TANAH BAGHDAD

By frasaberliana

896K 80.3K 53.9K

Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu... More

Attention
Profil Penulis
Wajib dibaca!
Prolog
TB1 - Khaizuran
TB2 - Khitbah
TB3 - Pernikahan
TB4 - Malam Pertama?
TB5 - Mujahadah
TB6 - Baghdad
TB7 - Dua Garis
TB9 - Terhalang
TB10 - Luka
TB11 - Ingkar
TB12 - Dingin
TB13 - Satu Hati
TB14 - Bayangan Kelam
TB15 - Setetes Embun
TB16A - Tasbih dan Rosario
TB16B - Tasbih dan Rosario
TB17 - Pengakuan
TB18 - Perjanjian
TB19 - Right Path
TB20 - Sleepover
TB21 - Tergoda
TB22 - Ujian Untuknya
TB23 - Hilang
Part 24?
TB24 - Pergi

TB8 - Prioritas

21.9K 2.4K 1.3K
By frasaberliana

Kalian tidak akan tahu nilai baik dari sebuah kisah sebelum membaca cerita secara keseluruhan.

Vote dan komen jangan lupa. Ada tiket lagi buat menuju part 9. Jadi, baca sampai bawah.

***

"Baby-nya sehat, kok. Nih, udah ada suara detak jantungnya. Mommy dan Daddy-nya baru dengar sekarang, kan?"

Fikra merasakan tangannya digenggam begitu kuat. Dia merasakan sakit, tetapi sakit yang tak seberapa dibandingkan perempuan yang terbaring lemas dengan lelehan air mata tak henti-henti di pipinya.

"Berapa usia kandungannya, Dok?" tanya Fikra.

Dokter wanita paruh baya yang berkacamata mengeksplorasi janin melalui layar lalu tersenyum hangat. "Sudah 10 minggu. Mommy nggak boleh stres, ya. Jangan banyak pikiran supaya demamnya cepat turun."

Fikra bisa mendengar suara isak dari bibir di balik masker putih yang menutup separuh wajah Alenta. Telapak tangannya yang diremas sudah merah sempurna. Walaupun, sesaat kemudian terlepas. Sahabatnya mengusap air mata lalu memalingkan wajah.

Dokter membersihkan gel di permukaan perut yang mulai membuncit di bagian bawah. Setelah merapikan atasan piyama rumah sakitnya, Alenta dituntun turun dari ranjang oleh Fikra. Kembali duduk di kursi roda.

"Saya baca dari observasi dokter IGD, kemarin Bu Alenta habis dari London?"

Fikra mengambilalih pembicaraan karena Alenta terlihat menahan pusing dan mual. "I-iya, Dok. Kami memang tinggal di sana."

"Mungkin bisa stay di Indonesia dulu sampai kandungannya cukup kuat. Nanti kalau kondisinya baik, mudah-mudahan usia 15 minggu bisa kembali ke London pakai surat izin terbang."

"Baik, terima kasih, Dok," ucap Fikra.

"Sehat selalu, Ibu Alenta."

Alenta tersenyum seadanya. Terlihat dari mata sembapnya sedikit membentuk lengkungan. Fikra dan Alenta berada di dalam elevator untuk kembali ke ruang rawat. Tanpa ada sepatah kata pun terucap dari mulut mereka.

"Gue mau gugurin kandungan," ungkap Alenta tepat setelah pintu ruang rawat tertutup sempurna.

Fikra menghadapkan kursi roda Alenta ke arahnya yang duduk di sofa. "Le ... nggak lucu. Dia nggak salah. Please, jangan."

Tatapan kosong Alenta menyiratkan keputusasaan. Perempuan itu meronta saat Fikra mencoba meraih tangannya. "Gue mau mati bareng dia." Kalimat itu terucap dengan nada rendah.

"Semua pasti ada jalan keluarnya," balas Fikra.

