9. Ganti Status

373 117 44
                                    

Keesokan harinya, selepas sarapan, Weda dan Galoeh berangkat ke kantor administrasi. Ibu Lastri meminta mereka naik delman, namun Weda tetap bersikeras ingin naik sepeda.

“Apa kamu sudah bisa memegang setang?” tanya Lastri khawatir.

“Sudah, Bu. Kemarin saja sudah bisa ke sini naik sepeda.” Weda menunjukkan jari tak berkuku itu yang membuat Ibu Lastri bergidik lalu laki-laki itu mencangklong tasnya melintang di dada

“Sebaiknya biar Galoeh yang pegang setang. Iso to, Loeh?” tanya Ibu Lastri.

“Tapi saya ndak pernah mboncengke laki-laki,” jawab Galoeh jujur.

“Nanti kamu cuma pegang setang, biar Weda yang kayuh,” ujar Ibu Lastri turun ke halaman menghampiri sepeda yang masih dipegang Lik Min. “Mas naik di sini …” Ibu menepuk sadel berlapis kulit. “trus Galoeh duduk di depan. Piye? Apik to ide Ibu?” Ibu Lastri tersenyum bangga pada usulnya. 

Sementara itu Weda dan Galoeh saling pandang. Tak ada gunanya berdebat dengan Ibu Lastri bila sudah punya keinginan tertentu. Maka, Weda pun kemudian lebih dulu duduk di sadel. Kedua kaki panjangnya menyangga sepeda, menunggu Galoeh memosisikan diri duduk miring di besi palang depan sepeda. 

“Saya duduk situ?” Galoeh menunjuk palang besi itu.

“Iya. Ayo!” titah Weda. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke samping telinga Galoeh. “Nanti kalau sudah di jalan ganti posisi.”

Galoeh melirik Ibu Lastri yang sepertinya berjuang keras mendekatkan anaknya dengan Galoeh. Ia pun mengangguk dengan senyum simpul lalu duduk di tempat yang ditunjuk Weda, sementara Lik Min memegangi setang agar sepeda tidak oleng.

“Kamu pegang kuat-kuat setangnya. Kalau belok, kamu putar setangnya sesuai arahanku,” kata Weda dengan badan tegak duduk di atas sadel, begitu Galoeh sudah duduk manis di palang itu, 

“Nggih.” Ia pun mempersiapkan ototnya untuk mengendalikan setang sepeda.

“Siap?” tanya Weda.

“Ngger, Nduk ati-ati ya.” Ibu Lastri mendekat dan memberi berkat di dahi kedua anak muda itu.

“Ibu tenang saja. Mantu yang dikasihi Ibu bakal selamat.” Kata-kata Weda mencubit batin Galoeh. Tapi, Galoeh tak mengelak. Ia memang akan menjadi mantu yang dikasihi mertua tapi tidak menjadi istri yang dicinta suami. “Siap, Loeh?” tanya Weda.

“Siap, Mas.”

“Aku hitung sampai tiga, ya?” Galoeh kemudian mengangguk sambil menunggu aba-aba dari Weda. Dan, saat hitungan ketiga terdengar, roda sepeda mulai bergerak oleng ketika Weda sudah memutar kayuh sepeda.

Galoeh membeliak. Pekikannya membuat orang yang lewat di depan rumah mereka menoleh sejenak. “Mas!” Setang yang dipegang Galoeh meliuk ke kanan kiri. Ia tak pernah memboncengkan laki-laki tinggi besar seperti Weda. Alih-alih memperhatikan jalan, mata Galoeh justru terpejam erat. Ia yakin sebentar lagi mereka akan jatuh. 

Tapi, nyatanya, sepeda tetap bisa melaju. Roda yang berputar itu menggelinding dengan mulus di atas tanah berdebu di hari yang mulai terik. Perlahan, Galoeh membuka mata, ia terkesiap saat menyadari kedua tangan Weda berada di atas tangannya untuk menstabilkan laju sepeda. Wajah Weda pun hanya berjarak tak kurang satu jengkal dari wajahnya. Bahkan Galoeh bisa mendengar napas Weda saat mengayuh. Seketika jantung Galoeh berdetak kencang. Ia melirik wajah Weda dari samping dan semakin berdecak kagum dengan hidung menjulang dan matanya fokus menatap jalan.

“Kamu harus banyak makan. Bonceng kamu atau tidak ternyata ndak ada bedanya.” Embusan udara saat Weda berkata-kata di sebelah telinganya membuat Galoeh bergidik. Bulu romanya tiba-tiba berdiri bersamaan peluh yang perlahan merembes keluar melalui pori. Padahal angin sepoi menerpa saat sepeda melaju, membuat anak rambut dan gaun Galoeh melambai-lambai.

AsmaralokaWhere stories live. Discover now