Alpha Centauri

By nadanulis

70 21 0

Lima sekawan yang berjuang untuk mempertahankan peringkat paralel mereka sampai semester akhir, namun satu di... More

Perang Kelas
Ujian Semester
Semester Baru
Problem level 1
Tentang Nilai
Camera, Roll, Action!
Problem Level 99
Consideration
Seek the Truth
Come Play With Us
Alpha Centauri

Liburan

8 2 0
By nadanulis

"Yoww bro Nathan sudah datangg!!"

Putra, Giu, dan Sera yang sedang sibuk bermain kartu uno seketika mendongak. Saat seruan Agas terdengar di halaman rumah besar kediaman Giu.
Keempat remaja itu sudah lebih dulu sampai dibanding Nathan. Bangunan putih besar dengan pion-pion emas yang menopangnya, membuat Putra dan yang lain percaya, kalau Giu memang berasal dari orang terpandang.

Tapi sayangnya, rumah sebesar ini isinya hanya ada Giu dan kebanyakan asisten rumah tangganya. Kedua orang tua Giu sangat sibuk bekerja di luar negeri. Pulang hanya beberapa bulan sekali.
Nathan datang dengan mobil merah biasanya. Lelaki itu kini tampil beda. Celana pendek selutut, dengan kaus hitam, dan kacamata hitam. Nathan terlihat bukan seperti Nathan.

Penampilannya cukup membuat Putra terkekeh. Sera membuka mulutnya lebar-lebar, sementara Giu refleks berdiri menghampirinya.

"INI BENERAN NATHAN??" heboh Giu saat sampai di hadapan lelaki itu.

Agas yang juga berada disana menepuk pundak Nathan keras. "kerenn broo!! Mahal ya kacamata lu?"

Nathan mengangkat bahu saja. Mengajak Agas dan Giu untuk berhigh-five. Kemudian menghampiri Putra dan Sera, juga melakukan hal yang sama pada keduanya.

Setelah kedatangan Nathan, Giu berdiri dan bersiap menyalakan pemanggang miliknya. Putra ikut mengekor di belakang Giu, cowok itu berniat membantu teman sebangkunya itu. Sementara Nathan mulai bergabung dengan Sera dan Agas bermain uno.

"Uno?" tanya Nathan saat sudah duduk di salah satu kursi yang Giu siapkan di halaman rumahnya. Meskipun terlihat sepi, tapi sebenarnya banyak orang juga di rumah ini. Walau hanya para pembantu yang terlihat, tapi setidaknya Giu tidak terlalu kesepian.

Sera dan Ragas mengangguk semangat. Mereka mengajak Nathan untuk bermain uno akhirnya. Dua kali putaran permainan Ragas yang memenangkannya. Nathan terlihat tak terlalu peduli karena jujur saja, ia sudah kalah dua kali juga. Sera malah terlihat frustasi.

"Lo pro banget mainnya!" seru Sera membanting kartu-kartu di tangannya ke atas meja. Ragas sudah tertawa puas di sana.

Lalu Sera membuka kamera ponselnya, bernia untuk mengambil selfie sendiri. Tapi Ragas dan Nathan buru-buru memunculkan diri di belakangnya, sehingga hasil foto itu jadi ada tiga orang. Mengamuklah Sera hingga membuat dua temannya kembali tertawa.

"Sini-sini, kameranya gua aja yang pegang," kata Ragas memutuskan. Akhirnya mereka bertiga berfoto bersama. Sambil menunggu Giu dan Putra yang sedang menyiapkan bahan panggangan di sana.

"Ini gimana sihh??" Giu terlihat kesulitan dengan beberapa arang yang akan gadis itu panaskan.
Saat menyalakan korek api, jarinya terpeleset hingga gadis itu berteriak dan membuang koreknya asal. Putra dengan gerakan cepatnya langsung meraih tangan Giu dan meniup-niup jarinya.

"Lo ngapain sih, Gi? Biar gua aja yang nyalain alatnya. Ada gua disini, kenapa lo nggak minta tolong, sih?" omel Putra.

Giu meringis. "gue cuma penasaran. Lagian gue pikir bakal oke-oke aja kalau gue coba nyalain. Lo juga lagi sibuk potong dagingnya."

"Kan lo bisa panggil gua, Giu! Gua juga nggak bakal nolak buat bantuin lo kalau lo panggil."

"Ya udah, maaf."

Putra mengelus-elus jari manis Giu perlahan. "sakit nggak?" tanyanya. Giu sedikit menggeleng. "udah enggak," jawabnya sembari menarik tangannya lagi dari genggaman Putra.

"Coba cuci tangannya, takut ada luka yang nggak keliatan," suruh Putra. Giu menurut dan menghampiri keran air di halaman rumah besarnya itu.

Semua pergerakan keduanya, dapat dengan jelas dilihat oleh Ragas, Nathan, dan Sera. Ketiga remaja itu saling menatap.

"Lo berdua mikir kayak gua juga nggak?" tanya Ragas. Nathan dan Sera mengangguk bersama.
"Kayaknya, bakal ada benih-benih cinta yang tumbuh diantara mereka," celetuk Ragas lagi.

Sera dan Nathan terkekeh. "emang keliatan sih," ujar Sera. "Yahh, we will see how it goes," tambah Nathan membuat Ragas dan Sera mengangguk. Giu dan Putra memang terlihat manis sejak awal meski keduanya kadang bertengkar tidak jelas, tapi Ragas, Sera, dan Nathan tahu mereka saling membutuhkan satu sama lain.

Entah itu di kelas, atau di luar kelas, atau bahkan di luar sekolah seperti ini. Perhatian-perhatian kecil yang Putra berikan pada Giu, dan omelan penuh kepedulian dari Giu untuk Putra, membuat teman-temannya yang lain langsung menyimpulkan rasa gemas mereka untuk pasangan yang duduk sebangku itu.

Chemistry Giu dan Putra sudah cocok sejak awal.

"Guys, sini!! Semuanya udah siap!" teriak Giu dari sana. Sera, Ragas, dan Nathan cepat-cepat membereskan kartu uno mereka dan berjalan menghampiri dua temannya yang sempat berdrama gemas tadi.

"LET'S GOOOO!!!" seru Ragas meregangkan tubuhnya.

Mereka bercanda tawa sambil memanggang daging dan beberapa jagung, menggoreng kentang, dan masih banyak lagi makanan-makanan mentah yang Giu siapkan dari rumahnya.

Setelah usai acara makan-makan yang seru itu, Giu mengajak teman-temannya untuk berkumpul di dalam. Semerbak wangi ruangan khas kerajaan itu langsung menusuk indera penciuman mereka ketika langkah kaki mereka menuntun masuk ke dalam sana.

Giu mempersilakan teman-temannya duduk di sofa ruang tamu. Ada satu televisi berukuran besar di sana, juga besarnya ruangan khusus untuk tamu itu sama seperti besarnya aula gedung istana merdeka saja. Ditambah pemandangan dua tangga putih yang meliuk untuk menghubungkan antara lantai satu dengan lantai dua.

Belum lagi interior rumah yang serba putih dengan pion-pion emas itu, sudah seperti istana di negeri dongeng saja.

