Alpha Centauri

By nadanulis

70 21 0

Lima sekawan yang berjuang untuk mempertahankan peringkat paralel mereka sampai semester akhir, namun satu di... More

Perang Kelas
Ujian Semester
Liburan
Semester Baru
Problem level 1
Tentang Nilai
Camera, Roll, Action!
Problem Level 99
Seek the Truth
Come Play With Us
Alpha Centauri

Consideration

4 2 0
By nadanulis

"Bukan gue pelakunya. Kalian percaya gue, kan?"

Putra berdecak kuat. "Gila lo? Mana mungkin kita semua nggak percaya sama lo, Gi? Cuma orang aneh yang percaya lo beneran ngelakuin itu."

"This is crazy." Nathan tak habis pikir. "Bella beneran licik."

Sera mengangguk setuju juga akhirnya. Setelah semua yang terjadi di kelas Alpha Centauri, Sera benar-benar yakin semua masalah ini berasal dari Arabella.

"Ini aneh beneran. Semuanya terjadi berturut-turut. Kayak kita nggak diizinin buat tenang sedikitpun," ujar Sera menggigit kuku jarinya.

"Lo liat, Ser? Lo liat kan sekarang gimana sintingnya itu cewek ular?" Ragas menatap Sera, mengintimidasi teman perempuannya itu.

Sera jadi merasa bersalah sekarang. Kalau saja dari awal dia percaya pada semua kalimat yang teman-temannya lontarkan, semua ini mungkin nggak akan terjadi.

Sera menghela napas lirih. "Sorry guys. Kalau aja gue percaya sama kalian waktu itu buat bikin petisi masalah ini, semuanya mungkin gak akan pernah terjadi," katanya mengulangi kalimat yang sempat muncul di benaknya tadi.

"No." Giu menggeleng. "Mungkin ini salah gue. We never know what happened before? Tapi trust me, gue beneran sama sekali nggak ada niatan curi barang dia. Huh! Liat mukanya aja gue udah muak."

Keempat lainnya mengangguk. Tentu saja mereka seratus persen berada di sisi Giu. Karena mau bagaimanapun, selain Giu adalah teman mereka, mereka juga tahu Giu tak mungkin melakukan hal kotor seperti itu.

Ini jebakan. Yang dibuat Arabella sendiri.

"Nah, itu poinnya!" seru Putra. "Gua tau lo orang yang kayak gimana walaupun kita baru ketemu beberapa bulan yang lalu. Tapi masa iya orang tajir kayak lo nyuri perhiasan begituan?" Putra terkekeh sendiri. "Impossible," katanya.

"BENER PUT!" Ragas menggebrak meja. Perasaannya jadi membara dan menyala sekarang. Ternyata pemikiran Putra dan pemikirannya memang tak jauh beda.

"Gua setuju asli. Mustahil Giu curi barang ecek-ecek kayak gitu. Semua orang juga tau Giu setajir apa. Motif orang nyuri barang tuh kan kalau nggak buat dia pakai lagi, pasti dia jual kan? Sekarang coba pikir, buat apa Giu mau pakai perhiasan Arabella kalau di rumahnya aja udah ada ruang harta karun begitu? Kalaupun buat dijual, harganya pasti cuma cukup buat Giu beli susu pisangnya sehari," jelas Ragas.

Sera, Putra, dan Nathan terkekeh dengan penjelasan Ragas. Memang yang paling masuk akal ya begitu. Untuk apa Giu mencuri? Dia bahkan sudah memiliki harta yang lebih dari cukup.

Tapi mendengar ocehan Ragas tadi, Giu mengerucutkan bibirnya. "Okay but, lo semua berhenti hiperbola. Jangan bahas begituan di sini, gue bener-bener nggak mood," ujarnya sambil mengacak-acak rambut sendiri.

Mereka berlima kembali terdiam kompak. Setelah para petinggi sekolah, Pak Alwi, Arabella, dan kedua orang tuanya keluar dari kelas mereka tadi, suasana Alpha Centauri dilimuti ketegangan yang tak kunjung habis.

Anak-anak kelas bahkan tak berani untuk sekedar bertanya kepada Giu atau anggota phoenix yang lain. Mereka masih menutup mulut, setidaknya untuk menutupi keterkejutan mereka hari ini. Seperti yang kalian harapkan, tentu saja anak kelas Alpha Centauri tak percaya dengan apa yang mereka lihat tadi.

Giudith Azalea, teman mereka itu tak mungkin melakukan hal itu. Pemikiran mereka pun sama dengan keempat anggota phoenix lainnya. Bahwa Giu pasti dijebak. Dan ini semua adalah proses balas dendam Arabella.

"Mau ke perpus nggak?" tawar Putra akhirnya. Melihat Giu yang sedari tadi memasang wajah bingung, membuat Putra kasihan juga pada teman sebangkunya itu.

"Ngapain?"

"Ngerjain soal fisika. Mungkin latihan soal bisa membantu?"

Sera, Ragas, dan Nathan memalingkan wajah mereka bersamaan. Kelimanya memang jenius dalam mata pelajaran yang mereka kuasai masing-masing. Tapi mengerjakan latihan soal di waktu ini mungkin bukan hal yang bisa disebut baik, 'kan?

"Orang gila lo Put? Gue masih manusia biasa yang kalau lagi ada masalah itu nangis, bukannya ngerjain latihan soal!" tolak Giu.

