Asmaraloka

By Dee_ane

15.4K 3.5K 753

Hidup Galoeh berubah seratus delapan puluh derajat saat Kempetai menangkap Romo Tjokro karena dituduh menyelu... More

1. Mencari Sahabat
2. Buronan dari Mertojoedan
3. Calon Istri?
4. Terpaksa
5. Merasa Bersalah
6. Berkah Untuk Ibu
7. Ayah dan Anak
8. Lamaran Aneh
10. Melupakan Galoeh
11. Kamar Pengantin
12. Perdebatan
13. Penculikan
14. a. Membujuk Ibu
14. b. Punggung Galoeh
15. Pertemuan Rahasia
16. Mencari Galoeh
17 (a). Ngeyel
17 (b). Bertemu Raka
18 (a). Perasaan Aneh
18 (b). Perasaan Aneh
19. Kecelakaan
20. Keputusan Galoeh
21. Memanfaatkan Bencana
22. Malam Pertama
23. Hari Baru
24. Curiga
25. Sentuhan Weda
26. Slup-slupan
27. Makan Malam
28. Ciuman Pertama

9. Ganti Status

412 119 44
By Dee_ane

Keesokan harinya, selepas sarapan, Weda dan Galoeh berangkat ke kantor administrasi. Ibu Lastri meminta mereka naik delman, namun Weda tetap bersikeras ingin naik sepeda.

“Apa kamu sudah bisa memegang setang?” tanya Lastri khawatir.

“Sudah, Bu. Kemarin saja sudah bisa ke sini naik sepeda.” Weda menunjukkan jari tak berkuku itu yang membuat Ibu Lastri bergidik lalu laki-laki itu mencangklong tasnya melintang di dada

“Sebaiknya biar Galoeh yang pegang setang. Iso to, Loeh?” tanya Ibu Lastri.

“Tapi saya ndak pernah mboncengke laki-laki,” jawab Galoeh jujur.

“Nanti kamu cuma pegang setang, biar Weda yang kayuh,” ujar Ibu Lastri turun ke halaman menghampiri sepeda yang masih dipegang Lik Min. “Mas naik di sini …” Ibu menepuk sadel berlapis kulit. “trus Galoeh duduk di depan. Piye? Apik to ide Ibu?” Ibu Lastri tersenyum bangga pada usulnya. 

Sementara itu Weda dan Galoeh saling pandang. Tak ada gunanya berdebat dengan Ibu Lastri bila sudah punya keinginan tertentu. Maka, Weda pun kemudian lebih dulu duduk di sadel. Kedua kaki panjangnya menyangga sepeda, menunggu Galoeh memosisikan diri duduk miring di besi palang depan sepeda. 

“Saya duduk situ?” Galoeh menunjuk palang besi itu.

“Iya. Ayo!” titah Weda. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke samping telinga Galoeh. “Nanti kalau sudah di jalan ganti posisi.”

Galoeh melirik Ibu Lastri yang sepertinya berjuang keras mendekatkan anaknya dengan Galoeh. Ia pun mengangguk dengan senyum simpul lalu duduk di tempat yang ditunjuk Weda, sementara Lik Min memegangi setang agar sepeda tidak oleng.

“Kamu pegang kuat-kuat setangnya. Kalau belok, kamu putar setangnya sesuai arahanku,” kata Weda dengan badan tegak duduk di atas sadel, begitu Galoeh sudah duduk manis di palang itu, 

“Nggih.” Ia pun mempersiapkan ototnya untuk mengendalikan setang sepeda.

“Siap?” tanya Weda.

“Ngger, Nduk ati-ati ya.” Ibu Lastri mendekat dan memberi berkat di dahi kedua anak muda itu.

“Ibu tenang saja. Mantu yang dikasihi Ibu bakal selamat.” Kata-kata Weda mencubit batin Galoeh. Tapi, Galoeh tak mengelak. Ia memang akan menjadi mantu yang dikasihi mertua tapi tidak menjadi istri yang dicinta suami. “Siap, Loeh?” tanya Weda.

“Siap, Mas.”

“Aku hitung sampai tiga, ya?” Galoeh kemudian mengangguk sambil menunggu aba-aba dari Weda. Dan, saat hitungan ketiga terdengar, roda sepeda mulai bergerak oleng ketika Weda sudah memutar kayuh sepeda.

Galoeh membeliak. Pekikannya membuat orang yang lewat di depan rumah mereka menoleh sejenak. “Mas!” Setang yang dipegang Galoeh meliuk ke kanan kiri. Ia tak pernah memboncengkan laki-laki tinggi besar seperti Weda. Alih-alih memperhatikan jalan, mata Galoeh justru terpejam erat. Ia yakin sebentar lagi mereka akan jatuh. 

