Alpha Centauri

By nadanulis

84 21 0

Lima sekawan yang berjuang untuk mempertahankan peringkat paralel mereka sampai semester akhir, namun satu di... More

Perang Kelas
Ujian Semester
Liburan
Semester Baru
Tentang Nilai
Camera, Roll, Action!
Problem Level 99
Consideration
Seek the Truth
Come Play With Us
Alpha Centauri

Problem level 1

6 1 0
By nadanulis

Ekor mata Ragas mengikuti arah gadis centil yang duduk di kursi kosong sampingnya tadi. Arabella, gadis itu melangkahkan kaki keluar setelah menyadari Ragas duduk di sampingnya. Sepertinya Arabella tak menyukai keberadaan Ragas, tapi memangnya dia bisa apa? Tempat ini kan memang milik Ragas dari awal.

Setelah memastikan Arabella keluar dari kelas, Ragas langsung membalikkan badan ke belakang, menatap Putra, Giu, dan Nathan yang juga sedang menatapnya cemas. "WOY SIALAN, ngapain nih cewek duduk di samping gua sih?" kesal Ragas mendorong kursi di sebelahnya yang di sana ada tas merah muda milik Arabella itu.

"Gua dateng langsung gitu," jawab Putra. Tapi Giu cepat-cepat menggeleng. "Enggak, tadi dia malah dateng-dateng langsung duduk di samping Nathan, gue lagi ngobrol sama Nathan langsung bingung banget kenapa dia tiba-tiba duduk di situ. Untungnya Nathan ngusir dia cepet-cepet yahh walaupun dia kayak ngga terima gitu, tapi dia tetep pergi juga," ucap Giu membuat Ragas dan Putra menatap ke arah Nathan. Nathan cuma bisa mengangguk saja karena apa yang Giu katakan memang benar.

"Terus dia kenapa ke kursi sebelah guaaa??!" Ragas masih kesal dan tak terima dengan ini. Dirinya memang mendambakan teman satu meja, tapi jika orangnya seperti Arabella, Ragas sih ogah. Lebih baik dia duduk sendirian selama tiga tahun ini daripada harus repot-repot menahan sabar duduk dengan orang menyebalkan seperti gadis itu.

Giu mengangkat bahu saja. "I don't know. Mungkin karena dia liat kursi samping lo masih kosong," kata Giu. Ragas berdecak. "Sialan," desisnya. "Kenapa lo nggak ngusir dia juga sih, Gi? Gua ogah bener satu meja sama ini anak centil."

Giu dan Putra kontan tertawa mendengarnya. Bahkan Nathan terkekeh kecil di belakang sana. "Liat cerminnya," ujar Nathan makin membuat Giu dan Putra tertawa kencang. Sementara Ragas langsung melihat ke arah meja sampingnya, Arabella memang membawa cermin sebesar buku paket dan ia tinggalkan begitu saja di mejanya tadi.

Putra memegang perutnya. "Sialan, Nathan julid era," katanya. Giu masih belum bisa menghentikan tawanya. Gadis dengan selera humor yang rendah itu tentu tidak bisa melewatkan momen lucu seperti ini. "Aduh, gue ngga kuat. Gue mau ketawa," katanya ikut memegang perut seperti Putra.

Ragas memukul kepala Giu dengan pensilnya pelan. "Lu daritadi udah ketawa woy," peringatnya. "Huh, Sera mana dah lama banget? Gua mau ngusir nenek lampir ini aja rasanya." Ragas kemudian menolehkan kepalanya ke arah pintu masuk kelas. Berharap teman perempuannya itu segera muncul dari balik sana tapi hampir satu menit menatap pintu, batang hidung Sera belum kelihatan juga.

"Emang kalau Sera udah dateng, lo mau ngapain?" tanya Putra penasaran. Nathan dan Giu ikut menyimak. "Sera pasti udah dikasih tau Pak Alwi tentang kursi duduknya si Bella Bella nenek lampir itu kan? Gua harap dia emang bukan di sebelah gua dah duduknya," jawab Ragas mengepalkan kedua tangan di depan dada dan merapalkan sebuah bisikan doa.

Giu lagi-lagi terkekeh. "If she actually sits next to you, gue bakal ketawa kenceng banget sih Gas di depan lo," katanya. Nathan langsung menepuk pundak Giu sebagai tanda setuju bahwa dirinya juga akan tertawa kencang di depan Ragas jika Bella benar-benar duduk di sampingnya. Nathan dan Giu pun berhigh-five bersama.

Kemudian pengakuan Nathan membuat yang lain sontak menatapnya. "Tapi gua kayak pernah liat dia di mana gitu," gumam Nathan pelan tapi masih bisa didengar jelas oleh yang lain. "Dimana?" Putra bertanya penasaran. Nathan mendongak setelah berpikir panjang, tapi jawabannya sungguh membuat kesal. "Gua lupa," katanya.

"Yeee jangan-jangan dia temen lu kali, Nath," ujar Putra. Nathan menggeleng kuat. "Bukan," katanya. Memang Nathan tidak punya teman lagi kan selain anak phoenix di sekolah ini? Untuk mengenali seorang gadis pun Nathan juga tidak pernah. Dia hanya dekat dengan Giu dan Sera sekarang.

"Tapi tadi pas gua baru masuk, dia ngeliatin ke arah lo mulu, Nath. Pas keluar juga dia sempet lirik-lirik lo, kan?" ujar Ragas. Putra langsung setuju karena memang tadi dia juga melihat Arabella melirik Nathan terus-terusan. Ragas menunjuk Nathan dari kursi depan. "Kalau sampe beneran dia temen lu, beliin gua dua bungkus permen karet," katanya.

Seperti biasa, respon Nathan hanya terdiam tanpa ekspresi. Tapi otaknya berputar keras, berpikir dimana agaknya dia bertemu dengan gadis bernama Arabella itu? Tapi, ah sudahlah. Nathan benar-benar tak ingat apapun sekarang. Cowok itu menatap ketiga teman dekatnya lagi, mereka sudah berganti topik obrolan sekarang.

"Eh pulang sekolah main skuy! Gua bawa kamera nih," kata Ragas memamerkan kamera hitam yang ia bawa dari rumah. Ragas itu memang suka memotret, dan hasil jepretannya tak pernah gagal. Ragas juga mengoleksi banyak kamera di rumahnya yang beberapa di antaranya dibelikan oleh sang Abang.

