Memories in the Making

By dindaarula

55.9K 5.7K 881

[Cerita Terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

ā€ Introduksi
ā€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
ā€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
ā€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
ā€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
ā€ 05 - Tindakan Langka Janu
ā€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
ā€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
ā€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
ā€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
ā€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
ā€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
ā€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
ā€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
ā€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
ā€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
ā€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
ā€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
ā€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
ā€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
ā€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
ā€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
ā€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
ā€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
ā€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
ā€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
ā€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
ā€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
ā€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
ā€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
ā€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
ā€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
ā€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
ā€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
ā€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
ā€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
ā€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
ā€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
ā€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
ā€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
ā€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan

ā€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu

1.7K 142 28
By dindaarula

XENNA mengangkat ponselnya yang kembali berdering--entah sudah yang ke berapa kali--sejak bermenit-menit yang lalu. Nama kontak yang terpampang pada layarnya membuat Xenna hanya mampu menggigit bibir seraya mengembuskan napas dengan berat. Perasaan bersalah yang semula telah bertumpuk lagi-lagi bertambah, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha menahan agar ia tetap bersikap abai, kendati sadar betul bahwa ia tak mungkin terus-menerus bersembunyi.

Namun, pada akhirnya Xenna berhasil digoyahkan karena sederet pesan yang diterimanya tak lama setelah panggilan berhenti. Dan, lagi-lagi datang dari seseorang yang sama.

Mas Janu
Xenna
Saya tahu kamu baca chat saya
Kalau kamu gak mau bicara sama saya, seenggaknya tolong balas
Jangan buat saya khawatir.

Xenna tergeming dengan kedua mata yang mulai memanas usai membacanya--melalui bar notisikasi. Kali ini giliran penyesalan yang menyerang sebab ia telah bertindak bodoh dengan tak menghiraukan lelaki yang begitu menyayanginya. Namun, Xenna sungguh tidak bermaksud demikian. Apa yang terjadi tadi membuat isi kepalanya kian tak terkontrol, hingga memunculkan berbagai macam pemikiran yang jauh dari kata positif. Dan, rasanya Xenna tidak sanggup jika ia harus kembali membebani Janu seperti yang sudah-sudah.

Ponsel yang kembali berdering lekas mengalihkan fokus Xenna. Sesaat Xenna menahan napas, sebelum akhirnya kembali ia embuskan dengan berat. Ragu-ragu ibu jari kanannya bergerak, hendak menggeser ikon berwarna hijau ke atas. Cukup lama Xenna coba yakinkan hatinya, sampai ia memperoleh keberanian untuk menjawab panggilan tersebut.

Kini layar ponsel pun telah menempel sempurna di telinga kanan. Namun, oleh sebab lidah yang benar-benar kelu, Xenna tetap tak kunjung bersuara hingga akhirnya sang lawan bicara di seberang sana yang lebih dulu melakukannya.

"Kamu di mana?" Vokal berat Janu terdengar biasa, tetapi Xenna dapat menangkap emosi yang tertahan di dalamnya.

Xenna menghela napas, sebelum akhirnya menjawab, "A-aku di toilet, Mas, nggak jauh dari ballroom. Aku nggak ke mana-mana ...."

Hening sejemang, kemudian dengan suara sedikit meninggi Janu membalas, "Saya sudah cari kamu ke mana-mana, dan ternyata dari tadi kamu di sana?" Lelaki itu kemudian menarik napas, lalu diloloskannya dengan kasar. "Saya tunggu kamu keluar. Sekarang juga."

Rasa takut seketika merundung Xenna sebab menyadari intonasi yang Janu gunakan benar-benar diisi oleh amarah, hingga ia refleks mencicit, "Nggak ... aku nggak mau."

Embusan napas Janu kembali tertangkap oleh rungu Xenna. "Xenna ... kamu keluar dulu sekarang," ujarnya yang kini mendadak terdengar lebih tenang dari sebelumnya. Barangkali langsung menyadari bahwa ia nyaris melakukan kesalahan karena ucapannya sendiri.

Xenna pun dengan mudahnya berhasil luluh. Hanya saja, satu keraguan tetap tak bisa ia lenyapkan begitu saja. "Aku nggak mau balik lagi ke dalam ... selagi masa lalunya Mas Janu masih ada di sana," ungkap Xenna yang memutuskan untuk tak lagi menahannya.

Lagi-lagi, perkataan Xenna membuat Janu geming selama beberapa saat. Lantas ia pun menyahut, "Kamu tahu? Kamu tahu siapa orangnya?"

"Aku udah tau dari lama, Mas."

"Kenapa kamu nggak pernah bilang, Xenna?"

"... Karena Mas Janu nggak pernah sebut namanya tiap kali cerita. Karena dari awal pun aku kira Mas Janu emang sengaja mau nutupin, makanya aku mutusin buat nyimpen hal itu sendiri."