Tapi, nyatanya, sepeda tetap bisa melaju. Roda yang berputar itu menggelinding dengan mulus di atas tanah berdebu di hari yang mulai terik. Perlahan, Galoeh membuka mata, ia terkesiap saat menyadari kedua tangan Weda berada di atas tangannya untuk menstabilkan laju sepeda. Wajah Weda pun hanya berjarak tak kurang satu jengkal dari wajahnya. Bahkan Galoeh bisa mendengar napas Weda saat mengayuh. Seketika jantung Galoeh berdetak kencang. Ia melirik wajah Weda dari samping dan semakin berdecak kagum dengan hidung menjulang dan matanya fokus menatap jalan.

“Kamu harus banyak makan. Bonceng kamu atau tidak ternyata ndak ada bedanya.” Embusan udara saat Weda berkata-kata di sebelah telinganya membuat Galoeh bergidik. Bulu romanya tiba-tiba berdiri bersamaan peluh yang perlahan merembes keluar melalui pori. Padahal angin sepoi menerpa saat sepeda melaju, membuat anak rambut dan gaun Galoeh melambai-lambai.

Ini kali kedua Galoeh berada sedekat ini dengan laki-laki yang bukan romo dan masnya setelah menyeka tubuh Weda. Bahkan Galoeh merasa seperti dipeluk Weda dari belakang. Galoeh menggeleng, nenepis anggapan itu. Weda sudah punya Harti dan pernikahan mereka hanya di atas kertas. Ia tak ingin membelenggu Weda atas nama status kawin. “Mas, sebaiknya kita ganti posisi.”

“Tunggu. Sepertinya kita diikuti.”

“Diikuti?” Mata Galoeh membeliak, menoleh ke kiri dan saat menoleh ke kanan ujung hidungnya menyentuh pipi Weda. Buru-buru Galoeh kembali meluruskan kepalanya ke depan. Ia tak menyangka wajah Weda sedekat itu. Kini ia khawatir Weda mampu mendengar detak jantungnya yang begitu kencang padahal bukan ia yang mengayuh.

“Sepertinya Kempetai mengikuti gerak-gerikmu. Apa kemarin kamu merasa diikuti?” Napas Weda terengah.

“Ndak tahu,” jawab Galoeh dengan polosnya.

“Mulai sekarang, jangan berkeliaran. Walau kamu sudah dinyatakan ndak bersalah dan berstatus menjadi istriku, tapi sepertinya mereka masih memantau kamu.” 

“Lha untuk apa?” Galoeh tak berani menoleh ke kanan kiri. Sejak menyadari kepala Weda ada di sampingnya, tubuhnya seketika menjadi tegang. Bahkan angin sepoi yang membelai wajah tak bisa mendinginkan pipinya yang terasa panas.

“Mana aku tahu?”  Weda melepas setang dan menegakkan tubuhnya untuk melihat ke kanan kiri, sementara kakinya masih mengayuh pedal. 

Kali ini Galoeh bisa bernapas lega sambil mengendalikan setang lurusnya. Berdekatan dengan Weda rupanya tak baik untuk kesehatan jantung!

***

Sejurus kemudian, mereka tiba di kantor administrasi di daerah Purwosari. Begitu Weda menekan rem setang, laju roda pun berhenti. Pria itu lalu menurunkan kaki untuk menyangga sepeda dan memberi kesempatan Galoeh turun lebih dulu.

Selepas memarkir sepeda, Weda masuk ke bangunan kantor yang dipenuhi ornamen Bendera Nisshoki atau Bendera Matahari, bendera kebanggaan Dai Nippon,  diikuti Galoeh yang terus membuntutinya. Mereka kemudian diarahkan ke bagian pencatatan perkawinan.

Seorang laki-laki Jepang menyodorkan empat kertas setelah mengetikkan keterangan nama dan domisili di dalamnya. “Sekarang, berikan tanda tangan pada surat tanda kawin dan tanda pengenal yang baru kalian.”

Galoeh menatap kertas bertuliskan Lajang Pratanda Ningkah dengan hati miris. Haruskah selembar kertas itu mengakhiri masa lajangnya? Ia harus menikah karena terdesak dan tanpa cinta. 

Tak ingin berlama-lama, Weda lalu mengambil pena dan menggoreskan tanda tangan di kertas Soerat Tanda Kawin Pengantin Laki-laki tanpa ada beban seolah sedang mencoret-coret di kertas biasa. Surat yang  sedang diteken itu tertulis tanggal 28 Agustus 2604 sesuai tahun Jepang.

“Silakan.” Laki-laki Jepang berkepala botak itu mempersilahkan Galoeh. 

