah sekali otak mereka berpikir cepat pagi ini. Sampai satu suara notifikasi yang terdengar saling bersahutan dari ponsel mereka berbunyi.
Jordan yang pertama mengeluarkan ponsel. Cowok itu membuka satu notifikasi twitter yang muncul di layar hitam benda pipih itu. Jordan sedikit menggulir layarnya ke bawah, diikuti beberapa anak-anak lain yang ikut membuka ponsel mereka juga.
"Beritanya ... jadi trending topik gini di twitter," ujar Jordan masih fokus melihat layar ponselnya.
"Nama Giu banyak dibicarain di akun menfess sekolah," kata yang lain.
"Artikel-artikel jelek dari portal sekolah juga bawa-bawa nama Giu."
Putra mengernyit. Lelaki itu mendekatkan diri ke salah satu teman perempuan yang bernama Erine itu, melihat layar ponsel Erine yang menampilkan artikel-artikel berisi nama Giu di sana.
"Ada yang bisa retas web sekolah nggak? Kita ratain dulu aja berita-berita jelek Giu dari portal sekolah," usul Putra setelah melihat sebentar ponsel Erine.
"Setuju!" seru Ragas. "Biar kaga nyebar kemana-mana lagi. Kita mungkin masih belum dapet ide buat cari bukti kuat tentang masalah ini, tapi kita bisa ambil tindakan jangka pendek dulu. Ilangin berita-berita jelek kayak gitu contohnya."
Putra mengangguk, Ragas akhirnya paham maksudnya. Kemudian mereka sekelas saling bertukar pandang, sebelum suara Nathan tiba-tiba terdengar.
"Gua bisa," ujar Nathan memecah kebekuan di antara mereka. "Di lab komputer?" lanjutnya lagi.
"Lo bisa, Nath?" ulang Ragas.
Nathan mengangguk yakin. "Gua emang udah lama nggak main coding. Tapi boleh dicoba," katanya.
"Oke bagus." Putra mengangkat jempol. Lelaki itu beralih menatap Sera. "Sera, info jam kosong hari ini? Gua sama Nathan bakal pergi ke lab komputer di jam pelajaran biar nggak ada yang liat kita di sana."
Sera sejenak berpikir. "Kayaknya nggak ada. Tapi lo berdua bisa pergi di jam pertama ini, soalnya ini jam pertama ini pelajar Pak Agus. Biasanya, Pak Agus sering nggak masuk kelas dan cuma kasih kita tugas aja kan?"
Anak kelas kompak mengangguk setuju. Mereka lalu bersama-sama menyarankan Putra dan Nathan untuk pergi di jam pertama saja hari ini. Akhirnya Putra dan Nathan setuju.
Saat bel untuk pelajaran pertama dimulai, Putra dan Nathan segera berlari keluar kelas. Sementara anak kelas masih dalam posisi masing-masing, melingkar seperti tadi.
"Good luck!" kata mereka, memberi sedikit afeksi semangat kepada kedua teman mereka yang akan berjuang hari ini.
"Pak Agus nggak kirim tugas, Ketua?" tanya Ragas setelah memastikan Putra dan Nathan telah sepenuhnya keluar dari kelas.
Sera menggeleng. "Belum. Biasanya sekitar lima belas menit setelah bel masuk bunyi, tapi kita tunggu aja siapa tau beliau—
"ASSALAMUALAIKUM ANAK-ANAK!!!"
Suara bariton khas guru Bahasa Indonesia itu terdengar keras, menggema di kelas Alpha Centauri. Anak kelas yang tadinya masih berkumpul di sekitar meja Putra dan Giu langsung kocar-kacir kesana-kemari menuju tempat duduk masing-masing.
Keadaan kelas menjadi senyap sekarang. Ini tak seperti yang mereka harapkan. Pak Agus tiba-tiba datang ke kelas mereka membawa map hijau berisi buku paket Bahasa Indonesia pegangannya. Kalau kalian bertanya mengapa anak kelas begitu santai menghadapi Pak Agus, jawabannya adalah karena guru Bahasa Indonesia itu selalu tak pernah masuk ke kelas ketika jam pelajarannya telah dimulai.