Ragas tertawa puas. "Kayaknya Putra kalau lagi ada masalah, masalah itu juga yang dia kerjain," celetuknya.

Sera dan Nathan ikut tertawa sementara Putra sudah melempar pulpen Giu ke arah Ragas. Giu sendiri terlihat berpikir setelah melihat ke seluruh penjuru kelas, teman-teman kelasnya kelihatan lemas sekali sekarang.

"Ayo, Put!" seru Giu membuat yang lain langsung menatap ke arahnya.

"Ayo apa?"

"Ayo ke perpustakaan. Gue pusing di kelas, semakin banyak anak Alcen yang kelihatan bingung sama semua kebohongan ini," bisik Giu.

Mendengar itu, Sera langsung mengedarkan pandangan. Kemudian gadis itu mendekat ke arah Giu, dan memukul pelan bahunya. "Tenang, Gi. Gue bakal urus mereka semua," katanya.

"You better go with Putra now," ujar Nathan.

Giu dan Putra mengangguk. Putra berdiri lebih dulu kemudian disusul Giu di sana. Keduanya berjalan keluar kelas, suasana di kelas pun sedikit sepi karena ada beberapa anak kelas yang memutuskan untuk pergi keluar juga.

Di tengah perjalanan, entah sudah berapa artikel atau menfess yang membahas kegaduhan di kelas Alpha Centauri ini. Karena sepertinya, semua orang kini menatap Giu dan Putra dengan pandangan tak suka.

Dari mulai keduanya berjalan beriringan keluar dari kelas, sampai di dekat koridor kelas dua belas, pandangan semua orang tertuju pada mereka. Giu sampai menunduk sedikit karena tak tahan dengan ini.

"Gue beneran bingung sumpah. Kayak berapa jam doang udah langsung beda masalah."

"Ini Alpha Centauri gen sekarang anak-anaknya pada problematik apa gimana?"

"Gue nggak nyangka Giudith si golden ace dari Alcen itu nyuri perhiasan orang."

Putra dan Giu mendengar bisikan-bisikan dari orang-orang yang mereka lintasi itu. Giu sudah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk meredam emosi, karena kalau tidak, Giu bisa meledak saat itu juga.

Sementara Putra berbeda. Laki-laki itu sudah hampir ingin menghantam orang-orang yang membicarakan kelas mereka. Sampai langkah keduanya terhenti saat tiba-tiba, Jordan, Jaja, dan Marsha menghampiri mereka. Jordan dan Jaja berjalan di depan Giu, menutupi gadis itu dari tatapan orang-orang yang sempat menusuknya tadi. Sementara Marsha menggandeng tangan Giu kuat.

Giu menoleh. "Sha," panggilnya.

Marsha tersenyum saja. "Tenang Gi, lo nggak sendiri. Kita semua ada di sini buat lo. Jangan takut sama mereka, tutup kuping lo. Mereka punya satu mulut untuk berbicara, tapi lo punya dua tangan untuk nutup telinga."

"Berisik dahhh!! Urusin kelas lo masing-masing. Nggak semua apa yang lo pikirin itu nyata!" Jordan berteriak kepada semua orang yang masih berbisik-bisik di sana.

"Jangan mudah percaya sama omongan orang. Bedain mana yang masuk akal buat disalahin, mana yang enggak!" imbuh Jaja.

Putra terkekeh saja mendengar teriakan dari kedua teman lelakinya itu. Marsha, Jaja, dan Jordan. Ketiganya menemani Putra dan Giu sampai ke depan perpustakaan.

Putra salut dengan bagaimana kompaknya kelas mereka dalam menghadapi masalah bertubi-tubi seperti ini. Giu terharu, gadis itu memeluk Marsha kuat-kuat. Lalu memukul dada Jordan dan Jaja bergantian.

"Gi, we trust you. Lo nggak mungkin ngelakuin hal itu. So, kita bakal selalu di belakang lo," ujar Jordan membuat Jaja dan Marsha mengangguk setuju.

Giu tersenyum lagi. Makin dalam rasa sayangnya pada kelas ini. Sejak awal mereka bertemu, Giu tahu teman-temannya adalah orang-orang yang baik.

"I won't let you down, guys. Thank you."

****

Setelah mendapat pesan dari sang wali kelas, Sera cepat-cepat meninggalkan ruang kelas tanpa pamit kepada Nathan atau Ragas yang masih di sana. Kedua teman lelakinya itu sempat kompak menatapnya tapi mereka juga memutuskan untuk tidak terlalu peduli dengan kepergian Sera.

Sampai di ruang guru, Pak Alwi menyodorkan pin emas milik Sera di meja sembari tersenyum. "pihak sekolah ingin kamu yang memakainya lagi. Mereka juga akan membuat surat permintaan maaf secara resmi kepada kalian semua."
Sera menatap lekat pin itu. Perasaannya kini campur aduk. Entahlah, semuanya terjadi berturut-turut. Bahkan Sera belum sempat berpikir apa sebenarnya ini.
Cukup lama sampai Sera mau mengambilnya perlahan.
"Bagaimana dengan Giu? Saya yakin dia tidak pernah melakukannya. Dia bukan orang seperti itu."
Ya. Mau gimana lagi? Pikiran Sera daritadi hanya tertuju pada teman perempuannya itu. Kini masalah yang tadinya ia pikul, berpindah kepada Giu.
Pak Alwi terlihat menghela napas beberapa kali. "kamu tenang saja, Bapak sudah membicarakan hal ini dengan pihak sekolah lagi. Bapak juga tidak akan pernah percaya Giu melakukan hal itu."
Sera mengangguk. "kalau begitu, tolong pertimbangkan untuk masalah ini. Saya harap, pihak sekolah adil dengan mencari bukti kuat lain untuk teman kami, Giu."
Setelah mengatakan hal itu, Sera menunduk kepada Pak Alwi dan segera pergi dari sana. Saat sampai di ambang pintu, Sera melihat Arabella dan kedua orang tuanya sedang berjalan beriringan menuju ruangan Pak Alwi.
Sera kembali menunduk sopan, saat kedua orang tua Arabella melintasinya. Dan Bella, gadis ular itu berhenti sejenak di sana.
"Oh, halo ketua kelas! Kasihan, lo main-main dengan orang yang salah. Liat sekarang, siapa yang kalah?"