Apa yang Xenna sampaikan pun kembali berhasil membungkam Janu selama beberapa detik ke depan. Sebab memang benar, selama ini Janu sama sekali tidak mengetahui bahwa nyatanya sudah sejak lama Xenna tahu siapa sosok Amanda yang sesungguhnya dalam hidup Janu. Karena rasa penasaran yang tak bisa dibendung lagi, Xenna mempertanyakamnya langsung pada orang-orang terdekat Janu--Haidar dan April--secara diam-diam, tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan.

Memang, tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan. Di masa itu tentunya Xenna sama sekali tidak mengira hubungannya dengan Janu akan berubah total seperti ini. Dan sekarang, ketika Xenna rasa dirinya sudah memperoleh hak untuk tahu soal masa lalunya, Janu malah tidak pernah menjelaskannya secara detail, hingga Xenna hanya mampu berasumsi bahwa Janu masih berniat menyembunyikan sebagiannya.

Saat ini, Janu yang hanya diam sejak tadi membuat Xenna mulai was-was sendiri. Meski ragu, pada akhirnya Xenna pun memberanikan diri untuk memanggilnya, "Mas ...?"

Janu masih tidak membalas. Namun, beberapa milisekon setelahnya Xenna dapat menangkap suara helaan napas sang lelaki, yang kemudian disusul oleh, "Kamu temui saya sekarang. Saya tunggu di luar, nggak jauh dari toilet." Tegas dan lugas. Betul-betul tidak terbantahkan, bahkan Janu tak mau repot menunggu respons dari Xenna dan memutus sambungan telepon begitu saja.

Sontak jantung Xenna berdegup lebih kencang. Jika sudah begini, maka kekhawatirannya kemungkinan terbukti benar. Rasanya Xenna pun makin enggan untuk meninggalkan toilet, tetapi sayangnya, mau bagaimana pun ia tetap harus bila tak ingin masalah ini akan menjadi lebih besar.

Dengan berat sekali Xenna pun mengambil langkah untuk meninggalkan toilet--usai bermenit-menit lamanya ia hanya berdiri tak jauh dari wastafel, tak peduli telah dijadikan sebagai pusat atensi oleh beberapa perempuan yang masuk ke sana. Tangannya mulai mencengkeram kuat tali shoulder bag setelah ia kembali menghirup udara di ruangan terbuka yang lebih luas.

Dan, langkahnya seketika terhenti total saat mendapati sosok Janu yang benar-benar telah menunggunya di luar. Menyandarkan tubuh pada dinding, sementara kepalanya tertunduk dan kedua tangannya berada dalam saku celana.

Presensi Xenna lantas dengan cepat disadari oleh Janu, membuat lelaki itu pada akhirnya mengangkat pandangan, memperlihatkan bagaimana wajah itu tak menampilkan raut apa pun. Hanya datar dan dingin. Betul-betul tanpa emosi. Membuat Xenna yang menyaksikan hal tersebut segera saja termangu di tempat sebab Janu sungguh terlihat seperti sosok Janu yang dahulu ia kenal.

Janu sama sekali tidak bersuara. Lantas lelaki itu beranjak dari posisinya, memberi isyarat pada Xenna agar mengikutinya, sebelum pergi begitu saja seolah tidak memedulikan Xenna. Seolah Xenna tidak penting. Seolah Xenna bukanlah pasangannya.

Seketika hati Xenna terasa nyeri. Janu memang betul-betul tengah dikuasai oleh amarah saat ini.

Perjalanan dari lantai paling teratas menuju basement menjadi terasa begitu lama kendati Xenna dan Janu menggunakan lift. Dan, justru di situlah puncaknya, di mana Xenna benar-benar merasa diabaikan sebab Janu yang tetap bersikap tak acuh walaupun mereka terjebak sementara dalam ruangan kecil tersebut. Entah itu saat padat pengguna, bahkan ketika hanya ada mereka berdua. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa Xenna sukses dibuat sangat tak tahan dengan situasi tersebut.

Oleh karenanya, ketika Janu hendak membukakan pintu setelah mereka sampai di mana mobil diparkirkan, Xenna cepat-cepat mencengkeram kemeja lelaki itu dari belakang, lantas dengan lirih berujar, "Mas, maafin aku .... Aku tau aku salah, tapi jangan marah ...."

Pergerakan Janu seketika terhenti, tetapi ia tidak langsung membalas. Xenna pun mendapati bagaimana Janu menghela napasnya, lantas tanpa berniat untuk membalikkan badan, lelaki berkacamata itu bertanya, "Di mana letak kesalahan kamu?" Nada bicaranya tetap terdengar datar, dan Xenna betul-betul tidak menyukainya.

