Putus berbayar

By Lulathana

31.5K 5K 703

Bermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia... More

Perhatian!
Putus Berbayar
1. Mission Accomplished
2. Beauty Privilege
3. Say Sorry
4. Two Brothers
5. New Teacher
6. Notebook
8. Amnesia?
9. Interogasi
10. Target
11. Yang Sebenarnya Terjadi
12. Pelarian
13. Hukuman
14. Intimidasi
15. Benci
16. Janji

7. Introvert

1K 179 21
By Lulathana

Nean menyerahkan buku itu pada Bia. Dia pun hendak melengos pergi, tapi cepat-cepat Bia menahan tangannya. Cewek itu tidak bisa menerima situasi yang jelas tidak biasa ini begitu saja.

"Bia nggak pernah bilang ada PR loh." Tatapan Bia kini terlihat menuntut penjelasan. Kelopak matanya sedikit menyipit dengan fokus sorot yang tinggi.

"Udah bilang 'kan kalo otak jalan, kita bisa nyimpulin tanpa ngelakuin." Tatapan Nean sedikit sayu. Menunjukkan seolah Bia seharusnya tidak bertanya untuk sebuah hal sudah dijelaskan pasti.

Bia menyentuh bibirnya. "A-ayi, tau?"

"Bukannya aneh kalo nggak tau?" Adiknya itu balik bertanya yang membuat Bia membekap mulutnya dengan tatapan semakin tidak menyangka.

"Ayi, i-itu Bia nggak macem-macem sumpah. Bi-bia cuma--"

"Iya ngerti. Ini cuma bisnis." Nean menatap kakaknya itu lembut. "Lain kali hati-hati. Yang lain mungkin nggak bisa nerima." Nean tidak ingin membahas lebih. Dirinya cukup menghargai keputusan Bia menutupi bisnisnya itu. Bia punya alasan. Nean hanya ingin mendukung.

"Ayi ...." Bia menatap Nean dengan bola mata bergetar penuh haru.

"Udah sana masuk." Nean memutar tubuh Bia dan mendorongnya agar masuk ke kamar.

"Kakang gimana?" Bia menahan kakinya. Wajahnya kembali menatap Nean.

"Paling dia ngira Bia cegil yang lagi ngejar cowok."

Bia memasang wajah tidak terima.

"Udah, sana. Nanti diberesin."

Bia pun akhirnya menurut dan masuk ke kamar. Dia menyandarkan punggung pada pintu. Bia menghela napas besar. Antara lega juga cemas. Lega karena Nean menerimanya, cemas karena takutnya Kean semakin penasaran dan malah mencari tahu tentang apa yang dirinya jalani selama ini. Itu bukan situasi yang aman.

Ponsel Bia tiba-tiba berdenting. Cewek itu pun membuka ponselnya sembari berjalan ke arah ranjang. Mendudukkan dirinya di sana dengan mata yang mulai membaca pesan yang masuk.

Isi pesannya tentu saran Kintan tentang Leon untuk besok pagi. Bia membaca sekilas dan tak berniat memberi balasan, karena Bia merasa saran itu tidak cocok digunakan pada Leon. Untuk Leon, Bia harus benar-benar hati-hati.

Sebuah notifikasi kembali muncul. Rupanya ketua kelas yang memasukkan guru baru ke dalam grup kelas. Yang membuat suasana langsung ramai menyambut terutama anak-anak cewek. Bia bisa melihat kompetisi menarik perhatian dari mereka.

Bia sedikit penasaran. Dia pun menyentuh profil dari Zyan. Fotonya tidak neko-neko. Hanya duduk di kafe dengan wajah menghadap jendela yang tengah hujan. Masih muda, ganteng, bagaimana anak cewek kelasnya tidak tertarik?

"Kayaknya beneran nggak asing." Bia mengernyit kecil. Setelah semakin diperhatikan, dirinya mulai kepikiran jika Zyan itu bukan orang asing seperti kata Kintan.