"Lusa nanti gue mau ke Thailand," ujar Nathan, menolak ajakan Ragas untuk mereka bermain lagi setelah ini.

Terdengar keluhan dari yang lain. Giu ikut bergabung setelah dirinya ke dapur untuk menyuruh para pelayannya menyiapkan minum dan beberapa camilan untuk mereka. "Gue juga besok mau langsung ke Selandia Baru buat susul mom sama dad," tambah gadis itu.

Ragas makin cemberut mendengarnya. "Gua kayaknya bakal jadi yang paling nolep diantara kita berlima," katanya.

"Ah, enggak kok. Gue juga nggak ada rencana kemana-mana liburan inii," sanggah Sera. Putra mengangguk. "samaa!" serunya.

"So, ini terakhir kita semua kumpul sebelum semester dua?"

Pertanyaan Sera itu membuat mereka saling menatap. Kemudian tertawa juga karena tak tahan rasanya berada di atmosfer canggung yang sesaat tadi. Lalu para pelayan di rumah Giu datang membawakan beberapa makanan dan camilan.

Kuncir yang Giu pakai jatuh begitu saja ke bawah saat gadis itu membantu para pelayannya meletakkan makanan di atas meja di hadapan mereka. Hingga membuat rambut gadis itu terurai sempurna. Putra yang melihatnya langsung meraih kuncir itu dan memakainya di tangan seperti gelang.

"Eh!" Giu menyadari rambutnya yang terurai panjang itu. Putra menyodorkan tangan kirinya yang dipakaikan gelang kuncir tadi. "Jatoh tadi," katanya.

Giu mengangguk saja. "yaudah nanti aja," katanya masih sibuk menata beberapa snack yang para pelayannya siapkan.

"Gila ini banyak banget, Gi," seru Ragas langsung mencomot sebungkus permen karet. "Thank you yaa!" katanya lagi.

Giu tertawa. "You're welcome! Ayo dimakan guys! Ini stock bulanan gue sebenernya, banyak banget ya? Tapi kenapa badan gue segini-segini aja." Gadis itu terlihat cemberut saat mengingat berat badannya yang tak kunjung naik walau dirinya telah makan banyak camilan tiap hari.

"Ya elu kan rutin olahraga juga! Lagian badan segitu nggak kurus-kurus amat kok, ideal lahh," ucap Ragas menenangkan. Yang lain mengangguk setuju. Mau bagaimanapun, job Giu sebagai model juga memang mengharuskan gadis itu untuk berbadan ideal.

Dan menurut Ragas, berat badan Giu sudah cukup untuk pekerjaannya sebagai model itu.

"Iya sih." Giu mengangguk juga.

"Tapi lo suka cape kerja nggak?" tanya Nathan. Giu menghela napas sambil menyandarkan tubuh ke sandaran sofa. "eum, kalau ditanya cape, pasti gue sering banget. Apalagi gue sekarang udah masuk SMA, yang artinya gue harus lebih banyak ngabisin waktu buat belajar dibanding kerja. Tapi pekerjaan gue juga nggak mandang gue itu pelajar. Mereka bahkan tetap nyuruh gue ke lokasi syuting secepat mungkin walau gue bilang gue baru aja pulang sekolah," jawab Giu.

Sera meringis, merasa kasihan tapi juga kagum pada teman perempuannya itu. "Tapi lo ada kayak manager gitu kan, Gi?" tanyanya penasaran.

Giu lagi-lagi mengangguk. "Adaa kok! Namanya Mbak Uci. Dia udah nemenin gue dari semenjak gue jadi model kecil umur delapan tahun!"

"Woahh," Ragas bertepuk tangan. "Lo keren banget dah menurut gua. Soalnya nih ya, diliat dari rumah lo yang segede istana kerajaan tarumanegara ini, dan latar belakang bokap lo yang seorang pengusaha tambang terkenal di seluruh Indonesia, nyokap lo juga model papan atas di luar negeri, gue rasa, lo nggak perlu kerja cari uang lagi. Tapi lo memutuskan untuk kerja jadi model disamping kodrat lo yang seharusnya masih harus belajar. Well, that's pretty amazing, right?"

Putra menjentikkan jarinya ke udara. "Itu maksud gua, Gas. Gua selalu ngomong gitu ke Giu, dan lo tau jawaban dia apa?" kata Putra sengaja menghentikan kalimatnya. "Dia bilang, kerja di bidang model itu impiannya. Sedangkan dia udah kerja jadi model sejak umur delapan tahun bahkan. It's crazy. Gue nggak habis pikir," lanjutnya sembari menggeleng-geleng kepala.

"Kayaknya emang keluarga lo punya ambisi yang gede juga ya, Gi," simpul Sera.

Giu mengangkat bahu saja. "Well, mungkin. Gue juga nggak tahu kenapa gue bisa seproduktif ini kalau bukan karena ngeliat mom sama dad selalu fokus sama kerjaan. Aslinya gue ngerasa kesepian, kadang. Makanya gue cari pelampiasan buat gue keluar dari rumah ini. Dan salah satu caranya ya kerja, kebetulan juga gue suka banget sama dunia modeling. Jadi yaudah deh."

Putra, Ragas, Sera, dan Nathan mengangguk paham. "Jadi waktu lo kumpul sama keluarga itu dikit banget ya, Gi?" tanya Ragas. Giu terkekeh. "Sebetulnya ini pertanyaan yang amat sensitif buat gue, karena kenyataannya emang gitu. Gue bisa ngeliat muka mom sama dad secara langsung aja bisa kehitung jari dalam setahun," jawabnya mulai sedih.

Putra menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkan. "kalau gitu, kenapa lo nggak sekolah di New Zeland aja biar bisa sama mereka terus?" usul Putra yang sebenarnya sudah telat sekali.

"Mereka nggak selalu di New Zeland, kok. Mereka itu keliling dunia. Ke New Zeland baru aja bulan kemarin, dan katanya tiga bulan lagi bakal menetap di Aussie," jawab Giu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sedih sekali membahas ini walau dirinya sendiri sudah berdamai dengan keadaan kedua orang tuanya yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar dibanding untuknya.

"Tapi meski begitu, mereka nggak pernah telantarin gue. Gue juga nggak pernah ngerasa takut menjalani hari tanpa mereka karena mereka selalu kasih gue support setiap hari. Setiap pagi, pulang sekolah, dan malam sebelum tidur, mereka selalu menyempatkan diri buat video call sama gue. Mereka juga sering kasih kabar ke gue, minta maaf terus karena mereka kadang ngerasa bersalah udah ninggalin gue sendiri di sini." Giu mulai terisak.

"Tapi yang buat gue kesel, kalimat permintaan maaf mereka yang selalu berhasil buat gue nangis pengen peluk mereka langsung tapi gabisaaaa karena jauhhh," isak Giu menenggelamkan wajahnya di bantal sofa yang dipeluknya.

Sera mendekat untuk memeluk gadis itu dan Giu membalas pelukannya. Giu menangis di pelukan Sera. Ragas berhenti mengunyah permen karetnya. Cowok itu langsung membuang permen karetnya ke plastik dan tong sampah yang ada di sana sebelum mendekat juga ke arah Giu.