Sera mengernyitkan dahi mendengar sapaan yang tak biasa itu. Ternyata memang benar, Arabella telah melakukan fitnah kepada Giu. Entah apa yang ada di pikiran Arabella, yang jelas, gadis itu benar-benar licik. Seperti yang biasa Ragas katakan.

Dan sialnya, Sera baru menyadari hal itu sekarang.

Belum sempat Sera membalas perkataan gadis ular itu, Arabella sudah buru-buru pergi meninggalkannya. Sera meremas rok seragamnya kesal. Kemudian memutuskan untuk berjalan ke kelas dengan masih menggenggam pin emas yang kini sudah kembali ke tangannya.

Sera sampai di kelas tepat setelah bel pelajaran akhir dimulai. Sera duduk di kursinya sementara Ragas berpindah duduk di kursi Putra karena Putra dan Giu masih di perpustakaan tadi.

"Lo abis dari mana?" tanya Nathan.

"Ke ruangan Pak Alwi, Nath. Golden pin gue balik," jawab Sera sambil menaruh pin emas bergambar burung phoenix itu ke atas meja.

Ragas yang mendengar itu pun langsung berbalik badan. "Woahh serius? Berhasil dong rencana gua kemarin?!" serunya kini terlihat bersemangat lagi.

"Iya, Gas. Makasih yaa kalian udah mau bantuin gue. Tapi ini bukan waktu yang tepat buat bahas golden pin gue." Sera merampas kembali pin emas itu dari meja dan mulai mengantonginya.

"Tadi gue ketemu sama Arabella dan kedua orang tuanya di ruangan Pak Alwi juga. Mereka kayaknya bakal bahas masalah Giu ini. Gue jadi takut mereka apa-apain Giu," ujar Sera bercerita perihal pertemuan dirinya dengan Arabella tadi.

"Demi apa?" Ragas jadi menganga. Ragas dan Nathan tahu ini pasti akan terjadi karena mau bagaimanapun, kedua orang tua Arabella pasti tak akan terima dengan semua ini.

Tapi... bagaimana caranya meyakinkan pihak sekolah bahwa Giu bukanlah pelaku yang sebenarnya? Bagaimana cara agar pihak sekolah tahu kalau Giu hanya sedang sial dijebak seperti itu?

Nathan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi yang ia duduki. Sementara Ragas sudah dua kali mengacak-acak rambutnya. Sera hanya bisa menatap kedua teman lelakinya pasrah.

"Semoga ada titik terang yang nggak beratin pihak manapun," ujar Sera.

"Tapi kalau sampai si Bella belek ular sawah itu macem-macem sama Giu, gua nggak akan tinggal diem sih," celetuk Ragas penuh tekad.

Nathan memang tak membalas semua percakapan Ragas dan Sera sedaritadi, tapi agaknya Nathan sedikit merasa bersalah saat ini. Tiba-tiba saja muncul pemikiran bahwa semua masalah ini terjadi karenanya. Nathan jadi makin bingung sekarang.

Di sisi lain, Putra dan Giu bahkan sedang asyik membaca buku di perpustakaan. Oh, tidak. Setelah Giu menyelesaikan tiga puluh soal fisika random yang Putra berikan padanya. Keduanya kini malah memutuskan untuk membaca buku fiksi di sana.

Suasana perpustakaan hari ini bisa dibilang tidak terlalu ramai karena orang-orang sepertinya lebih memilih untuk memiliki jam kosong di kelas masing-masing. Atau di kantin?

Giu menutup novel yang sedang dibacanya ketika ponsel gadis itu berbunyi. Giu membaca seuntai pesan yang terpampang di layar ponselnya sendiri sebelum akhirnya mengetikkan sesuatu juga di sana.

Putra memantau gerak-gerik Giu sekarang. Bahkan saat gadis itu menatapnya, Putra tahu Giu akan mengatakan sesuatu. Jadi Putra ikut menutup novel yang sedang ia baca dan fokus pada wajah Giu.

"Kenapa?" tanya Putra akhirnya setelah Giu tak kunjung memberitahunya apa yang terjadi.

Giu memperlihatkan isi chatnya dengan Pak Alwi di layar ponsel gadis itu. "Pak Alwi nyuruh gue buat ke ruangannya, katanya kedua orang tua Arabella mau ngomong sama gue. It's that okay, Putra? Gue jadi takut mereka nuntut yang macem-macem ke gue. Lo tau kan, gue nggak salah?" Giu jadi panik sekarang.

Putra menepuk-nepuk kedua pundak Giu. "Hey, it's okay. Lo inget kan, apa kata Jaja, Jordan sama Marsha? Semua orang ada di sisi lo sekarang. Don't be afraid, Gi."

