Kosan 210

diaaprilia_ által

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... Több

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
10 | Waduh
11 | Perempuan Berbaju Putih
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories
16 | Hidup Kadang Kidding

12 | Sakit

54 6 0
diaaprilia_ által

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini suara kicau burung sangat terdengar jelas. Chika bangun pada pukul 6 pagi seperti biasanya. Suasana di Jogja sangat berkebalikan dengan Jakarta. Itulah yang Chika rasakan selama dia tinggal di sini. Tidak ada suara hiruk pikuk orang-orang yang mengejar waktu untuk segera sampai di tujuan. Tidak ada suara klakson yang bersahutan apalagi suara makian karena terjebak macet.

Hanya ada ketenangan, tentram serta damai di setiap pagi harinya selama di sini. Dari seluruh kamar di rumah kosan, jendela kamar Chika adalah jendela yang paling tepat menghadap ke arah halaman belakang rumah. Terdapat space untuk dijadikan jemuran di sisi kanan serta sisi kirinya dijadikan tempat untuk bersantai oleh anak-anak. Meja dan kursi kayu sengaja ditempatkan di dekat pohon mahoni yang perlahan sudah mulai rimbun daunnya. Supaya saat mereka bersantai tidak terlalu panas sebab sinar matahari terhalau oleh lebatnya dedaunan serta dahan yang tinggi dari pohon tersebut.

Chika baru saja bangun lalu membuka jendelanya dan menatap ke arah pohon tersebut. Udara pagi yang masuk ke dalam kamar membuat pikirannya tenang. Wangi dedaunan bercampur dengan aroma embun yang menguar menyapa indera penciuman. Menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Dia tersenyum lalu keluar menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kanan dapur. Menyelesaikan rutinitas pagi harinya lalu bersiap untuk olahraga ringan di halaman belakang.

Kontras sekali dengan halaman belakang anak-anak cowok di sebelah. Halaman belakang milik anak-anak cewek sangat rapi dan hijau. Karena mereka kompak membersihkannya di akhir pekan. Rumput hijau tumbuh subur dan rapi berbeda dengan kondisi yang ada di sebelah. Begitu gersang seolah gurun sahara.

Matras yoga dan laptop ditentengnya kemudian dia menggelar matras tersebut. Menyalakan laptopnya dan membuka youtube, mencari video exercise dan body stretching.

Meregangkan tubuh membuat persendiannya yang terasa kaku menjadi lebih rileks dari sebelumnya. Chika memulai dengan gerakan sederhana.

Dari pintu dapur Letta melihatnya. Cewek itu masuk kembali ke dalam kamarnya lalu keluar membawa matras yang berbeda warna dengan milik Chika.

"Ih, gue juga mau ikutan!" Letta tahu-tahu menimbrung.

Membuat Chika menoleh pelan ke arahnya. "Gue udah setengah jalan, aelah, Ta. Masa diulang, sih?"

Letta terkekeh. "Ya, udah. Lo kelarin abis itu gue gantian."

"Oke. Tunggu, ya."

"Lo semalem denger nggak, Chik?"

"Denger apa?" Chika yang sedang berada pada posisi plank bertanya.

"Anak-anak cowok pada teriak."

"Di mana-mana juga sama. Anak cowok emang kalo ngobrol suka keras, kan suaranya?"

"Ini mah teriaknya ketakutan! Bukan ketawa keras karena lagi bercandaan."

Chika kembali duduk. "Masa, sih? Takut kenapa coba?"

Letta mengedikkan bahu. "Ngelihat setan kali, ya?"

"Nah, dikerjain, tuh! Semalem kan pada ngobrolin setan segala. Kedenger tuh, sama setannya."

"Serem amat? Tapi, lucu, sih. Masa digangguinnya menjelang anak-anak udah pada mau lulus, ye. Kayaknya sedih gitu ditinggal kita semua."

"Kangen karena nggak ada yang seberisik kita pasti."

"Coba ntar deh, gue tanyain mereka. Ngelihat apaan mereka sampe heboh begitu."

Selesai peregangan otot-otot dan persendian, Chika duduk sambil meluruskan kakinya. Sementara Letta memuai pemanasan ringan sebelum melakukan olahraga. Kali ini, Letta memilih yoga tipis-tipis sebagai olahraganya untuk mengawali Sabtu pagi yang cerah ini.

