JALAN PULANG

由 cimut998

35K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... 更多

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 39

565 28 11
由 cimut998

"Astaghfirullahaladzim," ucap Ahmad seraya mengusap wajah dengan kedua tangan. Ia terus mencoba melupakan kejadian waktu itu, akan tetapi tentu saja hal itu bukan perkara yang mudah. Ada satu pertanyaan yang selalu berputar di dalam isi kepalanya. Dan sampai sekarang ia belum juga menemukan jawaban.

Siapa yang membantunya saat itu?

Ahmad memutuskan untuk keluar dari rumah Yudi. Ia sedikit acuh terhadap pemuda itu. Meskipun ingin sekali ia memukul kepala pemuda tersebut dengan sebuah balok kayu yang besar, agar isi otaknya bersih bersama dengan pecahnya kepala.

"Huft ..." Ahmad mengeluh panjang. Suasana malam semakin mencekam. Rumah para penduduk yang ditinggal penghuninya, hanya menyisakan puing kenangan. Entah, tersisa berapa warga yang kemungkinan masih hidup.

Ahmad berjalan ditengah gelapnya malam. Sunyi, bahkan suara hewan malam pun terdengar senyap. Ahmad melangkah perlahan, meninggalkan rumah Yudi. Ia melewati pohon beringin kembar yang sering kali di sana muncul bayangan Hawiyah adik perempuannya. Kali ini, bayangan itu juga seakan ikut menghilang.

"Dik ..." Ahmad terisak.

BRAK!

Ahmad segera menoleh. Ia mendengar suara pintu yang di dobrak. Pasti itu terjadi di rumah Yudi.

MAS!

Seketika Ahmad mengedarkan pandangan. Ia baru saja mendengar seseorang memanggilnya. Sekilas, ada bayangan yang melintas.

"Hawiyah!" Panggil Ahmad.

Kemudian muncul sosok gadis kecil dengan wajah pucat, di antara rerimbunan semak belukar yang tumbuh di sisi kiri beringin. Kali ini sosok itu tidak sendiri, melainkan bersama wanita dewasa yang juga berwajah pucat.

Ahmad segera mendekati sosok tersebut. Berharap bisa memeluk seerat mungkin, sayang keduanya sebatas bayangan saja.

"Bu ... Dik ..." lirih Ahmad dalam tangisnya.

Lalu tak lama kemudian, muncul juga sosok yang begitu ia rindukan. Tangis Ahmad semakin pecah.

"Pak ..." Ahmad menyeka air mata di pipi.

Ketiga sosok tersebut hanya menatap Ahmad tanpa bersuara. Begitu lama mereka saling memandang. Ahmad perlahan merentangkan tangan. Hendak memeluk, akan tetapi ia dikejutkan dengan pemandangan yang begitu mengerikan.

Sosok Hawiyah, sang ibu dan bapak, ketiganya saling melepas kepala masing-masing. Dan menentengnya di tangan. Hawiyah melesat pelan, dan memberikan kepalanya yang berlumur darah kepada sang kakak.

DIA YANG MELAKUKANNYA! DIA! DIA YANG KAU ANGGAP BAIK DAN SUCI! DIA! DIA! HAHAHA!

Tawa Hawiyah begitu melengking. Sampai membuat hidung dan telinga Ahmad berdarah. Kepala Hawiyah menyeringai, kedua matanya melotot, dan memamerkan gigi-giginya yang runcing dan hitam.

"Mas Ahmad!"

Ahmad kembali menoleh, kali ini bukan ke arah ketiga keluarganya melainkan ke arah seorang gadis yang berdiri di belakang punggungnya.

"Adiba ..."

AAAAAARRRRGGGGHHHH!

Ketiga sosok tersebut menjerit kesakitan, ketika Adiba berjalan menghampiri Ahmad.

"Berhenti, Ba!" Seru Ahmad yang tak tega melihat keluarganya kesakitan.

"Mas, sadar Mas." Kata Adiba dengan suara lantang.