Kendati air mata mulai mendesak untuk keluar, Xenna tetap berusaha meyakinkan diri hingga akhirnya ia berani untuk bertutur, "Aku salah ... karena tadi aku pergi gitu aja tanpa bilang-bilang sama Mas Janu. Aku salah karena sengaja nggak angkat telepon ataupun balas chat-nya Mas Janu." Xenna menjeda sesaat, seiring dengan cengkeramannya pada kemeja Janu yang kian menguat. "Aku juga salah ... karena waktu itu udah sembarangan cari tau soal masa lalunya Mas Janu lewat April, apalagi di saat itu kita belum ada hubungan apa pun. Harusnya aku lebih sabar nunggu, sampai akhirnya Mas Janu sendiri yang bersedia buat cerita ke aku ...."

Janu diam sejenak, sebelum akhirnya ia membalikkan badan. Secara otomatis Xenna pun menarik tangan dan memusatkan pandangannya pada wajah Janu, kendati yang sang gadis dapati tetaplah tatapan tajam serta raut datarnya. "Kenapa kamu melakukan semua itu?" tanya Janu setelahnya.

Xenna meneguk salivanya dengan susah payah. Ia pun tetap berusaha keras menahan diri agar dirinya tak menangis di hadapan Janu sekarang. "Aku nggak suka ada Kak Manda di sana, tapi aku takut bakal ganggu Mas Janu. Aku nggak balas chat dan nggak angkat teleponnya Mas Janu karena aku butuh waktu sebentar buat tenangin diri aku ... dan aku nggak mau Mas Janu lagi-lagi liat aku ngalamin situasi kayak gini." Xenna menarik napasnya, lantas melanjutkan, "Kalau soal Kak Manda ... aku cari tau soal hubungannya Mas Janu sama Kak Manda karena aku nggak suka ... a-aku nggak suka liat Mas Janu deket sama Kak Manda di pameran hari itu ...."

Kalimat terakhir yang Xenna lontarkan membuat Janu sedikit memiringkan kepalanya. Dan, masih dengan ekspresi datarnya, ia bertanya, "Kamu cemburu?"

Xenna tertegun sesaat. Namun, Xenna merasa ia sudah tidak perlu menutupi apa pun sekarang. "Iya," jawabnya lugas, menatap Janu tanpa keraguan, "aku cemburu." Ada jeda. "Perasaan cemburu itu juga yang bikin aku sadar ... kalau di hari itu aku udah jatuh cinta sama Mas Janu."

Agaknya pengakuan Xenna membuat Janu gagal mempertahankan ekspresi tanpa emosinya lebih lama lagi. Kedua matanya sedikit melebar, betul-betul terlihat tak menyangka usai mendengarnya.

"Aku percaya, kalau Mas Janu emang udah betul-betul anggap Kak Manda jadi bagian dari masa lalu. Tapi aku rasa Kak Manda nggak begitu, Mas, walaupun menurut yang aku denger Kak Manda sendiri udah punya pacar," lanjut Xenna sebelum Janu sempat merespons. Sebentar saja, ia perlu mengabaikan rasa perih di hatinya demi menyelasaikan yang satu ini. "Karena kalau nggak begitu, Kak Manda nggak mungkin seberusaha itu buat bikin aku mundur, sampai-sampai dia ungkit lagi soal masalah aku sama Arka 'kan, Mas?"

Kali ini penuturan Xenna sukses membuat Janu sepenuhnya melunak. Kembali lagi Janu pun mengingat apa yang sudah dialami oleh gadis di hadapannya tersebut, hingga kata-kata seperti itu lolos dari mulutnya. Lantas, Janu embuskan napas dengan berat lalu menyugar rambutnya ke belakang. "Maaf," ujarnya pelan, "ternyata saya sudah melewatkan satu hal penting."

Xenna hanya geming. Sebab kali ini sudah gilirannya untuk mendengar.

"Saya nggak pernah ceritakan secara detail karena itu hanya sesuatu yang sudah lalu, yang seharusnya nggak perlu saya ungkit lagi di masa sekarang. Tapi ternyata, hal itu buat saya jadi nggak bisa jujur sama kamu ...." Janu mengunci tatapannya pada Xenna. Rasa sesal terpancar jelas dari kedua matanya. "Saya nggak bisa jujur kalau hari itu dia sempat menghubungi saya, dan bilang kalau dia sudah tahu semuanya. Dia tahu soal perasaan saya dahulu, dan alasan kenapa saya memilih mundur saat itu. Dia juga batal bertunangan, dan katanya semua itu gara-gara saya."

Sejenak Janu menghirup napasnya. Kali ini, rautnya menampakkan kekecewaan nyata. "Dugaan kamu memang benar, tapi saya sama sekali nggak peduli. Saya justru bersyukur sekarang, karena saat itu saya benar-benar sudah mengambil keputusan yang tepat. Dan, saya betul-betul menyesal ... karena dulu saya pernah menghabiskan banyak waktu untuk mencintai dia." Jeda sesaat. "Dia bukan lagi orang yang sama seperti yang saya kenal dahulu. Dia sudah berbeda. Ambisinya terhadap cinta berhasil mengubah dia jadi seseorang yang nggak punya hati. Untuk tetap menganggap dia sebagai teman pun rasanya saya sudah nggak bisa, Xenna ...."