"Tapi kalau mereka beneran nuntut gue yang aneh-aneh gimana? Kita nggak ada bukti buat kasih tau mereka kalau gue nggak salah."

"Lo harus lebih kuat, jangan terintimidasi. Pasang muka setegar mungkin dan yakinin mereka kalau lo bener-bener nggak salah," saran Putra sambil ikut berdiri dan berjalan bersamaan dengan Giu keluar dari ruang perpustakaan.

"Gua yakin lo bisa, Gi. Lo udah banyak dapet fitnah model ginian kan di media sosial? Dan gua tau lo bisa ngatasin semua itu dengan baik. Sekarang sama aja, Gi. Lo hanya perlu ngelakuin apa yang biasa lo lakuin di media sosial. Bersikap cuek dan bikin mereka semua yakin kalau lo sama sekali nggak takut dengan omongan-omongan orang kayak mereka."

Giu menatap Putra dengan tatapan yakin sekarang. Gadis itu menggosokkan kedua tangannya untuk meredam cemas. Selama ini, permasalahan apapun selalu Giu urus dengan sang manager. Dan baru kali ini gadis itu bertemu dengan biang masalah sendirian. Ya, Giu harus menghadapi mereka sendirian sekarang.

"Gue bisa kan, Put?"

Putra mengangguk mantap. "Lo bisa. Lo pasti bisa. Kuncinya jangan mudah terintimidasi. Jadi diri lo sendiri yang bodoamat sama omongan orang. Selalu ingat kalau gua, Agas, Nathan, sama Sera bakal bantu lo untuk cari bukti. You got it?"

Giu mengangguk. "I got it."

"Okay, gua anter lo ke ruangan Pak Alwi dan tunggu lo di luar ruangannya. Semangat!"

****

Setelah mengetuk pintu ruangan itu beberapa kali, Giu masuk ke dalamnya tanpa ragu. Gadis itu berjalan menghampiri Pak Alwi, menunduk kepada kedua orang tua Arabella untuk memberi hormat. Pak Alwi mempersilakan Giu untuk duduk di sana.

Giu melihat wajah kedua orang tua Arabella yang sempat terkejut melihat kedatangannya. Tentu saja, mereka pasti tahu Giu seterkenal apa. Dan mereka tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut itu.

Tapi setelah melihat muka Arabella, Giu jadi semakin kesal pada gadis itu. Menyesal telah bermain-main dengan Arabella? Tentu saja tidak. Giu malah makin ingin membuat gadis itu kapok apapun caranya.

"Jadi bagaimana, Pak? Tolong beri hukuman yang setimpal untuk pencuri perhiasan seperti anak ini," ujar lelaki paruh baya yang bisa Giu prediksi itu adalah Ayah dari Arabella.

Giu terkekeh kecil. Tapi sukses membuat seluruh orang yang ada di sana menatapnya. "Tidak sopan sekali kamu malah tertawa seperti itu," seru wanita di sebelahnya, itu Ibu dari Arabella.

"Maaf Tante, Om, tapi apa kalian yakin saya yang mencuri perhiasan Arabella?"

"Bukannya sudah terbukti bahwa perhiasan anak saya ada di loker milik kamu? Lalu siapa lagi kalau bukan kamu? Buktinya sudah jelas kan?" Wanita itu kembali berseru.

Giu sedikit menggumam pelan. "Hmm, di era modern seperti ini, bukankah sudah banyak macam fitnah modelan begini? Saya hanya membela diri karena demi apapun, saya tidak pernah melakukan hal itu. Jadi hanya ada satu kemungkinan, saya dijebak oleh seseorang," jelas Giu.

"Ohh jadi kamu menuduh Arabella menaruh kotak perhiasannya sendiri di dalam loker milikmu?" kini pria paruh baya tadi yang angkat bicara.

Giu mengerutkan alisnya. "Saya tidak bilang seperti itu? Mengapa Bapak punya asumsi seperti itu?"

Telak sekali. Setelah Giu mengutarakan pertanyaannya, kedua orang tua Arabella tak dapat berbicara apapun lagi. Kini Arabella yang terlihat makin tak suka dengan Giu.

"Giu .... kamu boleh benci sama aku. Tapi nggak gini caranya, Gi. Kamu curi perhiasan yang Papa beli sebagai hadiah ulang tahun aku, kamu jahat banget, Gi. Padahal aku udah anggep kamu sebagai temen aku sendiri. Kamu udah kayak sahabat aku, Gi. Tapi kamu tega banget sama aku ...."

Sial. Arabella memulai drama andalannya. Menyebalkan sekali karena Giu melihat betapa gilanya gadis itu sendiri di sini. Kalau Ragas atau Putra melihatnya juga, sudah bisa dipastikan Arabella habis di tangan mereka.

Arabella mulai mengeluarkan sandiwara kecilnya saat berbicara dengan Pak Alwi dan kedua orang tuanya dengan mimik lembut. Giu hanya bisa melihat semua itu dengan gelengan kepala dan bulu kuduk yang meremang.

Rasanya Giu ingin merekam semua akting Arabella itu dengan ponsel dan mengirimkannya ke salah satu perusahaan sinetron. Bahkan Giu sudah bisa memastikan setelah ini Arabella akan masuk jurusan perfilman di perguruan tinggi karena bakat aktingnya yang sudah sangat mumpuni itu.