Putra menghela napas. "Yaelah, baru juga masuk udah main aja," ujarnya langsung kena pukul Giu. Gadis itu selalu tidak sependapat dengan Putra. Giu malah ingin bermain lagi bersama mereka. "OKE GAS BANGET!!! Ke rumah gue yukk pulang inii," ajaknya dengan penuh semangat. Ragas mengangkat jempolnya ke udara. "BERANGKAAATT!" serunya.

Sementara Putra masih dalam tekadnya untuk tidak main tadi. Putra berharap Nathan juga memiliki pendapat yang sama dengannya. Lalu mereka bertiga kompak menatap Nathan. Dan jawaban dari cowok itu adalah sebuah anggukkan. "Ayoo," ucapnya. Putra lemas mendengarnya. Nathan memang sudah berubah sekarang. Lama-lama, Nathan juga akan tertular virus gila nya Ragas, cerewetnya Giu, dan rempongnya Sera.

Lalu kalau sudah begitu, siapa yang akan menemani kewarasan Putra di antara mereka? Tidak ada.

Giu langsung mengangkat tangan heboh. "Yeayy ayo kita berempat aja! Putra nggak usah diajak! Huuu!" Giu berseru meledek Putra. Ragas juga ikut ber-huu ria. Bahkan Giu menyuruh Nathan untuk ikut meledek Putra. "Huu!" Nathan menurut. Nah, kan! Nathan sudah tertular virus hebohnya Giu. Putra geleng-geleng saja mendengarnya. "Sialan," desis Putra.

Ragas tertawa. "Ayo lah, Put. Lo jangan kayak Nathan awal-awal masuk yang diajak mainnya susah banget. Liat noh anaknya sekarang udah manut-manut aja. Lu kaga seru bener," ujar Ragas. Putra menatap ke belakang. "Nath, lu jangan mau diajak gila sama mereka," bisik Putra pada Nathan. Giu langsung menoyor kepala Putra pelan. "Jangan hasut temen guee!!" katanya sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Putra berdecih. "Yehh, elu yang jangan hasut temen gua!" katanya. "Apaan sih? Orang Nathan temen gue kok?" Giu tak mau kalah. "Nathan temen gua kaliii. Ngaku-ngaku lo!" Putra juga tak mau kalah.

"Lo yang ngaku-ngaku!" tuding Giu lagi.

Sementara Nathan yang jadi objek ributnya mereka sekarang sudah menoleh ke arah pintu, menunggu kedatangan teman sebangkunya yang sedari tadi belum muncul juga. "Sera mana sih? Lama banget," ucap Nathan pelan tapi berhasil buat Giu sama Putra yang tadi lagi berantem jadi pada diem.

"Katanya mau sekalian balikin golden pinnya. Mungkin lebih baik gitu daripada Pak Alwi yang ngambil dari Sera," kata Ragas mengingat dirinya tadi sempat bertemu Sera dan mengobrol sebentar dengan gadis itu saat ingin masuk ke dalam kelas. Giu seketika sedih. "Kasian, Sera. Dia pasti sedih banget," ucapnya.

"Nanti ajak dia main please biar dia nggak terlalu sedih banget," usul Giu lagi. Ragas langsung mengangguk. "Emang itu tujuan gua ngajak main juga!" serunya. Putra jadi ikut sedih. Cowok itu akhirnya berdehem pelan dan mengatakan kalau dia ikut main bersama mereka nanti.

"Tapi gua mau balik dulu, Mami nyuruh gua balik cepet hari ini. Nanti gua nyusul ke rumah Giu," kata Putra. Ragas, Giu, dan Nathan mengangguk paham. Saat itu pun, Arabella si nenek lampir itu kembali masuk ke dalam kelas. Ragas langsung memutar kembali tubuhnya menghadap ke depan, Giu dan Putra pura-pura membaca buku, dan Nathan memiringkan ponselnya untuk bermain game. Mereka tak ingin ketara sedang membicarakan gadis itu tadi.

Ragas menyandarkan tubuhnya di kursi sambil tangannya sibuk mengotak-atik kamera miliknya. Tak memedulikan Arabella yang sampai sekarang masih rempong mengolesi bedak ke wajahnya itu. Ragas sungguh tak menyukai keberadaan gadis itu di sini. Tak lama kemudian, Sera akhirnya masuk tepat sebelum lima menit lagi bel masuk berbunyi.

Kedatangan Sera otomatis membuat Ragas menaruh kameranya di meja, menatap teman sekaligus ketua kelas Alpha Centauri itu dari depan. Sera duduk di kursinya setelah mendapat tatapan tanpa arti dari Agas, Giu, Putra, dan teman sebangkunya, Nathan.
Mereka tidak berbicara. Tapi Sera tahu pasti ada sesuatu ketika dia tidak disini tadi. Bahkan Agas masih menatapnya dari kursi depan saat ini.

"Kenapa?" tanya Sera pada Nathan yang sedari tadi diam ditempat sambil memainkan game di ponselnya.

Nathan menggeleng. "Agas gak suka Arabella duduk di samping kursinya."

Jawaban Nathan barusan membuat Sera kembali menatap ke depan. Dan benar. Arabella, gadis itu memang duduk di samping kursi Agas. Terlihat dari raut wajah Agas yang mengerut tanda tidak suka.

Sera menghela napas saja. Gadis itu berdiri dan berjalan ke depan kelas. Menatap seluruh teman kelasnya dari sudut ke sudut. Anak alpha centauri otomatis menutup mulut mereka dan berusaha fokus pada apa yang akan ketua kelas mereka bicarakan.

"Selamat berpindah semester, teman-teman! Hari ini kita kedatangan teman baru dari kelas Canopus. Bukan gue yang bakal kenalin dia ke kalian semua nanti. Tapi pak Alwi."

Seisi alpha centauri beralih menatap Arabella, gadis yang menjadi buah bibir mereka pagi ini. Arabella hanya tersenyum masam dan melambaikan tangannya, berlagak seperti seorang model yang berjalan di karpet merah.

Itu membuat anak kelas berdecih. Kedatangan Arabella pagi ini bukannya membuat mereka senang, tapi malah sebaliknya. Firasat Putra dan firasat anak alpha centauri ternyata sama.

"Tolong bersikap baik sama Arabella, ya. Sebentar lagi pak Alwi datang. Kalian bisa buka buku untuk membaca-baca selagi menunggu," lanjut Sera memecah keheningan diantara mereka.

Dan benar saja. Pak Alwi datang setelah Sera menyelesaikan kalimat terakhirnya. Sera memimpin anak kelas mengucap salam.

"Terimakasih, Sera," kata pak Alwi.
Sera mengangguk dan kembali duduk di tempatnya. Sempat berpapasan dengan Arabella, Sera memberi senyum walaupun hanya dibalas lirikan tanpa senyuman dari gadis itu.