Xenna sontak saja tertegun melihat Janu sekecewa ini pada seorang perempuan yang pernah dicintainya. Xenna tidak tahu apa yang sudah terjadi antara mereka berdua di saat dirinya masih betah bersembunyi. Namun, Xenna dapat meyakini bahwa Janu mengetahui apa yang sudah Amanda lakukan kepadanya. Dan, sudah dipastikan pula hal tersebut menjadi salah satu penyebabnya.

Janu kemudian meraih satu tangan Xenna, lantas ditariknya perlahan agar gadis itu mendekat padanya. "Saya memang sedang marah sekarang. Saya betul-betul marah ... tapi saya bukan marah sama kamu," ungkap lelaki itu dengan intonasinya yang kian melembut. "Saya marah karena apa yang terjadi hari ini, juga marah sama diri saya sendiri karena nggak bisa cegah hal-hal yang bisa menyakiti kamu, terlebih lagi itu berhubungan dengan saya. Jadi ... maaf, sudah buat kamu salah sangka."

Seketika saja Xenna menggigit bibir, kembali berusaha menahan diri agak ia tidak menangis. Yang gadis itu lakukan setelahnya adalah menghambur ke pelukan Janu. "Aku kira Mas Janu beneran marah sama aku ... mana serem banget lagi," cicitnya.

Janu tersenyum masam. "Kamu takut?" tanyanya seraya mengelus punggung Xenna dengan satu tangan.

"Mas Janu tau sendiri, dari dulu aku selalu takut kalau liat Mas Janu marah .... Makanya sekarang aku cenderung selalu hati-hati dalam bertindak, supaya aku nggak buat kesalahan, supaya aku nggak buat Mas Janu marah."

"Saya nggak tahu kalau akibatnya akan seperti itu .... Kenapa kamu nggak pernah bilang?"

Xenna kemudian sedikit mundur dan mendongak, tanpa melepaskan kedua tangannya yang melingkari tubuh lelakinya. "Karena aku sadar kalau Mas Janu nggak pernah marah tanpa alasan. Mas Janu marah karena aku emang bener-bener udah ngelakuin kesalahan," terangnya. Lalu, ia menambahkan, "Tapi, Mas, emangnya Mas Janu beneran nggak marah sama aku sekarang? Tadi kan aku udah buat kesalahan, bahkan Mas Janu sendiri yang tanya di mana letak kesalahan aku ...."

"Seenggaknya kamu tahu kalau kamu memang salah, itu sudah cukup buat saya," balas Janu tenang. "Asalkan nanti nggak kamu ulangi lagi."

Kontan Xenna menggeleng. "Nggak akan," sahutnya yakin.

Janu meloloskan napasnya. "Saya cuma nggak habis pikir kamu betul-betul mengabaikan saya. Padahal, kalau kamu bilang kamu butuh waktu, saya bisa mengerti. Saya nggak akan maksa atau tanya apa pun ke kamu, tapi yang terpenting jangan menghindar. Kalau mau nangis, nangis di depan saya. Saya nggak pernah mempermasalahkan hal itu, jadi jangan terlalu kamu pikirkan."

Xenna mengangguk pelan-pelan setelah mendengarnya.

"Dan, perihal kamu yang diam-diam cari tau soal masa lalu saya, saya maafkan. Karena kamu sedang cemburu hari itu."

"Maaas ...."

Janu menarik kedua sudut bibir, membentuk lengkungan kecil. Kemudian ia usap sekilas kepala gadisnya. "Kita pergi sekarang, cari tempat makan karena tadi belum sempat."

Xenna seketika tampak menyesal mendengarnya. "Maaf, Mas, gara-gara aku ...."

"Sudahlah, bukan salah kamu. Saya juga nggak mau lama-lama di sana karena perempuan itu."

Senyum tipis Xenna perlahan tersungging. Sampai detik ini pun, Janu tetap konsisten dengan tidak pernah menyebutkan nama si perempuan di hadapan Xenna. Lantas Xenna kembali mendekap tubuh Janu sebelum lelaki itu berbalik untuk membukakan pintu mobil. "Mas," panggilnya pelan, "jangan marah sama diri sendiri." Sembari menahan pahit, Xenna melanjutkan, "Aku tau Mas Janu akan berusaha biar aku nggak ngerasain sakit lagi, tapi nyatanya kita nggak bisa kendaliin semua hal di tangan kita. Mas Janu mungkin bisa mengendalikan diri sendiri supaya nggak nyakitin aku, tapi orang lain belum tentu bisa, Mas, dan Mas Janu juga nggak bisa mengendalikan mereka sesuka hati."