***

"Ris, temenin belanja."

Farris yang sedang menguap sambil meregangkan tangannya ke atas mendadak terkejut saat Lia tahu-tahu sudah berdiri sambil menyender di salah satu pilar di depan rumah.

"Astaghfirullah! Maneh ngagetin, Li!"

Lia terkekeh melihat wajah Farris yang terkejut itu. Kantuk masih menggelayut di matanya. "Tidur jam berapa lo semalem?"

"Jam dua belasan kurang mereun, mah. Ngeri siah, si Jazmi ngelihat teteh kunti."

"Ini apaan banget, sih? Kok lama-lama jadi genre horor begini."

"Ya, nggak tau, Li. Intinya mah si Jazmi yang ngelihat eta awewe berbaju putih terbang."

"Ya, udahlah. Semoga tuh, anak cuma salah lihat aja. Mana dia?"

"Siapa?"

Lia berdecak lalu mencubit lengan Farris. "Ya, si Jazmi, dong, Ris! Gimana, sih?"

"Oh, urang kira si Nopal." Farris meledeknya dengan kekehan pelan. "Dari tadi belum keluar kamar sama sekali."

Waduw.

"Sawan apa ya, jangan-jangan?"

Belum sempat Farris membalas ucapan Lia, cewek itu mundur dan langsung bergegas menuju kosannya, kontan Farris terheran-heran dibuatnya.

"Anying, da. Maen ditinggal wae."

Sesampainya di kosan, Lia ngos-ngosan sendiri. Padahal cuma berlari kecil dari rumah sebelah tapi berasa habis lari satu putaran di Stadion Maguwoharjo. Sambil mengatur napasnya agar kembali normal, Lia mencari Rania di setiap sudut rumah. Dia mendapati Rania tengah duduk cantik di kursi makan dengan suguhan teh lemon yang mengeluarkan uap panas dari cangkir kaca tersebut.

"Ran!" Lia memanggil kemudian duduk di hadapan Rania.

Rania menaikkan sebelah alisnya bingung. "Apa, dah?"

"Jazmi, tuh. Kayaknya sawan, deh dia."

Tak ada satu menit, Letta yang mendengar hal itu tiba-tiba ikut nimbrung.

"Jangan-jangan teriakan semalem berkaitan sama si Jazmi, deh!"

Menatap secara bergantian ke arah Lia dan Letta, Rania menarik napas panjang lalu membuangnya kasar. "Apa, sih, sebenernya? Gue nggak paham jujur aja."

Perlahan Lia menjelaskan apa yang dia dapat dari obrolan singkatnya dengan Farris barusan. Rania mengernyit agak kurang memercayai hal itu sementara Letta terkejut lalu merasa merinding tiba-tiba. Obrolan mereka terjeda saat Gretha yang baru bangun dan Chika yang baru saja kelar mandi berjalan memasuki dapur, keduanya berniat untuk sarapan pagi.

Letta dengan antusias yang tinggi mengulang cerita yang sama. Gretha shock sementara Chika melongo mendengarnya.

"Ya, udah. Kita coba pastiin dulu aja ke sana gimana? Siapa tau, Jazmi cuma kesiangan doang." Gretha memberi saran. Sosoknya yang paling dewasa di antara penghuni kosan lainnya inilah yang dapat membantu menenangkan anak-anak di saat panik melanda. Dia dapat berpikir tenang meski yang lainnya sudah panik tak karuan.

Seolah setuju, keempatnya mengangguk kemudian sepakat untuk datang ke sebelah. Memastikan kalau Jazmi cuma kesiangan bukan asli sawan.

Rencana Lia yang tadinya mau belanja ke pasar mendadak diurungkan sebab dia lebih penasaran dengan cerita versi Jazmi.

***

Naufal tengah asyik menyirami motor beat street hitamnya dengan selang hijau panjang yang ada di halaman depan rumah. Dia  sedang bersiap-siap mencuci motor itu dengan penuh sayang dan cinta. Berlebihan, tapi itulah kenyataannya. Seperti yang biasa dia lakukan sebelum-sebelumnya, Naufal mencuci motornya seolah memandikan seorang anak kecil. Sangat telaten dan penuh kehati-hatian.

Kepalanya menoreh saat mendengar suara langkah kaki yang ramai masuk ke halaman depan kosan.