Tatapan bengis Alenta layangkan untuk laki-laki di depannya. Gigi-giginya berderit seolah menahan lonjakan emosi di dada. "Gue nggak mau ada dia!" bentak Alenta.

"Le, please, jangan gini."

Alenta meronta lagi lebih keras saat Fikra mencoba menenangkan. "Lo bisa gampang ngomong gitu karena lo nggak tahu apa yang gue rasain!"

"Gue minta maaf, Le ...." Kali ini kalimat permintaan maaf terucap dari laki-laki yang matanya sudah merah.

"Buat apa lo minta maaf? Permintaan maaf lo nggak akan ubah semuanya. Gue udah hancur!" Runtuhlah Alenta meratapi nasib buruk yang menimpa. Suara tangisnya sangat memilukan. Gelombang duka terus mengalirkan sinyal hingga Fikra turut meneteskan air mata.

"Alenta ..." lirih Fikra.

"Apa yang bisa lo lakuin buat gue? Nggak ada, kan? Lo mau tanggung jawab? Enggak juga, kan?" Alenta memekik. Suara jeritannya membuat urat-urat di lehernya tampak dari luar.

Alenta menarik kuat rambut panjangnya dengan jari-jarinya. Sementara Fikra membeku melihat perempuan hamil yang begitu rapuh di hadapannya.

"Pergi dari sini." Didorongnya Fikra agar pergi menjauh darinya.

"I won't." Fikra berusaha mengunci pergerakan tangan Alenta yang mulai menyakiti diri sendiri. Dari mulai menjambak sampai nyaris memukul kepala.

"I want to be alone!"

Mulanya, Fikra tetap duduk di tempat tanpa beranjak. Dia masih berusaha menahan Alenta yang meronta-ronta. Lambat laun setelah Fikra berpikir lebih tenang, mungkin Alenta benar-benar butuh waktu sendirian. Namun, dia tak langsung meninggalkan. Dengan sabar dia tunggu putri tunggal seorang pengusaha sukses beragama Katolik yang taat menyelesaikan tangisan.

Fikra mengambil tisu di nakas lalu dia seka air mata dari wajah Alenta. Dia dalami manik mata yang tak berbinar sebagaimana terakhir mereka makan malam di tepian Sungai Thames yang indah.

"Oke, gue kasih waktu buat lo sendiri, tapi please, jangan self harm. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa." Ibu jari Fikra mengusap lembut punggung tangan Alenta.

Kursi roda diarahkan ke ranjang. Fikra membopong Alenta kembali ke tempat tidur lalu dia rapikan bantal serta selimutnya. Pagar pengaman ranjang turut dinaikkan. Seluruh benda tajam sudah dipastikan tidak ada di sekitar pasien yang beristirahat. Alenta memejamkan mata dengan bibir penuh isak.

"Gue pulang dulu sebentar. Nanti ke sini lagi." Dua kelingking tertaut. "I promise." Sebelum benar-benar pergi, Fikra mengusap puncak kepala Alenta. "Kalau ada apa-apa panggil suster."

Alenta tak acuh pada perlakuan manis dari laki-laki yang sangat dekat dengannya setelah Daddy. Dia membuang muka dan menatap kosong jendela kamar rawat rumah sakit.

***

Sayur bening bayam, tempe goreng, ikan kembung goreng, dan sambal ulek sudah terhidang di meja. Semua tampak begitu lezat karena asap tampak sedikit mengepul di atas mangkuk dan piringnya. Wanita dengan gamis warna marun dan kerudung merah jambu pucat melihat ke arah jam.

Sudah pukul 12 siang. Dia lepas cadar yang bertengger di wajah. Tadi setelah masak, Keisya sempat mengisi taklim online khusus remaja penghafal Al-Qur'an dengan adik-adik rohis tingkat SMP dari Kota Surakarta. Agenda ini sudah dia setujui jauh-jauh hari sebelum pernikahannya dengan Fikra berlangsung. 