Janu hanya mampu terdiam. Terlebih lagi ketika Xenna menatap ke arahnya dan memamerkan sebuah senyum getir. Seolah berkata bahwa ia betulan baik-baik saja, tak peduli pada fakta bahwa perkataan Amanda bagaikan pisau yang telah mengiris hatinya.

Di tempat yang sama di mana Arka menorehkan luka.

Di sisa waktu akhir pekan ini, Xenna akan kembali menghabiskan waktunya bersama Janu. Tidak perlu pergi ke mana-mana, cukup hanya mendatangi rumah lelaki itu sebab kebetulan Mami pun sedang sibuk berbelanja kebutuhan dalam bisnis kecil-kecilannya. Karenanya Janu segera hubungi Xenna, dengan tujuan meminta Xenna menemaninya untuk melukis. Xenna tentu saja langsung setuju, tetapi ia pun turut meminta izin agar dirinya boleh mengerjakan skripsinya di sana. Ia betul-betul tidak bisa abaikan fakta bahwa deadline terus mengejarnya saat ini.

Kini Xenna sudah meluncur ke rumah Janu. Janu sedang berada di ruang pribadinya, dan ia telah menyuruh Xenna untuk langsung masuk. Xenna pun hanya menurut saja, dan setelahnya segera saja ia naik ke lantai dua untuk menemui lelaki itu.

"Mas Januuu?" panggil Xenna usai tiba di depan pintu, tanpa mengetuk sebab kedua tangan yang tak bebas.

Tidak perlu menunggu lama, Janu lekas saja membukakan pintu. Senyum lebar Xenna kontan merekah saat kedua matanya menangkap sosok Janu dengan setelan santainya. Bibir lelaki itu pun turut membentuk lengkungan tipis, sebelum ia mengambil alih barang-barang di tangan Xenna dan segera mempersilakannya masuk.

"Kamu bilang apa sama papa kamu sebelum ke sini?" Janu lebih dulu membuka percakapan, seraya menaruh laptop serta buku-buku yang Xenna bawa di atas meja kerjanya.

"Aku bilangnya mau bimbingan skripsi sama Mas Janu, makanya papaku nggak curiga," Xenna menjawab dengan cengiran polosnya.

Janu mendengkus pelan. "Memangnya saya sudah alih profesi jadi dosen sekarang?"

"Udah cocok kok, Mas. Aku malahan bingung, kenapa Mas Janu nggak kerja jadi dosen aja?"

"Saya nggak minat untuk ngajar. Lagi pula, saya cuma lulusan sarjana."

Xenna terdiam sesaat, manggut-manggut, merasa jawaban tersebut memang masuk akal. "Tapi bagus deh, Mas Janu nggak jadi dosen. Pasti nanti mahasiswinya banyak yang genit karena ada dosen muda ganteng di kampus."

Sepasang mata Janu segera saja menyipit pada sang gadis. "Pengalaman pribadi, hm? Pernah genit sama dosen muda?"

Sontak Xenna pun melotot mendengarnya. "Maaas, ih! Emangnya Mas Janu kira aku cewek apaan?"

Janu hanya mengulum senyum, sebelum mengusap sekilas puncak kepala Xenna dan beranjak menuju kursi yang tepat berhadapan dengan spanram, di mana kanvas besar terdapat di sana. Diam-diam Xenna pun mengekori lelaki berkacamata itu sebab rasa penasaran yang timbul dalam dirinya.

"Mas Janu melukis apa?" Xenna bertanya lantaran di kanvas putih tersebut hanya ada sebuah sketsa kasar, yang tak bisa Xenna tebak akan membentuk apa pada akhirnya.

"Entah, saya juga belum tahu pasti," Janu menyahut enteng sembari menambahkan cat warna hitam pada palet.

Kerutan samar segera tampak di dahi Xenna. "Ih, kok bisa belum tau? Emang lukisannya untuk apa, Mas?"

"Cuma iseng saja," lagi-lagi Janu menjawabnya dengan santai.

"Mas Janu pasti belum dapat inspirasi, ya?"

"Sedang proses."

"Huh?"

Kali ini Janu menengok pada sang lawan bicara, menatapnya intens. "Kamu pikir, kenapa saya suruh kamu ke sini sekarang?"

Xenna mengerjap, tampak tak mengerti. "Buat ... nemenin Mas Janu ...."

Janu geming sejenak, sebelum akhirnya mengangguk-angguk. Senyum tipisnya pun turut tersungging. "Sudah, sekarang kamu kerjakan skripsi kamu dulu. Baru setelah itu temani saya."

Meski Xenna belum juga mengerti, tetapi ia putuskan untuk menurut saja.

"Kamu boleh pakai meja kerja saya."

"Umm ... kayaknya aku mau ngerjain di sofa aja, Mas."