"Weits, apaan, nih rame-rame gini tumben? Pagi-pagi pada mau ngapain di mari?" Naufal menghentikan aktifitasnya yang sedang menyemprotkan selang ke sela-sela roda motor.

"Jazmi udah keluar kamar belum?" Rania bertanya tanpa basa-basi lagi.

Sementara Naufal hanya menggeleng pelan. "Beloman. Masih ngorok kali, emang kenapa?"

Rania hanya mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam rumah, membuat yang lainnya mengekori di belakang. Menyisakan Lia yang menatap ke arah Naufal.

"Lo gimana, sih? Jazmi abis lihat kunti kan, semalem? Harusnya lo cek, Fal. Takutnya itu anak sawan!" Kalimat panjang yang Lia lontarkan sukses membuat Naufal menganga di tempat.

"Hah?"

"S a sa w a wa n. Sawan!" Lia mengeja satu kata itu di hadapan Naufal.

"Dari mana lo tau kalo Jazmi lihat penampakan semalem?"

"Tadi Farris cerita." Lia menarik tangan kiri Naufal. "Udah ayo, cepetan! Sampe si Jazmi kenapa-napa, gue salahin lo, ya!"

"E-eh, tunggu, buset!" Naufal langsung mematikan keran tersebut. "Sabar, Lia, astaga!"

Mereka berdua masuk ke dalam rumah, menyusul yang lainnya. Devan yang sedang mengacak-acak rambut frustasi dengan laptop di pangkuannya mendadak kebingungan saat melihat kondisi rumah mendadak ramai berisikan anak-anak cewek dengan airmuka yang tak biasa.

"Ini apaan rame-rame begini?" Devan melemparkan pertanyaan kepada siapa pun.

Chika berdecak melihatnya. "Kamu astaga! Pagi-pagi bukannya sarapan malah buka laptop!"

Devan cuma meringis, berakhir dia ikut beranjak dari sofa ruang tamu.

Rania sampai lebih dahulu di depan pintu kamar Jazmi, mengetuknya pelan sambil memanggil nama cowok itu. Tak ada suara sama sekali.

"Nggak ada suaranya, anjir! Gimana, nih?" Ini suara Letta yang panik.

Sementara Rania mengulang lagi ketukan itu. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya. "Jazmi! Woy, lo di dalem, kan?"

Suara Rania yang cukup besar membuat Aldo keluar dari dalam kamarnya. 

"Apa ini ramai-ramai? Kenapa sama si Jazmi?" tanyanya bingung.

Dikarenakan kesabaran Rania setipis tisu dibelah dua, dengan nekat dia mendobrak pintu kamar Jazmi yang syukurnya tidak terkunci. Semua yang ada di situ melongo dibuatnya. Terlebih lagi, Farris yang baru saja keluar dari arah dapur sambil menenteng secangkir kopi hitam di tangannya.

Pintu kamar terbuka, Rania bisa dengan jelas melihat Jazmi yang sedang menggigil dengan selimut yang hampir menutup seluruh tubuhnya.

"LAH, LO SAKIT BENERAN, MI?" Keterkejutan Rania membuat anak-anak yang berada di belakang Rania menyeruak untuk masuk ke dalam kamar tersebut.

Jazmi menatap lekat secara bergantian ke arah anak-anak yang menampilkan wajah penuh khawatir. "Iya, aku nggak enak badan. Kepalaku juga pusing ini." suaranya parau membuat Rania berjalan mendekat ke tepian ranjang.

Tangan Rania terulur lalu menyentuh kening Jazmi. Temperatur tubuhnya panas. Kemudian tangan Rania beralih ke leher dan tangan Jazmi yang sama juga panasnya.

"Demam dia. Badannya panas semua." Rania menoleh ke arah anak-anak yang masih berdiri di dekat pintu.

"Berobat aja gimana?" Gretha bertanya penuh khawatir.

Devan, Aldo, dan Naufal yang masih kebingungan menuntut penjelasan lebih lanjut. Pasalnya, semalam Jazmi sehat-sehat saja tidak ada tanda-tanda dia akan sakit.

"Ini lo tiba-tiba sakit?" Devan bertanya lalu mendapatkan cubitan kecil di lengannya. Siapalagi kalau bukan Chika yang menyubitnya?

"Kan! Bener kata gue. Dia itu sawan abis ngelihat penampakan." suara Lia memecahkan kebingungan yang melanda.