Dengan tangan bergetar, Galoeh membasahkan telapak jempolnya pada bantalan tinta dan dengan bimbingan pegawai administrator, ia mengecap ibu jarinya pada secarik kertas tanda pengenal dengan status : KAWIN setelah ia menorehkan tanda tangannya pada surat nikah.

“Semoga pernikahan Tuan dan Nyonya bahagia,” kata petugas administrasi tersebut setelah semua berkas usai ditanda tangani. 

Galoeh tersenyum miris. Apakah memang ia akan bahagia menikah bersama Weda yang mencintai Harti?

***

Setelah surat nikah dan kartu identitas telah dikantongi, Weda tak langsung mengajak pulang. Laki-laki itu lalu mengajak Galoeh singgah dulu ke Panti Rogo, tempat Harti bertugas sebagai seorang tenaga medis bersama Romo Danoe. Sekali lagi, Galoeh tak menolak. Ia meminta duduk saja di boncengan belakang karena tak nyaman duduk di palang depan sepeda.

Hari semakin terik, saat roda sepeda kembali berputar di jalanan kota Soerakarta. Mereka tidak bercakap karena Weda tidak mengajak bicara. Sedang Galoeh tak juga menemukan obrolan asyik yang mengisi kekosongan mereka.  Untungnya   bunyi perut Weda yang terdengar nyaring mampu mengilhami bahan obrolan mereka.  “Mas lapar?” tanya Galoeh sambil berpegangan di sadel yang diduduki Weda.

“Sedikit. Lagian ini sudah waktunya makan siang. Lelah juga mengayuh sepeda seperti ini.” Weda terengah.

“Apa kita beli jagung saja? Itu ada tukang jagung.” Galoeh menunjuk dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berpegangan pada sadel sepeda.

“Memang berapa uangmu?”

“Satu sen. Sepertinya cukup untuk membeli satu jagung,” jawab Galoeh.

“Beli saja buat kamu kalau kamu lapar.”

Bibir Galoeh memberengut. Kenapa Weda tidak menepi dan membelikan jagung? Setahu Galoeh, gaji tentara PETA cukup besar. Uang enam rupiah bisa membeli banyak daging sapi yang harga sekilonya enam sen. Kenapa justru Weda menanyakan uang yang ia punya? Benar-benar tidak peka!

Tak lama kemudian, mereka tiba di Panti Rogo yang terletak di daerah Kadipolo. Awalnya rumah sakit ini adalah fasilitas kesehatan yang dibangun oleh Kasunanan untuk mengobati para bangsawan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat luas juga bisa berobat di tempat ini sehingga tempat ini selalu ramai. Bahkan sudah lewat tengah hari pun masih ada beberapa pasien yang berdatangan. 

“Mas, saya di sini saja. Biar ndak ngganggu Mas Weda sama Mbak Harti,” kata Galoeh begitu turun dari sepeda.

“Kamu ndak mau masuk? Ada Romo loh?” tanya Weda.

Galoeh tahu diri, tak ingin mengganggu pasangan kekasih itu. Pasti canggung sekali kalau harus memperkenalkan dirinya di hadapan orang-orang di sana. Walaupun sekarang ia telah resmi menjadi istri Weda di atas kertas, tetap saja ia tak berhak melarang Weda menemui Harti. 

“Ya sudah. Kamu di sini. Tunggu aku ya! Jangan ke mana-mana. Aku masuk dulu.” Weda berlari dengan senyum mengembang. Apakah itu yang namanya jatuh cinta seperti yang dikatakan Tika? Ketika hendak bertemu, hati berbunga-bunga dan wajah berbinar. Seperti Weda kali ini. 

Daripada  bosan, Galoeh memilih berjalan-jalan di sekitar rumah sakit sambil mengamati kondisi lingkungan di situ. Ia lalu teringat perut keroncongan Weda sehingga berniat membelikan satu jagung dengan satu-satunya uang yang ia punya. Sambil berjalan menghirup udara gerah kota Soerakarta, otaknya kembali  memutar kenangan sewaktu ia kecil. 

Dulu ia sering diajak Romo Tjokro berkeliling untuk melihat situasi sosial. Di tahun 1920-1930an di mana negeri ini masih diduduki Pemerintah Kolonial Belanda, banyak penduduk pribumi yang miskin dan menderita. Namun, setidaknya mereka masih bisa makan. Tubuh mereka masih berisi sehingga ada tenaga untuk bekerja. Sekarang …? Banyak orang kurus kering karena kekurangan makan. Tak hanya itu, Galoeh juga mendapati anak kecil berperut buncit berlarian tanpa baju karena keterbatasan sandang akibat kapas banyak digunakan untuk membuat seragam tentara dan keperluan pembalut medis. Di sudut jalan lain, beberapa orang dewasa hanya memakai karung goni sebagai penutup tubuh berjalan dengan badan penuh koreng karena serangan kutu.