Biasanya Pak Agus hanya memberi pesan kepada Sera dan menyuruh Sera memberi tahu anak kelas tugas apa yang harus mereka kerjakan, tanpa kedatangannya.
Dan hari ini, adalah kedua kalinya guru itu masuk ke kelas mereka. Aneh sekali, pikir anak seluruh anak kelas.
"Bapak tumben masuk?!" celetuk Ragas berbasa-basi setelah mereka semua memberi salam hormat kepada Pak Agus.
Pak Agus cengar-cengir saja di depan sana. "Saya lagi dalam keadaan bergembira. Tau kenapa?" katanya malah balik bertanya.
"Kenapa tuhh??" seru anak kelas bersamaan.
"Karena kucing kesayangan saya baru saja lahiran," jawabnya dengan tampang yang memang terlihat sangat bahagia. "Tapi saya bingung agaknya mau saya namakan siapa mereka semua yaa?"
Jawaban yang sungguh di luar nalar itu membuat anak kelas menahan tawa. Aneh sekali guru mereka yang satu ini.
Jaja mengangkat tangan. "Emang kucing bapak ada berapa, Pak?" tanyanya.
"Yang baru lahiran ada tiga. Tolong saranin nama buat mereka yaa kalian semua."
"Usep, Pak!"
"Jordan aja Pak biar kayak nama saya!"
"Lana Del Rey!"
"Na Jaemin, Pak!"
"DPR Ian!"
Seruan-seruan itu terdengar jelas di kelas mereka. Sambil tertawa bersama, mereka mengumandangkan nama yang sekiranya cocok untuk kucing Pak Agus itu. Kemudian Pak Agus terlihat pusing sendiri mendengar nama-nama aneh dari anak muridnya ini.
"Ya sudah-sudah. Kalian ini generasi Z sangat di luar nalar sekali ya," katanya tak sadar bahwa kalimatnya adalah cerminan dirinya sendiri.
"Bapak mulai absen saja ya kalau begitu!"
Sontak anak kelas menjadi panik bersamaan. Mereka takut ketidakhadiran Putra dan Nathan diketahui oleh Pak Agus. Sera menggigit bibir bawahnya dan memutar otak.
"Masuk semua, Pak!" seru Sera akhirnya, setelah menemukan jawaban yang ia cari sendiri.
Pak Agus mengernyit. "Masa sih? Kok Bapak lihat masih banyak kursi kosong di sini? Loh, ini si Ragas kenapa jadi duduk sama Sera? Terus itu Putra sama Nathan kemana?"
Nah, kan. Ketahuan juga. Lagian, Ragas bisa-bisanya duduk di samping Sera. Ragas yang sadar pun langsung cengengesan sendiri. Memang tadi dirinya terburu-buru ke tempat duduk sampai memutuskan untuk mengambil kursi yang kosong saja.
Tatapan tajam dari teman-teman kelasnya membuat Ragas terintimidasi. Untungnya otaknya berjalan sangat cepat untuk berpikir dalam situasi seperti ini. "Putra sama Nathan lagi ke toilet, Pak!" seru Ragas.
Pak Agus tambah heran. "Ke toilet masa berdua?"
Aduh, sial. Ragas salah berbicara lagi. Dan akhirnya, teman-teman kelasnya kembali menatap tajam ke arahnya. Ragas berdecak. "Maksud saya, Nathan yang ke toilet. Tadi Putra katanya ke perpus mau minjem buku," ucapnya lagi, kini dengan jawaban yang lumayan masuk akal.
Lalu Pak Agus mengangguk-angguk saja di sana. Kemudian, setelah dirasa semuanya aman, anak kelas kembali bernapas lega. Begitu juga dengan Ragas yang akhirnya terbebas dari tatapan intimidasi teman-teman kelasnya tadi.
Ragas menyenggol lengan Sera yang masih duduk terdiam di sampingnya. Sera menoleh dengan tatapan bertanya.
"Kabarin apa yang gua omongin tadi ke Putra sama Nathan di chat," bisik Ragas sebelum dirinya maju ke depan untuk kembali duduk di tempatnya.
Sera paham maksud Ragas. Setelah cowok itu meninggalkannya sendir di tempat duduknya, Sera mulai mengambil ponsel di kolong mejanya dan mengetikkan suatu pesan di sana.