"Lo beneran lihat kunti, Mi?" Letta ikut melempar pertanyaan.

Rania jengah dengan kalimat-kalimat seperti itu. "Ada yang punya obat demam nggak?"

"Gue ada paracetamol, bentar gue ambil ke kamar." Naufal menyahut dan langsung masuk ke kamarnya mengambil obat tersebut.

"Ris?" Rania memanggil Farris. "Bisa tolong beliin bubur di depan nggak?"

Farris mengangguk pelan. "Bisa. Mau beli berapa?"

"Punyanya Jazmi sambelnya dipisah. Sisanya beliin yang mau makan buat sarapan aja." Rania menyerahkan uang seratus ribuan kepada Farris yang langsung diterima oleh cowok itu.

Lia yang penuh inisiatif pun mengajukan diri untuk menemani Farris membeli bubur ke depan gang.

Akhirnya, semua anak kosan sepakat sarapan bubur ayam sama seperti Jazmi. Meskipun Aldo masih kebingungan kenapa sepagi ini Jazmi mendadak diserang oleh demam yang tiba-tiba?

***

Kehebohan anak kosan soal Jazmi yang mendadak sakit membuat bu Nanik sang pemilik kosan tersebut jadi berkunjung untuk melihat Jazmi yang terbaring lemah di atas kasurnya.

Bu Nanik sempat bertanya, apakah Jazmi kemarin-kemarin sempat kecapekan saat mengerjakan tugasnya yang dijawab kompak dengan gelengan kepala dari para anak kosan.

Letta berkelakar soal Jazmi yang semalam katanya sempat melihat sebuah penampakan. Membuat Bu Nanik terdiam sementara lalu memberikan senyum tipis.

"Sudah lama nggak ada gangguan, tapi akhir-akhir ini mungkin dia sedang cari perhatian saja." Bu Nanik menyahut dengan santai yang tak berapa lama kemudian berbagai macam reaksi ditunjukkan oleh anak-anak.

"Maksud Ibu, pohon mangga itu ada penunggunya?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Rania secara spontan.

Bu Nanik hanya tersenyum. "Semua tempat, apapun itu, punya penunggunya masing-masing, toh? Sudah, kalian nggak perlu khawatir berlebihan. Banyak berdoa saja sesuai kepercayaan masing-masing."

Seolah setuju, Naufal mengangguk. "Saya kira, dia marah karena saya sering nyuruh Farris sama Devan buat nggak berhenti ngaji setiap abis subuh, Bu."

"Nggak apa-apa. Lanjutkan saja mengajinya. Nanti biar Ibu yang bilang ke Bapak soal ini. Biar Bapak yang berkomunikasi sama si Mbak untuk nggak menganggu anak-anak."

Setelahnya Bu Nanik pulang ke rumah, tak lupa dia menghampiri Jazmi. Lalu memberikan doa singkat sambil mengelus kening cowok itu.

"Shalatnya jangan ditinggal ya, Cah bagus."

Jazmi meringis, mengingat dia masih bolong-bolong dalam beribadah.

Sepulangnya Bu Nanik, semua anak kosan berkumpul di ruang tamu. Meski awalnya terasa aneh dan tidak bisa diterima oleh nalar manusia, namun begitulah kenyataannya.

"Udah, atuh jangan pada ngelamun gitu. Bisi kesurupan nanti." Farris memecah keheningan yang menyelimuti beberapa saat setelah Bu Nanik pamit pulang.

"Sehabis ini, gue tidur sambil muter murottal udahlah, fix banget!" Letta masih merasa merinding malah tak berani menatap ke arah dapur rumah tersebut.

"Sudah, kan? Kalo gitu, sa mau lanjut tidur dulu kalo begitu." Aldo bangkit dari duduknya kemudian masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di depan kamar Jazmi.

"Ya, udah. Yuk, girls kita balik." Ajak Chika kepada anak-anak cewek.

Mereka kembali ke kosan, namun saat Lia hendak memakai sandal, Farris memanggilnya.

"Apaan, Ris?"

"Maneh jadi belanja nggak?"

Gara-gara Jazmi yang mendadak demam dan membuat heboh dua kosan, Lia jadi lupa soal pergi belanja ke pasar.

"Lah iya, ya. Lupa gue, sorry." Lia cengengesan. "Ke Pasar Kranggan, ya. Soalnya gue rasa nih, lebih lengkap di sana daripada Pasar Kutu."