AAAAAAAARRRGGGGHHHH!

Kali ini bukan hanya menjerit, tetapi tubuh Hawiyah, sang ibu dan bapak Ahmad tiba-tiba saja terbakar. Ketiganya berjalan ke sana ke mari tak berarah.

"Adiba! Hentikan!" Teriak Ahmad.

PLAK!

Ahmad terkejut saat Adiba menampar pipinya. Seketika pemuda itu tersadar dari apa yang sebenarnya ia alami. Dengan setengah linglung, Ahmad memandang heran Adiba. Kedua bola matanya tak lagi tertuju pada gadis cantik itu, melainkan mencoba mencari sesuatu di tengah gelap malam. Mencari sosok yang bersembunyi dalam semak belukar.

"Kamu cari apa, Mad?" Tanya Ilham, seraya mengikuti pergerakan kepala sang teman.

"Mas, tolong diam dulu," perintah Adiba pada Ahmad. Gadis itu memegang telinga Ahmad, jemarinya mencoba mengambil sesuatu dari lubang telinga pemuda tersebut.

"Aaaarrggh," Ahmad menjerit kesakitan saat Adiba berhasil mengambil sesuatu dari telinganya.

"Astaghfirullah, Mad!" Seru Ilham menunjuk sesuatu yang sedang dipegang Adiba.

Sebuah paku berukuran besar baru saja ditarik keluar dari telinga Ahmad. Paku yang berlumur darah itu segera dibuang Adiba. Akan tetapi setelah menyentuh tanah, paku tersebut berubah menjadi seekor ular kecil yang melata dengan cepat, menuju semak-semak.

"Mas, bantu Mas Ahmad berdiri. Kita pergi dari sini!" Titah Adiba kepada Ilham.

Tanpa banyak bertanya, Ilham bergegas menarik tangan Ahmad, dan membantunya berdiri. Dengan langkah sedikit gontai, Ahmad berusaha mengimbangi jalan teman sepondoknya itu.

Adiba sengaja tidak mengikuti kedua pemuda tersebut. Ia justru berjalan menuju rumah Yudi.

"Ba!" Panggil Ilham.

"Cepat pergi dari sini, Mas. Aku akan menyusul sebentar lagi. Ada urusan yang harus aku selesaikan di sini." Ucap Adiba tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Ilham mengembus napas pelan. Ia sama sekali tidak mengerti apa dan mengapa seorang gadis belia, harus terlibat dalam masalah seberat ini. Bahkan, sepertinya, gadis itu yang bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi.

"Ikuti saja dia, Ham. Kita perlu tahu, apa yang akan dilakukannya. Aku tidak mau terkecoh lagi," lirih Ahmad.

Ilham sedikit terkejut dengan ucapan Ahmad barusan. Terkecoh? Apa maksudnya?

"Ham! Ayo, Ham!" Paksa Ahmad.

"Ya-ya, Mad." Ilham sengaja memutar langkah. Dari kejauhan, masih tampak remang-remang bayangan Adiba. Gadis itu berjalan dengan cepat, seakan kakinya tak menyentuh tanah.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi, Mad. Mengapa kedatanganmu di desa ini, justru membawa petaka?" Ilham bertanya pada Ahmad. Pemuda itu terkejut mendengarnya.

"Benarkah begitu, Ham?" Ahmad berbalik tanya.

Ilham menganggukan kepala.

"Aku sendiri juga sedang mencari tahu, Ham. Tapi, aku sama sekali tidak mendapatkan petunjuk." Ujar Ahmad, sesekali tangannya menutup telinga bagian kiri. Ia merasa, darah yang keluar semakin banyak.

"Sepertinya, lukamu itu harus segera diobati. Apa sebaiknya ki-

"Tak perlu, Ham. Aku baik-baik saja. Cepat ikuti Adiba! Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan gadis itu," sela Ahmad.

"Baiklah, Mad." Tandas Ilham.