Gila. Giu merasakan Arabella adalah tokoh antagonis dalam ceritanya. Sungguh sandiwara yang diperankannya seakan bisa menyihir kedua orang tuanya yang kelewat bodoh itu.

"Lihat Giudith ... seberapa baiknya anak saya ini. Kenapa kamu malah memanfaatkannya bahkan kamu memfitnah Arabella juga sekarang. Dimana hati dan nurani kamu sebagai manusia?"

Nah, kan. Kedua orang tua Arabella bahkan tenggelam dalam sandiwara yang anak mereka buat sendiri. Kalau boleh Giu berbuat apapun saat ini, Giu pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan sinetron di hadapannya ini.

Kini Giu hanya bisa mengulum bibir untuk menahan tawa dan memutar otak secepat mungkin untuk membalas perkataan Ibu dari Arabella itu.

"Begini, Tante ... secara logika, kalau memang benar saya yang mencuri perhiasan Arabella, untuk apa saya melakukannya? Benci? Saya bukan orang yang pendendam. Jika saya memang benci kepada Arabella, maka saya akan berbicara langsung kepadanya. Bukan menunjukkannya dengan cara kotor seperti ini."

Percakapan mereka masih terus berlanjut. Giu selalu punya solusi untuk setiap pertanyaan, juga mengimbangi perkataan Arabella dan kedua orang tuanya. Tak ada yang mengalah di sini, Pak Alwi akhirnya menyuruh Giu untuk diam.

"Begini saja, Pak. Kalau memang anak ini tidak mau mengaku juga, kami bisa melaporkannya ke pihak berwajib. Jangan main-main kamu, saya punya banyak relasi di kepolisian untuk ini," tegas pria paruh baya itu.

Giu jadi sedikit menciut sekarang. Bukan, bukannya Giu takut masuk polisi. Giu juga punya banyak kenalan pengacara untuk membantunya, dan ia pasti akan dibantu dengan manager dan beberapa timnya. Tapi Giu takut jika hal itu terjadi, maka nama baiknya akan tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.

Dan yang paling Giu takuti adalah ... Mom dan Dad nya tahu tentang ini.

Giu takut kedua orang tuanya kepikiran akan hal ini. Karena baru masuk semester dua, Giu sudah membuat masalah saja. Giu tak ingin merepotkan kedua orang tuanya di sana. Dan Giu masih ingin menjaga nama baik keluarganya.

Melihat Giu diam saja, Arabella dan kedua orang tuanya merasa menang. Mereka kembali mencecar Pak Alwi dengan berbagai hasutan.

"Baik Pak, Bu, begini ... kita tunggu keputusan dari pihak sekolah dulu seperti apa. Sebentar lagi Pak Sobri sebagai guru kesiswaan akan datang ke sini. Beliau akan memberi tahu keputusan yang telah pihak sekolah tetapkan untuk masalah ini," kata Pak Alwi berusaha menenangkan kedua belah pihak.

Giu sudah tak peduli dengan apa hukuman yang akan diterimanya. Kini pikirannya sudah berkelana ke arah yang lain. Giu jadi malah memikirkan Mom dan Dad-nya di sana. Giu benar-benar takut mengecewakaan mereka berdua.

Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana caranya agar Mom dan Dad tak tahu masalahnya yang sekarang ini. Bagaimana caranya menutupi semuanya dari mereka. Itu yang ada di pikiran Giu saat ini.

Tak lama kemudian, pintu ruang guru terbuka dan ruangan Pak Alwi pun dimasuki seseorang. Pak Sobri, guru kesiswaan itu bersalaman dengan Pak Alwi dan kedua orang tua Arabella.

Giu menatapnya penuh harap, tapi juga kepasrahan sudah ia jatuhkan. Pak Sobri membuka map merah berisi keputusan pihak sekolah tentang masalah ini. Menyodorkan map itu kepada Pak Alwi.

Keputusan itu dibacakan tepat di hadapan Giu. Dan setelah mendengarnya, Giu hanya bisa menghela napas pasrah. Seperti apa yang Putra katakan sebelumnya, Giu harus ingat bahwa teman-teman phoenix akan membantunya mencari bukti dan jalan keluar untuk masalah ini.

Giu tak perlu sekhawatir itu, 'kan?


****


"Gue diskors selama dua minggu."

Rasanya dada mereka tiba-tiba terasa tercekat sedetik mendengar itu. Hukuman skors dari pihak sekolah untuk Giu tak sebanding dengan apa yang pihak sekolah berikan untuk Arabella. Gadis ular itu, bahkan tak mendapat hukuman seberat Giu padahal masalah yang ia perbuat sama parahnya.

Oh dan tentu saja, Giu tak bersalah di sini. Belum, sampai mereka menemukan bukti kuat untuk membersihkan kembali nama baik Giu di sekolah.

"Beneran, Gi?"
"Sumpah ya sialan gua nggak percaya banget."
"Ini pasti ada apa-apanya nih."

Anak kelas mulai kembali melontarkan pemikiran-pemikiran mereka. Alpha Centauri ramai dengan celotehan mereka sekelas hari ini. Bel pulang sekolah sudah dibunyikan tepat sepuluh menit yang lalu, saat Giu dan Putra dengan gontai memasuki ruang kelas.

"Tapi lo beneran nggak ngelakuin itu kan, Gi?" tiba-tiba saja Jordan bertanya seperti itu.

Lalu pukulan keras di kepalanya datang dari tangan Jaja. "Woy bodoh! Giu aja tajir melintir mana mungkin dia ngelakuin itu!" serunya.