"Jangan nangis dong, Gi. Gua jadi ngerasa bersalah udah nanya-nanya tentang orang tua lo tadi," ucap Ragas menepuk-nepuk punggung Giu pelan. Putra dan Nathan ikut mendekat. Putra mengusap surai hitam Giu. "gue juga minta maaf," katanya lembut.

"Me too," ucap Nathan pelan.

Giu terkekeh dan melepas pelukannya dengan Sera. Gadis itu mendongak, menghapus air mata yang tadi merembes keluar dari sana. "Nggak apa-apa, sorry yaa, gue gampang baper kalau soal ini. Kalian mungkin baru tau, jadi gue maklum."

"Tapi lain kali jangan nanya gitu-gitu lagi!! Gue nggak sukaaaa nangis di depan kaliaann," rengek Giu membuat suasana sedih tadi jadi berubah tawa lagi seketika.

****

Tokk tok tok!

Putra bergegas dari kasurnya ketika mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Lelaki yang sedang melamun itu membuka pintu kamar kemudian, maminya berdiri di sana. Sambil menunjukkan satu scrunchie berwarna merah muda yang entah mengapa bisa ada di tangan maminya sekarang.

"Punya siapa?" tanya mami.

Putra mengerjap sebelum ingat jawaban dari pertanyaan itu. "Ah, ini punya temen Putra namanya Giu. Tadi emang sempet Putra pegang, ternyata kebawa pulang, ya?" katanya mencoba meraih kunciran itu sebelum mami menariknya kembali.

"Giu cewek?" tanya maminya lagi. Putra menghela napas. "iyaa mamiii, masa cowok pake kunciran?" sarkasnya tidak habis pikir.

Kemudian wajah sang mami berubah menjadi senyum penuh godaan. "ciee, pacar kamu?" mami mendorong pundak putera tunggalnya itu pelan. Sebelumnya memang Putra tidak pernah bercerita perihal seorang gadis kepada maminya. Makanya ketika tahu ada scrunchie merah muda di kantung celana yang Putra pakai saat main tadi, maminya sudah kepalang senang.

"Siapaa? Cerita dong ke mamii, Putt!" mami masih saja terus menggoda. Sementara Putra sudah lelah mengacak-acak rambutnya sendiri. "mamii apaan sih? Putra kan bilang, itu punya temen Putra. Bukan pacar!" kesalnya.

"Temen apa temen? Yang mana coba orangnya mami pengen lihat." si mami malah makin menjadi. Awalnya Putra tak ingin memperlihatkan sosok Giu di depan maminya itu. Karena ia tahu, maminya itu penggemar berat seorang Giudith Azalea. Dimana orang itu adalah orang yang ia maksud.

Pemilik dari scrunchie merah muda yang maminya temukan.

Tapi pada akhirnya, Putra membuka ponsel dan menunjukkan foto Giu pada sang mami. Dan betapa terkejutnya mami, sampai wanita setengah baya itu tertawa memegang perut. "Putraa, kamu ini kalau mau bohong lihat-lihat dong. Masa kamu bohong sama mami?? Mana mungkin temen sebangku kamu artis gini?" mami tidak percaya, tentunya.

Putra mencibir. "terserah mami kalau nggak percaya. Sini balikin aja kuncirannya," katanya sembari menodong tangan kanannya, berharap maminya itu segera menaruh barang tadi di telapaknya.

"Nggak, ini mami simpan dulu sampai kamu bawa teman kamu itu ke sini untuk ambil langsung kuncirnya dari mami," ucap mami sambil masih menggenggam scrunchie merah muda itu. Putra mencubit pipi maminya pelan, gemas karena sang mami masih belum mau percaya juga padanya.

"Mami ini penggemar berat Giudith, kamu jangan main-main yaa Putra! Bawa dia kesini kalau memang benar dia teman kamu!" mami masih menudingnya setelah bergegas dari kamar Putra. Bahkan cowok itu sekarang sudah menutup pintunya.

Terpikir ingin menelepon teman sebangkunya itu di pagi hari ini, tapi takut Giu sedang di dalam pesawat. Mengingat semalam, Giu berkata bahwa dirinya akan segera pergi menyusul kedua orang tuanya di luar negeri.

Tapi entah kenapa akalnya menuntun jari-jari Putra untuk membuka ponsel dan memencet tombol panggilan di kontak gadis itu. Tidak membutuhkan waktu lama karena telepon langsung tersambung di sana. "Giu?" Putra memulai pembicaraan.

"Haiii kenapa Putt??" tanya Giu di seberang sana. Terdengar sedikit berisik, mungkin Giu masih di bandara atau bagaimana Putra juga tidak tahu.

"Lo belum di pesawat?" Putra malah bertanya balik. Sepertinya Giu menggeleng di seberang sana karena jawabannya adalah, "belum. Ini katanya sih jam sembilanan gitu," jawabnya. Putra ikut melirik jam yang terpajang indah di dinding kamarnya.

Memang benar. Ini masih jam sembilan kurang. Putra manggut-manggut. "Gua cuma mau kasih tau ke lo, ini scrunchie pink lo masih di gua. Yang semalem jatoh itu, kayaknya kebawa pulang sama gua," cerita Putra.

"Ohhh ya ampun gue juga lupa lagii hahaha gue masih punya banyak sih di rumah makanya ini gue pake yang warna peach. Tapi favorit gue emang yang pink sih, simpen aja dong Put. Nanti lo bawa pas udah masuk sekolah aja," kata Giu.

Putra menghela napas. "mana bisa? Orang scrunchie lo aja di keep sama mami gua," ucapnya. Giu terkejut di seberang sana. "hah? Kok bisa sama mami lo?!"

"Iya, tadi kan emang gua taruh di kantong celana, dan kayaknya mami nemu di sana soalnya celana gua yang itu langsung gua taruh di mesin cuci juga. Ya gimana ya, Gi. Pas gua bilang itu punya lo, dan gua kasih tau muka lo, mami nggak percaya. Katanya masa iya temen gua artis gini?" Putra bercerita lagi.

Giu tertawa receh di sana. "Hahaha aduh mami lo pasti a very cute person," ujarnya. Putra terkekeh saja. "Mami minta lo dateng ke rumah gua langsung nanti buat ambil scrunchie nya," kata cowok itu.

Giu langsung saja mengiyakan. "bolehh, nanti kalau udah balik ke Indonesia lagi, atau pas udah semester dua nanti gue main ke rumah lo dehh. I want to meet your cute mom, hahaha," ujarnya.

"Oke, gua matiin ya, Gi. Takutnya lo mau ngapain gitu di sana sebelum naik ke pesawatnya," kata Putra. Giu setuju. "okeyy, gue juga mau beli makanan dulu sama manager gue daritadi udah manggil. Bye Put! See you again!" serunya lalu sambungan mereka pun terputus.

Putra lega telah memberitahukan perihal maminya serta scrunchie merah muda milik Giu kepada gadis itu. Remaja lelaki itu baru hendak menaruh kembali ponselnya di meja belajar sebelum ponselnya itu berdering. Seseorang meneleponnya lagi.