Giu yang melihatnya langsung emosi. Hampir saja Giu menjenggut rambut Arabella dari belakang. Kalau Putra tidak segera mencegahnya.

"Sombong banget," kesal Giu.

Sera kembali menghela napas lagi. Pak Alwi segera mengenalkan Arabella kepada anak kelas. Dan menjelaskan kalau Arabella pindah ke kelas ini karena pin emas yang berhasil didapatkannya melalui ujian kenaikan semester kemarin.

Pak Alwi juga menyematkan pin emas yang tadinya milik Sera kepada Arabella. Kini pin emas itu telah beralih kepemilikan. Sera tersenyum kecut melihatnya. Walaupun dirinya telah berusaha untuk tidak terlalu peduli pada apapun yang akan terjadi, Sera tetap merasa sedih.

"Bella, kamu akan tetap duduk disitu atau di belakang sana?" pak Alwi menunjuk kursi kosong di paling belakang. Tepat di samping kursi milik Marsha, si sekretaris kelas.

Arabella terlihat acuh. Gadis itu mengangkat kepalanya, hendak bertanya sesuatu kepada pak Alwi. "Saya boleh duduk di samping Nathan nggak, Pak?"

Pertanyaan aneh tersebut justru membuat anak Allpha Centauri kesal bukan main. Bagaimana bisa gadis itu bertanya sesuatu yang bahkan mereka semua sudah tahu jawabannya?

"Maaf ya, Arabella. Tapi tempat itu kan sudah ditempati Sera. Masih banyak kursi kosong di belakang. Atau kalau kamu mau tetap duduk di samping Ragas juga tidak apa-apa," jelas pak Alwi. Ragas menggeleng kuat. Membayangkan betapa ribetnya duduk semeja dengan Arabella saja sudah membuat lelaki itu bergidik ngeri.

"Tapi saya boleh bebas memilih tempat duduk dengan golden pin ini, 'kan? Memangnya kenapa kalau saya ingin duduk di samping Nathan? Bukannya Sera udah turun peringkat ya? Hak saya lebih besar dong disini."

Gila. Sungguh gila. Perkataan sombong Arabella barusan membuat seisi kelas naik darah. Giu memukul lengan Putra, menyalurkan rasa kesalnya pada teman sebangkunya itu. Ragas dan Nathan mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Oke, bapak mengerti. Bagaimana Sera? Kamu mau bertukar tempat duduk dengan Arabella?"

Seluruh mata memandang Sera. Mereka berharap, sang ketua kelas itu tidak mengangguk pasrah dengan keadaan. Mereka harus membasmi gadis angkuh seperti Arabella ini. Sementara Arabella membalikkan badan, ikut melihat bagaimana ekspresi Sera di belakang sana. Tiba-tiba saja, Nathan mengangkat tangan. Mencegah Sera untuk berbicara dan menggenggam tangannya.

Dengan tegas, Nathan berucap, "Saya masih mau duduk sama Sera, Pak!"

***


Tepat setelah Pak Alwi melangkahkan kaki keluar dari kelas, dan berakhirnya pelajaran pertama di hari ini, Arabella ikut berjalan keluar kelas juga dengan dongkol. Gadis menyebalkan itu menghentakkan kedua kaki dan menuntunnya keluar kelas. Anak kelas Alpha Centauri sontak ribut setelah melihat Arabella pergi dari kelas mereka. Tentu saja, mereka mulai membicarakan betapa menyebalkannya anak baru itu tadi.

Sama seperti kelima anak phoenix yang sekarang sedang saling pandang. Giu memukul-mukul mejanya sendiri. "Gue kesel bangetttttt!" serunya. "Bisa-bisanya dia dengan percaya diri mau duduk di samping Nathan?" katanya lagi, tak habis pikir. Giu menatap keempat temannya yang lain, mereka pun punya pemikiran yang sama dengannya.

"Dia ngatain Sera turun peringkat juga," ujar Putra. Mengingat tadi si gadis ular itu berbicara bahwa nilai Sera sudah turun dengan nada songongnya itu.

"Sialan," desis Ragas. "Kalau bukan cewek, udah gua tinju dia." Sera menghela napas saja. Ia tahu teman-temannya pasti kesal dengan kejadian barusan. Terlebih setelah melihat langsung seperti apa sifat Arabella tadi. Sera maklum, tapi dia juga maklum dengan Arabella.

"Menurut kalian, gue harus gimana? Pindah atau engga? Gue takut dia benci gue kalau gue tetep duduk di sini," ujar Sera. Pertanyaan kecil itu sebenarnya sederhana, tapi cukup membuat keempat temannya yang lain mengernyit bingung dengan itu. Nathan buru-buru menggeleng. "Nggak usah. Lebih baik gua duduk sama lo," katanya.

Sera mengulum bibirnya. "Tapi Bella kasian tau, Nath. Dia kayaknya pengen duduk sama lo juga. Terus emang harusnya dia duduk di sini sih, kan dia udah naik peringkat. Gue yang harusnya pindah ke belakang."

Giu tak tahan lagi. Gadis cantik itu menggoyang-goyangkan tubuh teman perempuannya gemas. "Seraaa, itu tuh bukan masalah besar! Anak kelas juga pada nggak mau lo pindah duduk!" ucapnya, berusaha menyadarkan Sera dengan kenyataan. Sera mengedarkan pandangan. Memang benar, anak-anak kelas pun sekarang lagi pada ribut membicarakan Arabella si gadis ular yang tiba-tiba pindah ke kelas mereka itu. Terlihat dari wajah mereka yang kesal juga.

Ragas mengangguk. "Bener, ketua. Udah paling bagus lo duduk di samping Nathan," katanya. Putra berdecak lirih. "Tapi yang gua heranin, kok bisa si Bella tau Nathan?  Lo ada hubungan apa sama dia, Nath?" Putra menatap Nathan sekarang. Yang lain juga melakukan hal yang sama.

Nathan sedikit mengernyit. "Gua nggak inget. Tapi kayak pernah liat."

"Dimanaa?? Coba lo pikir-pikir lagi, Nath," gemas Giu. Nathan makin mengernyitkan dahinya. Sebenarnya Nathan memang tidak asing dengan gadis ular itu. Nathan seperti pernah melihatnya di suatu tempat, tapi entahlah, Nathan juga lupa.

Sekitar lima menit lebihnya mereka menunggu jawaban Nathan. Cowok itu membuka ponsel dan mulai menscroll laman instagram akun Arabella untuk melihat foto-foto yang sekiranya bisa mengingatkan dirinya akan siapa itu Arabella. Oh, akhirnya Nathan menemukan jawaban itu setelah melihat salah satu postingan instagram Arabella yang sedang berdiri dan berpose di depan minimarket.