Ponsel putih di tangan dia buka kunci layarnya. Percuma juga memeriksa ponsel. Tidak akan ada pesan apa-apa di sana. Handphone suaminya rusak dan tidak dibawa pergi sejak semalam.

Mata Keisya kembali tertuju pada amplop putih. Setiap jarinya tak sengaja menyentuh permukaan kertas, sensasi panas segera menjalar di dada. Lamunan Keisya buyar. Terdengar suara mesin mobil yang dimatikan di halaman depan.

Keisya melihat suaminya turun mobil dari jendela ruang tamu. Keisya tahu apa yang seharusnya dilakukan sekarang. Tentu saja menyambut suaminya pulang. Namun, apakah teori itu berlaku untuk suami yang meninggalkannya sendirian di rumah demi mengantar teman perempuan ke rumah sakit tengah malam? Teman suaminya yang meninggalkan jejak testpack positif hamil di kamar.

"Astagfirullah hal 'adzim, Kei," ucapnya lalu bergegas membuka pintu utama.

"Assalamu'alaikum," ucap Fikra.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh." Keisya raih tangan Fikra lalu diciumnya bagian punggung dan telapak tangan suaminya.

Fikra melenggang masuk ke ruang makan. Gelas dan air putih dingin menjadi tujuan. Dia butuh mendinginkan pikiran.

Amplop putih di atas meja cepat-cepat dia sembunyikan ke dalam saku gamisnya. "Kamu udah makan siang?"

Fikra menggeleng.

"Mau makan? Tadi aku beli bayam, tempe, ikan, dan beberapa bumbu di tukang sayur keliling. Makan seadanya dulu, ya." Piring kosong dan mangkuk berukuran kecil segera Keisya ambil.

Biasanya manusia seperti Fikra tidak suka makan dengan kuah dicampur nasi. Seperti orang barat yang biasa makan dengan piring dan mangkuk berganti-ganti tergantung jenis hidangan.

Wajah suaminya sangat sayu. Bagian bawah mata yang gelap jelas sekali menunjukkan Fikra kurang tidur. Pria itu memijat pelipis lalu menjadikan kedua tangan yang bertaut sebagai topangan kepala.

Untuk semua yang disaksikan oleh mata, Keisya merasa tidak tega. Memang ada sakit di hati atas apa yang dia temukan semalam. Memang ada rasa penasaran di benak yang meminta kejelasan. Hanya saja, Keisya masih menunggu momen yang tepat untuk bicara. Belum tentu dugaan negatifnya pada Fikra benar.

"Nanti setelah makan, aku siapkan air hangatnya di-bath tub buat kamu mandi."

Keisya duduk di samping Fikra. Dia elus dengan lembut bahu milik suaminya. "Mau aku suapin?"

"Nggak usah." Fikra mengambil sendok. Seketika penglihatannya terpaku pada sayur dan lauk yang tersaji.

"Nggak suka sama menu makannya?" tebak Keisya. "Kamu mau aku buatin apa? Atau mau order makanan online lagi? Biar aku pesenin."

Fikra bergeming sesaat. Sebelum akhirnya menyendok sayur bening bayam ke mangkuk lalu mengambil ikan kembung setengah ekor dan tempe goreng ke piringnya. Sisa dari ikan milik Fikra diambil oleh Keisya. Berbeda dengan suaminya yang akan makan dengan sendok dan garpu, Keisya memilih menggunakan tangan kosong.

Belum ada tiga sendok makan masuk ke mulut Fikra. Seluruh liurnya sudah mendobrak ingin keluar. Fikra merasa kerongkongannya tercekik dan memberi reflek padanya berlari ke tempat cucian piring.

"Huwk!"

"Astagfirllah hal 'adzim, Fikra!" Keisya menyusul suaminya. Untung tangannya belum terkena nasi dan sambal. Segera dia pijat tengkuk laki-laki yang tentu lebih tinggi.