Memang betul Bia sekarang sudah ingat jika cowok itu yang memberikan sapu tangan, bahkan teman dari kakaknya yang punya kemungkinan pernah bertemu, tapi entah mengapa seperti ada sesuatu bahwa ketidakasingan Zyan bukan sekedar hal-hal itu. Ada yang lain, tapi Bia tidak tahu apa.

Bia kehilangan fokus hingga membuat ponselnya pun terjatuh. Dia cukup lega karena benda itu jatuh pada pangkuannya. Sayangnya beberapa detil kemudian dia berubah panik begitu mendapati layar ponselnya menunjukkan tampilan memanggil. Entah tak sengaja terpijit jarinya atau saat jatuh pada pahanya, yang jelas cepat-cepat Bia menekan opsi mengakhiri.

"Teleponnya belum nyampe ke sana 'kan?" tanyanya dengan nada suara yang agak panik. Dalam hati tadi dirinya mengkritik anak-anak cewek di kelasnya begitu caper dengan sambutan-sambutan heboh itu, tapi dirinya justru membuat kesalahan yang jauh bia dianggap caper oleh guru itu.

Mata Bia melotot begitu nomor yang bahkan tidak dirinya simpan itu melakukan panggilan balik.

"Internet makin cepet ya, masa bentaran aja tadi langsung masuk."

Bia menggigit bibirnya. Dia tidak mungkin menolaknya. Salah-salah guru baru itu bisa mengira Bia emang benar cari perhatian. Dengan menarik napas panjang, Bia pun mengangkat panggilan itu.

"Hallo, ini siapa? Ada perlu apa?" Suara berat laki-laki terdengar dari speaker ponsel Bia.

"Bia, Pak. Maaf barusan nggak sengaja kepencet. Nggak ada maksud apa-apa kok, Pak."

"Siapa?"

"Bia."

"Dia?"

"Bia."

"Via?"

Bia menarik napas. "Yihana, Pak."

Hening. Bia tidak tahu kenapa tidak ada balasan lagi dari seberang sana. Bia bahkan mengecek layar ponselnya untuk memastikan jika telepon mereka masih tersambung. Bia mengernyit kecil.

"Pak?" panggilnya dengan hati-hati.

"Ah, ya. Lain kali foto profilnya jangan di-private atau paling nggak kasih nama biar saya tau. Saya kira tadi kolega."

"Hehe ... maaf ya, Pak."

Hening lagi. Bia pun menggaruknya kepalanya. Padahal guru itu bisa membalas iya dan Bia pun bisa menutup teleponnya.

"Yihana?"

"Iya, Pak?"

"Bisa tolong bilangin ke teman-teman kamu buat nggak kirim chat pribadi? Saya terlanjur salah kasih nomor, yang ini dipake buat kerjaan saya yang lain," ucap pria itu tanpa jeda. Suaranya jelas dengan penekanan yang tidak membuat terganggu. Membuat Bia berpikir jika Zyan cocok menjadi voice over. Atau jika Zyan membuka jasa sleep call, dia pasti untung banyak.

"Nanti saya bilangin ketua kelas, Pak."

"Bukannya kamu wakilnya?"

Bia terdiam, cukup terkesima Zyan tahu itu. Pertemuan di kelas baru satu kali, itu pun tidak ada pembahasan mengenai itu. Ya, meskipun itu bukan sesuatu yang khusus juga.

"Saya kurang berpengaruh, Pak. Hehe ...."

"Kamu keberatan?"

Bukan itu. Bia menjawab dalam hati. Perkataan Zyan jelas mengatakan bahwa banyak anak kelasnya yang mengirim pesan dan dipastikan itu bukan anak-anak cowok. Jika Bia yang menyampaikan, Bia pasti akan disalah pahami. Mereka mungkin tidak akan terlalu menerima alasan karena teman kakaknya lagi.

"Na-nanti saya sampaikan, Pak."

"Oke. Terima kasih Yihana."

