Hanna

By luckybbgrl

1.5M 106K 2.2K

18+ Kayla tidak tahu, bagaimana bisa prolog yang ia baca dengan yang teman-temannya baca dari salah satu web... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas🔞
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua

dua puluh

43.8K 3K 72
By luckybbgrl

Ketegangan kedelapan remaja yang tengah berdiri di ruang 'Ruby 5' buyar ketika sosok dokter dengan perawat berjalan mendekat.

"Permisi," dokter tersebut meminta jalan untuk masuk ke dalam ruang rawat.

Tentunya atensi kedelapan remaja itu beralih ke sosok tersebut. Dengan pasti, kedelapannya menyingkir, memberi jalan.

Dokter tersebut masuk, diikuti dengan perawat di belakangnya. Tak luput pergerakan dua sosok berpakaian putih itu menuai seluruh atensi manusia di sana.

Penasaran dengan apa yang terjadi, Regan mengintip dari kaca pintu yang transparan.

Di dalam sana Bunda dan Ayahnya tengah berdiri di samping ranjang Hanna. Memperhatikan dokter yang tengah memeriksa Hanna.

Hanna sudah sadar.

Dengan cepat, Regan membuka pintu dan masuk begitu saja. Sosok yang lain yang melihat itu saling pandang.

Bingung harus masuk atau menunggu di luar.

Regan mendekat ke arah ranjang, menatap lekat Hanna yang kepalanya dibalut oleh kasa.

Gadis itu memperhatikan sekelilingnya, raut kekecewaan tersirat di sana entah merasa kecewa karena apa.

Dokter menjauhkan bell stetoskopnya dari dada Hanna, dilepaskannya pula earpieces dan membiarkan stetoskopnya bergantung di lehernya.

"Kabar baik, Mbak Hanna kondisinya sudah jauh lebih membaik. Tapi, dianjurkan untuk tetap dirawat jalan untuk memantau kondisi Mbak Hanna. Nanti akan diperbolehkan pulang jika kondisinya sudah stabil," dokter dengan name tag 'Zalia' itu menjelaskan kondisi Hanna dengan senyuman manis.

Chika dan Bima yang mendengar kabar tersebut ikut merasa lega. Begitu juga Regan yang masih setia memperhatikan Hanna.

"Ada yang ditanyakan, Pak, Bu?" Dokter Zalia kembali buka suara.

"Cukup, Dok," jawaban itu mengundang anggukan paham dari wanita bergelar dokter di sana.

Pandangan mata Dokter Zalia beralih pada Hanna yang tampak kacau.

"Jangan lupa dimakan ya makan malamnya. Minum obatnya juga, supaya sakit kepalanya reda," Hanna yang merasa diajak bicara menoleh, kemudian mengangguk paham dengan senyum terpaksa.

Setelahnya, Dokter Zalia dan perawat yang sedari tadi mendampingi pamit undur diri.

Tak berselang lama ketika Dokter Zalia keluar, teman-teman sekelas Hanna yang berada di luar ruangan masuk.

Ketujuhnya mendekat dan mencium tangan Chika serta Bima yang mereka tahu adalah orang tua Regan.

"Udah dari tadi?" tanya Chika saat tersisa Adelio yang hendak mencium tangannya.

"Enggak kok, Tan. Baru aja," Chika mengangguk paham mendengarnya.

Ketujuh anak remaja itu akhirnya duduk pada sofa yang ada di pojok ruangan. Bima ikut duduk di sana, menemani teman-teman anaknya yang datang menjenguk.

"Sayang, kamu makan dulu ya?" Chika menatap khawatir Hanna yang tampak masih pucat. Gelengan didapatkan sebagai jawaban.

"Makan dikit aja, ya? Habis itu minum obat, biar kepala kamu gak sakit. Ya?" Hanna menatap lekat Chika, bibirnya mengkerut menahan perasaan campur aduk di dalam sana.

