Titik Koma; Sketsa

By ztywi29palestina

5.1K 529 99

"Duniaku sepi, tetapi pikiranku benar-benar berisik." Gama tidak tahu, melupakan masa lalu apakah hal terbaik... More

Intro| Titik Koma; Sketsa
Cast| Titik Koma; Sketsa
PROLOG
Bab 1| Jiwa Baru Gama
Bab 2| Melarikan Diri
Bab 3| Tantangan Harus Dihadapi
Bab 4| Pura-Pura Tersenyum
Bab 5| Luka yang Tersembunyi
Bab 6| Sesak, Tanpa Diketahui Penyebabnya
Bab 7| Sketsa; Jam Tangan; dan Bata
Bab 8| Titik Koma; Kunci
Bab 9| Keanehan dan Strategi
Bab 10| Cinta yang Sederhana
Bab 11| Jangan Pergi Lagi
Bab 12| Sketsa; Tidak Semua Bahagia
Bab 13| Titik Koma; Sketsa
Bab 14| Flashback; Awal Peperangan
Bab 15| Flashback; Perihal Kepercayaan
Bab 16| Flashback; Hancur, tapi Tak Berpisah
Bab 17| Flashback; Melampiaskan Emosi
Bab 18| Flashback; Tidak Ingin Berpisah
Bab 19| Flashback; Mengetahui Kesendirian
Bab 20| Flashback; Salah Langkah
Bab 21| Flashback; Berusaha
Bab 22| Flashback; Satu Titik, Terpancing
Bab 23| Flashback; Harusnya Diam Saja
Bab 24| Flashback; Jangan Manja, Dia Lebih Hancur
Bab 25| Flashback; Siapa yang Bisa Dipercaya?
Bab 26| Flashback; Kekacauan dan Kehancuran
Bab 28| Meluapkan Segalanya
Bab 29| Sulit Memaafkan
Bab 30| Manusia Kardus
Bab 31| Ikhlas, Menerima, Membiarkannya Mengalir
Bab 32| Akankah Dia Bahagia?
Bab 33 | Demi Diri Sendiri
Bab 34 | Tidak Lagi Tenggelam
BAB 35 | Berdamai Dengan Kenyataannya

Bab 27| Gama Kembali

110 10 0
By ztywi29palestina

Selamat datang, ini aku yang bersama kegelapan
Mungkin memang harus dirangkul
Mungkin aku memang harus bersamanya
Mungkin sama sepertiku ....
Ah atau seperti siapa pun ....

Ia tidak suka ditinggalkan.

Titik Koma; Sketsa

...

"Dek, bangun. Kita pulang dulu, ya."

Berulang kali Delta memanggil, tetapi nihil. Cowok dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya itu menunduk sejenak, mengusap buku sketsa yang berhasil ditemukan oleh Gama. Sesekali ia memperhatikan seseorang dengan mata terpejam yang masih saja belum sadar di ruang kesehatan sekolah.

Pak Aryan menelponnya setelah menemukan Gama yang tidak sadarkan diri di ruang seni. Beruntunglah, Delta sedang tidak ada jadwal dan bisa langsung menemuinya.

"Bagaimana keadaannya, Delta?"

Delta menoleh sejenak, lalu menggeleng pelan. Pak Aryan yang keluar dari ruangan setelah memberi tugas ke para muridnya itu menggeser kursi plastik, duduk berhadapan dengan abang dari anak muridnya itu.

"Tadi dia sempat bangun sebentar, saya pikir biarkan dia beristirahat dulu sejenak. Bagaimana juga menemukan isi dari apa yang di dalam buku ini pasti cukup membuatnya terbebani."

Delta tersenyum hambar, membolak balikan lembaran sketsa yang digambar layaknya buku catatan harian pribadi. Gambar dengan beberapa kalimat yang berbicara akan kegelapan, keinginan, rasa iri, kekecewaan tertulis di sana. Sulit diketahui maknanya, tetapi dengan melihatnya cukup membuat sesak di dada.

"Sejujurnya, saya bahkan tidak tahu apa ini langkah terbaik atau tidak," gumam Delta, tersenyum samar.

"Masa lalu memang harus di hadapi, Delta." Aryan bersandar, sembari meneguk secangkir teh di tangannya. "Seperti yang kamu bilang, seandainya dia memang tidak bisa mengingatnya hingga sekarang, maka masa-masa itu cepat atau lambat terulang lagi. Tidak semua perubahan bisa konsisten, contohnya seperti keluarga kamu, tapi sayangnya luka yang tertanam itu terus menetap di hati siapa pun."

Delta mengangguk pelan.

"Kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain, situasi, dan keadaan. Jika itu terjadi, satu-satunya yang bisa kita ubah hanyalah cara pemikiran Gama sendiri."

"Itu pun kalau dia mau mengubahnya," keluh Delta. Jara telunjuknya mengarah kepada Gama sesekali menusuk pipi itu dengan kuat, berharap terbangun secepatnya. "Masalahnya dia ini keras kepala. Pernah saya berusaha mengatakan untuk tidak mempedulikan apa yang dikatakan Orion. Alhasil? Bapak tau? Dia tetap dengan ambisinya."

"Mengalahkan Orion?"