"Ah, iya!" seru Nathan spontan membuat keempat temannya yang lain mendekat sedikit ke arahnya. "Lo tau?" Giu bertanya. Nathan mengangguk ragu. "Gua inget. Waktu itu pernah ketemu di minimarket," katanya sekarang sudah yakin dengan ingatannya itu. "Gua bantuin dia bayar belanjaan dia karena dia lupa bawa duit. Waktu itu pas lagi liburan, dan gua mau berangkat ke Thailand," ceritanya. Mengingat saat dirinya membantu seorang gadis di minimarket yang sempat menanyakan siapa namanya sebelum Nathan pergi begitu saja meninggalkannya di sana.

Dan sekarang Nathan tak menyangka kalau gadis yang sempat ia tolong itu akan satu kelas dengannya mulai semester ini. Nathan langsung bergidik ngeri.

"Whatt?" Giu memicingkan mata. "Ya terus? Dia baper gitu lo bayarin belanjaannya?? Dia jadi suka sama lo karena hal sepele itu??"

Putra dan Ragas malah tertawa. Unik sekali, pikir mereka. "Dia baper sama lo, Nath," ucap Putra masih terkekeh dan saling bertos ria dengan Ragas.

"Jadi sebelumnya lo udah kenalan sama Bella?" tanya Sera. Tapi Nathan cepat-cepat menggeleng. "Engga. Gua tau nama dia aja baru sekarang," jawabnya.

Ragas secara tiba-tiba menghentikan tawanya. Lelaki itu seperti mengingat sesuatu yang menarik. "Wow, menurut gua ini aneh," katanya membuat yang lain segera menatapnya dari tempat duduk mereka. "Aneh gimana?" tanya Giu.

"Ya aneh aja. Dia tiba-tiba mau pindah ke kelas kita pake hak golden pinnya. Sementara kita aja nggak pernah tau fungsi golden pin kita apa selain buat penanda siswa paralel yang bakal ikut olim? Selama setengah tahun kemarin, kita berlima cuma pake golden pin itu tanpa tau fungsinya ternyata buat apa aja?"

Putra mengangguk setuju dengan kalimat Ragas. "Bener, sih. Kayak cuma pajangan," ucapnya sambil memegang pin emas yang masih menempel indah di dada bagian kanannya. Giu, Nathan, dan Ragas pun melakukan hal yang sama.

Ragas kemudian mendongak lagi. "Belum lagi, si Bella kenal Nathan dari awal. Terus maksa Pak Alwi buat pindah duduk di samping Nathan. Emang lu semua nggak curiga apa dia pindah ke kelas kita cuma buat deketin Nathan??"

Wah, ini dia. Ragas dan segala pemikiran aneh tapi jeniusnya. Lelaki pemilik tahta ranking satu paralel itu memang kerap kali memikirkan beberapa hipotesis-hipotesisnya sendiri. Giu sampai menganga. "Iya yaa!!! Kok gue nggak pernah kepikiran ke situ? Agas, lo cerdas banget," katanya sambil mengacungkan kedua jempolnya untuk Ragas.

"Masuk akal. Kalau beneran dia cuma mau deketin Nathan, gua nggak habis pikir sih," ucap Putra. Entah kenapa Arabella jadi makin menyebalkan di mata mereka sekarang.

"Apa yang menarik dari gua? Kenapa dia bisa suka sama gua?" Nathan bingung sendiri. Kerutan di dahi cowok itu membuat teman-temannya tertawa lagi. Giu bahkan sudah memukul-mukul meja Nathan. "mampus, lo bakal dirusuhin Bella terus."

"Semangat, Nath!" Putra mengepalkan tangan kanannya ke udara.

"Gua bisa ngumpet di belakang Sera," ujar Nathan sembari menarik kecil lengan baju Sera yang masih duduk terdiam di sampingnya. Sera hanya bisa pasrah dengan semuanya. Kini Putra, Giu, dan Ragas sudah tertawa puas melihat bagaimana lucunya Nathan.

"Lo kok bisa kepikiran gitu sih, sialan," desis Ragas masih tertawa di depan sana.

Sera mengecek ponselnya. Jam di dinding juga sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, itu artinya, pelajaran kedua mereka akan segera dimulai. Sera berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan ke depan kelas. "Guys, pelajaran kedua ini kita ada seni budaya. Semuanya bisa siap-siap ya, jam sembilan lewat lima belas menit nanti harus udah ada di sanggar seni, Bu Yani barusan bilang ke gue," ucap Sera, memonitori teman-teman kelasnya.

"Oke, ketua!"

Selesai dengan itu, Sera dan beberapa anak kelas keluar dari sana, membawa buku seni budaya dan berjalan menuju sanggar seni seperti apa yang Sera perintahkan. Putra mendorong tubuh Ragas yang masih duduk di kursinya. "Woy, ayo Gas!" ajak Putra.

"Duluan aja, Put. Gua mau pindahin memori kamera dulu," kata Ragas. Sera yang sudah berdiri di ambang pintu lantas berteriak. "Sepuluh lima belas harus udah ada di sana ya, Agas!" peringatnya. Ragas mengangguk patuh dan mengacungkan jempolnya. "Siap, ketua!"

Lalu di sinilah Ragas berada. Kelas yang semula ramai, kini tinggal dirinya dan dua temannya yang lain, Ezekiel dan Alma. Mereka berdua sedang membersihkan lantai karena tadi es krim Alma jatuh tersenggol Ezekiel. Ragas fokus saja memindahkan memori ke dalam ponselnya.

Satu menit kemudian, Arabella, si gadis ular menyebalkan itu masuk kembali ke dalam kelas. Sempat membuat Ragas, Ezekiel, dan Alma menatapnya sekilas sebelum ketiganya fokus dengan urusan masing-masing lagi. Ragas menaruh kameranya dengan hati-hati di atas meja, cowok itu hampir selesai dengan urusannya. Melihat Arabella mengacak-acak tasnya sendiri sebelum gadis itu buru-buru keluar lagi dari kelas. Arabella menyenggol meja Ragas dan kamera yang Ragas taruh di atasnya itu jatuh ke lantai.