"Halo?"

"Putraa!! Sini, ke toko ice cream Nathann! Gue lagi di sini sendirian, lo temenin gue kek!" itu suara Sera. Gadis itu memang terdengar sedang menyeruput kuah ice cream di sana.

Putra agak malas untuk berdiri. "Ajak Agas dah ayok!" katanya. "Ih gue udah call dia tapi dia bilang katanya lagi di rumah sakit tempat abangnya kerja, makanya dia nggak bisa kesini," jawab Sera.

"Yaudah ayok! Bentar, gua mandi dulu," kata Putra sambil bangkit mengambil handuk. Sera bergidik di seberang sana. "Iyuhh belum mandi jam segini. Mentang-mentang libur lo!" cibirnya.

Putra tertawa saja sambil mematikan sambungan teleponnya. Baiklah, pergi ke toko ice cream Nathan jauh lebih baik daripada hanya berdiam diri di rumah hari ini.

****

Tingg!

Bunyi lonceng yang berdenting saat pintu utama toko dibuka, membuat semua orang menoleh, tapi setelahnya sibuk masing-masing kembali. Putra datang dengan setelan serba hitam kesukaannya itu. Menghampiri Sera yang sudah melambai-lambaikan tangan di sana.

"Udah lama banget di sini?" tanya Putra setelah mendudukkan diri di kursi.

Sera mengecek jam di ponselnya. "Udah sekitar satu jam lebih. Lo mandi lama banget!" cibirnya. "Mana ada lama? Cepet gitu," kata Putra kemudian memesan ice cream juga.

"Nathan keren banget nggak sih bisa buka toko ice cream sendiri gini?" Sera baru menyadari hal itu sepertinya. Sementara Putra terkekeh. "Lo suka sama Nathan ya?" tanyanya tak nyambung.

Sera langsung mengernyit bingung. "Gue masih sangat waras buat jadi pacar seorang Nathan si dingin itu," katanya. Memang, meski Nathan sudah mau bergabung bersama mereka, tapi sikap dinginnya belum juga luluh. Sera masih sering terkena diamnya Nathan ketika di sekolah.

Putra tertawa puas. "Atau Agas?" tanyanya makin tidak jelas saja. Sera yang sedang memakan ice cream sampai berhenti mengunyah. "Lo yang bener aja, Put??" kesalnya. "Gue bakal sinting kali kalau suka sama Agas yang tiap jam ngunyah permen karet!"

Putra menghentikan tawanya sambil geleng-geleng. Suka sekali dirinya menjahili sepupunya itu. Sera tersenyum penuh arti. "Kenapa Put? Lo suka sama Giu?" tembaknya langsung. Putra cepat-cepat merubah ekspresinya.

"Gua? Suka sama Giu? Lo tau bahkan gua udah sinting cuma jadi temen sebangkunya. Suka sama Giu bukan ranah gua. Jadi aman, kita berlima bisa temenan tanpa ada perasaan lain, 'kan?"

Sera mengangkat satu alisnya. "Oh yaa? Gue trust issue sama kalimat lo. Kita lihat aja nanti okay?" katanya sambil masih tersenyum jahil. Putra merasa dirinya malah balik diledek oleh sepupunya ini. Dasar Sera.

Selesai dengan topik yang tiba-tiba itu, mereka berdua ganti obrolan. Kini keduanya berbicara tentang peringkat paralel sekolah. Tentu, yang memulai pembicaraan ini adalah Sera. Karena Sera tahu semua gosip tentang desas-desus SMA mereka itu.

"Katanya ya, peringkat paralel tiap semester bisa berubah. Kalau nilai kita turun, peringkat kita ikut turun tergantung siapa orang yang berhasil rebut peringkat kita," ujar Sera. Putra langsung terdiam. "Terus gimana kalau turun?" tanya Putra.

"Tergantung. Yang pasti, kalau lo masuk top five, dan peringkat lo turun dari top five itu, golden pin yang ada di tangan lo terpaksa harus lo balikin ke sekolah. Itu sih yang gue baca dari portal dan base sekolah," jawab Sera. Gadis itu juga terdiam sendiri membayangkan dirinya turun peringkat.

"Dan lo tau?" Sera berkata lagi membuat Putra mendongak menatapnya. "Katanya, angkatan di atas kita, sebelumnya belum ada yang pernah lepas pin emas. Gue jadi takut, semisal ada diantara anak phoenix atau malah gue sendiri yang turun peringkat nanti, gimana reaksi mereka semua liat itu ya, Put?"

Putra tersenyum saja. "ya nggak apa-apa kali, emangnya kenapa kalau turun? Kita semua kan udah kerja keras buat ujian kemarin. Kalau emang masih diberi kesempatan untuk pegang pin emasnya, ya bersyukur. Kalau emang harus lepas, yaudah. Kita bisa berjuang lagi di semester berikutnya. Perjalanan kita kan baru dimulai, Ser," ucapnya berusaha menenangkan Sera, tapi juga kalimat itu sebagai penenang dirinya sendiri.

Sera mengangguk. "Iya sih, semoga aja anak alpha centauri nggak ada yang turun peringkat ya, Put," ujar gadis itu sembari mengepalkan kedua tangan di depan dada. Berdoa agar semua berjalan lancara dan sesuai keinginan mereka.

Putra juga mengangguk. "Iya, semoga."

****

Usai bertemu dengan Sera di toko ice cream Nathan, Putra jadi kepikiran. Dirinya tidak pernah mengetahui tentang desas-desus atau gosip di sekolah. Itulah mengapa Putra jadi tidak tahu tentang golden pin dan gosipan yang lain.

Putra buru-buru membuka laptop miliknya, menyambungkan wifi ke rumahnya, dan membuka laman base di akun twitter sekolahnya. Putra mengetikkan sesuatu di sana, mulai mencari informasi tentang peringkat paralel sekolah.

Putra menggulir laptopnya ke bawah hingga dirinya membaca semua ketikan yang ada di layar itu. Benar, base sekolah selalu ramai ketika membahas tentang peringkat paralel sekolah, pin emas, top five, bahkan kelas alpha centauri.

Putra juga baru tahu kalau nama phoenix sering sekali disebut di sana. Sekelebat pikiran buruk melayang begitu saja di otaknya. Bagaimana jika dirinya atau bahkan teman-temannya turun peringkat di semester depan dan mengharuskan mereka melepas golden pin mereka?

Walaupun Putra merasa dirinya sudah berjuang keras di ujian kemarin, tapi Putra masih memiliki sedikit rasa takut dan cemas. Cepat-cepat Putra tutup laptop miliknya dan berbaring di kasur. Melihat langit-langit kamar sambil bergumam pelan.

"Apa reaksi mereka kalau emang ada diantara anak phoenix yang turun peringkat? Gua siap nerima semua komentar buruk, tapi belum tentu Sera sama yang lain bisa nerima itu, 'kan?"

Putra menghela napas. "Semoga itu semua yang gua pikirin itu nggak kejadian. Aamiin," katanya berucap dengan penuh harapan.