Fikra memuntahkan seluruh isi perut hingga yang keluar dari mulutnya hanya cairan kuning. Keisya mengusap peluh yang membanjiri kening suaminya, sedangkan si suami masih berperang dengan rasa mual yang muncul berkali-kali.

"Kamu alergi ikan?"

Fikra menggeleng sambil berkumur dengan air membersihkan mulut.

"Kamu alergi tempe? Atau bayam?"

Fikra hanya menggeleng lagi dengan terengah-engah. Dia keringkan air di sekitar bibir dengan lengan jaketnya.

"Duduk dulu, duduk dulu. Aku ambilkan air putih hangat."

Ternyata dispenser di sampingnya tak terhubung dengan saklar. Keisya mengambil panci lalu mengisinya dengan air mineral. Sesekali dia melirik melihat suaminya terkulai lemas di sofa ruang tengah.

Keisya merasa bersalah. Jangan-jangan Fikra muntah karena masakannya. Sambil menunggu air di kompor mendidih, Keisya refleks memasukkan tangan kiri ke saku gamis, sedangkan tangan kanannya memegang gelas.

Keisya terperanjat. Terabalah amplop putih berisi benda pipih kecil dengan dua garis. Dia hubungkan satu demi satu peristiwa. Alenta, testpack positif, Fikra, dan reaksi muntah suaminya setelah makan. Semua menuju pada satu kesimpulan.

"Kehamilan simpatik." Istilah dari dunia kedokteran terucap dari bibir Keisya.

Sebuah sindrom di mana seorang suami dari turut mengalami gejala-gejala kehamilan saat istrinya hamil muda. Pengetahuan ini Keisya dapatkan dari kakak iparnya yang mual dan muntah saat Mbak Sarah mengandung anak pertama.

Kedua kaki Keisya gemetar hingga dia harus memundurkan langkah. Gelas kaca di tangannya terlepas. Bunyi pecahan kaca membuat Fikra terkesiap berlari ke dapur.

"Kei?"

Keisya memberi jarak pada Fikra yang berusaha mendekat. Bulir-bulir air matanya jatuh. Dia seperti dibangunkan oleh realita. Kenapa bisa tadi dia melayani suaminya dengan baik untuk makan siang, sedangkan suaminya sedang tertuduh menghamili perempuan lain.

"Keisya?" panggil Fikra dengan ekspresi bingung karena Keisya seperti takut didekati olehnya.

"Siapa ayah dari janin di kandungan Alenta?" tanya Keisya dengan suara bergetar. Wajahnya memperlihatkan tangisan, tetapi raut ekspresinya begitu dingin dan tegas.

"Kei."

Amplop putih dari saku gamis dia keluarkan. Testpack terbungkus plastik Keisya tunjukkan pada suaminya. "Aku tanya, siapa ayah dari janin di kandungan Alenta?"

Fikra tersentak. Tak berkutik dengan pertanyaan yang Keisya ajukan. "Kei, kita bisa bicarain semuanya baik-baik."

Terhalang dinding, Keisya tak bisa memundurkan langkahnya lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Fikra untuk mendekati istrinya lalu menarik Keisya ke dalam pelukan.

Dapat Fikra rasakan pundak Keisya yang naik-turun menahan emosi tidak karuan. Diusaplah punggung Keisya dengan lembut. Tidak lupa Fikra bubuhkan tanda cinta di ubun-ubun yang tertutup jilbab. "Lo istirahat dulu, tenangin diri."

Pelukan Fikra terlepas dengan kasar. Sekuat tenaga Keisya tak mau jatuh dalam rayuan.

"Aku cuma tanya siapa ayah dari bayi di kandungan Alenta dan kamu tinggal jawab!"

Untuk pertama kali si putra kyai melihat putri seorang ustaz ternama meluapkan amarah. Memang bentakannya tak seberapa, tapi hal itu membuat martabatnya sebagai laki-laki turun dan geram.