Farris berdecak. "Mun lengkap mah udah weh, kita ke Pasar Gede sekalian."

"Yailah, dikata lagi nyari kerudung ama batik kali, Ris."

"He'euh, atuh. Kumaha ieu? Jadi ke pasarna?"

Lia mengangguk penuh antusias. "Ayo, Tapi lo bilang ke Naufal juga ya, kalo mau pergi sama gue ke pasar."

Walaupun keduanya belum memilih ikatan hubungan, tapi Lia merasa jika pergi tanpa memberi kabar kepada Naufal itu akan membuatnya marah. Better safe than sorry, terdengar lebih baik bukan?

"Kalem itu mah. Serahkan kepada Aa Farris."

***

Hari berlalu dan tentunya Jazmi sudah kembali pulih hingga bisa melempar canda dengan anak-anak kosan. Pasca kejadian itu seolah pukulan bagi Jazmi, dia jadi lebih rajin shalat lima waktu bahkan kakinya lebih ringan untuk berjalan menuju masjid terdekat. Jazmi sudah jarang pergi nongkrong dan menghabiskan uang untuk hal yang tidak penting lagi.

Rutinitasnya berkutat pada kampus-kosan-bimbingan. Hari-harinya mulai disibukkan dengan segala macam tetek bengek kampus, begitu juga anak kosan yang lainnya.

Siang ini selepas dia pergi berkunjung ke rumah salah satu dosen pembimbingnya, Jazmi berencana untuk melipir ke kosan konco kentelnya. Siapa lagi kalau bukan Jatmiko Surya Adhiguna.

Tapi rencananya itu batal sebab, Jatmiko mendadak pulang ke Solo dikarenakan Mamanya mengabari kalau salah satu dari keluarganya telah berpulang.

Otomatis, Jazmi memutar balik motornya dan kembali pulang menuju kosan. Waktu masih menunjukkan pukul 13.35 siang saat Jazmi tiba.

Hanya ada motor Farris yang terpakir di halaman. Jazmi menengok ke arah kosan sebelah yang jug sama hanya ada satu motor kalau tidak salah itu milik Lia yang jarang digunakan semenjak Naufal mengajukan diri untuk mengantar jemput cewek itu.

Jazmi memilih untuk duduk di teras alih-alih langsung masuk ke dalam kamarnya. Dia memutuskan untuk berleha-leha di depan teras yang syukurnya teras depan rumah itu adem.

Perhatiannya pada ponsel yang dia pegang tersita saat dia mendengar suara motor yang berhenti tepat di depan kosan. Jazmi melirik sebentar ke arah motor beat merah tersebut. Terdapat dua perempuan yang baru saja melepaskan helm dengan raut muka kebingungan. Jazmi cuek dan kembali memainkan ponselnya.

Samar, Jazmi mendengar keributan kecil yang berasal dari dua perempuan tersebut.

"Ini bener kosannya dia?" tanya si perempuan yang memakai kemeja putih berbalut vest cokelat kotak-kotak putih serta memakai kerudung senada dengan vest yang dipakainya.

Perempuan dengan rambut hitam sebahu—yang kalau boleh Jazmi katakan saat pertama kali melihatnya—dipenuhi oleh warna hitam. Dari ujung kepala hingga kaki. "Bener, kok! Ini kosannya!"

Jazmi tidak dapat mengenali kedua perempuan itu sebab keduanya menggunakan masker sebagai penutup wajah.

Perempuan nggak di mana-mana sama. Sama-sama kakean cangkem.

"Mas, numpang tanya, dong!" Perempuan yang berpakaian serba hitam itu tiba-tiba bertanya melalui depan pagar.

Karena tidak ada siapapun selain Jazmi di situ, otomatis dia menoleh. "Ada apa?"

"Ini kosannya Farris, kan?"

Jazmi mengernyit heran. "Farris Ebrahim?"

Perempuan itu mengangguk. "Iya, betul! Ada orangnya nggak?"

"Kamu siapanya Farris?"

Perempuan itu diam sesaat kemudian berdeham pelan. "Temannya tapi beda kampus."

Sementara perempuan satunya lagi bingung dengan jawaban temannya itu lalu mencubit pelan lengan si perempuan serba hitam itu.

"Sebelum ke sini nggak ngabarin dulu?"