Delta mengangguk kesal. Ia membolak-balikkan buku sketsa tidak jauh dari halaman terakhir yang dilukis.

"Bapak baca."

Pria itu mencondongkan tubuh, lalu mengembus napas panjang. Sekali lagi ia menyesap minumannya sejenak.

"Apa harus menjadi jauh lebih kaya? Apakah harus menjadi lebih pintar untuk dapat diakui oleh orang terdekat? Bahkan ... apa harus jauh lebih sakit, agar sakit ini dapat menjadi valid? Tidak hanya dianggap sekedar ilusi, kelemahan, dan akal-akalan semata." Pria itu mengembus napas panjang, menggeleng pelan. "Tidak seharusnya dia berpikir seperti itu."

"Ya," gumam Delta menutup buku sketsa, sekali lagi ia memperhatikan raut wajah tidur adiknya itu sejenak, lalu mengusap puncak kepala itu dengan lembut. "Semoga, kali ini dia bisa menghadapinya."

"Ya, semoga."

***

"Makasih, Bang. Gue nggak apa."

Sepulangnya, Gama masih saja berjalan terhuyung, wajah itu tampak sayu bersamaan dengan kedua sudut bibirnya yang menurun. Seperti biasa, tidak ada orang di rumah selain ia dan Delta. Suasana yang bagus di mana membutuhkan keheningan bukan?

Itu pun jika Delta berminat untuk menjauh darinya.

"Dek, jawab pertanyaan gue dulu."

Gama meniti anak tangga dengan cepat, disusul oleh Delta yang melangkah jauh lebih lebar lalu berdiri tepat di depan pintu Gama sebelum pemilik kamar itu terlebih dahulu berhasil masuk ke dalamnya.

"Ingatan seperti apa yang lo punya sekarang?"

Gama yang merasa terhalang kini menggeram, kedua tangannya terkepal erat sembari menatap Delta dengan tatapan menyalang. "Yang pasti bukan hal baik. Gue sekarang mengerti kenapa kalian semua berusaha untuk menutupi. Bokap nyokap, lo, Alia, Pak Aryan. Kalian semua berharap ingatan gue yang buruk ini terhapus semuanya?"

Delta mengembus napas panjang. "Dek, dengarin dulu. Kunci itu memang milik lo, tapi gue yang menyimpannya begitu juga dengan buku sketsa yang lo pegang sekarang. Simpan buku itu baik-baik. Jangan sampai ketahuan."

"Gue nggak ngerti." Gama memgembus napas sinis. "Maksudnya lo dengan sengaja membuat gue mencari segala kebingungan ini dan menemukannya seorang diri?"

Delta mengangguk pelan, menunduk. "Tolong rahasiakan juga bagian itu."

"Lo ... orang yang paling menyebalkan yang pernah gue temui, Bang." Gama menatap, tampak sendu tetapi bercampur dengan amarah dan kesedihan yang menjadi satu. "Di antara mereka semua, sebenarnya lo orang yang seperti apa, hah?"

"Dek ...."

"Biarkan gue berpikir. Tolong jangan ganggu gue," tekan Gama.

Delta menggeleng, meraih tangan Gama, menahannya. "Kita selesaikan semuanya selama satu jam ini."

"Satu jam?" Gama mengangkat sebelah alis, menepis pergelangan tangannya. "Lo pikir semudah itu cara menyelesaikannya? Bukannya lo orang yang paling membenci gue? Lo orang yang paling sering gue kecewakan, ya kan? Kenapa lo jadi berubah kayak gini?"

"Dek, gue minta ma--"

"Jangan berubah, Bego! Jangan minta maaf!" Gama mencengkeram kerah baju abangnya itu dengan cepat, menatao dengan mata membulat. "Tetap jadi abang yang membenci gue, melampiaskan segala amarah lo yang dari luar ke diri gue, dengan itu ... ketika gue bersikap kurang ajar pada lo sekarang, maka gue nggak terlalu kelihatan seperti orang jahat, Bang."

Delta menggeleng, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Gama dari kerah bajunya, sorot mata yang tampak memerah benar-benar mengacaukan siapa pun. Entah orang yang dilihat atau mungkin juga dengan pemiliknya. "Jangan jadi kayak gue, Dek."

"Lantas, gue harus menahannya lagi? Egois lo!"

Pintu ditutup dengan kuat. Memenuhi suara gebrakan dari dalam, lalu teriakan kekacauan dari Gama.

_____________________

Thabks for reading! I hope you enjoy it!
Up : 11.04.2024.

Continue Reading

You'll Also Like

2K 278 5
Memiliki keluarga harmonis dan lingkungan pertemanan yang suportif adalah alasan terbesar mengapa Anugerah bisa hidup sampai hari ini. Walaupun ia me...
12.7K 1.1K 16
Ezar selalu takut kala hening merebak dan hanya terdengar suara degup jantungnya yang begitu cepat. Namun, ketika pertama kali bertemu Maretha, tidak...
1.9K 397 7
[Belum direvisi] Musim dingin adalah waktu terbaik untuk menghangatkan tubuh, kala suhu rendah menyapa kota. Musim dingin adalah waktu yang tepat unt...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

927K 51.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...