Sementara itu di sisi lain, Putra menutup pintu ruang lab komputer sesaat setelah Nathan duduk di salah satu kursi dengan komputer di depannya.
"Gimana Put? Ruang ini aman dipake berapa jam?"
Putra menghampiri Nathan di sana. "cuma dua puluh lima menit. Karena abis itu ada anak kelas Antares yang bakal pake," jawab Putra.
Nathan mengangguk saja. Cowok itu dengan cekatan membuka perangkat keras milik sekolah itu. Dan melancarkan jari-jarinya disana.
"Lo bisa hapus semuanya kan?" tanya Putra.
"Iya. Gua cuma bisa hapus. Sisanya gua belum belajar."
"Lo belajar dimana kayak ginian? Keren juga," puji Putra.
"Abang gua dulu sering main komputer. Terus gua ikut kebawa. Yang jelas, ini seru buat dilakuin."
Sembari Nathan mengotak-atik layar komputernya, Putra memperhatikan jam. Proses yang dilakukan Nathan cukup lama, tapi juga terlihat cepat.
"Sisa berapa menit lagi?"
Putra melirik jam tangannya lagi. "lima menit. Lo masih lama?"
"Tiga menit lagi. Gua perlu hapus recent searches nya."
Putra mengangguk lagi. Lelaki itu memeriksa keadaan di luar sana. Ketika mendengar suara berisik anak kelas Antares dari luar, Putra segera berlari menghampiri Nathan.
"Nath, ayo buruan!"
"Oke udah. Ayo," Nathan berlari mendahului Putra. Keduanya lebih dulu keluar sebelum rombongan anak kelas yang akan memakai lab itu masuk.
Saat sampai di koridor kelas dua belas, Putra sadar sesuatu. "Nath, gimana kalo di lab komputer itu ada cctv?
Nathan tersenyum licik. "cctv lab komputer yang itu mati. Makanya gua usul buat ngelakuin itu disana."


****


Jam istirahat ini, anak kelas kembali berkumpul membentuk lingkaran seperti pagi tadi di sekitar meja Putra dan Giu. Mereka telah mengecek portal sekolah dan ya, semua berita tentang Giu sudah lenyap dari sana.
"Semua berita Giu di portal sekolah udah pada ilang. Tapi orang-orang masih ada yang pada ngomongin di base," kata Ragas setelah ikut mengecek ponselnya.
"Bebal semua tuh giliran ada berita ginian cepet banget nyebarnya. Gua curiga fitnah buat Giu ini cuma pengalihan isu biar kasus manipulasi nilai yang udah dilakuin keluarga Arabella dan pihak sekolah jadi ketutup," sarkas Zaki.
Putra terkekeh saja. "Emang gitu kan, Jak?"
Anak kelas yang lain langsung pada merinding. Tak menyangka jika memang benar masalah ini datang hanya untuk menutupi masalah yang sebelumnya ada. Seram sekali.
Di tengah perbincangan-perbincangan yang dilakukan anak kelas Alpha Centauri itu, Marsha, si pemilik ranking sepuluh paralel itu tiba-tiba menjentikka jarinya ke udara.
"Eh guys guys guys!!" Marsha memanggil seluruh teman-temannya. Sukses membuat yang lain lagsung terdiam dan menatap ke arahnya.
"Kenapa, Sha?"
"Cctv!" Marsha menunjuk satu cctv di pojok kanan atas kelas. Di belakang sana, cctv berwarna hitam itu akhirnya terlihat oleh salah satu dari mereka.
"Gua baru tau ada cctv di kelas?" kata Putra aneh.
"Tapi itu kayaknya nggak nyala deh?" sahut yang lain. Ragas langsung mendekati cctv itu. Dan benar, memang cctv itu tak bernyawa.
Tapi mereka masih punya harapan, siapa tahu waktu kejadian itu, cctv di sana masih menyala? Kita tak pernah tahu.
"Sera, coba lo chat Pak Alwi buat cek cctv kelas," usul Ragas.
Sera mengangguk. Tapi belum sempat gadis itu membuka ponsel, Putra menghentikan pergerakannya. "Gua aja, Ra," katanya sambil menekan tombol panggilan di kontak Pak Alwi.