"Bia aja, Pak."

"Yihana bukan nama yang jelek kok."

"Eu, iya." Bia menggaruk kepalanya. "Saya tutup ya, Pak. Maaf karena udah ganggu."

"Iya."

Bia menekan icon merah. Panggilan pun diakhiri. Bia merebahkan tubuhnya dan menarik napas lega. Zyan juga adalah targetnya, tapi kepala Bia buntu untuk menggaet pria itu. Meski masih muda, Bia tetap kurang ajar jika menipu gurunya begitu.

08xxx

Oh iya, tolong bilangin, kalau mau konsultasi pelajaran jangan di malam-malam ya.

Haruskah Bia syukuri karena guru itu percaya padanya?

oOo

Bia menggigit-gigit sedotannya sementara bola matanya terus diam-diam mengamati Leon. Cowok itu tengah berbicara dengan teman-temannya yang diselingi tawa sesekali. Firly mengikuti arahan Kintan dengan sok sibuk, hingga kebersamaan pasangan itu sekarang berkurang.

Sadar terus diperhatikan, Leon pada akhirnya melirik ke arah Bia. Dengan senang hati Bia pun menyunggingkan senyuman manisnya. Leon balas tersenyum kecil dan mengangguk.

Dari kacamata Bia, timbal balik Leon sekarang sudah berubah. Bukan seperti teman pada sebelumnya. Meski belum pasti Leon menyukainya, setidaknya cowok itu sudah menangkap sinyalnya. Bia hanya harus semakin berusaha saja.

Maaf ya, Le.

Bia berbalik begitu seseorang menepuk pundaknya.

"Dipanggil Pak Zyan, Bi," ucap cewek yang merupakan teman sekelas Bia. Dia tersenyum, tapi sorot matanya sedikit sinis.

"Cie, yang udah deket aja sama guru baru," tambahnya yang membuat Bia semakin mengerti akan maksud sorot sinis diam-diam itu.

"Kebetulan aja, Pak Zyan introvert, mungkin manggil gue karena masih sungkan sama yang lain." Bia berusaha agar tidak menunjukkan rasa kesalnya. Dia pun segera pergi setelah menepuk-nepuk bahu sebagai ungkapan terima kasih pada temannya itu.

Di perjalanan Bia menghela napas. Melelahkan terus dianggap saingan oleh orang lain sementara dirinya tidak ada sedikit pun niat untuk bersaing. Kalau sudah begini Bia hanya bisa memperbaiki mood dengan menyalahkan guru muda ganteng yang memilih mengajar di sini itu.

"Permisi, Pak."

"Masuk, Yihana," ucap Zyan yang tengah membuat konsep pada lembar kertasnya.

"Bia, Pak," ralat Bia pelan. Setelah beberapa kali, tapi guru itu tetap keras kepala, Bia pun menyerah untuk memberitahu lagi.

"Duduk."

Bia pun dengan patuh duduk pada kursi di seberang pria itu.

"Pak Daus ada acara, jadi pelajaran beliau yang terakhir di kelas kamu di-rolling sama saya."

"Oh iya, Pak," ucap Bia meski dalam hati mengoreksi jika untuk hal seperti ini Zyan bisa mengumunkan sendiri di grup chat. Atau bisa langsung katakan pada orang yang disuruh memanggil Bia tadi.

"Ada lagi, Pak?" tanya Bia sedikit kurang minat.

Zyan tiba-tiba merogoh paperbag lalu menyodorkan kotak mika berisi sunkist jelly.

"Buat kamu."

"Buat saya, Pak?" Bia mengulang untuk memastikan. Meski Zyan berteman dengan Kean, Bia tahu pasti Zyan tidak tahu soal dirinya. Kenapa guru itu bersikap baik begini?

Zyan mengangguk. "Kamu nggak suka?"

"Suka kok, Pak. Waktu kecil ini favorit saya banget. Makasih, Pak." Bia hendak berdiri, tapi suara Zyan kembali menginterupsi.