Keduanya sama-sama berjalan membuntuti langkah Adiba. Malam ini, terasa begitu lama. Seolah-olah sedang, mengulur waktu pagi. Bahkan, sang rembulan masih bertengger di atas, menyaksikan makhluk yang saat ini masih terjaga.

Kidung hewan malam sama sekali tak terdengar. Hanya suara lembut angin, yang sesekali meniup ujung-ujung daun. Entah, akan terjadi apa, sang angin masih menyimpan rapat rahasia itu.

"Dasar tua bangka! Melawan wanita tua saja tidak mampu, tak berguna!" Umpat seseorang dari dalam rumah Yudi. Suaranya jelas berbeda dari sang pemilik rumah. Adiba sengaja tak langsung masuk ke dalam, ia berjalan mengendap-endap menuju bagian belakang rumah, dan menyelinap masuk ke dapur.

"Mau kita apa kan dia, Kang?" Tanya Yudi.

"Biarkan saja, ada yang lebih penting dari mayat." Jawab seseorang yang berkunjung ke rumah Yudi.

"Di mana pemuda itu?" Tanya orang tersebut.

"Tadi di sini, mungkin sedang keluar," jawab Yudi.

"Jangan sampai dia kabur lagi," kata orang itu.

Yudi hanya diam tanpa membalas. Raut wajahnya terlihat tegang. Sepertinya, ia tengah mencemaskan sesuatu.

"Keluarlah! Saya tahu kamu ada di sini!" Seru orang yang bersama Yudi.

Tentu saja hal itu mengejutkan Yudi, lantaran ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba orang tersebut berkata demikian.

"Kamu tidak akan bisa menipu saya, bodoh!" Ejek orang tersebut saat Adiba muncul dari dapur rumah Yudi.

"A‐adiba ..." Yudi terbeliak melihatnya.

"Sudahi semua ini, Mas. Saya mohon," ucap Adiba dengan nada lirih. Suaranya terdengar sedikit serak. Sepertinya, gadis itu sedang berusaha menahan tangis.

"Kamu tahu apa, saya melakukan ini juga untuk kebaikan desa, kamu dan juga seluruh penduduk, termasuk pemuda ingusan itu!" Bantah seseorang tersebut.

"Tapi, untuk apa kamu menyimpan mayat di gubuk itu, Mas? Mayat siapa itu?" Tanya Adiba, sambil berjalan mendekat.

"Kau lancang, Ba! Ini urusan saya, kamu tidak ada hak untuk melarang, atau pun ikut campur!" Tukasnya.

"Saya berhak untuk melarang, Mas. Karena ini menyangkut keselamatan orang banyak," bantah Adiba.

Tubuh Yudi sedikit bergemetar, ketika seseorang di sampingnya memandang Adiba dengan mata melotot. Jemarinya bergerak pelan, tak lama kemudian, tubuh Adiba terpental menabrak dinding kayu.

"Kang!" Seru Yudi.

"Biarkan saja! Gadis pembangkang!" Teriak orang tersebut.

Dari arah luar rumah, Ahmad dan Ilham segera mempercepat langkah ketika mendengar suara gaduh. Keduanya berhenti tepat di depan pintu, tak ada yang berani melangkah masuk. Ilham mencoba mencari celah untuk mengintip. Sesaat kemudian, tubuhnya mematung.

"Ada apa, Ham?" Tanya Ahmad penasaran dengan raut wajah Ilham yang tampak syok.

"Adiba, Mad." Hanya itu saja, kata yang keluar dari mulut Ilham.

"Adiba?" Ahmad segera menggeser posisi Ilham yang sedari tadi berdiri dengan wajah menghadap ke dinding kayu.

"Astaghfirullahaladzim,"

BRAK!

Tiba-tiba pintu terbuka sendiri. Sepertinya kehadiran kedua pemuda itu sudah lama diketahui sang pemilik rumah.

"Mad ..." Ilham memanggil nama Ahmad pelan.

"Aku tahu, Ham." Tandas Ahmad.