"Ya, senyamannya kamu. Asalkan jangan di lantai, di sini nggak ada karpet."

Xenna mengangguk, lalu lekas saja beranjak menuju meja kerja Janu, mengambil barang-barangnya untuk ia pindahkan ke sofa panjang yang terletak di sudut ruangan. Di saat itu pula percakapan terhenti sebab sepasang insan tersebut mulai terlarut dengan aktivitas masing-masing.

Setelah hampir setengah jam berlalu, semangat Xenna yang semula lancar mengetikkan kalimat-kalimat pada dokumen skripsinya tahu-tahu saja mulai berkurang. Otaknya kelelahan dan apa-apa saja yang ia pikirkan mendadak lenyap perlahan. Kendati sudah mencatat segala materi penting dalam buku catatan khusus--seperti yang pernah disarankan oleh Janu, tetapi ternyata Xenna tanpa sadar telah melewatkan beberapa hal yang membuat ia berakhir kebingungan, tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.

Cukup lama Xenna hanya diam menatap layar laptop tanpa melakukan apa-apa sebab kepalanya benar-benar terasa kosong. Dari mulai tengkurap hingga mengubah posisi menjadi duduk, ide pun tak kunjung menghampiri Xenna sampai membuatnya frustasi sendiri.

Xenna kemudian menggigit bibir, tiba-tiba terpikirkan satu hal yang membuatnya langsung menjatuhkan tatapan pada Janu di balik kanvasnya, tampak masih sibuk menggoreskan kuas di sana. Dengan ragu-ragu Xenna pun memanggil, "Mas Janu ...."

"Hm?" Janu menyahut cepat, tanpa diduga. Padahal Xenna sempat mengira Janu sudah terlampau fokus dan kemungkinan tidak akan mendengarnya.

"Boleh bantuin aku, nggak?"

"Bantu apa?"

"Mas Janu ke sini dulu sebentar ...."

Tak lama setelah itu, Janu pun meletakkan peralatan lukisnya di atas meja kecil sebelum bingkas dari kursi, menghampiri Xenna. "Ada apa?" tanyanya seraya berlutut di samping sofa dengan mata yang tertuju pada layar laptop. Namun, dengan cepat teralihkan saat Xenna menunjukkan buku catatannya.

"Ini ... bantu aku nyusun kalimat," tutur Xenna, "aku udah catat inti penjelasan yang mau aku tulis untuk beberapa paragraf terakhir di sub bab yang ini, tapi aku bingung gimana nyusun kalimatnya yang bener supaya nggak bertele-tele, Mas."

"Kamu ragu dengan hasil pekerjaan kamu sendiri?"

"Ragu?"

"Kenapa baru minta bantuan saya sekarang? Berarti sebelumnya kamu bisa, 'kan?"

Xenna meringis kecil, baru menyadari hal tersebut.

Janu mengembuskan napasnya, lalu tersenyum tipis. "Kalau gitu, lebih baik saya cek dulu tulisan kamu yang sebelumnya," tukas lelaki berkacamata itu seraya berdiri. Secara otomatis Xenna pun bergeser, agar Janu dapat duduk sembari menghadap laptopnya. Namun, ternyata Janu lebih memilih untuk memangku benda tersebut.

Janu pun mulai memeriksa hasil pekerjaan Xenna, bahkan ia berniat memulainya dari awal bab empat. Namun, baru di halaman pertama pun Janu sudah mendelik tajam ke arah Xenna, seraya berujar, "Berantakan sekali."

Seketika saja cengiran tak berdosa Xenna terbit. "Belum diedit, Mas ...."

Dan, dengan terpaksa mengabaikan hal tersebut sejenak, segera Janu mulai agendanya dengan mengecek paragraf demi paragraf yang sudah tersusun sebelumnya. Xenna pun mendapati ada beberapa bagian yang langsung Janu perbaiki di saat itu juga. Namun, Janu yang tak berkata apa pun dan melakukannya secara cepat membuat Xenna tak sempat menyaksikannya secara saksama.

"Mas, ih, jangan cepet-cepet!" protes Xenna segera. "Aku kan jadi nggak tau salahnya di bagian mana."

"Makanya kamu perhatikan--" Seketika Janu menghentikan kalimatnnya saat ia menoleh dan menemukan bagaimana wajah Xenna yang berada sangat dekat dengannya.

Xenna yang sama terkejutnya pun lekas menahan napas, sementara kedua matanya membulat. Terlebih lagi, Xenna melihat pandangan Janu sudah jatuh pada bibirnya. Sontak sesuatu di balik dadanya bertalu-talu keras. Susah payah Xenna menelan saliva, seraya berkata pelan, "Mas ... fokus."