Perempuan itu menggeleng. "Nggak, kebetulan emang urgent banget ini. Jadi mendadak langsung ke sini."

Bukan, bukannya Jazmi tidak menghargai tamu yang datang. Tapi, hari gini jangan terlalu welcome kepada orang asing meskipun yang di depannya kini hanya dua orang perempuan. Tetap saja, yang namanya orang asing kita harus berhati-hati.

"Nggak tau ke mana orangnya. Bentar, dichat dulu." Jazmi betulan mengirim pesan yang langsung dibaca oleh Farris.

"Tunggu, bentar. Mau duduk dulu di sini nggak?" Sebagai bentuk basa-basi, Jazmi menawarkan keduanya untuk masuk dan menunggu di teras daripada berdiri di depan rumah.

Seolah disambut, kedua perempuan tersebut mengangguk lalu duduk di kursi rotan yang memang sengaja ditaruh di depan rumah untuk sekadar bersantai oleh anak kosan.

"Urang teh baru mau tidur, Mi. Diganggu wae, ah!" Farris mencebik saat tiba-tiba sudah berada di depan pintu.

"Yo, ini loh, temenmu mau ketemu. Tak tinggal kalo gitu." Jazmi bangun dari duduknya, berniat untuk masuk ke dalam rumah tapi kemudian tangannya keburu ditahan oleh Farris.

"Kela. Maneh tunggu di sini!" Perintahnya. Farris menatap lekat ke arah kedua perempuan itu, memperhatikan satu per satu. "Ngapain kamu ke sini?"

Pertanyaan dengan nada dingin itu tidak hanya membuat Jazmi kaget tetapi juga kedua perempuan tersebut.

"Saya tanya ulang. Ngapain kamu sampe dateng ke sini?"

"Ris," si perempuan serba hitam itu tergugu di tempatnya.

"Kan saya udah bilang ke kamu, hari di mana kebohongan kamu terbongkar, tandanya saya udah selesai sama kamu. Jadi nggak usah kamu cari saya apalagi sampe dateng ke kosan saya."

Jazmi takjub dibuatnya. Ini bukan Farris si anak tengil yang biasanya dia lihat di kosan.

"Kamu bisa nggak sih, denger penjelasan aku dulu?" Dia membuka maskernya. Matanya sudah berair tanda akan segera menangis.

Lagi, Jazmi kaget. Ternyata perempuan itu dia kenal. Itu mantan Farris. Keduanya sudah putus setahun yang lalu.

"LHO? REINA?"

*

Perempuan bernama Reina itu akhirnya menangis. Farris tidak berniat membuatnya menangis. Hanya saja, rasanya tidak adil kalau dia sekarang tiba-tiba menangis seolah lupa rasa sakit yang Farris terima.

"Nggak perlu nangis. Kamu jahat ke saya waktu itu aja saya nggak nangis." Farris masih enggan menyambut perempuan itu dengan ramah tamah.

Jazmi yang sudah mengerti keadaan apa yang tengah berlangsung di hadapannya hanya menghela napas panjang. Dia mengira kalau urusan milik Farris ini sudah selesai, ternyata belum.

"Kamu bisa nggak, sih dengerin penjelasannya Reina dulu?" Teman Reina itu menatap tajam ke arah Farris.

Farris terkekeh meremehkan. "Kalo saya jadi kamu, saya milih diam karena nggak tau kejadian aslinya kayak apa."

"Aku udah kasih tau ke kamu kan, waktu itu? Aku udah jelasin ke kamu. Tapi, kamunya yang nggak mau tau dan nutup mata, Ris!"

"Kasih tau yang mana? Soal kamu diem-diem pergi ke Malang berdua sama si blegug itu? Saya tau semuanya. Saya milih diem karena kamu bakal muter balikin faktanya. Saya bahkan punya semua buktinya. Ada, tapi saya mah diem. Karena saya udah terlalu capek ngadepin kamu, Rei."

Reina hanya dapat terdiam lalu tangisnya kembali pecah.

"Kamu pikir dengan kamu yang tiba-tiba dateng ke sini sambil nangis-nangis, bikin saya luluh? Nggak. Mending kamu mah pulang gih, waktu saya kebuang percuma kalo begini."

Tangis Reina berubah, dia tertawa dongkol. "Kamu emang nggak pernah mau ngerti."