Suara jatuhnya kamera hitam Ragas itu membuat Ezekiel dan Alma saling pandang. Ragas bahkan sudah tak tahu harus bereaksi apa. Lelaki itu hanya bisa menatap kameranya dan cepat-cepat berjongkok. Arabella sempat mundur sedikit dan "ups," adalah satu-satunya suara yang keluar dari mulutnya. Lalu gadis ular itu pergi dari sana tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Ragas sudah tidak peduli dengan perginya Arabella. Lelaki itu memungut kameranya yang jatuh. Ezekiel dan Alma berlari menolong Ragas. Percahan kaca lensa kamera Ragas membuat Ezekiel dan Alma meringis bersama. Keduanya tak habis pikir dengan Arabella yang bahkan pergi begitu saja setelah melakukan kesalahan.

"Modar sia, Bella belek," kesal Alma sambil membantu Ragas memungut beberapa pecahan lensa kamera hitamnya. "Sialan ini mahal pisan, gelo," lanjut gadis itu dengan bahasa sunda khasnya. Ezekiel juga tak luput mendesis dan berceloteh panjang lebar memaki-maki Arabella.

Ragas harusnya juga sama, Ragas harusnya juga memaki-maki gadis ular itu seperti kedua temannya. Tapi sepertinya energi Ragas sudah terkuras habis melihat benda kesayangannya rusak total seperti ini. Ragas menyandarkan tubuhnya di meja. "Kiel, Ma, tolong bilangin ke Bu Yani gua kayaknya izin nggak masuk kelas dia hari ini," kata Ragas.

Ezekiel dan Alma yang paham dengan kondisi Ragas langsung mengangguk dan pamit keluar karena lima menit lagi pelajaran seni budaya akan dimulai di sanggar. Ragas menatap nanar kameranya yang pecah itu.

"Lemes banget gua, ya Allah Bella semoga lu dicaplok megalodon," ucapnya terduduk di lantai kelas. Membuka ponselnya, dan menelpon sang Abang untuk mengkonsultasikan masalah ini dengannya.

****

Berakhirnya kelas seni budaya, maka jam istirahat pun dimulai. Bel tanda istirahat juga sudah berbunyi. Ragas masih terduduk lemas di kursinya. Putra, dan ketiga temannya yang lain menghampiri Ragas cemas. Giu menutup mulutnya sendiri dengan tangan ketika melihat betapa parah kerusakan kamera yang Arabella perbuat.

Memang tadi, Ezekiel dan Alma sempat bercerita tentang bagaimana Arabella menyenggol kamera Ragas hingga benda itu jatuh ke lantai dan pecah lensa. Anak phoenix ingin cepat-cepat ke kelas tadi tapi pelajaran seni masih berlangsung.

Jadilah mereka buru-buru ke kelas setelah pelajaran usai. "Dasar orang gila," desis Nathan. Giu udah lemes banget liat benda berharga milik Ragas itu rusak. "Gue nggak terima banget!" seru gadis itu. "Suruh dia gantiin aja, Gas," usul Nathan yang masih gondok setengah mati.

"DIA KABUR SIAL!!" gebrak Ragas. "Nggak bilang sorry atau apa cuma kayak kaget abis itu ngomong 'ups' gitu doang terus pergi lagiiiii lu bayangin gua sekesel apa tadi??"

"Ya ampun." Sera membuka suara. "Itu parah banget lagi pecahnya," ucap gadis itu meringis lagi. Ragas berdesis lagi. "Emang cewek problematik."

"EMANG GILA TUH CEWEK!" seru Abra setelah mendengar cerita lengkap dari Ezekiel. Kini anak kelas makin membenci gadis ular itu. "sumpah gua aja ikut emosi," kata Ezekiel.

"Denger-denger, dia pindah ke kelas kita pake hak golden pinnya. Licik juga," ucap Jordan menggeleng-geleng heran.
"Keliatan sih dari mukanya emang muka-muka licik," ujar yang lain.

Sera berdecak. "Guys, udah. Tolong tetap bersikap baik sama Bella ya, gue nggak mau kelas kita dicap kelas ga ramah sama orang-orang kalau sampe Bella ngadu ke orang luar tentang kita.

"Ya kita juga ngga akan se-emosi ini sama dia kali, ketua. Kalau dia dari awal nggak bikin masalah gini," kata salah satu anak kelas. Yang lain gaduh berteriak setuju.

"Lo semua aja kesel apalagi gua," ucap Ragas lirih. Matanya masih menatap nanar kamera hitam itu.

"Sabar yaaaa Agasss!!"
"Mana lo harus duduk sama dia juga lagi."
"Kasian banget si Agas."
Berbagai ujaran kini memenuhi ruang kelas mereka. Sampai suara Jordan membuat yang lain terdiam. "Ini kalau sampai si Bella ngerusuh lagi di kelas kita, gimana kalau kita bikin petisi buat ngusir Bella dari Alpha Centauri?"

Langsung saja sorakan setuju keluar dari mulut mereka. "Ide bagus Jordan!!" seru Giu. "Gue setuju bangett," kata yang lain.

Saat itu, Bella masuk lagi ke kelas. Suasana kelas kembali diam senyap, seolah mereka tak ingin Bella tahu rencana mereka untuk mengusirnya dari sini. Anak kelas melirik tak suka ke arah Bella yang sekarang sudah duduk tenang di kursinya. Ragas yang masih dongkol langsung membawa kameranya dan berjalan keluar kelas. Sera buru-buru mengejar langkahnya.

"Agas, mau kemanaa?" tanya Sera berusaha menyamakan langkah kaki mereka.

"Ke ruangan Pak Alwi. Gua mau ngadu soal ini," jawabnya. Sera menghela napas sebelum kemudian kembali berujar. "Oke, gue anter ya," katanya terdengar seperti ajakan, namun sebenarnya adalah pernyataan.

***


"Balik dulu, kan?" Putra sudah menggendong tasnya. Sementara Giu, Ragas, dan Nathan masih bermain uno bersama. Jam terakhir tadi adalah jam kosong, makanya mereka bermain uno di pojok kelas.

Giu teringat kalau hari ini mereka akan main bersama. "Oh iya, kita jadi main kan berarti?" tanyanya agak bingung karena kejadian kamera Ragas yang pecah tadi, Ragas sedikit murung.

Tapi lelaki itu jadi bersemangat lagi kala mendengan kata 'main' keluar dari mulut Putra. "BERANGKAT!!" serunya. Nathan menggeleng-geleng saja. Cowok itu membereskan kartu-kartu uno mereka. Tapi Giu mencegahnya.

"Jadi?" tanya Putra lagi. "Jadi lah!" jawab Giu. "Ya udah gua balik dulu, ganti baju," kata Putra. Giu mengangguk. Katanya, Nathan dan Ragas langsung ke rumah Giu pulang sekolah ini. Sementara Sera sudah lebih dulu ke parkiran tadi.