Tidak mengindahkan perkataan Xenna, Janu tetap geming, sementara napasnya yang terlihat kian memberat. Dengan mudahnya lelaki itu pun memindahkan laptop tepat ke ruang kosong di sampingnya. Dan, dengan mudahnya pula lelaki itu membopong tubuh Xenna, memindahkan gadis itu ke pangkuannya. "Kamu buat saya nggak fokus," ungkap Janu. Vokal beratnya terdengar sedikit serak.

Sungguh, rasanya jantung Xenna hendak melompat keluar saat itu juga. Dalam posisi mereka kini, Xenna hanya mampu mengalungkan kedua lengannya pada leher Janu. Untuk memprotes pun ia tak sanggup, seolah dirinya sudah kehilangan suara.

Lidah gadis itu makin terasa kelu ketika Janu mencuri satu kecupan. Kemudian bertambah lagi satu, hingga akhirnya Janu melepas kacamatanya dan ia taruh di sembarang tempat, sebelum kegiatan mereka berganti menjadi saling memagut bibir.

Terjadi sedikit lebih lama dari pertama kali. Pun lebih intim. Sebab situasi yang jauh berbeda pula.

"Kamu pakai apa?" tanya Janu setelah ia menarik diri. Tangan kirinya tetap berada di satu sisi wajah Xenna, sementara yang kanan memeluk pinggang gadis itu erat. "Rasanya manis."

Xenna yang masih berusaha mengatur napas tentu terkejut lantaran Janu betul-betul mengungkapkannya secara terang-terangan. Wajahnya pun kian merona merah. "C-cuma pelembab bibir ... rasa stroberi."

"Saya baru tahu ada rasanya."

"Mas Janu suka?"

Dan, pada detik berikut Xenna langsung tersadar bahwa dirinya betul-betul sudah gila hingga tak bisa mengontrol mulutnya sendiri.

Sementara itu, Janu seketika menarik satu sudut bibirnya. Tanpa membalas dengan kata-kata, ia malah kembali mendekatkan wajahnya dengan wajah Xenna, hendak mengulang apa yang mereka lakukan sebelumnya. Namun, belum sampai benar-benar terjadi, suara ketukan pintu yang menginterupsi segera saja menghentikan pergerakan Janu.

"Mas? Kamu di dalam?"

Itu suara Mami. Seperti yang sudah terjadi, Mami kembali lebih cepat dari waktu yang sudah Janu prakirakan. Kendati demikian, Janu tetap dapat bersikap tenang, berbanding terbalik dengan Xenna yang sudah dilanda kepanikan.

"Ya, Mi," seru Janu sekenanya sambil menoleh ke arah pintu. Kemudian, ia kembali beralih pada Xenna sebab gadis itu sekonyong-konyong mengeratkan pelukannya, yang segera saja mengundang senyum geli Janu.

"Xenna di situ juga, Mas? Tadi pas Mami sampai Mami lihat ada sandalnya Xenna di teras."

Xenna pun makin panik lagi. Karenanya, melalui kedua matanya, Janu berusaha yakinkan Xenna bahwa tidak apa-apa untuk berkata jujur. Maka dari itu, pada akhirnya Xenna pun berani menyahut, "I-iya, Mi, Xenna di sini ... lagi ngerjain skripsi."

"Oalah, ternyata benar kamu di dalam, Xen. Ya sudah kalau gitu." Mami menjeda sesaat. "Mas, kamu keluar dulu sini. Tadi Mami ada beli cemilan, kamu ambil ke bawah, ya. Bawain buat Xenna, sekalian sama minumnya."

Janu hanya membalas sekenanya, dan suara Mami tidak terdengar lagi setelahnya. Membuat Xenna akhirnya dapat bernapas dengan lega.

Lantas Janu pun kembali memakai kacamatanya, lalu bingkas dari sofa tanpa menurunkan Xenna, tetap membopongnya.

Xenna kontan melebarkan matanya. "Mas, ih, turunin!"

"Kenapa?" tanya Janu dengan entengnya. "Tadi mami suruh ke bawah."

"Ya nggak kayak gini juga, Maaas. Turunin!" seru Xenna lagi seraya menggoyangkan kedua kakinya--yang menggantung--dengan heboh.

Janu menahan senyum, sebelum akhirnya ia turuti perkataan gadisnya. "Kamu tunggu di sini, saya aja yang ke bawah," ujar lelaki itu setelahnya.

"Beneran nggak papa aku nggak nemuin mami sekarang?" tanya Xenna, memastikan.

"Nggak papa, nanti aja kalau kamu mau pulang."

Mendengar jawaban Janu, Xenna pun akhirnya mengangguk patuh. Setelahnya Xenna biarkan Janu meninggalkan ia di ruangan tersebut--dengan pintu terbuka, menunggu sampai lelaki itu kembali.