****

Ragas melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung besar rumah sakit itu. Rumah sakit tempat Abang satu-satunya bekerja. Remaja lelaki yang sedang berlibur semester itu memang dipanggil oleh sang Abang untuk bertemu. Karena keduanya memang jarang bertatap muka juga.

Dengan langkah penuh semangat, sambil mengunyah permen karet favoritnya, Ragas bersenandung ria. Memutar-mutar kunci motor yang ia gantungkan di jari telunjuknya. Ragas berjalan santai menuju ruangan khusus Abangnya bekerja. Tapi langkahnya berhenti kala melihat ribut-ribut dari arah resepsionis.

Seorang gadis dan tiga warga asing yang terlihat marah kepada gadis itu. Ragas segera berlari ke arah kerumunan di sana. Tapi beberapa satpam yang berbadan besar menutupi dirinya hingga orang-orang yang sedang bertengkar itu tak terlihat oleh Ragas.

"Bapak kenapa sih? Saya kan udah tanggung jawab buat bawa kakek itu ke sini! Kenapa saya masih harus ngelakuin hal lain?" gadis itu berteriak membuat seisi lantai itu melihat ke arahnya.

"Kamu itu nggak sopan! Udah tau salah, masih aja ngotot!" kata salah satu warga yang sepertinya mengantar korban ke rumah sakit ini. "Kamu itu udah nabrak kakek-kakek buta! Harusnya kamu bayarin juga biaya pengobatannya. Kasihan kan si kakek itu nggak ada uang sama sekali buat bayar biaya pengobatannya yang nggk sedikit itu. Apalagi itu semua karena kamu," kata warga laki-laki yang lain.

Ragas menajamkan pendengarannya. Cowok itu sedikit mengernyit karena sepertinya ia mengenali suara gadis itu. Seperti ia pernah mendengarnya entah di mana. Lalu dua orang satpam berbadan besar yang menutupi Ragas tadi tiba-tiba maju. Jadilah Ragas bisa melihat tiga warga dengan seorang gadis si pelaku penabrakan kakek buta itu.

Wow. Betapa terkejutnya Ragas ketika ia melihat wajah yang sangat familiar di matanya. Seorang gadis yang pernah Ragas temui di sekolah, yang waktu itu pernah menabraknya di koridor saat ingin mengantar Putra dan Giu seleksi olimpiade. Kali ini Ragas bertemu lagi dengannya. Di rumah sakit ini.

Sepertinya memang gadis itu problematik. Selain karena Ragas pernah bermasalah dengannya, ternyata Ragas melihat sendiri bagaimana gadis itu bersikap arogan di depan orang lain. Bahkan gadis itu seakan ingin kabur dari masalah dan menganggap remeh semua orang.

Ragas risih hanya dengan melihatnya. Cepat-cepat cowok itu menghampiri mereka. "kalau berani berbuat, harus berani bertanggung jawab juga," kata Ragas dengan suara tegas. Membuat semua orang yang ada di sana terdiam dan mengangguk setuju, kecuali gadis itu tentunya.

"Eh lo siapa? Nggak usah ikut campur urusan gue sama mereka!" sarkas gadis itu. Ragas masih berusaha sabar tapi sepertinya tiga orang warga tadi kembali tersulut emosi.

Si bapak-bapak gondrong berkaus hitam itu hampir ingin maju dan menghantam gadis itu tapi segera dicegah oleh yang lain. "Eh elu tuh kaga sopan jadi cewek. Masih kecil udah belagu aja lu. Diajarin sopan santun kagak lu sama orang tua lu? Mana orang tua lu sini suruh maju ama gua!" kata si bapak-bapak gondrong tadi.

Suasana makin tidak kondusif saja. Ragas sudah beberapa kali memperingatkan mereka untuk berkelahi di luar saja karena ini rumah sakit. Bukan tempat untuk bertengkar. Tapi mereka masih terus beradu mulut di sana. Si gadis yang pernah menabrak Ragas tadi juga tak mau kalah dengan tiga bapak-bapak yang memihak korban itu.

Para satpam, dan staff rumah sakit sampai turun tangan menghadapi mereka. Terlihat gadis itu tengah menelepon seseorang sekarang. Sepertinya ia menelepon orang tuanya atau bagaimana karena yang Ragas dengar, gadis itu menyebut-nyebut Papa.

Tapi setelah sambungan teleponnya terputus pun, gadis itu masih ngotot tidak ingin mengeluarkan uangnya untuk membayar biaya rumah sakit korban. Kemudian dokter Januar datang menghampiri kerumunan. Dokter yang juga adalah Abang dari Ragas itu bertanya keadaan. Ada apa gerangan ribut-ribut yang tak kunjung selesai ini?

Ragas tak dulu memanggil sang Abang karena sepertinya Abangnya itu ingin berbuat sesuatu setelah mendengar cerita yang terjadi dari salah satu satpam di sana. "Ya sudah begini saja, Bapak-bapak ... kalau memang adik ini tidak mau membayarnya karena suatu alasan, biar saya saja yang mengurus semua biaya pengobatan kakek tadi. Agar tidak ada lagi keributan yang terjadi di rumah sakit ini. Dan agar semuanya selesai. Bagaimana Bapak-bapak?"

Bang Janu memutuskan untuk menjadikan dirinya tumbal dalam masalah kali ini. Ragas sedikit tidak terima, tapi mau bagaimana? Masalah ini akan semakin runyam karena dari kedua belah pihak tak ada yang mau mengalah. Semua bertetap pada keyakinan masing-masing.

Setelah keputusan dari Bang Janu dibuat, seorang gadis tadi cepat-cepat keluar dari gedung rumah sakit tanpa mengucapkan terimakasih kepada Bang Janu ataupun orang-orang yang sudah membantunya. Membuat si Bapak gondrong tadi kembali memuncakkan amarah.

"Emang kagak tau terimakasih lu! Orang kaya sombong!" cibirnya.

Bang Janu pamit untuk keluar dari kerumunan setelah tiga orang warga tadi berterimakasih kepadanya. Ragas cepat-cepat menyusul langkah Abangnya itu. Sepertinya tadi Bang Janu memang tidak melihat ke arah Ragas karena terlalu fokus mendengarkan cerita dan mengurus segala kekacauan.

"Oii." Ragas menepuk bahu Abangnya yang segera menoleh kaget. Lupa kalau dirinya tadi menyuruh adik bungsunya itu untuk datang menemuinya di sini.

"Oiii Agas adek abaangg!!" serunya kelewat senang. Bertos ria dengan Ragas kemudian memeluk adik bungsunya itu dengan kerinduan yang sudah penuh memuncak. Ragas ikut memeluk sang Abang. "Gimana kabar?" tanya Abangnya itu.

"Gua?" Ragas bertanya balik.

"Bunda," celetuk Abangnya membuat Ragas langsung meninju keras lengan kanan kakak lelaki psatu-satunya itu. "sialan lu nggak nanya kabar gua lu?" kesal Ragas.

"Iya-iya gimana kabar lu?" tanya Bang Janu.

"Baik, abang gimana? Sibuk banget ya sampe nggak bisa pulang bulan kemarin?" Ragas mengekori Abangnya sampai masuk ke dalam ruangan khusus yang di pintunya terpajang besar nama dr. Januar Bintang Sp.P.