Putra akhirnya meninggalkan kelas. Tepat saat kakinya menginjak lantai luar kelas, ponselnya berdering. Putra mengangkat sambungan telepon itu. Suara Mami kesayangannya pun terdengar dari seberang sana.

"Putra, kamu masih sama Sera di sekolah?"
Putra mengangguk. "Iya, Mi. Kenapa?"
"Mami dapet kabar dari tante kamu. Katanya Sera bakal pindah besok. Kamu bantuin dia kemas barang ya, Put."
Putra langsung mengernyit. Tiba-tiba sekali Sera pindah? "Lah apa sih, Mi? Sera aja nggak ada ngomong apa-apa sama Putra kok. Masa tiba-tiba mau pindah aja?"
"Ya biasaa. Itu tante Sofia kan kalau kerja di luar kota suka berbulan-bulan. Kasian Sera nggak ada yang nemenin. Jadi biar dia di sini sama kita ..." KITA?
"Mami sayang, kalau ngomong yang jelas dong. Putra nggak ngerti," decak Putra.
"Itulah kamu. Efek terlalu pintar."
Putra mencibir. "Apa hubungannya, Mi?"
"Si Sera sepupumu itu lohh Putra. Dia bakal pindah ke rumah kita untuk beberapa bulan. Karena orang tuanya tugas di luar kota. Masih belum paham, kamu?"
Putra mengerjap. "YA TUHAN MAMIII. Putra kira Sera pindah kemana gitu?" kesal Putra akhirnya. Maminya ini memang agak lain.
"Lohh? Mami kan nggak bilang Sera pindah ke luar kota? Mami cuma bilang Sera pindah besok. Memangnya Mami salah?"
Putra cepat-cepat mengggeleng. "Enggak, Mi. Mami nggak salah, Putra yang salah. Maaf yaa, Mii," katanya mencoba sabar. Akhirnya setelah berpamitan dengan sang Mami tercinta, sambungan telepon mereka pun terputus.

Putra sampai di parkiran dan menemukan Sera sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya. Cepat-cepat Putra menepuk pundak Sera. "Woyy!"

Sera terlonjak dan memukul lengan Putra. "Kaget tau?"
"Kenapa lo mau pindah ke rumah gua nggak bilang-bilang? Panik gua, Ser. Gua kira lo mau pindah jauh," kata Putra.
Sera tertawa pelan. "Hahaha cieee panikin gueee!" tudingnya.
"Oh, gua cuma nggak mau gantiin lo jadi ketua kelas aja sih kalo semisal lo pindah jauh."
"SIALAN LO PUTRA!" Sera memukul lengan Putra lagi. Sementara Putra balik tertawa. "Tante Sofia mau kemana lagi, emang?"
"Malang," jawab Sera. "Huft, gue udah sempet debat sama Mama tadi sebelum berangkat ke sekolah. Makanya gue sekarang pusing banget liat keadaan kelas malah makin ricuh gini di semester dua. Capek gue, Put. Kepala gue kayak mau pecah aja rasanya."

Putra menoyor kepala sepupunya itu. "Lo bisa minta tolong gua kalo butuh sesuatu kali, Ser. Gunanya gua jadi wakil ketua kelas lo apa kalo bukan buat bantuin lo ngurus kelas?"

"Okee nanti-nanti gue bakal sering repotin lo kalau gitu."
Putra berdecih. "Jadi pindah besok? Lo udah prepare barang-barang lo?"
Sera menggeleng. "Belum. Pulang sekolah ini sih niatnya. Sebenernya gue nolak waktu mama bilang bakal nitipin gue ke Mami lo, Put. Karena gue takut ngerepotin. Tapi gue juga nggak mau sih di rumah sendiri," katanya.
"Yaelahh kayak sama siapa aja dah. Gua bantuin lo prepare, berarti kaga jadi main ke rumah Giu ya kita?"
Sera teringat akan agenda main mereka hari ini. Giu memang sudah mengajaknya tadi. Ah, Sera jadi tidak enak hati. Tapi mau bagaimana? Dia harus bersiap-siap untuk pindah hari ini. "Iya, sayang banget padahal gue juga pengen main," katanya.

"Yaudahlah. Bisa besok-besok."

Putra baru ingin naik ke motornya sebelum sebuah ide muncul di kepalanya. Segera Putra mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.


Putra tertawa puas setelah membaca respon teman-temannya itu. Ide licik Putra adalah mengeprank teman-temannya. Sera panik dan gadis itu menendang kaki Putra. "Jangan aneh-aneh, Put. Kasian mereka pada panik," katanya.

Semenit kemudian, suara langkah kaki Nathan, Ragas, dan Giu terdengar. Mereka menghampiri Putra dan Sera di parkiran sana. Wajah panik mereka terlihat lucu di mata Putra. Tapi sebisa mungkin, Putra tutupi rasa ingin tertawanya itu.

"Sera beneran mau pindah??" Giu bertanya panik.
"Pindah kemana?" Ragas juga ikut bertanya.
"Beneran?" Nathan menatap Sera bingung.

"Iya, Sera mau ikut orangtuanya ke Malang," jawab Putra, mengulum bibirnya untuk menahan tawa.

"AAAAA SERAAA!" Giu lantas memeluk teman perempuannya itu. Air matanya hampir luruh. "Dih cepet banget baru juga kemarin masuk udah mau pindah aja," celetuk Ragas yang terdengar seperti tidak terima. "Terus nanti gua duduk sama siapa?" Nathan bertanya entah kepada siapa.

Sera melepas pelukan Giu. "PUTRAA!! BOHONG DIA GUYS. Gue nggak pindah jauh kok, ke rumah Putra doang soalnya nyokap gue mau ke Malang beberapa bulan ke depan," jelas Sera.

Ragas langsung menendang kaki Putra. Nathan mendorong tubuh laki-laki itu. "Kampret lo Put," desis Ragas.

Giu yang hampir ingin menangis langsung ikut mendorong tubuh Putra yang saat ini sibuk tertawa sendiri. "MAJU LO PUT. Berantem kita!!"

"Hahaha lucu banget pada panik." Putra masih tertawa puas. Giu lantas berbalik dan tersenyum ke arah Sera. "Gue mau ikut bantuin lo pindah-pindah yaa, Ser," katanya.

