BINTANG FOTOCOPY

By veunder

309 47 7

Bintang harus merelakan masa rehatnya sebagai Fresh Graduate dengan menjadi Abang Fotocopy selama menunggu BU... More

PROLOG

01. Karyawan Baru

84 17 2
By veunder

Bintang memulai hari pertamanya dengan perasaan setengah bingung. Pasalnya ia tidak menyangka bahwa Toko Fotocopy-nya akan seramai ini. Padahal jika biasanya dia ke kampus pasti kebetulan melewati rute depan tokonya dan penampakan yang ia lihat sangat berbanding jauh dengan yang ia saksikan saat ini.

Sudah lebih lima jam ia melayani, hingga akhirnya ia tiba pada pelanggan terakhir.

“Bang, mau fotocopy sekalian jilid lima rangkap. Besok gue ambil jam 4 sore.” ucap salah satu mahasiswa sambil menaruh beberapa lembar berisi makalah yang telah ia dan teman kelompoknya garap semalaman.

“Besok tokonya bakal tutup jam 3 sore.” jawab Bintang sambil mengecek isi dari makalah yang disimpan oleh mahasiswa tadi di atas lemari etalase kaca.

“Loh biasanya kan tutup jam 5 sore, Bang!” protes mahasiswa itu lagi.

“Kan itu biasanya, sekarang peraturannya beda,” balas Bintang lalu berjalan menuju mesin fotocopy, “Kalo mau selesai dengan cepet yaudah lo nunggu aja sampai gue beres ngerjain fotocopy berkas lo.”

Mahasiswa laki-laki itu menatap Bintang dengan tatapan malas, lalu berjalan kasar menuju barisan kursi yang berjejer di ujung ruangan toko. Mau tidak mau ia harus menunggu daripada makalah fotocopy-nya tercecer dan terancam di blacklist oleh dosen killer.

“Bang, mau beli map bening dua!” teriak salah satu mahasiswa baru yang datang.

Bintang menoleh, masih dengan tangan yang sibuk membolak balikkan kertas fotocopy miliknya.

“Habis, adanya map coklat. Mau?” tawarnya.

“Kalo map transparan?” tanya mahasiswa itu lagi.

“Habis, disini sisa map coklat.”

“Kalo map warna warni, ada?” tanyanya untuk kesekian kalinya.

Bintang menatap datar meskipun tangannya sudah sangat ingin melempari mahasiswa ini dengan lembar kertas mahasiswa laki-laki tadi.

“Ngerti kata habis, gak? Kalo gak gue bakal bukain kamus KBBI biar lo paham.” jelasnya.

“Yaudah, mau beli buku aja deh kalo gitu.” permintaan mahasiswa baru itu berganti.

“Buku tipe kayak gimana? Disini ada banyak.”

“Buku tulis deh, Bang.” jawabnya.

“Iya, maksud gue lo mau buku tulis tipe kayak gimana? Mau panjang? Mau bergaris? Mau yang kayak diary apa kayak gimana?” berusaha keras Bintang untuk lebih sabar lagi menghadapi pembeli ribet seperti ini.

“Menurut Abang, bagusan tipe kayak gimana?” mahasiswa itu balik bertanya.

Bintang mematikan mesin fotocopy-nya, mengambil lembaran yang telah tercetak di bawah. Ia menaruh beberapa lembar itu diatas lemari etalase kaca miliknya, dengan suara dentuman karena menahan emosi.

“Bagusan lo cari tempat fotocopy lain.” tukasnya sambil membolak-balik lembaran memastikan tidak ada yang salah halaman.

“Kok ngusir? aku kan mau beli disini, Bang.”

“Masalahnya gue gak mau melayani pembeli gak jelas kayak lo,” Bintang mengibaskan tangannya ke udara, “Udah sana sana, cari yang lain. Gue banyak kerjaan!”