Kedua tangan Fikra terkepal. Matanya memicing dan menatap sinis ke arah Keisya. "Terus gue harus jawab apa? Amplop yang lo pegang itu punya Alenta. Lo nggak ada hak buat cari tahu tentang Alenta!" maki Fikra.

"Aku udah lihat di media sosial. Dia cuma sahabat kamu selama kalian kuliah di London. Kalau cuma sahabat, apa harus sejauh itu hubungannya, Fik? Kamu dan Alenta—"

Fikra menuding wajah Keisya dalam jarak sangat dekat. "Lo bisa diam nggak? Perlu lo tahu Alenta adalah perempuan yang berarti buat gue. Dia kenal gue melebihi Umi dan Abi tahu tentang anaknya! Dia prioritas gue!"

Suami yang notabene adalah mantan sahabat kecilnya tentu bukan orang baru bagi Keisya. Sekarang dia tatap balik lawan bicaranya tanpa ragu. "Kalau gitu kenapa kamu nikahin aku?"

"Jawaban apa sih yang sebenarnya lo mau?"

Dalam kondisinya yang marah pada suami, ada pikiran Keisya yang mengarah pada tindakannya sangat tidak patut sebagai seorang istri. Semua desakan rasa sakit di hati tercerminkan dengan kedua tangannya yang terkepal dan berakhir bertumpu di dada suami.

Sebab kedua kakinya sudah tak bertenaga lagi. Keisya runtuh bersama tangis dan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. "Kamu tinggal jawab! Kamu tinggal jawab alasan kamu nikah sama aku karena apa?"

"Gue nikahin lo supaya bisa keluar dari kekangan Umi dan Abi di pesantren! Puas?" Fikra membentak tanpa sedikit pun rasa kasihan pada istrinya. Dia jauhkan Keisya dengan cara mendorong pelan kedua tangan yang bertumpu padanya.

Kunci mobil di meja makan dia sambar. Tanpa harus berlama-lama di sana, Fikra menuju pintu untuk keluar.

Ada benda tajam yang seolah-olah menusuk jantung tatkala Keisya menghirup udara melalui hidung. "Enggak, aku yakin kamu nikahin aku bukan karena itu," bantah Keisya.

Suara tangis tak mampu menghentikan langkah Fikra. Saat tangannya ingin membuka pintu, Keisya kembali menghadang.

"Fikra, jangan pergi. Aku mau kamu di sini. Atau kamu mau kita pergi? Kita silaturahim ke rumah bude dan pakdeku?" Keisya berusaha mencari-cari alasan.

"Gue nggak butuh drama dari lo, ya, Kei. Gue mau balik ke rumah sakit nemenin Alenta."

Keisya menggeleng cepat. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki olehnya sebisa mungkin Fikra tak mampu menggeser tubuhnya.

"Aku mau ditemenin kamu ke supermarket. Kita beli bahan makanan dan peralatan dapur."

"Ada teknologi namanya taksi online." Begitu mudah bagi Fikra membersihkan jalannya untuk keluar. Keisya sudah tersingkir. Kakinya memakai sandal dan dia berjalan cepat menuju halaman.

"Aku nggak mau berduaan sama supir yang jelas-jelas bukan mahramku."

"Lo cuma alasan. Gue tahu lo sering pakai taksi online selama di Jogja. Jangan lebay."

"Aku minta maaf, tapi aku mohon kamu jangan pergi. Di rumah aja. Di sini aja sama aku." Keisya memohon-mohon memegang lengan Fikra.

"Aku mau makan spageti lagi sama kamu. Aku mau belajar bikin spageti kesukaan kamu. Aku mau tahu semuanya tentang kamu."

Fikra mengacak rambut depannya tanda kesabaran yang dia bangun sudah habis. "Lo adalah manusia paling egois yang pernah gue kenal! Lo pikir, dong, kondisi Alenta! Dia sakit tifus dan dia hamil!"