"Boleh! Makasih Giuuu." Sera memeluk Giu lagi.
"Gua juga ya Ser! Nathan juga katanya," ucap Ragas padahal Nathan tak berbicara apa-apa tadi. Nathan berdecak. "Gua nggak bilang iya?"
"Halah udah ikut aja."
"Harusnya lo semua izin ke gua. Kan gua yang punya rumah?" ucap Putra tak terima. Giu yang masih kesal hanya bisa menjulurkan lidahnya, meledek Putra seakan berbicara bahwa Putra tidak diajak. "Kan yang pindah Sera, bukan lo," jawab gadis itu.

Nathan dan Ragas sama-sama mengangguk setuju. Sementara Putra berdecih. "Gas," panggil Putra. Ragas menoleh. "Terus gimana kamera lo?"

Ragas lagi-lagi mendesah pelan. "Gua udah ngadu ke Pak Alwi kan tadi sama si Sera, terus udah gua omongin juga sama si Bella belek itu. Dia cuma minta maaf sialan. Gua juga udah call abang gua buat minta solusi, katanya harus ganti lensa. Kesel gua, mahallll."

Giu dan Sera meringis pelan. Putra bergumam. "Ya udah lo ngurus kamera aja dulu sekarang. Biar Sera pindahan, gua sama yang lain juga bisa," finalnya. Tapi Ragas menggeleng. "Kaga lah. Niatnya juga hari ini gua mau main sama lo-lo pada, bodoamat kamera gua nanti gua titip ke mobil Nathan dulu. Pulangnya gua nebeng ke Nathan," katanya.

Nathan setuju saja. Putra juga mengangguk-angguk. "Oke dah serah lu."

"Mau langsung ke rumah Putra nih kita berarti?" tanya Giu. Sera mengangguk. "Iya, tapi kalian tunggu di gerbang dulu aja. Gue mau ketemu sama Pak Alwi bentar. Beliau barusan chat gue," katanya.

Mereka berempat mengangguk paham. Lalu setelahnya, beriringan menuju ke depan gerbang sekolah. Giu dan Ragas masuk ke mobil Nathan, sementara Putra naik motor sendiri.