"Saya pikir kamu bakal dibicarain kalau bawa itu keluar."

Bia mengernyit.

"Maksud saya, orang-orang pasti mikir aneh guru baru seperti saya kasih sesuatu buat kamu."

Bia mengangguk, yang dikatakan Zyan tentu benar.

"Saya juga masih ada yang ingin dibicarakan, kamu ada waktu luang? Maaf sebelumnya saya agak susah berbaur dengan orang baru. Di antara yang lain saya lebih mengenal kamu. Jadi, saya hanya bisa bertanya sama kamu."

Bia mengangguk. "Silahkan aja, Pak."

Zyan tersenyum kecil. "Ngomong-ngomong kamu bisa sambil makan jellynya."

Bia membuka kotak mikanya. Jemarinya mulai mengupas kulit jeruk lalu menggigit jelly berwarna jingga itu. Mata Bia menyipit beriring senyumnya yang tersungging.

Zyan memperhatikan hal itu dengan begitu intens. Mata, bibir, bahkan ketika rahang Bia bergerak karena mengunyah. Semua tidak ada yang terlewat.

"Jadi apa yang Bapak pengen tahu?"

Zyan menunduk dan kembali seolah fokus pada kertasnya lagi.

"Sistem pembelajaran Bu Marwa. Gimana biasanya beliau mengajar?"

Bia terdiam sejenak dengan kening berkerut samar karena berpikir. "Standar aja sih, Pak. Ngikutin yang di modul. Nggak ada metode khusus."

"Tapi nilai kamu menonjol banget di Ekonomi, sementara pelajaran yang lain biasa aja. Jadi saya pikir Bu Marwa punya trik khusus."

Bia tertawa kecil. "Kalau itu karena saya suka sama pelajarannya. Menurut saya Ekonomi paling relevan di kehidupan, dan bisa langsung diaplikasiin. Kebetulan Mama saya punya usaha, jadi udah sering belajar sama Mama juga."

Zyan mengangguk-angguk. Dia pun menatap Bia yang tetap fokus pada makannya. Selama dia bercerita, pandangannya tak sedikit pun mengarah pada Zyan.

"Kamu sesuka itu?"

Bia terdiam. Mata bulatnya menatap Zyan. "Maaf, saya keliatan terlalu bersemangat ya, Pak. Hehe ...."

"Nggak papa, seenggaknya kamu nggak bohong."

Bia mengernyit tidak mengerti. Namun, sebelum lanjut bertanya-tanya, Zyan sudah menyodorkan paperbag tadi ke arahnya.

"Kamu bawa aja, saya kurang suka manis."

"Makasih, Pak." Bia menerimanya dengan senang. Sepertinya seseorang memberi pria itu tapi tak tahu kalau dia tidak suka manis. Harusnya orang itu memberikan pizza, Zyan pasti akan menghabiskannya dengan lahap.

Tunggu, kenapa Bia malah kepikiran pizza? Belum lagi seolah tahu jika Zyan suka itu?

Bia menggeleng-geleng bingung.

"Saya harus nelpon seseorang dulu. Makasih udah bantu, kamu bisa langsung kembali kalau udah beres makannya."

Eh, cuma itu aja? Bia pikir Zyan akan menanyakan banyak hal.

Zyan pun berdiri, dia menyalakan ponselnya. Meskipun sekilas, tapi Bia bisa melihat dengan jelas menu dari aplikasi ojek online yang memberi fitur pesan makanan.

Zyan sendiri yang membeli sunkist jelly itu. Lalu kenapa dia membeli jika tidak suka?

oOo

15 April 2024

Continue Reading

You'll Also Like

171K 22.5K 26
Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah satu gangguan delusi di mana si penderi...
577K 27.5K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
502 76 3
Shanin kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang dirinya punya. Hingga terkuak fakta jika adiknya ternyata bukan murni meninggal karena kecelaka...
887K 66.1K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...