Bang Janu terkekeh saja. "Banget kalau bulan kemarin, Gas. Abang sampe keteteran ngurus semuanya," jawabnya mengingat bulan kemarin pasien yang membutuhkan pertolongannya jauh lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Ragas mengangguk saja. "Keren banget jadi dokter," ucap lelaki yang masih memakan permen karet itu.

Bang Janu melirik setelah mendengar letusan balon permen karet dari mulut adiknya itu. "Woy jangan keseringan makan permen karet. Diare lu ntar," peringat Bang Janu. Ragas memang sudah sering diingatkan seperti itu, tapi lelaki pecinta permen karet itu seperti menutup telinga dan tak peduli saja.

Setelah Bang Janu merapikan beberapa berkas di meja kerjanya, lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menghampiri Ragas yang sudah duduk bersandar di sofa ruangannya. "Gimana sekolah lo, Gas?" tanya Abangnya itu.

Ragas mengangkat jempol ke udara. Permen karet yang ia kunyah sudah dibuang tadi karena takut Abangnya itu bakal marah jika masih melihatnya mengunyah permen karet. "Not bad," jawabnya.

"Cerita sedikit, dong! Abang mau denger." Bang Janu sedikit mendekat ke arah Ragas untuk memasang telinga mendengar sang adik bercerita. Lalu Ragas bergumam. "Gue masuk kelas Alpha Centauri, kelas yang dikenal sebagai kelas unggulan. Terus gue juga masuk jajaran top five di angkatan," kata Ragas memulai sesi ceritanya.

"Top five?" Bang Janu mengernyit. "Apa itu?" tanyanya.
"Lima orang dengan nilai tertinggi di angkatan," jawab Ragas. Bang Janu semakin semangat mendengarnya. "Maksudnya? Lo masuk lima besar?"

Ragas mengangguk. "Gue peringkat pertama," ujarnya dengan nada yang aneh. Tapi Bang Janu buru-buru tepuk tangan, merasa bangga pada adik kecilnya yang sudah beranjak dewasa itu. "Woahh keren, Gas! Abang nggak sia-sia sekolahin kamu sampe kayak gini," katanya berucap sambil terkekeh dan sesekali menutup mulutnya tidak percaya.

Ragas juga ikut tersenyum sedikit, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali itu. "gue juga nggak percaya sih, Bang. Padahal waktu itu gue ngerjain tes masuk biasa-biasa aja dah," katanya merendah untuk ditampol.

Bang Janu berdecak. Berkata bahwa Ragas memang sudah pintar dari semenjak taman kanak-kanak. Makanya tak heran dirinya bisa berimprovisasi lebih lagi di SMA nya kali ini. "Terus gimana temen-temen lo? Pada baik-baik nggak?"

Ragas mengangguk senang. "Gue temenan sama anak Alpha Centauri aja sejauh ini, Bang. Belum ada kenalan anak kelas lain. Tapi mereka semua baiknya kebangetan Bang! Gue juga sekarang temenan deket banget sama empat orang yang masuk jajaran top five lainnya. Peringkat dua ada Putra, terus Giu, Nathan, sama peringkat lima namanya Sera. Sera juga ketua kelas Alpha Centauri," ceritanya menggebu-gebu.

Ragas ini memang anak yang cerewet. Mau siapapun orang yang ditemuinya, Ragas pasti tak akan kehabisan topik untuk berbicara kepada orang itu. Tapi Ragas juga orang yang pemilih. Dia bisa membatasi dirinya sendiri ketika melihat ada orang yang sangat tidak cocok dengan seleranya, alias orang yang suka mencari perkara seperti gadis yang marah-marah di meja resepsionis tadi. Ragas langsung tidak menyukainya sejak awal, dan Ragas bisa bersikap tegas kepadanya.

Bang Janu mengembangkan senyumannya mendengar Ragas begitu bersemangat ketika bercerita. "Berarti aman dong ya, temen-temennya pada baik-baik semua?" tanya Bang Janu.

Ragas mengangkat jempolnya lagi. "Aman banget, Bang. Putra tuh orangnya tegas banget, Bang. Jiwa kepemimpinannya kayaknya udah melekat banget di dirinya. Terus dia juga jago banget Karate! Keren dah pokoknya. Giudith juga. Lo tau model majalah remaja yang sering masuk televisi nggak, Bang? Nah, ituu. Si Giu itu artis, Bang. Selebgram juga. Tapi dia nggak pernah sombong, kece banget kan?"

Bang Janu mengangguk-angguk sambil tersenyum lagi. "Kalau Nathan, dia itu orangnya pendiem pake banget. Buset dah patung garuda wisnu kencana di Bali aja kalah diemnya sama Nathan. Lo mau tau fun fact nya nggak, Bang? Jadi awalnya si Nathan ini nggak mau gabung sama kita berempat. Tapi karena ada masalah, akhirnya kita jadi berlima lagi. Terus yang terakhir ada Sera— tapi aduh. Kayaknya gue seret nih, minum mana Bang minum?"

"HAHAHAA!!" Bang Janu tertawa puas mendengar celotehan adiknya itu. Dengan gerakan yang dibuat-buat cepat, Bang Janu menuangkan segelas air putih dan menyerahkannya pada Ragas. "Nih!" katanya.

"Thank You." Ragas meneguk air di dalam gelas hingga tandas. Lalu setelahnya cowok itu mengambil napas panjang. "Sera gimana tuh orangnya?" tanya Bang Janu seakan tak ingin Ragas berhenti berbicara.

"Sera tuh ketua kelas Alpha Centauri. Dia orangnya terlalu baik kayak Abang! Sumpah ya, kalau dia ada di tempat kejadian pas ada cewek nggak mau tanggung jawab bayar biaya pengobatan korban yang dia tabrak tadi, gue yakin dia juga bakal ngelakuin hal yang sama kayak apa yang Abang lakuin! Dia pasti bakal bilang 'saya aja yang bayar biaya pengobatannya' Huh! Terlalu baik," cibir Ragas mengingat saat ia datang ke rumah sakit tadi, Abangnya itu membantu menengahi perdebatan yang terjadi di meja resepsionis.

Bang Janu terkekeh. "Itu bukan terlalu baik, namanya. Tapi emang harusnya kita sebagai manusia membantu yang lain kalau mengalami kesulitan. Membantu menengahi perdebatan, walaupun kita yang harus mengalah padahal kita nggak masuk dalam perdebatan itu. Kata Bunda, itu udah paling bener, kok."

Ragas terdiam. Memang benar, tapi harusnya orang yang semena-mena itu kudu diberi pelajaran juga. Jangan hanya membiarkannya kabur setelah berhasil membuat ribut sana-sini. Jika begitu, Ragas yakin cewek tadi tidak ada rasa jera sama sekali.  Kehidupannya akan terus berjalan lancar, berbeda dengan korban yang ia tabrak. Belum tentu besok-besok korban itu bisa membuka mata.

"Bunda gimana?" tanya Bang Janu mengalihkan pembicaraan agar Ragas tidak tersulut emosi lagi.