Mahasiswa baru itu mendengus kesal, ia berbalik untuk keluar.

“Untung baik ada yang beli, dasar sombong!” komentarnya sebelum benar-benar meninggalkan toko.

Bintang tidak mau ambil pusing, ia segera menyatukan beberapa lembar hasil fotocopy tadi lalu mengelompokkannya menjadi lima rangkap. Walaupun ia tidak begitu ahli dalam hal men-jilid makalah, tapi untuk kali ini lima jilid telah rampung ia kerjakan.

“Totalnya 46 ribu.” ucap Bintang sambil menyodorkan hasil kerjanya.

“Langsung aja tulis di buku kasbon Ucang ya, Bang!” mahasiswa itu mengambil lima jilid makalah tadi lalu memasukkannya di dalam tasnya.

“Lo kira warung bisa kasbon?! Gak! Gak! Lo harus bayar!” ucap Bintang tidak terima.

“Warung kok, Bang. Warung Mahasiswa, ahahay!” selepas berkata seperti itu, mahasiswa itu kabur menyisakan Bintang yang menatap tidak percaya.

“Bangke!” umpatnya sambil mengacak rambut gondrongnya.

Mata Bintang kembali terarah pada kumpulan mahasiswa yang baru saja memasuki toko, mereka kaget dan kebingungan. Baru juga sampai sudah di maki-maki.

“Apa?! Mau ngutang juga? Kalo mau ngutang mending jauh-jauh dah!”

———

Kelas akan dimulai satu jam lagi sedangkan Winola baru mengetahui bahwa makalah kelompok hasil kerja mereka kemarin harus dirombak total karena adanya kesalahan materi.

“Aduh, kok bisa sih kita kecolongan gini? Terus ini kita bakal print ulang dong?” ucap Nerisa, teman kelompok Winola.

“Materinya kan udah rampung kita milih-milih tadi, sisa kita edit biar rapi,” Winola mengeluarkan kabel data ponselnya, “Kita bagi tugas. Lo rapihin bagian PPT, gue bagian nge-rapihin words dan print makalah. Waktu kita gak banyak, Sa.”

“Yaudah lo pindahin pake hape lo aja, La. Gue lupa bawa flashdisk.” tukas Nerisa.

Winola mengangguk lalu buru-buru memindahkan materi word yang masih berantakan tadi. Persetan dengan spasi yang tidak beraturan, intinya sekarang ia harus tiba di fotocopy depan kampus lebih awal mengingat banyaknya antrian di toko itu.

“Gue pergi dulu. Gue serahin semuanya sama lo ya, Sa.” Winola pamit setelah Nerisa mengangguk mengiyakan.

Harusnya mereka tidak akan sepanik ini jika anggota kelompoknya lengkap, mereka bisa membagi diri dengan mudah tetapi sayangnya dua teman kelompoknya sedang tidak masuk karena sakit dan izin ke luar kota. Mau tidak mau Nerisa dan Winola harus bertindak untuk menutupi kekurangan anggotanya.

“Gue kesel banget sama Abang fotocopy depan, beda jauh banget sama Bang Damar!” komentar salah satu mahasiswa yang baru saja datang dari tempat fotocopy.

“Emang Bang Damar kemana?” tanya teman satunya.

“Gak tau tuh, tiba-tiba aja menghilang terus diganti sama monster gondrong. Kalo aja gak cakep, udah habis tuh toko!”

Nerisa hanya mendengarkan sedangkan tangannya sibuk merapikan halaman PPT kelompoknya. Ia berharap Winola tidak menghadapi kesulitan seperti yang teman kelasnya tadi alami, semoga hati Abang fotocopy melunak ketika melihat gadis mungil itu. Kata lain, semoga materi kelompok mereka rampung dan selamat hingga tujuan.