"Gila lo Jordan kalau lo nggak percaya Giu," sahut yang lain.

"GUA PERCAYA!!" Jordan berteriak. "Makanya gua nanya lagi buat memastikan. Yakali gua ada di sisi Arabella si ular sawah itu," ujarnya sembari bergidik ngeri sendiri. Yang lain jadi tertawa mendengar penuturan Jordan.

"Pokoknya kalau ada hal apapun yang mencurigakan, tolong lapor ke gua atau Sera ya guys. Mulai hari ini sebisa mungkin gua sama anak phoenix yang lain bakal cari bukti kuat untuk Giu," ucap Putra memperingatkan teman-teman kelasnya.

Mereka semua langsung mengangguk mengerti. "Iya, kita sama-sama bantu Giu ungkap kebenarannya," kata Sera angkat bicara.

"Siap ketua."
"Aman, Ser."
"Oke paham."

Giu terharu melihat teman-teman sekelasnya berada di pihaknya. Giu sangat ingin memeluk mereka semua sekarang. Rasanya Giu seperti punya keluarga baru di sini. Alpha Centauri benar-benar semakin keren di mata gadis itu.

"Jadi mulai besok lo nggak sekolah, Gi?" Ragas bertanya untuk memastikan.

Giu mengangguk saja. "Iya. Sampai dua minggu ke depan," jawabnya sedikit sedih mengingat dirinya tak akan bisa belajar bersama teman-temannya mulai hari esok.

"Nggak apa-apa. Cuma dua minggu," celetuk Putra.

Giu mendelik. "Dua minggu itu empat belas hari, tiga ratus tiga puluh enam jam, dua puluh ribu seratus enam puluh menit, dan satu juta dua ratus sembilan ribu enam ratus detik. Dan selama itu, gue harus berdiam diri di rumah tanpa ketemu sama kalian." Giu menghela napas lemas. "Bahkan gue harus belajar sendiri juga."

Mendengar penuturan Giu, semua teman-temannya mengerjap dan berakhir saling pandang. Sempat-sempatnya Giu membicarakan seberapa lama dirinya akan tinggal di dalam rumah mulai esok ketika mereka sedang sama-sama bingung harus apa.

"Orang waras mana yang hafal satu jam itu berapa detik?" bisik Ezekiel pada Alma.

Alma mengangkat bahu saja. "Satu jam itu kan tiga ribu enam ratus detik, tinggal dikali aja sama dua puluh empat jam dalam sehari, terus dikali lagi sama jumlah harinya," jawab Alma dengan bisikan juga.

"Berapa jawabannya?" Abra ikut-ikutan berbisik pada mereka.

"Cuma Giu yang bisa ngitung gituan," celetuk Desy yang mendengar percakapan mereka dari belakang. Keempatnya terkekeh kompak. Mengangkat jempol untuk kejeniusan berhitung Giu yang cukup cepat.

"Lo bisa liat semua tugas ke gua, Gi," ujar Nathan tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka.

"Gue juga bakal rangkum semua materi di sekolah buat lo," imbuh Sera.

"Gua bakal usut masalah ini!" seru Ragas penuh tekad. Putra mengajak teman lelakinya itu untuk ber-high five. "Gua juga!" katanya.

Giu tersenyum lebar. Lihat, Giu tak perlu sekhawatir itu. Teman-temannya akan selalu ada untuknya. Giu hanya perlu berdoa semoga Tuhan segera membalikkan keadaan.

Dan sampai hari itu tiba, sampai dimana Giu mendapatkan bukti untuk ia tunjukkan kepada Arabella dan pihak sekolah, Giu ingin semua masalah ini cukup untuk diketahui satu sekolah saja.

Giu masih berharap, kedua orang tuanya di sana tak mengetahui hal ini.

"Makasih yaa, gue jadi cengeng deh sekarang." Giu mengusap air mata yang terjatuh di pipi kanannya. Membuat seluruh teman-teman perempuannya mendekat untuk memeluk gadis itu.

Nathan mencengkeram pulpen yang ia pegang dari tadi. Menggertakkan rahangnya kuat-kuat sebelum pulpen itu ia jatuhkan begitu saja ke lantai kelas. Nathan kesal, Nathan bingung, Nathan marah, tapi Nathan tak tahu harus apa.

Nathan merasa gagal dan ingkar pada janjinya sendiri untuk menjaga teman-temannya dari orang jahat seperti Arabella. Kini, korban Arabella selanjutnya adalah Giu. Lagi dan lagi Arabella mengincar teman dekatnya.

Ragas, Sera, Putra. Sudah berapa kali Arabella mengganggu ketenangan Nathan dan mereka semua. Ini semua karena dirinya, ini semua karena Nathan yang membiarkan Arabella dengan mudah masuk ke kehidupan mereka begitu saja.

Ini semua karena waktu itu Nathan membantu Arabella membayar belanjaannya di minimarket, lalu Arabella tiba-tiba jatuh cinta padanya, dan seenaknya bergabung ke Alpha Centauri untuk mendekati Nathan.

Nathan semakin merasa bersalah dibuatnya.

Maka, lelaki yang hanya diam saja dari awal itu kini beranjak berdiri. Teman-teman perempuan yang tadinya masih saling berpelukan itu akhirnya terdistraksi. Mereka semua menatap Nathan bersamaan.