"Selama ada Agas, Bunda aman, Bang." ucap Ragas tersenyum kecil. Perlu kalian ketahui, Ragas memang menemani sang Bunda sejak satu tahun terakhir ini. Karena Ayahnya sudah kabur entah kemana. Ragas juga tak tahu kapan Ayahnya akan kembali.

Begitulah kisah keluarga kecil Ragas yang bisa dibilang jauh lebih buruk dibandingkan masalah keluarga empat temannya yang lain. Ragas telah kehilangan sosok Ayah. Maka dari itu, Bang Janu mati-matian bekerja untuk menggantikan Ayah memberi uang jajan kepada Ragas, menyekolahkan Ragas setahun belakangan ini, dan memberi Bunda ketenangan.

Karena sejak Ayah pergi, Bunda jadi banyak diam. Ragas sedih, tentu saja. Tapi berusaha sekuat mungkin untuk menutupi kesedihannya itu. Bahkan Ragas di luar dengan Ragas di rumah adalah orang yang berbeda. Jika Ragas di luar terlihat konyol, tapi Ragas di rumah sering berdiam diri dan merenung. Terkadang menangis. Tapi tidak ada siapapun yang tahu, bahkan Bunda atau Bang Janu.

Ragas rindu pada Ayahnya. Tapi tak ada yang mengetahui perasaannya. Ragas simpan semua kesedihannya dalam diam dan menutupinya dengan topeng kebahagiaan. Selama itu, Ragas harus berpura-pura di depan banyak orang. Tapi kini, ketika bertemu dengan Putra dan tiga orang temannya yang lain, Ragas sedikit nyaman pada mereka.

Mungkin suatu hari nanti, Ragas akan bercerita tentang ini semua kepada mereka. Kalau dirinya sudah siap, tentunya.


*****


Di hari ketiga liburan kali ini, Nathan duduk di kursi kemudi mobilnya. Berbincang dengan seseorang di telepon. "Iya, ini gua mampir minimarket," ucap Nathan pelan. Sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga karena tak tahan dengan suara teriakan orang di seberang sana.

Orang itu adalah sepupunya. Entahlah, seluruh keluarga besar Nathan berkepribadian ekstro, tapi Nathan sendiri memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan mereka. Jika keluarga besar Nathan suka berpesta, maka Nathan tidak suka keramaian.

Nathan itu sama seperti Giu. Kedua orangtuanya memiliki saham besar di luar negeri, mereka juga pebisnis sukses di negeri ini. Tapi bedanya, Nathan mengurung diri sementara Giu bereksplorasi diri ke dunia luar. Dan hari ini pun, Nathan berniat untuk berlibur ke Thailand bersama keenam sepupunya. Semuanya laki-laki. Jadi Nathan bisa merasa bebas dengan mereka.

Dan suara orang di telepon tadi, itu suara Mahesa, sepupunya yang paling tua. Mahesa menyuruhnya untuk membeli minuman terlebih dahulu sebelum datang ke bandara. Nathan menurut saja.

Masuk ke dalam minimarket, dan mencari rak minuman dingin. Membeli lima minuman berenergi untuk para sepupunya, dan satu botol susu pisang untuk dirinya sendiri. Sejak berteman dengan Giu, Nathan jadi suka susu pisang. Belum lagi racun yang selalu Giu berikan agar Nathan mau tiap hari minum susu pisang. Jadilah Nathan menyukai minuman manis itu.

Tapi sampai di kasir, ketika Nathan ingin membayar semua belanjaanya, Nathan mendengar suara orang ribut. Ah, Nathan tak menyukai situasi ribut seperti ini. Buru-buru Nathan mendekat untuk melihat apa yang terjadi.

Seorang gadis yang mengotot ingin membayar dengan kartu debit, tapi mbak-mbak kasir bilang, mesin kartunya rusak. Jadi ia tidak menerima kartu untuk pembayaran. Tapi gadis itu masih terus kokoh pada pendiriannya.

"Saya nggak bawa uang cash! Terus gimana saya bisa bayar?" tanya si gadis itu. Nathan melihatnya seperti gadis itu masih seumuran dengannya.

Keributan masih terus terjadi sampai lima menit berlalu dan Nathan pun tidak ada tempat untuk membayar semua belanjaanya. Pada akhirnya Nathan maju ke depan kasir. "Biar saya aja mbak yang bayar belanjaan dia. Berapa semuanya?"

Yap. Nathan memutuskan untuk mengalah kali ini. Walau ia tidak masuk dalam perdebatan, tapi menurutnya, ini jauh lebih baik daripada perdebatan itu masih terus berlanjut dan ia jadi lama keluar dari minimarket ini.

Gadis itu terdiam memandang Nathan yang mulai mengeluarkan duit dalam dompetnya. Setelah Nathan keluar pun, gadis itu ikut mengekorinya di belakang. "Eh eh tunggu!" panggil gadis itu membuat Nathan berhenti tepat di depan mobilnya. Nathan mengurungkan diri untuk masuk.

"Thank you ya. Nama lo siapa? Gue boleh kenalan nggak?" gadis itu tersenyum manis. Tapi Nathan seperti biasa, tak menjawabnya dan malah menatap gadis itu datar. Lalu segera Nathan masuk ke dalam mobilnya. Tapi lagi-lagi, gadis itu dengan tidak sopannya, menggedor-gedor jendela mobil Nathan.

Nathan berdecak. Membuka jendela mobilnya. Gadis itu kembali bertanya siapa namanya. Nathan akhirnya pasrah dan menjawab pertanyaan darinya. "Nathan," katanya pelan tapi sepertinya gadis itu mendengar karena dilihat dari raut wajahnya yang kelihatan gembira mendengar pertanyaanya dijawab oleh Nathan.

Baru gadis itu ingin mengulurkan tangan dan memberi tahu namanya, Nathan cepat-cepat menutup pintu mobilnya dan melajukan mobilnya ke arah jalan raya. Meninggalkan gadis tidak sopan itu berdiri mematung disana.

Sementara gadis itu menghentakkan kakinya kesal melihat mobil Nathan yang kian menjauh. "Awas aja lo, gue cari lo sampai dapet. Gue tau lo anak SMA Royal, kan?"

***

"How was your day in Jakarta, Giudith?"

Giu berhenti memotong steak yang masih panas itu. Menatam mom dan dad yang juga sedang menatapnya, menunggu jawaban dari anak perempuan mereka satu-satunya itu.

"I'm pretty fine. Aku punya banyak temen di sana, khususnya phoenix gang. Mereka yang menduduki peringkat lima teratas nilai tertinggi seangkatan," jawab Giu bersemangat ketika menceritakan teman-temannya itu.

Mom terlihat terkejut kemudian tersenyum bangga. Mengelus surai lembut Giu yang duduk di hadapannya. Mereka kini sedang makan malam sambil berbincang-bincang setelah Giu sampai di rumah mereka di Selandia Baru ini.

"That's cool, honey," kata dad mengangkat kedua jempolnya untuk Giu. Mereka selalu memberikan respon yang sama ketika Giu melakukan panggilan video dengan mereka saat di Jakarta. Mom dan dad tidak pernah lupa memberinya pujian-pujian cantik.