Amarah Galoeh menggelegak. Tak hanya dirinya, tapi orang lain juga mengalami penderitaan yang jauh lebih parah. Mereka tak bisa makan dan berpakaian pantas di negerinya sendiri, hanya karena penguasa yang mementingkan perang! 

“Mbak Galoeh!” Lamunan Galoeh terbuyarkan saat melihat laki-laki muda menepuk pundaknya. “Ah, iya. Betul!”

“Mas Gala?” Galoeh mengurai senyum lebar. 

“Nama kita mirip. Sepertinya jodoh.” Gala cengengesan sambil menggaruk tengkuknya.

“Mas Gala kok di sini?” tanya Galoeh melihat tak ada seorang pun bersama Gala.

“Saya ada keperluan di sini,” kata Gala sambil menunjuk gedung rumah sakit yang ada di belakang mereka.

Galoeh mengangguk-angguk. Selanjutnya sunyi. Sejak kejadian tragis yang menimpa hidupnya, ia bukan lagi tipe orang gampang akrab dan lebih suka membatasi interaksinya dengan orang lain.  

“Mbak Galoeh di sini sedang apa?”

“Panggil saja Galoeh, Mas. Seperti Mas Weda.”

Mata Manggala melebar. “Memang boleh?”

Galoeh mengangguk. 

“Kamu sedang apa di sini?” Gala mengulangi pertanyaannya.

“Habis mendaftarkan pernikahan. Trus Mas Weda ngajak ke sini.” Galoeh tak bisa menyembunyikan mata sayunya. 

“Kalian benar mendaftarkan pernikahan?” Gala tak bisa menutupi keterkejutannya.

“Mau bagaimana lagi?” Galoeh tersenyum sendu. 

“Tapi, Cudanco Weda sudah ada—” Ucapan Gala menggantung di udara.

Hati Galoeh tercubit. Namun, ia hanya tersenyum. “Ini cuma di atas kertas. Hanya status.” Galoeh menarik bibir lebar.

Gala mengembuskan napas panjang. Prihatin. “Ndak masuk ke dalam saja?” Gala berusaha mengubah topik yang membuat Galoeh tak nyaman.

“Ndak. Saya nunggu di sini. Ndak enak.”

“Baiklah. Saya masuk ya?” Selanjutnya Gala kembali mengayuh sepedanya, sementara Galoeh hanya mengamati punggung berbaju hijau itu masuk ke halaman rumah sakit lalu bergegas membeli jagung rebus. 

Galoeh kembali ke tempat Weda memarkir sepeda di bawah pohon akasia. Ia membayangkan wajah Weda saat mendapati ia membawa jagung. Tapi, senyum Galoeh seketika pudar. Saat ia tiba, sepeda Weda tak ada di situ. Ia lalu bergegas ke dalam untuk mencari tahu apakah Weda ada di sana.

“Dokter Weda sudah pulang mengantar Dokter Harti.”

Kaki Galoeh rasanya lemas seperti tak bertulang. Weda melupakannya? Ya, ia tahu dirinya hanya istri di atas kertas, tapi … kenapa Weda menyuruhnya untuk menunggu? Awalnya ia berharap masih ada Romo Danoe di situ. Sayangnya laki-laki yang tiba-tiba jadi mertuanya itu juga tidak ada di tempat.

Galoeh bingung. Haruskah ia menunggu Weda atau memilih pulang? Tapi, bagaimana kalau Weda mencarinya? Galoeh takut akan mengulangi kesalahan yang sama karena tidak menurut. Seperti dulu, saat Galih mencarinya setelah membeli kerak telur dan membuat kecelakaan tragis itu terjadi.

Setelah menimbang-nimbang, gadis itu pun bercangkung sambil meraih ranting kering. Menulis dan menggambar materi anatomi yang ingat sampai akhirnya sinar matahari terhalang sosok yang berdiri di depannya. 

💕Dee_ane💕

Deers, aku usahakan cerita ini bakal update cepet di sini. Biar nulisnya semangat, boleh dong kasih jejak cintanya >.<

Continue Reading

You'll Also Like

4.2K 1K 35
Dari dulu Lea teramat tahu jika dirinya punya kebiasaan buruk dalam mencampuri urusan orang lain. Yang Lea tidak tahu, keputusannya untuk ikut campur...
390K 33.9K 32
Kehidupan Evelyn yang sempurna berubah setelah kematian kedua orang tuanya. Ia harus menjual harta dan kediamannya untuk membayar hutang keluarga. Se...
KASHMIR By B.O.S๐Ÿš€

Historical Fiction

367K 24.1K 119
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
Permata Dari Rembulan By Vaa

Historical Fiction

16K 2.3K 38
Sekuel dari buku pertama yang berjudul The Perfect Bouquet. Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imaji...