Pikiran Nathan sudah berkelana ke satu tempat. Tempat dimana ia dapat memastikan biang dari masalah ini akan berbicara jujur. Arabella, satu-satunya orang yang akan Nathan temui sekarang. Nathan akan menghampiri gadis ular itu ke kelasnya sekarang juga.

"Nathan mau kemana?!" Sera berseru saat tubuh Nathan hampir melewati pintu kelas.

"Toilet!" jawab Nathan, berbohong.


****


Persetan dengan omongan orang, Nathan mungkin sudah gila. Cowok itu berdiri di depan kelas Canopus untuk menunggu Arabella sekarang. Beberapa detik yang lalu, Nathan menyuruh teman sekelas Arabella untuk memanggil gadis itu keluar.

Nathan sempat mendapat tatapan tajam dari anak-anak kelas Canopus mengingat Nathan adalah bagian dari kelas Alpha Centauri, yang mana pernah menjadi musuh kelas Canopus waktu itu.

"WOY BELLA! ADA YANG CARIIN LU NIH!"

Nathan menyandarkan tubuhnya ke dinding kelas. Tak lama setelah itu, Arabella keluar dari kelas dengan wajah sumringahnya. Gadis itu mengangkat tangan dan melambai-lambaikannya di depan Nathan plus senyuman cerah di wajahnya.

"Haloo Nathan! Lo pasti kangen kan sama gue makanya lo samperin gue ke sini? Yahh, sayang banget kita udah nggak sekelas lagi."

Huh. Kalau bukan ingin melabrak gadis itu, Nathan juga ogah menghampirinya ke sini. "Lo tau nggak kenapa lo nggak bisa duduk di kelas gua lagi?" tanya Nathan.

Arabella terlihat sok berpikir. "Karena lo jebak gue kan di kafe waktu itu? Lo rekam semua pembicaraan gue dan lo kirim rekaman itu ke pihak sekolah buat usir gue dari kelas lo. Lo jenius, Nathan. Gue selalu suka semua cara lo," katanya sambil mengulurkan tangan, berharap Nathan membalas uluran tangannya dan mereka berjabat tangan.

Tapi seperti yang kalian harapkan, Nathan tak mungkin membalas uluran tangan itu.

"Apa yang lo suka dari gua, Bell?"

Arabella menarik kembali tangannya. "Hmm, udah gue bilang kan kalau gue suka semua cara lo? Jadi, gue juga bisa ngelakuin apapun cara supaya gue bisa dapetin lo. Meskipun caranya emang licik— ah engga deh. Cara yang gue lakuin sama jeniusnya dengan cara yang lo lakuin kan?"

Nathan benar-benar tak habis pikir dengan gadis di hadapannya ini.

"Gue suka sama lo, Nath," aku Arabella lagi.

Nathan menggeleng. "nggak, lo bukan suka sama gua, tapi lo obses, Bell."

"Yaa, gue penasaran sama lo. Gue mau tau lo orangnya kayak gimana. Makanya ayo pacaran sama gue biar gue nggak penasaran lagi!"

Nathan mengernyit saat Arabella mulai menyentuh lengannya. Cowok itu menghempaskan tangan Arabella kasar. "Lo gila Bell, lo punya gangguan jiwa. Mending lo pergi ke rumah sakit buat mastiin itu."

"You're right, Nathan. Gue emang gila. Gue tergila-gila sama lo," ucap gadis ular itu masih saja mencoba mengambil hati Nathan padahal Nathan sudah berkali-kali membuatnya terjatuh.

"Touch some grass, Bell. Karena lo lebih ular daripada ular itu sendiri."


****


Ini hari pertama Giu mengambil cuti skors sekolah. Karenanya, Putra punya ide untuk menghampiri Giu ke rumahnya, tentunya dengan anak phoenix yang lain. Maka, setelah usai kegiatan belajar mengajar di sekolah, keempat anak phoenix itu sama-sama berjalan ke parkiran.

"Kita beliin Giu susu pisang dulu kali ya ke minimarket?" usul Sera.

Nathan, Putra, dan Ragas setuju saja. Mereka masuk ke mobil Nathan dan mulai berjalan meninggalkan area sekolah. Sebelumnya mereka sudah memberi tahu Giu perihal mereka akan mendatangi rumahnya hari ini.

Tentu saja Giu senang karena dia sangat bosan berada di rumah sendiri, belajar sendiri, bahkan mengerjakan tugas sendiri.

Setelah membeli susu pisang kesukaan Giu, mereka berempat kembali menyusuri jalan raya menuju rumah kediaman Giu. Rumah besar itu sudah menjadi markas afdhalnya mereka berlima. Karena setiap liburan, mereka tak pernah absen untuk bermain dan berkumpul di rumah Giu.