Perempuan berjilbab merah jambu pucat menangis terisak-isak. Untunglah posisinya tertutup suaminya. Sebab mereka berada di teras, tetapi Keisya tak mengenakan cadarnya.

"Dia nggak halal buat kamu. Aku nggak mau kamu dosa," jawab Keisya dengan suara tersendat-sendat.

"Lo pake mobil gue kalau emang nggak mau naik taksi. Biar gue naik motor." Kunci mobil dalam genggaman dia berikan pada istrinya.

"Aku nggak bisa nyetir."

"Bukan urusan gue." Fikra mengambil kunci motor balapnya yang tergantung di ruang tamu.

Keisya berbalik badan menghadap ke dalam rumah di mana suaminya berdiri tepat di ambang pintunya. Sempat Fikra lihat wajah yang berlinangan air mata itu.

"Aku bukan anak kandung Umi dan Abah. Sekarang aku cuma punya kamu. Apa salah kalau rasa takut kehilanganku sebesar itu?" Keisya turunkan nada bicaranya, kemudian perempuan itu memeluk Fikra sangat erat. Sampai jari-jarinya meremas jaket suaminya sekuat tenaga.

Fikra menatap lurus ke depan. Dia biarkan perempuan mungil kembali menangis dan menumpahkan air mata di dada bidangnya tanpa membalas pelukan itu.

"Dunia ini nggak punya tempat buat orang yang lemah. Hadapin. Perjuangin sesuatu yang lo mau supaya berjalan sesuai harapan."

Cengkeraman tangan Keisya mulai melonggar. Fikra lepaskan dua tangan yang melingkari tubuhnya. "Jangan pernah tahan gue pergi. Gue benci dikekang."

Bunyi dari knalpot motor balap telah menggelegar. Dipakainya helm dan dia tutup kacanya dengan sempurna. Pergilah seorang suami tanpa pamit. Setelah pintu rumah sudah tertutup, Keisya terperenyak. Hancurnya hati dibuktikan dengan dia yang tak mampu lagi berpijak.

Ponsel putih di meja makan terus berdering nyaring menandakan ada panggilan masuk.

Incoming call: Umiku Sayang

Berkali-kali bunyi panggilan itu mengharapkan jawaban dari penerimanya, tetapi putri angkat Ustaz Salman berjalan pun tidak mampu. Tangisnya sedang meluap tanpa ampun. Rintihan terparahnya dalam hidup melebihi apa pun.

***

"Pernikahan adalah ibadah terpanjang. Ibadah yang memerlukan perjuangan fisik, mental, dan iman. Itulah mengapa cinta saja tak cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan."

-Keisya Khaizuran-

***

Kayaknya kepanjangan. Hehehe.

Mau lanjut?

Tiket menuju part 9: 800++ vote dan 1k++ komen

Spam next atau ketik nama "Keisya" di sini.

Menurut kalian, Fikra itu .... Coba tulis di sini.

©Berliana Kimberly | Part 8 published 6 Februari 2024 | Genre: Romance-Spiritual | Karya ini dilindungi oleh Undang-Undang No.28/2014 tentang Hak Cipta dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP)

Continue Reading

You'll Also Like

13.7K 3K 92
Zhou Li telah bertransmigrasi ke dalam novel yang sangat manis. Novel manis ini bercerita tentang seorang protagonis laki-laki tragis yang diubah men...
23.7K 3.3K 34
Sebab ketahuan menginap semalam di kosan Matteo pacarnya, Asmaraloka dijodohkan dan dinikahkan paksa oleh Sang Papa dengan Alzam, seorang santri jebo...
218K 3.7K 9
Gempita tidak pernah menyangka bahwa ia harus menjadi simpanan seorang lelaki. Bukan tanpa alasan, orang tua nya memiliki hutang yang banyak membuat...
2.5K 295 2
Sorai dan kehidupan barunya yang ternyata jauh lebih pahit.