Putra mengambil langkah yang tepat karena setelah itu, Pak Alwi langsung membalas panggilannya. "Selamat siang, Pak. Putra izin bertanya," ujar Putra mulai berbicara.
"Iya Putra, ada apa? Apa ada masalah lagi di kelas?"
Putra menggeleng. "Tidak. Ini terkait masalah Giu kemarin. Saya dan teman-teman kelas baru sadar kalau ada cctv di kelas kami. Apa pihak sekolah sudah mengeceknya juga? Mengingat kami semua tidak percaya Giu melakukannya."
Putra menyalakan mode speaker di ponselnya agar teman-teman kelasnya dapat mendengar jawaban Pak Alwi langsung.
"Begini Putra, cctv di setiap kelas sudah mati total semenjak semester pertama kalian masuk ke sekolah ini. Pihak sekolah berniat menggantikannya dengan yang baru tepat setelah kejadian ini. Bapak pun sudah membicarakan hal ini kepada kepala sekolah. Dan mereka baru akan menggantikannya dengan yang baru besok.
Jadi untuk kejadian kemarin, Bapak tidak bisa melakukan apapun karena Arabella dan kedua orang tuanya sudah menjadikan Giu sebagai bukti kuat mereka. Maafkan Bapak, Putra ..." kata Pak Alwi menjelaskan panjang lebar.
Putra dapat merasakan teman-teman kelasnya menahan napas dan saling berpandangan. Tentu ini bukan kabar baik untuk mereka. Ini sangat buruk. Satu-satunya cara yang mungkin bisa membantu mereka telah hilang. Dan kini mereka harus mencari cara lain untuk mendapatkan bukti bahwa Giu tak bersalah.
Tapi bukankah itu sulit?
"Tidak perlu meminta maaf, Pak Alwi. Terimakasih atas penjelasannya. Putra akan memberikan info ini kepada teman-teman yang lain," ucap Putra sebelum menutup sambungan teleponnya.
"Susah banget buat cari buktinya," kata salah satu anak kelas setelah Putra menaruh kembali ponselnya ke dalam saku.
"Arabella bersih banget mainnya," celetuk Desy membuat seluruh mata memandangnya. Desy mengangkat kedua alisnya. "Kenapa? Bener, kan? Kalau bukan Arabella yang ngelakuin ini semua buat jebak Giu, siapa lagi coba?"
Ya, mereka tak dapat menyangkal Desy karena satu-satunya orang yang menjadi tersangka atas segala fitnah ini adalah Arabella. Mengingat Arabella tak menyukai seluruh orang yang ada di kelas Alpha Centauri ini.
Juga masuk akal apa yang Zaki katakan tadi. Tentang masalah ini datang hanya untuk menutupi masalah manipulasi nilai sebelumnya. Seram kalau dipikirkan, karena mereka baru beberapa bulan masuk ke sekolah ini tapi sudah banyak menghadapi cobaan buruk seperti ini.
Untungnya mereka bersikap kompak dan mau membantu satu sama lain. Sera sebagai ketua kelas Alpha Centauri sangat beruntung mempunyai teman-teman yang mudah untuk ia atur seperti ini. Kekompakan mereka dalam menyelesaikan masalah sudah bisa ia acungi empat jempol. Dua jempol tangan, dan dua jempol kakinya.
Tapi untuk masalah ini ... sepertinya mereka sedikit putus asa.
"Kayaknya emang udah nggak ada solusi lagi buat masalah ini," ujar salah satu anak kelas.
Putra langsung menggeleng kuat. "Pasti ada. Kita harus cari secuil apapun bukti itu," ucapnya dengan penuh tekad.


****



Pulang sekolah ini, Ragas melajukan motornya ke arah apartment dekat kota. Hari ini Ragas memutuskan untuk pulang ke apartementnya saja. Ragas memang tak begitu menyukai rumahnya untuk pulang. Ragas selalu pulang ke apartement ketika suasana hatinya sedang buruk.
Tak lupa Ragas mengabari sang Bunda bahwa malam ini ia akan tidur di apartement saja.
"Lupakanlah saja diriku bila itu bisa membuatmu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala ..."