———

Cause I know what you like, boy
You’re my chemical hype boy~

Lagu New Jeans sangat menggambarkan kedatangan Winola saat ini. Ia terdiam sesaat saat menyadari bahwa lelaki yang menjaga toko fotocopy bintang telah berbeda, bukan lagi si pemilik senyum manis Bang Damar melainkan lelaki asing dengan rambut gondrong yang terkena kipas angin. Seolah tersihir oleh pahatan ciptaan Tuhan berwujud manusia dengan aksen layaknya aktor lawas Jepang. Tidak munafik, lelaki pengganti Bang Damar benar-benar tampan dan klasik.

“Ngapain bengong?” tegur si penjaga toko.

Winola tersadar kemudian terkekeh, ia berjalan pelan menuju tempat print.

“Mau print berwarna apa hitam doang?” tanya Bang Fotocopy gondrong tadi.

“Berwarna, Bang.” jawab Winola pelan.

“Oh, yaudah pake Epson.” sarannya.

Winola mengangguk, ia kemudian memasukkan kabel datanya lalu memindahkan filenya ke dalam komputer yang disediakan toko ini. Cukup lama gadis itu terlihat serius merapikan halaman demi halaman makalah kelompoknya, sedangkan si Gondrong yang katanya mirip aktor jepang sibuk menonton siaran ulang Manchester United melalui ponselnya.

“Bang, kok gak berwarna sih hasilnya?” komplain Winola sambil menoleh ke arah Abang Fotocopy.

Bintang—si gondrong menoleh sejenak, dengan terpaksa ia menekan tombol pause pada ponselnya lalu segera menghampiri Winola yang kini kebingungan melihat hasil print-nya.

“Gue bilang pake Epson, jelaslah gak berwarna orang lo pake Canon!” ucap Bintang sambil menunjuk layar komputer.

Winola menatap Bintang yang kembali ke tempatnya semula— kembali menonton tontonannya yang sempat terhenti tadi.

“Galak banget!” cibirnya dengan nada yang sangat rendah agar si gondrong tidak mendengarnya.

Winola kembali fokus dengan makalahnya, ia kembali mengulang print makalah kelompoknya.

“Bang, kok kertasnya gak keluar?” lagi-lagi gadis itu bersuara.

Bintang kembali menoleh masih dengan tatapan datar, “Coba pencet lama icon paper yang warna merah berkedip itu, nanti bakal keluar lagi kertasnya kalo lo print ulang.”

“Oke.”

Beberapa menit kemudian Winola bersuara lagi.

“Bang, kok hasilnya gak full gini sih? Bergaris lagi.”

Print ulang, tadi pagi baru abis gue ganti tinta. Mungkin masih menyesuaikan makanya kayak gitu.”

Lagi-lagi Winola mengangguk paham.

“Bang, ini kok ukuran ker—”

“Anjing!”

Winola menatap kesal, “Lo ngatain gue, Bang?!”

Bintang menghela nafas, ia mengangkat ponselnya menghadap gadis tersebut.

“Gue kebawa suasana nonton emyu, gak usah nethink.”

“Pantes emosian, ternyata fans bapuk emyu.” celetuk Winola tak sadar yang di dengar langsung oleh Bintang.

“Lo ngatain fans emyu bapuk?!” ucap Bintang tak terima.

Winola sebenarnya sedikit takut melihat ekspresi tajam si penjaga toko alias Bintang tapi ia berusaha bersikap biasa saja agar imagenya sebagai cewek pemberani tidak tercoreng.

“Apa sih?” ia menunjuk mesin printer, “Ini emang kertasnya sengaja dibedain apa ya? Kok tadi F4 tiba-tiba sekarang berubah jadi A4? Makalah gue kan jadi gak rapi gini karena ukurannya beda.”

Bintang memicingkan matanya, ia tahu gadis itu mengalihkan topik. Jelas-jelas telinganya menangkap dengan jelas bahwa gadis itu menghina kaumnya— sebagai fans emyu garis keras ia tidak terima.