"Mas Ahmad, Mas Ilham!" Yudi panik melihat kedua pemuda tersebut.

"Datang juga kamu," ucap seseorang yang sedari tadi berdiri memunggungi keduanya.

"Jangan sakiti Adiba!" Seru Ahmad.

"Mau saya apa-apa kan pun, kamu tidak ada kuasa untuk melarang saya!" Tukas orang itu.

"Aku tahu, tapi aku yang bertanggung jawab atas dirinya. Jadi, aku punya wewenang di sini!" Imbuh Ahmad.

"Dasar kacung Sobirin!" Ejek orang tersebut.

"Hentikan semua ini, Mas. Aku tahu kamu hanya terpaksa!"

Ilham terkejut saat orang tersebut memutar tubuh dan kini menghadap ke arah mereka.

"Mas Popon?"

"Bukan, Ham. Dia Ipul. Saifullah Hidayat Anshori." Ucap Ahmad. Tangannya sedikit menarik mundur lengan Ilham. Sepertinya, pemuda itu tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Akhirnya, ada yang tahu nama saya juga," ucap Ipul dengan wajah berseri-seri.

"Kalau aku maju, kamu lari ya Ham. Tolong, selamatkan Adiba," pinta Ahmad dengan nada pelan.

"Apa, Mad?" Ilham sedikit tak mendengar ucapan Ahmad.

"Cepat, Ham!" Teriak Ahmad setengah berlari menuju Ipul dan Yudi.

Ilham segera berlari tanpa tahu apa yang akan dilakukannya. Yang ia dengar, hanya kata Adiba.

"Mati kowe!" Ipul mengayunkan tangan, akan tetapi kali ini usahanya gagal. Yudi terlebih dahulu memegang tangan Ipul, dan mengarahkannya ke atas. Sehingga, Ilham dapat berlari cepat, guna menolong Adiba.

"Kang, cukup Kang! Adiba benar, Akang sudah terlalu jauh, eling Kang! Eling!" Seru Yudi sambil terus menahan tangan Ipul.

"Oh, njaluk mati bocah iki! (Oh, minta mati anak ini)" Ipul menendang kaki kanan Yudi, pemuda itu merasa kesakitan, dan refleks membungkuk.

JLEB!

Kedua mata Yudi terbeliak, melihat benda yang ditusukkan ke perutnya. Ipul tersenyum menyeringai, sambil terus menusukkan pisau berulang kali. Hingga pemuda itu tersungkur dengan perut berlumuran darah.

"Maaaaas!" Teriak Adiba.

"Bangun, Ba! Ayo kita pergi dari sini!" Ilham membantu Adiba untuk berdiri. Gadis itu sedikit limbung, setelah tubuhnya menabrak dinding kayu. Rasa lelah mulai menghampiri, energi yang ada pun perlahan menipis. Tak berselang lama, Adiba terkulai lemas. Untung, Ilham dengan sigap menopang tubuh gadis itu, agar tak jatuh ke tanah.

"Ba! Tahan, Ba!" Ilham mencoba memberi semangat. Di sisi lain, Ahmad berusaha menahan amarah, dan juga rasa yang lain.

继续阅读

You'll Also Like

233K 19.2K 29
Kisah tentang teror dari sosok bernama Nek Ipah yang dialami seorang anak bernama Dani (7 tahun). Tidak hanya Dani saja, bahkan penduduk kampung pun...
4.1M 60.7K 10
karena kecerobohanya Rara harus rela menjadi istri simpanan sang tuan rumah, Darka.
72.7K 3.8K 16
Banyak hal di dunia ini yang tak pernah kita duga, termasuk mereka yang hidup berdampingan dengan kita tapi tak pernah kita lihat. Mereka berkomunik...
76K 6.2K 85
[COMPLETED] Kematian seorang Guru di SMP GENTAWIRA membawa Zuna dan Diana kembali ke sekolah lama mereka. Awalnya hanya Zuna yang ditugaskan untuk me...