Giu tersenyum lebar melihat keempat temannya datang. Gadis itu langsung menyuruh mereka duduk di sana. Suguhan minuman dan beberapa camilan sudah tersedia di meja besar dekat sofa itu. Seolah tahu akan ada orang yang datang.
"Giuuuu!!"
"Seraaaa!!"
Kedua gadis remaja itu langsung berpelukan ketika bertemu. Nathan menyerahkan seplastik susu pisang untuk Giu dan gadis itu terlihat senang ketika menerimanya.
Agenda main mereka kali ini sungguh berbeda. Biasanya mereka akan berbicara banyak hal tentang apapun kejadian yang ada di bumi. Lalu tertawa bersama.
Tapi hari ini, Putra, Sera, Nathan, dan Ragas hanya menyandarkan tubuh mereka pada sofa. Tanpa ada yang berbicara apapun. Giu paham. Teman-temannya pasti kepikiran dengan adanya masalah ini. Dan jujur, Giu sendiri pun tidak dapat melupakannya.
Brakk!
Nathan sedikit menendang kaki meja dihadapannya. Itu sukses membuat yang lain melihat padanya.
"Semuanya mungkin salah gua."
Ya, Nathan berbicara seperti itu. Putra dan yang lain masih menatapnya. Mereka menunggu kalimat Nathan selanjutnya.
"Semenjak Arabella dateng ke kelas, lo semua tau kan motifnya apa? Buat deketin gua. Dan gua jelas jauhin dia. Semenjak itu, dia jadi ganggu anak kelas. Kamera Agas pecah, nilai Sera dimanipulasi, bahkan sekarang Giu difitnah."
Nathan mengangkat kepalanya. Menatap teman-temannya satu persatu. "ini semua salah gua kan?"
Giu dan Sera refleks menggeleng kuat. "kenapa lo bisa mikir gitu? Justru disini lo juga korbannya. Lo juga ikut diganggu Bella," kata Giu.
Sera mengangguk. "iya, lo bukan masalahnya disini. Lo juga korban."
Ragas dan Putra menunduk saja. Enggan memberikan pendapat mereka tentang ini. Keduanya tahu perasaan Nathan pasti sedang campur aduk sekarang. Nathan pasti merasa ini semua mungkin salahnya karena telah membiarkan Arabella masuk ke kehidupan mereka.
Tapi Ragas dan Putra tak bisa menyalahkan Nathan karena mau bagaimanapun, dan mau dilihat dari sisi manapun, Nathan memang tak bersalah.
Hanya saja .... Arabella adalah lawan yang cukup licik untuk mereka hadapi.
Atmosfer di rumah Giu semakin menegang dan beku setelah percakapan terakhir mereka itu. Giu berdecak lirih. "Udah yuk, gue mau kalian kesini bukan buat bicarain cewek itu lagi. Kita nonton film aja gimana?" usulnya.
Ragas mendongak. "BOLJUG ALIAS BOLEH JUGA!" serunya memecah kebekuan di antara mereka.
Giu terkekeh. Mulai berdiri dan mengajak mereka semua ke ruang bioskop mini miliknya. Giu sempat menyuruh para pelayan di rumahnya untuk mempersiapkan proyektor dan ruangan itu tadi.
Kelima anak phoenix itu masuk ke dalam setelah semuanya telah disiapkan. Giu duduk di antara Putra dan Sera. "Sera," panggil Giu.
Sera menoleh saat sedang melihat-lihat daftar film yang sekiranya cocok mereka tonton hari ini. "Kenapa?"
"Congratulations! Golden pin lo balik, kan?"
Sera tersenyum kecut saat mendengar pertanyaan itu. Memang golden pinnya sudah balik, tapi rasanya aneh bahagia disaat sahabat perempuannya ini merasa sedih.
"Iya, tapi forget about that. Masalah lo kali ini harus cepet-cepet diselesaiin. Lo nggak boleh di sini terus, kita pasti bakal bantu lo juga buat selesaiin masalah ini," kata Sera.
Giu tahu dan Giu yakin teman-temannya bisa diandalkan. Maka Giu tersenyum manis dan memeluk tubuh Sera saja setelahnya.
"Nonton happiness aja!" seru Ragas akhirnya dari kursi belakang.
Giu menoleh. "Boleh! Let's gooo!" katanya sebelum mulai menyalakan drama Korea populer itu di layar besar ruang bioskop mininya.
Baru setengah episode diputar, suara ketukkan pintu terdengar. Mereka berlima sempat terdistraksi karenanya, tapi Giu buru-buru menyuruh orang di luar untuk masuk.
Itu Mbak Uci, manager Giu. Mbak Uci langsung menghampiri Giu dengan iPad di tangannya. Wajahnya sedikit panik, tapi tertutup oleh gelapnya ruangan ini. Giu tahu ada yang tidak beres karena gerak-gerik Mbak Uci yang tak biasa.
"Ada apa, Mbak?" bisik Giu karena teman-temannya memutuskan untuk lanjut menonton dan tak mau terlaku kepo urusan gadis itu dengan sang manager.
"Berita tentang skandal pencurian itu sudah menyebar sampai ke stasiun televisi. Dan Tuan William sudah berkali-kali menelepon Mbak. Should i answer the call?"
Dan saat itu juga, tubuh Giu melemas. Matanya terpejam kuat dan otaknya berpikir keras. Kemudian setelah mendapatkan jawaban, Giu kembali memuka matanya.
"Jawab panggilan Dad dan beri tahu dia kalau aku baik-baik aja di sini. Tolong, jangan biarkan Dad sama Mom tahu yang sebenarnya."

Continue Reading

You'll Also Like

46.4K 1K 53
not you're average mafia brothers and sister story.. This is the story of Natasha Clark, an assassin, mafia boss, and most of all the long lost siste...
3.7M 86.7K 141
Soon to be Published under GSM Darlene isn't a typical high school student. She always gets in trouble in her previous School in her grandmother's pr...
41.7K 2.9K 24
|ongoing| Ivana grew up alone. She was alone since the day she was born and she was sure she would also die alone. Without anyone by her side she str...
4.1M 88.1K 62
•[COMPLETED]• Book-1 of Costello series. Valentina is a free spirited bubbly girl who can sometimes be very annoyingly kind and sometimes just.. anno...