Namun, setelah bermenit-menit berlalu, Xenna merasa tak tenang sendiri sebab ia belum bertatap muka dengan Mami. Kendati dirinya sudah sering bertamu dan Janu mengatakan tidak apa-apa, tetap saja Xenna tidak enak hati. Oleh karenanya, setelah mempersiapkan diri--berjaga-jaga bila Mami bertanya macam-macam, Xenna pun akhirnya keluar dari ruangan Janu, berusaha mengabaikan ragu yang menahannya dari dalam.

Xenna gegas beranjak menuju tangga. Hanya saja ... percakapan yang samar-samar Xenna tangkap dari lantai bawah menghentikan gerak kedua kakinya secepat kilat. Tepat sebelum ia menginjak anak tangga pertama.

"Yang kamu bilang barusan benar, Mas? Kamu punya hubungan dengan Xenna?"

Itu suara Mami. Terdengar seolah ia betul-betul tidak percaya.

"Ya, Mi. Janu baru memulai hubungan dengan Xenna. Dia perempuan yang Janu maksud di telepon saat itu."

Jantung Xenna sekonyong-konyong berdegup kencang. Ia tidak menyangka Janu akan memberi tahu Mami tanpa persetujuannya seperti ini. Namun, di sisi lain, Xenna mulai khawatir balasan apa yang akan Mami berikan usai mendengarnya.

"Mas ... kamu serius?"

Xenna tergeming.

"Kamu betul-betul sudah pikirkan dengan matang?"

Debaran di balik dadanya makin tidak terkontrol.

"Kenapa harus Xenna, Mas?"

Dan, tubuh Xenna membeku sepenuhnya.

"Janu sudah yakin dengan pilihan hati Janu, Mi. Apa lagi yang perlu Janu pikirkan?"

"Mas ... bukannya Xenna terlalu muda untuk kamu? Dia belum lulus kuliah, bahkan Mami nggak yakin dia langsung siap menikah setelah lulus nanti. Lalu bagaimana kalau ada banyak hal yang ingin Xenna capai dalam hidupnya sebelum memiliki ikatan sakral dengan kamu, Mas? Bagaimana kalau waktu yang diperlukan untuk mencapainya lebih lama dari yang kamu kira? Ingat, Mas, sebentar lagi kamu sudah mau kepala tiga. Lantas, kamu harus menunggu berapa lama lagi? Mami harus menunggu berapa lama lagi sampai Mami bisa lihat kamu menikah?"

Rasanya Xenna tidak sanggup jika harus mendengar sesuatu yang lebih dari kalimat-kalimat tersebut, hingga akhirnya ia mundur perlahan, bermaksud untuk kembali ke ruangan.

"Mami juga nggak yakin Xenna pilihan yang tepat buat kamu. Mami memang sayang sama Xenna, tapi membayangkan dia jadi menantu Mami adalah sesuatu yang sulit sekali bagi Mami, Mas ...."

Cukup sudah, kali ini Xenna betul-betul tak ingin mendengar lebih jauh lagi.

Cepat-cepat Xenna pun beranjak masuk ke ruangan Janu, menutup rapat pintu dengan perlahan, sebelum ia bersandar lama sekali di baliknya, meratapi kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya seraya menahan sesak di dada.

Apa yang terjadi saat ini betul-betul menjadi bukti lain bahwa perkataannya pada Janu memang benar adanya.

Tidak semual hal dapat Janu kendalikan dengan sesuka hatinya.

Termasuk pula restu dari ibunya sendiri.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

dinda's note:

aduh bagaimana ini kawannn, ternyata mamih kita semua tidak setuju 🥲🥲🥲

bandung, 18 februari 2024

Continue Reading

You'll Also Like

15.8K 1.3K 123
Yang Siqing bangun dan berbaring di kamar mayat, melakukan perjalanan ke tahun 1975 dalam ruang dan waktu paralel! Tidak bisa kembali, dan dikejar ol...
67.5K 8.8K 111
Ini adalah versi ringkas dari novel What Happens When The Second Male Lead Powers Up atau Third Wheel Strikes Back. Ringkasan cerita dimulai dari cha...
35.5K 4.3K 75
[FAKECHAT] Kim Taehyung Ɨ Kim Jisoo š˜š˜¢š˜Æš˜ŗš˜¢ š˜£š˜¦š˜³š˜Ŗš˜“š˜Ŗ š˜¬š˜¦š˜³š˜¢š˜Æš˜„š˜°š˜®š˜¢š˜Æ š˜¬š˜¦š˜­š˜¶š˜¢š˜³š˜Øš˜¢ š˜¬š˜¦š˜¤š˜Ŗš˜­ š˜‰š˜¢š˜±š˜¢š˜¬ š˜’š˜Ŗš˜® š˜›š˜¢š˜¦š˜©š˜ŗš˜¶š˜Æš˜Ø & š˜ļæ½...
10.6K 1.1K 50
Jiro pikir semuanya akan berakhir tanpa secercah cahaya. Namun, nyatanya semuanya indah di akhir cerita. Harapan yang pernah ia anggap angan tak disa...