"Then, kenapa nama grup kalian phoenix? Mom penasaran, apa itu ada artinya sayang?" tanya mom. Giu otomatis mengangguk. "Ragas Bintang, cowok yang ada di peringkat satu yang membuat grupnya. Katanya, nama phoenix diambil dari lambang golden pin kami," jawab Giu. Teringat akan pin emas itu, Giu cepat-cepat mengeluarkannya dari dalam tas kecil yang selalu ia bawa kemanapun.

Giu menyodorkan pin emas berlambang burung phoenix itu kepada mom dan dad. "Ini pin khusus untuk lima orang dengan nilai tes tertinggi seangkatan. Dan aku ada di peringkat ke tiga."

Dad meraih pin itu dan melihatnya dengan saksama sebelum akhirnya tersenyum bangga. "Semacam piagam penghargaan gitu?" tanya dad.

Giu menggumam. "eum, mungkin. Tapi lima orang yang memegang pin emas ini, diberi keistimewaan berupa lomba-lomba olimpiade yang berhak kami ikuti. Sedangkan siswa-siswa yang tidak memegang pin emas ini, tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mewakili sekolah dalam olimpiade-olimpiade. Dan katanya, tiap semester, pemilik pin emas ini bisa berubah tergantung nilai tiap semesternya juga."

Mom dan dad saling pandang. Mereka tidak mengetahui sistem SMA Royal sebegitu uniknya. Keduanya memasukkan Giu ke sana karena rekomendasi dari rekan kerja dad yang mengatakan SMA Royal sudah yang paling bagus di Jakarta sana. Mengetahui Giu menjadi yang terbaik di angkatannya saja sudah membuat mom dan dad senang sekali.

Mereka percaya anak semata wayang mereka itu bisa melakukannya sendiri. Giu memang hebat. Disamping keinginannya untuk bekerja sebagai model, Giu juga masih bisa menyeimbangi kegiatannya itu dengan kegiatan sekolah. Giu tidak lupa untuk belajar, dan punya ambisi untuk selalu sempurna di bidang nilai pelajaran.

"Tapi ..." Giu menggantungkan ucapannya. "Aku takut aku nggak bisa mempertahankan nilai itu. Aku takut golden pin ini nggak akan bisa aku pegang lagi di semester depan," katanya sedikit menunduk.

Mom mengangkat dagu anak gadisnya itu. "Hey, don't be afraid, honey. Ketakutan itu hanya terjadi di dalam pikiran kamu. Dan belum tentu apa yang kamu takutkan itu terjadi, 'kan? Jadi, selalu sugestikan diri kamu untuk berpikir positif. Jangan lupa untuk berjuang, dan pasrahkan semuanya pada Tuhan jika perjuangan kamu itu sudah kamu lakukan. You got it?"

Giu mengangguk sembari tersenyum. Dad juga ikut mengelus surai lembut Giu. "Yes, mom sama dad juga yakin Giudith kesayangan kami ini bisa mempertahankan nilai di semeter ini dengan baik. Jangan lupa juga, mom sama dad selalu mendoakan kamu dari sini, sayang," kata dad.

Giu mengangguk semangat. Semoga. Semoga Giu bisa mempertahankan peringkatnya di semester depan. Giu juga berharap, Putra, Sera, Ragas, dan Nathan bisa mempertahankan peringkat mereka itu.

Selesai mengobrol dengan kedua orang tuanya itu, Giu pamit ke kamarnya sendiri. Berniat menelepon Sera dan mengobrol dengan teman perempuannya itu karena sebelumnya keduanya telah berjanji malam ini akan saling bertukar kabar.

"Giuuu!!" suara Sera terdengar dari seberang sana. Giu tersenyum senang. "SERAAA!!" teriaknya tak kalah heboh. "What are you doing?" tanya Giu penasaran. Sera memelankan suaranya. "Gue lagi mau maskeran! Seru bangett, kangen deh maskeran sama lo!" katanya.

Giu merebahkan tubuhnya ke kasur lalu menghela napas. "Me too! Tapi gimana yaa kemarin gue tanya ke lo mau ikut kesini atau enggak, lo nya jawab enggak. Yaudah kita jauh-jauhan," katanya sedih sekali rasanya berjauhan dengan Sera si pemilik senyum yang menular itu.

Sera terkekeh. "Gila banget sih kalau gue ikut ke luar negeri sama lo. Gue bakal ngerepotin lo banget soalnya gue sama sekali nggak pernah ke luar negeri hahaha," katanya tertawa. Benar memang, Sera belum pernah pergi ke luar negeri. Pergi ke luar kota saja dia jarang.

Sera lebih sering mendekam di rumah, menjaga rumahnya sendiri karena mama dan papanya sering bekerja di luar kota. Begitu juga dengan Teh Alin, kakak perempuan satu-satunya yang sibuk bolak-balik apartment di tengah kota.

"Of course not, lah Ser! Lo kan temen baik gue sekarang. Bahkan tadi mom sama dad nanyain banyak banget tentang lo abis gue ceritain tentang lo sama mereka," kata Giu.

"Demi apa lo ceritain gue ke orang tua lo??!" Sera malah heboh sendiri. Membayangkan dirinya menjadi perbincangan Giu dengan orang tuanya yang terkenal itu saja sudah membuat bulu kuduk Sera berdiri sendiri.

Giu tertawa. "Emangnya kenapa, sih?" tanyanya heran. Menurutnya itu bukan suatu hal yang wajar untuk dikagetkan. Tapi Sera sudah terkejut seperti itu saja. Memangnya kenapa jika dia menceritakan soal teman baiknya kepada mom dan dad?

"Ah, lo nggak akan ngerti. Gue nih sekarang temenan sama artis kayak lo gimana bisa yaa, Gi? Dulu gue cuma bisa liat lo di majalah-majalah yang dibeli Teh Alin, nggak pernah kepikiran bisa ngobrol di telepon gini sama lo," kata Sera malah merasa mellow.

Giu tersenyum saja. Dia juga tidak menyangka bisa punya teman sebaik Sera dan seluruh anak kelas Alpha Centauri. Tadinya Giu pikir, dirinya akan diasingkan oleh teman-teman dan sempat mengira tidak ada yang mau berteman dengannya.

Tapi Giu salah. Semuanya malah berbanding terbalik dengan apa yang ada di pikirannya. Benar kata mom, Giu harus lebih sering berpikir positif untuk kedepan.

Lagi-lagi Giu memejamkan mata untuk memohon dan berharap, semoga semester depan, dirinya dan teman-temannya bisa lebih bahagia lagi. Atau paling tidak, mereka terhindar dari kesulitan dan kejahatan seperti semester kemarin.

Continue Reading

You'll Also Like

157K 906 30
spoiler "Berani main-main sama gue iya? Gimana kalau gue ajak lo main bareng diranjang, hm? " ucap kilian sambil menujukan smirk nya. Sontak hal ter...
22.9K 100 18
naughty girl with naughty professor. story is kind of new and interesting. read it to enjoy it!
69K 228 11
As the title says
234K 6.9K 50
we young & turnt ho.