Lantunan melodi lagu 'Dan' Sheila on 7 itu dikumandangkan dengan indah oleh pita suara Ragas. Ketika lelaki itu memencet tombol lift untuk naik ke lantai tiga, Ragas masih setia mendengarkan lagu di airpodsnya.
Ketika sampai di depan pintu apartement miliknya, Ragas memasukkan kode kemudian langsung masuk ke sana. Betapa terkejutnya Ragas kala melihat sosok yang tak asing berdiri di dalam sana.
Itu abangnya. Bang Januar, entah dari kapan ia berada di sini.
"Woyy kok nggak bilang gua mau balik?!" Ragas tersenyum senang dan menghampiri sang Abang yang juga terlihat kaget sejenak di sana.
Keduanya berpelukan dan ber-high five ria. Bang Janu terkekeh. "Gua kira lu nggak balik ke apart. Lagian Abang cuma bentar kok, mau ambil kamera. Yang kemarin rusak udah balik tuh, tadi Abang sempet mampir ke tempat service nya," katanya sambil menunjuk tempat kamera yang sebelumnya rusak itu dengan gerakan dagu.
Ragas membelalak. "Woah serius lu Bang? Cepet juga," ujar Ragas sambil menghampiri kamera hitam kesayangannya yang sempat pecah lensa karena ulah Arabella kemarin itu.
Ragas mengecek kembali kamera hitam itu dan benar saja, kamera itu telah sempurna lagi. Ragas tersenyum senang. "Akhirnya bisa gua pake lagi si item," katanya dengan bangga.
Bang Janu terkekeh. Dokter muda itu duduk di sofa yang berada di ruang tamu apartement mereka. Sambil sebentar memejamkan mata, Bang Janu bertanya pada Ragas, "Gas, kamera hitam yang satunya lagi mana? Abang cari daritadi nggak ada. Mau Abang pinjem buat di rumah sakit, ada temen baru Abang yang suka foto-foto gitu—
"Ohh, nih! Bentar-bentar." Ragas memotong kalimat Bang Janu sambil menaruh tasnya di lantai dan mengambil tas hitam yang berisi kamera hitam itu. Lalu menyerahkannya pada Sang Abang.
Bang Janu menerimanya kemudian. Ragas pamit untuk berganti seragam di kamar. "Gua ganti baju dulu ya Bang, lu jangan langsung balik ke rumah sakit. Makan dulu bareng gua!" peringat Ragas sebelum masuk ke kamarnya.
Bang Janu tertawa pelan. "Hahaha iya santaii. Abang temenin lu makan," katanya.
"Niceeee!!" Ragas mengangkat kedua jempolnya dan masuk ke kamar, kemudian menutup pintu pelan.
Sementara Bang Janu mulai mengecek kamera hitam itu. Membolak-balikkan tubuh kameranya asal, mengecek lensa, dan meniup-niup lensanya pelan.
Kemudian Bang Janu langsung menyalakan kamera itu untuk mengecek file-file yang ada di dalamnya. Bang Janu suka sekali melihat-lihat hasil potretan si adik bungsunya itu. Karena semua yang Ragas potret dan masukkan ke dalam kamera, hasilnya pasti keren-keren. Bang Janu hidup untuk itu.
Melihat ada banyak file video dan foto yang Ragas hasilkan selama sebulan ini, membuat Bang Janu berdecih pelan. "Cih, semua momen lo abadikan ya, Gas," monolognya.
Bang Janu terus memencet tombol next untuk melihat foto-foto dan video-video yang ada di sana. Sesekali Bang Janu terkekeh dan tertawa ketika melihat video-video yang terekam di sana.
Dimulai dari video Ragas merekam momen teman perempuannya yang tak sengaja tertidur di kelas, vlog Ragas di rumah temannya yang bernama Giu, vlog Ragas di toko ice cream Nathan, sampai video tutorial jurus-jurus taekwondo dari Putra.
Sangat menarik untuk ditonton. Sampai ada satu video aneh yang menampilkan keadaan kelas kosong. Sepertinya itu kelas Ragas. Bang Janu mempercepat videonya sampai kelas yang semula terlihat kosong itu akhirnya dimasuki oleh seorang perempuan yang tak diketahui siapa namanya.