“Protesnya ditunda dulu deh, Bang! Gue ini rugi banget selama disini. Rugi waktu, rugi tenaga, bentar lagi rugi duit. Gue nih lagi dikejar deadline banget, setengah jam lagi gue masuk kelas.” ucap Winola.

“Harusnya sebelum print lo perhatiin dulu kertas yang ada di printer tuh satu ukuran apa enggak,” Bintang menaruh ponselnya lalu mengambil beberapa lembar kertas berukuran F4, “Makanya tugas tuh dikerja jauh-jauh hari. Dasar mahasiswa zaman sekarang demennya mepet deadline!

Bintang memasukkan kertas yang dibawanya tadi ke dalam mesin printer.

“Nama lo siapa, Cil?” tanya Bintang.

“Cil?”

“Iya, lo. Bocil.” perjelas lelaki itu.

Winola memutar bola matanya malas, “Gue udah gede kali,” ia kembali mengulang print setelah memastikan ukuran kertasnya sesuai, “Winola. Kalo lo siapa? Gue kenalnya Bang Damar aja disini.”

Bintang mengamati Winola yang terlihat serius, “Bintang.”

“Oh, kirain Binatang.”

“Maksud lo apaan?!”

Winola mengambil hasil print-nya lalu menatap balik Bintang, “Kok emosi? Merasa ya?”

Sabar.

Bintang harus sabar.

Ternyata dia telah menemukan counter emosinya.

“Totalnya berapa?” tanya Winola.

Bintang terlihat menghitung dari kejauhan, “Semuanya 14 ribu.”

Winola menggeleng tidak terima, “Apa-apaan?! Kok jadi mahal gini? Dulu juga gue nge-print 10 lembar cuman 5 ribu totalnya. Lo mau korupsi apa gimana?!”

Bintang menunjuk ke arah kertas-kertas yang terdapat diatas meja komputer, “Liat lo ngabisin berapa banyak kertas disana? Salah gak salah tetap harus dibayar, harga tinta lagi naik!”

Winola masih tidak terima, “Kertasnya jadi banyak kan karena printer lo bermasalah. Kok jadi nyalahin gue sih?!”

“Gausah ngajak debat. Gue udah hampir tujuh jam disini ditambah emyu mainnya gak bener, energi gue abis.”

Gadis itu mengepalkan tangannya kesal, dengan kasar ia mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan selembaran uang berwarna merah.

“Gak punya uang kecil, coba tukar di Abang somay depan.”

Ingin rasanya Winola makan hidup-hidup cowok gondrong ini!

Semoga ini kali terakhir ia berurusan dengan mahluk menyebalkan seperti Bintang ini.

———

THE CAST

Winola Pramudya (20 Tahun)

“Kayaknya kita harus cari fotocopy baru, gue takut mati muda karena tensi gue tinggi mulu kalo berurusan sama Abang depan kampus.”

Nerisa Permata (20 Tahun)

“Sabar, La. Kalo dia berulah bacain aja ayat kursi, biasanya setan langsung kabur kalo dibacain gituan.”

Continue Reading

You'll Also Like

1M 89.3K 86
{BXB}{LOKAL}{NON-BAKU} Cerita ini tentang Elvan Maulana yang punya pacar anak IPA kelas sebelah tuh cewek cantik banget awalnya si baik-baik aja samp...
301K 30.3K 28
Secuil kisah ajaib bin menarik dari keluarga mapia Papi Rion Kenzo dan Mami Caine Chana beserta tuyul-tuyulnya. YES THIS STORY CONTAIN BXB!
427K 47.3K 93
Sang CEO tampan mahabenar akhirnya mantu di usia yang masih thirty something, satu anggota keluarga baru akhirnya hadir. Tapi pekerjaan rumahnya belu...
248K 13.3K 16
menyukai kembaran sendiri wajar bukan? bxb area awas salpak