****

Setiba nya mereka di rumah kediaman Putra, Giu mengerjap kagum. "wahh ini sangat minimalist dan aesthetic secara bersamaan."
Putra berdecih. Lelaki itu menyuruh mereka untuk masuk ke dalam. Setelah mereka melakukan aksi gotong-menggotong barang-barang Sera tentunya.
Oh iya, tadi kelimanya sudah sempat pergi ke rumah Sera lebih dulu. Memeriksa barang mana yang akan Sera angkut ke rumah Putra, dan membantu gadis itu mengangkut semuanya.
"Mii!! Putra pulangg!"
Ragas dan Giu sempat terkekeh sebentar saat mendengar nama panggilan Putra untuk sang ibu. Mami. Itu terdengar lucu.
Seorang wanita yang terlihat masih muda bahkan dengan celemek masaknya berlari menghampiri mereka di depan pintu utama. Cantik sekali, mungkinkah ini ibu dari Putra?
"Wahh ya ampunn! Putra, ini teman-teman kamu? Banyak banget. Eh, ayo masuk-masuk semuanya! Sera, Sera mana? Oh itu dia! Sera sudah bawa barang-barang kesini? Putra bantuin kamu nggak? Kalau dia nggak bantuin kamu, bilang sama tante. Nanti biar tante sabet dia pakai sapu lidi."
Sera terkekeh mendengar ocehan maut tante kandungnya itu. Giu dan Ragas sudah bersusah payah menahan tawa disana. Bahkan Nathan, lelaki itu mematung dengan mulut sedikit terbuka.
Nathan tidak bisa membayangkan bagaimana kalau mami Putra ini adalah ibunya. Nathan pasti sudah pingsan tiap hari mendengar ocehannya.
"Mi, jangan berlebihan. Putra udah bantuin Sera kok tadi. Temen-temen yang lain juga ikut bantuin," kata Putra berusaha sabar dengan sikap maminya.
"Yahh, kan mami cuma khawatir sama ponakan mami. Hehe eh! Ayo dong sini-sini semuanya duduk dulu! Nanti biar barang-barang Sera, yang beresin mang Upin aja," mami Putra kembali menyuruh Agas dan yang lainnya duduk.
Mang Upin itu tukang kebun, supir, sekaligus art satu-satunya yang bekerja di rumah Putra. Alasan beliau dipanggil Upin adalah karena rambutnya yang hanya tumbuh satu di pucuk kepalanya, sama seperti Upin di serial Upin&Ipin.
Putra berdecak. "Mami, jangan sering-sering repotin mang Upin lahh," protesnya.
Memang terkadang, maminya itu suka membuat mang Upin kewalahan. Sikap ribet dan rempong khas ibu-ibunya sudah tertanam meski banyak yang bilang, maminya itu masih terlihat seperti anak SMA. Ya, namanya juga ibu-ibu. Mau se-muda apapun wajahnya, tetap rempong 'kan?
Maminya itu tidak menggubris perkataan Putra. Bahkan sekarang dirinya sudah kembali tersenyum lebar, dan duduk bersama teman-teman Putra di sofa. Sementara Putra sudah pamit untuk berganti baju.
Awalnya wanita setengah baya itu tenang-tenang saja, sampai pada akhirnya ia melihat keberadaan Giu di sana. Sontak, Mami langsung menghampiri Giu dan tersenyum senang. "Ya ampun, ini Giudith yang sering muncul di majalah remaja itu ya?? Yang sering muncul di tv tv juga kan? Kamu beneran satu kelas sama Putra ternyata? Ya ampun Mami nggak nyangka kamu bisa mampir ke rumah Mami gini, mami terharu," katanya panjang lebar.
Wah sungguh. Giu melihat aura keceriaan yang terpancar dari perempuan cantik dihadapannya ini tak pernah habis. Maminya Putra selalu tersenyum manis ketika sedang berbicara. Sangat berbanding jauh dengan Putra yang selalu menjaga image cool nya di depan mereka.
"Bener tante!! Aku Giu, temen sebangku Putra. Salam kenal tante!" Giu menunduk sedikit untuk memberi salam.
Mami langsung menggenggam tangan Giu erat. "Ya ampun, cantiknyaa. Ternyata liat aslinya kamu lebih cantik, sayang. Semoga kamu betah yaa duduk sama Putra. Eh, dia suka kentut sembarangan nggak?"
Giu dan yang lainnya tertawa bersama. Sepertinya, sebutan happy virus sangat cocok dengan maminya Putra ini.
"Kalau si ganteng-ganteng ini siapa namanya?"
"Saya Agas, tante! Pria paling tampan di muka bumi ini. Suka permen karet, dan nggak suka olahraga."
"Hahaha lucu sekali kamu, Agas. Iya, iya, kamu memang tampan. Putra juga kalah tampan dari kamu," balas mami Putra setengah berbisik di akhir kalimatnya.
Ragas ikut tertawa mendengarnya. Kemudian Nathan tersenyum, berusaha sekuat mungkin untuk bersikap ramah pada wanita dihadapannya ini.
"Saya Nathan, tante."
"Halo Nathan! Gemes banget kamu! Nathan ini teman sebangkunya Agas, ya?"
Ragas menggeleng. "bukan, tante. Dia teman sebangkunya Sera."
"Oh! Ya ampun! Sera, kamu beruntung banget punya teman kayak Nathan ya! Pasti dia baik kan? Ah, kalian semua pasti baik-baik. Makanya Putra mau berteman sama kalian."
Kembali, Sera, Giu, Ragas, dan Nathan tertawa bersama. Meski Nathan hanya tersenyum canggung dengan celotehan maminya Putra ini. Tapi mereka terlihat senang mengetahui sikap lucu dan ribet dari wanita itu.
Putra kembali setelah berganti baju. Melihat pemandangan aneh di ruang tamu, Putra mengerutkan alisnya. "sebenernya, mereka temen-temen gue apa temen-temennya mami, sih?!" gumamnya tak habis pikir. Terlihat bagaimana keempat temannya malah lebih seru berbincang dengan Mami dibanding dirinya.
Melihat kedatangan Putra, Mami langsung pamit ke belakang lagi. Katanya tadi beliau lagi mencuci piring. Jadilah mereka berlima mengobrol-ngobrol santai di ruang tamu rumah Putra. Giu bercerita bahwa Maminya Putra sepertinya menyukai gadis itu.
"Gimana Mami nggak suka sama lo, Gi? Mami aja sering liat lo di layar tv, hape, sampe majalah di rumah juga ada foto lo semua," ujar Putra. Memang benar, sih. Mau bagaimanapun juga, wajah Giu sudah pernah dilihat banyak orang. Bukan satu dua orang saja. Jadi wajar kalau fansnya pun banyak juga.
"Tapi Mami lo lucu banget tau, Put. Cerewet gitu hahaha," tawa Ragas membuat Giu mengangguk setuju. "Sumpah iya. Maminya Putra seru banget orangnya. Iri deh gueee," ujar gadis itu.
"Kenapa iri? Mami gua rempong banget gitu orangnya. Pokoknya kalau gua bawa temen ke rumah, gua pasti udah kayak anak tirinya," heran Putra.
"Ihh justru yang cerewet itu menurut gue yang seru! Lo jadi nggak ngerasa kesepian di rumah, Mami lo selalu ada bahan buat ngobrol sama lo," ujar Giu lagi. "Betul. Gua capek denger ocehannya, tapi Giu bener juga," kata Nathan lirih.
Ragas giliran tertawa setelah mendengar Nathan berbicara bahwa dia membenarkan ucapan Giu tadi. "Tuh, Put. Nathan aja setuju," ujar Ragas.
"Masa?"
"Tapi Tante Lisa tuh emang asik banget orangnya. Gue tiap main ke rumah Putra juga sering diajak ngobrol. Seruu deh!" Sera tersenyum puas. Tante Lisa memang seperti apa yang Sera ucapkan.
"Kapan-kapan gua mau main ke rumah lo lagi lah, Put," ucap Ragas sudah berniat ingin main ke rumah ini lagi. Bahkan tadinya Ragas sudah hampir ingin menjadikan rumah Putra sebagai basecamp mereka.
"Ngapain? Nggak usah," tolak Putra.
"Ketemu Tante Lisa lagi lah! Enak banget gua di kasih makan dulu."
Putra berdecih. "Mami sering pergi arisan, jarang di rumah," jelasnya.
"Bohong," desis Sera. "Tante Lisa pergi arisan cuma sebulan sekali, kok."
"Tapi agenda reuninya seminggu sekali. Lo tau itu, Ser?"
Sera menghela napas. "Anyway makasih banyakyaa, kalian udah bantuin gue beres-beres sama angkutin beberapa barang gue tadii."
"Sama-sama Seraa!" Giu memeluk sahabatnya itu. "Semangat terus yaa! Lo nggak boleh sedih-sedih terus. Biar si Arabella, kita basmi bareng-bareng," ujar Giu dengan penuh tekad.
Ragas jadi teringat kameranya yang jatuh tersenggol gadis ular itu, Ragas kesal lagi. "Ah, sialan. Janganlah lu bahas itu cewek aneh lagi. Gua udah muak," cibirnya.
"Tapi kayaknya dugaan kita bener, Gas. Si Bella suka sama Nathan!" seru Putra. Ragas langsung menjentikkan jarinya ke udara. "Gua juga mikir gitu kan Put? Nggak percayaan sih lu," kata Ragas sambil mendorong pelan tubuh Nathan.
Nathan gelagapan sendiri. "Apa sih?" ucapnya terdengar bingung. Melihat itu, Giu malah tertawa. "Hahaha ciee Nathan," senggol Giu. Nathan sontak menggebrak kecil meja Putra. "Diem. Gua nggak suka sama dia," katanya.
Giu masih tertawa. "Gue penasaran reaksi Bella gimana ya pas tau Nathan orangnya sedingin ini? Bahkan sama kita yang udah hampir satu tahun temenan aja masih suka dingin banget sikapnya itu. Orang kaya Nathan kok disukai," timpal Giu heran.
Kalimat Giu tadi berhasil membuat Putra, Ragas, dan Sera kompak tertawa. Giu cerewet dan realistis sekali anaknya. Ragas sampai memegang perut karena tak kuasa menahan tawa. "HAHAHAH Giu, gua setuju banget!"
Sementara Nathan mendengus sebal saja di sana. "Ser, tolongin gua," cicitnya menarik lengan baju Sera kecil. Ya ampun, Nathan. Yang benar saja?

Continue Reading

You'll Also Like

Riptide By V

Teen Fiction

388K 9.4K 128
In which Delphi Reynolds, daughter of Ryan Reynolds, decides to start acting again. I love you all❀️ ACHEIVEMENTS: #2- Walker (1000+ stories) #1- Sco...
13.4K 224 30
David Reyes and Aaliyah Martinez, swear up and down that they hate each other. But they come to fall in love with each other?
4.5M 247K 188
Now available in paperback on Amazon! Though the last chapter is read that doesn't mean the story is over. One shots for A Secret Service including...
213K 9K 50
|ongoing| Ivana grew up alone. She was alone since the day she was born and she was sure she would also die alone. Without anyone by her side she str...