Bang Janu mengernyit saat melihat gerak-gerik perempuan yang memakai seragam yang sama dengan Ragas itu. Perempuan dalam video itu terlihat mencurigakan. Ia memasukkan sebuah kotak aneh ke dalam satu loker yang terletak di belakang kelas.
Dan semua pergerakannya terekam jelas di kamera Ragas. Bang Janu memperbesar videonya agar ia dapat dengan jelas melihat wajah perempuan dalam video itu.
Bahkan setelah diperbesar pun, wajah perempuan itu masih sangat jelas terlihat. Kamera ini seperti sengaja Ragas taruh di sana agar semua gerak-gerik perempuan itu terekam jelas. Bang Janu jadi sedikit menyimpulkan bahwa Ragas memakai kamera ini sebagai tugas sekolahnya tentang membuat drama.
Maka setelah pintu kamar Ragas terbuka lebar, Ragas dengan balutan kaus hitam dan celana selutut itu menghampiri Abangnya yang masih terduduk di sana. Bang Janu langsung menyambar Ragas dengar pertanyaan setelah adik lelaki satu-satunya itu terduduk di sampingnya.
"Lo ada tugas drama apa gimana, Gas?"
Ragas mengernyit heran. "Drama? Drama apaan? Kaga ada ah perasaan," ucapnya yakin.
"Lah terus ini apaan? Lo ngerekam ini buat apa? Masa iseng doang?" tanya Bang Janu sambil menyerahkan kamera yang semula dipegangnya pada Ragas.
Ragas jadi penasaran apa yang sebenarnya Bang Janu katakan. Ketika melihat rekaman video yang ditunjukkan Bang Janu itu, dada Ragas langsung berdebar kencang. Ragas menarik napas panjang dan napasnya tiba-tiba jadi memburu begitu saja.
Gila. Itu rekaman saat Ragas lupa mematikan kameranya. Sebelum pelajaran olahraga dimulai, dan ketika Ragas meninggalkan kelas dengan meninggalkan kamera yang juga menyala.
Ternyata kamera itu ... merekam dengan jelas semua perbuatan bejat Arabella. Video itu memperlihatkan bagaimana Arabella dengan sengaja memasukkan kotak perhiasan miliknya sendiri ke dalam loker milik Giu.
"Sinting," geram Ragas kesal. Ragas menatap Bang Janu dengan penuh kelegaan. Cowok itu menghela napas lega setelah berhasil mendapatkan bukti kuat untuk membantu sang teman lewat bantuan Abangnya itu.
"Ya ampun Banggg, gua beneran makasih lo udah liat video ini sebelum gua hapus," ujar Ragas merebahkan tubuhnya ke sandaran sofa.
Bang Janu mengernyit bingung. "Kenapa emang?"
Ragas tak menjawabnya. Akan sulit menjelaskan semua ini kepada Bang Janu sekarang. Juga rasanya Ragas lega sekaligus lemas melihat dengan matanya sendiri kejadian bejat Arabella itu.
Ragas memeluk kamera hitamnya dan buru-buru memindahkan file video itu ke laptop agar tidak hilang lagi. Karena itu akan jadi bukti kuat untuk memulihkan nama baik Giu di sekolah. Ragas mengabaikan tatapan bingung Bang Janu yang sekarang sudah meninggalkan Ragas sendirian di ruang keluarga.
Bang Janu memutuskan untuk menyiapkan makan siang mereka di dapur. Sementara Ragas membuka ponsel dan mulai menelepon anak-anak phoenix via panggilan grup.
Setelah telepon itu tersambung, Ragas langsung berteriak di sana. "WOY CEPET BUKA GRUP, GUA KIRIM BUKTI KUAT UNTUK GIU DI SANA!!"

Continue Reading

You'll Also Like

22.8K 100 18
naughty girl with naughty professor. story is kind of new and interesting. read it to enjoy it!
Lucent By ads ¡¡

Teen Fiction

176K 4K 17
lucent (adj); softly bright or radiant ✿ ✿ ✿ My brother's hand traces the cut on my right cheek for some minutes. I have no idea how a cut can b...
3.7M 86.8K 141
Soon to be Published under GSM Darlene isn't a typical high school student. She always gets in trouble in her previous School in her grandmother's pr...
264K 931 10
Her boyfriend messed with the wrong guys. Now she has to 'pay' them back with her body.