Bagaimana bisa ia kembali pada tubuh Hanna lagi? Ia ingat betul, beberapa saat yang lalu ia kembali di tubuhnya sendiri, tubuh Kayla.

Kenapa sekarang kembali lagi pada tubuh Hanna?

Ia baru sebentar melihat wajah Mamanya, Kakaknya, bahkan hanya beberapa detik melihat wajah Papanya sebelum ia merasakan tubuhnya kejang.

Sudah ia katakan, ia tidak peduli jika saja tubuh Hanna ini mati. Yang jelas, ia bisa tetap hidup di tubuh Kayla.

Hanna hanyalah tubuh tokoh fiksi yang tidak beruntung.

Apa ia harus membunuh tubuh Hanna dulu supaya benar-benar bisa kembali pada tubuhnya sendiri?

Astaga, apa coba yang ia pikirkan?

Hanna menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya pelan.

Sekali lagi, gadis itu menggeleng sebagai jawaban.

"Mama sama Papa kemana, Bun?" Hanna dengan suara paraunya bertanya sembari menatap Chika. Sedangkan sosok yang ditatap tampak sedikit terkejut, kemudian menoleh dan saling tatap dengan Regan.

"Mama sama Papa kamu lagi keluar kota, Sayang. Sama Bunda dulu, ya? Ada Ayah juga kok, lagi nemenin temen-temen kamu yang ngejenguk itu. Ada Regan juga, kamu gak sendiri. Gapapa ya?" Chika menatap sendu calon menantunya, bertanya-tanya bagaimana sakitnya hati gadis itu mengetahui orang tuanya tidak datang ketika ia masuk rumah sakit.

Hanna diam mendengar jawaban itu, hatinya sedikit sakit.

Tapi, mau bagaimana lagi? Jika memang orang tuanya sedang ada di luar kota untuk bisnis atau apalah itu. Memangnya dia bisa apa?

"Bun, Hanna pusing," Hanna melirih merasakan kepalanya sedikit berdenyut.

"Makan dulu aja, ya? Habis itu minum obat terus tidur. Biar gak sakit kepalanya,"  Hanna akhirnya mengangguk, tidak tega melihat Chika yang terus membujuknya untuk makan.

Chika tersenyum lebar, tangannya bergerak mengatur kasur yang ditempati Hanna agar bagian atasnya sedikit naik.

Regan mengatur meja kecil khusus tempat makan di depan Hanna yang sudha setengah duduk. Kemudian membawa nampan berisi piring dengan nasi tim, mangkok kecil berisi sup tahu telur, dan juga gelas berisi air putih.

"Biar Regan aja, Bun," Chika yang hendak meraih sendok untuk menyuapi Hanna, mengurungkan niatnya. Membiarkan putranya yang membantu Hanna makan serta minum obat.

Dalam diam, Regan menyuapi gadis yang tampak masih begitu pucat. Dengan lemas, Hanna juga menerimanya.

Chika hanya memperhatikan Regan dan Hanna yang juga kini sudah seperti anaknya sendiri dengan senyuman lega.

Walau batinnya sedikit nyeri memikirkan betapa menyedihkannya takdir Hanna, Chika tetap merasa lega melihat Regan bisa memperlakukan gadis itu dengan baik.

Ia tidak pernah menyangka, putra sulungnya yang manja bisa selembut ini ketika berhadapan dengan orang lain.

Regan adalah anak pertamanya dengan Bima. Hampir 13 tahun anaknya itu hidup sebagai anak tunggal, baru ketika ia berada di bangku SMP, ia memiliki seorang adik.

Adiknya juga laki-laki, tapi entah mengapa anak bungsunya itu lebih menempel pada Eyang dan Utinya ketimbang dengannya dan juga Bima yang merupakan orang tuanya.

Hidup sebagai anak tunggal cukup lama membuat Regan hidup dengan segala hal yang diinginkannya otomatis menjadi miliknya.

Keberadaan adiknya memang tak mengubah banyak, tapi beberapa hal yang tadinya bisa selalu ia dapatkan dengan mudah, kini akhirnya mulai sulit.

Membuat sisi ambisius Regan ketika ingin mendapatkan sesuatu membumbung tinggi. Begitupun ketika ia bertemu dengan Hanna.

Setidaknya, itu yang bisa Chika lihat dan tangkap hingga saat ini.

Ia hanya berharap, sisinya yang itu tidak membuat anak sulungnya bersikap menyimpang dan malah menyakiti Hanna.

Hidup gadis itu sudah cukup menyakitkan.

Chika memegang pundak Regan. Sedikit membungkuk mendekatkan bibirnya pada telinga sang anak.

"Dua anak itu siapa, Kak? Bunda kayak baru liat," Chika berbisik pada anaknya yang masih setia menyuapi Hanna.

"Anak IPS, yang cowok yang bikin Hanna kayak gini," balas Regan yang juga melirik ke arah sofa dimana teman-temannya duduk.

"Hus, gak boleh gitu. Bunda yakin dia gak sengaja," Chika menepuk pelan pundak anaknya ketika merasa ucapan anaknya terlalu negatif.

"Tetep aja, Hanna jadi kayak gini gara-gara dia," Regan mendengus, tetap fokus pada makanan dan Hanna di depannya.

Hanna menyimak perkataan dua orang di depannya yang saling berbisik. Matanya memperhatikan Regan yang tengah sibuk menyendok makanan di piring sembari memasang wajah kesal.

Ingatan penggalan memori yang ia lihat sebelum sadarkan diri tiba-tiba terlintas.

Ingatan dimana Regan tampak begitu manja dan bersikap cukup baik padanya ketika mabuk.

Ia berasumsi bahwa itu adalah ingatan milik Hanna asli.

Kenapa?

Kenapa Regan bersikap cukup baik padanya meskipun ketika mabuk?

Bukankah ketika mabuk, sikap atas dasar alam bawah sadarnya yang lebih dominan?

"Enak?" pertanyaan Regan membuat Hanna memfokuskan pandangannya pada Regan.

Kenapa?

Kenapa Regan seperhatian itu padanya?

Kenapa sikap Regan tidak sama dengan yang ada di web-novel?

Kenapa Regan bersikap lebih lembut dibanding bayangannya?

Regan memang cukup cabul untuknya yang tak pernah mengenal hal seperti itu bahkan ketika menjadi Kayla.

Tapi, entah kenapa hal itu tak cukup membuatnya membenci lelaki itu.

Tolong jangan bersikap baik padanya.

Tolong tetap bersikap seperti di web-novel.

Tolong tetap jahat.

Agar ia bisa tetap membenci sosok di depannya ini semaunya.

Ia takut.

Takut jika pada akhirnya ia juga akan jatuh pada Regan karena sikap baik cowok itu.

Ah, tapi membayangkan ia bisa kembali menjadi Kayla jika tetap mati di tangan Regan, menurutnya itu bukan hal buruk.

To be continue...

•••••

cuma bisa bilang hehe

hari ke 3 pkl, akhirnya sy tumbang wkwk
bukan karena kegiatannya, tp karena perjalanannya yg pp 1,5 jam setiap hari:(

Continue Reading

You'll Also Like

217K 11.2K 32
"eh masak mati sih cuman kesedak jajan belum ketemu ayang yoongi elah" batin Aileen. Bukannya ke alam baka menemui kedua orang tuanya Aileen memasu...
1.8M 102K 25
❝Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?❞ ❝Pukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.❞ ©bininya_renmin, 2022
426K 47.2K 44
Karena kesamaan rupa antara gundik yang ditemuinya di rumah bordil dengan Parvis Loine sang tokoh utama wanita sekaligus gadis yang dicintai oleh Ize...
141K 9.9K 68
Seorang penulis mati karena kecelakaan, tapi sungguh sial karena jiwanya merasuki salah satu karakter antagonis di novelnya sendiri. Novel dengan pe...