"Saya nggak peduli apa yang kamu bilang. Apa pun alasan yang mau kamu coba kasih ke saya nggak akan ada gunanya. Yang namanya perselingkuhan nggak akan bisa dimaafkan, apa pun itu."

Reina bungkam. Apa yang Farris katakan memang benar adanya. Cewek itu diam-diam pergi dengan cowok lain tanpa sepengetahuan Farris atau sebenarnya Farris tahu tapi dia memilih diam?

Farris tahu tapi dia memang memilih diam untuk beberapa waktu. Farris hanya menunggu Reina yang waktu itu mau untuk jujur namun kenyataannya, Reina tetap menutupi kejahatannya. Farris muak dan pada akhirnya meminta untuk menyudahi hubungan keduanya.

"Aku nggak akan diem-diem jalan sama dia kalo aja kamu bisa luangin waktu kamu sedikit buat aku!"

Jazmi mengusap wajahnya lelah. Dia mengerti secapek apa Farris menghadapi perempuan ini beberapa tahun ke belakang.

"Kamu mau ungkit soal ini lagi? Di depan orang-orang yang nggak ada hubungannya sama kita? Capek saya mah sumpah. Pulang laprak saya bela-belain jemput kamu padahal itu hujan deras. Tengah malem kamu sakit, saya yang bawa kamu berobat. Bagian mana yang kurang dari saya buat kamu?" Farris mengepal tangannya berusaha untuk menahan emosi yang hampir memuncak. "Saya lupa satu hal. Kenyataannya saya emang selalu kurang buat kamu mah. Sok, kamu pulang aja. Saya bener-bener udah nggak bisa sama kamu."

Tanpa menunggu Reina membalas kalimat panjang yang dilontarkan, Farris kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkan, Jazmi, Reina juga temannya itu.

"Bener yang Farris bilang. Sebaiknya kamu pulang. Mungkin bagi kamu waktu satu tahun cukup buat balik ngomong sama Farris. Tapi, buat Farris nggak." Jazmi menarik napas lalu membuangnya kasar. "Jangan temuin Farris lagi. Tolong hargai keputusan dia."

Reina mengusap pipinya yang basah kemudian berjalan menuju motornya. Temannya itu mengangguk singkat ke arah Jazmi sebagai tanda pamit.

Setelah keduanya pergi, Jazmi kembali duduk. Letupan emosi Farris terasa meski Jazmi hanya orang luar di hubungan yang pernah Farris miliki.

Salah satu alasan, kenapa Jazmi masih enggan untuk berpacaran. Dia tidak siap dengan konflik. Dia tidak siap dengan benturan emosi dari isi dua kepala yang berbeda.

Keegoisan serta kesalahpahaman mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai bumbu dalam suatu hubungan. Jazmi sendiri tidak setuju. Kenapa hal-hal yang tidak sehat seperti itu justru dinormalisasi? Lantas, apa gunanya komunikasi dua arah? Kenapa memilih ego masing-masing yang pada akhirnya hanya memicu lonjakan emosi?

*

Jatmiko

Jazmi yang udah sembuh.


A Paris betmut.

***

A/n :

Wadaowwwwww. Kok berantem, sieeeeeee.

Aku mun jadi si aa paris mah sama. Sama keselnya ge sok coba tbtb dateng bukannya minta maap, hereuy mereun si Reina teh nyaaa.

Syukur Jazmi dah sembuh, semoga ke depannya gak kaget lagi ya, Mi liat penampakan.

Akan ada apa di part selanjutnya? Tungguan, wehhh.

Tararengkyu untuk vote dan komennya, aku terharuuuu cekaliiii.

Udah gitu ajaaa, semoga suka dengan part ini, yaaaaaa!

Bekasi,25 Januari 2024.

Olvasás folytatása

You'll Also Like

7.4M 205K 22
It's not everyday that you get asked by a multi-billionaire man to marry his son. One day when Abrielle Caldwell was having the worst day of her life...
129K 6.4K 46
ငယ်ငယ်ကတည်းက ရင့်ကျက်ပြီး အတန်းခေါင်းဆောင်အမြဲလုပ်ရတဲ့ ကောင်လေး ကျော်နေမင်း ခြူခြာလွန်းလို့ ကျော်နေမင်းက ပိုးဟပ်ဖြူလို့ နာမည်ပေးခံရတဲ့ ကောင်မလေး နေခြ...
622K 2.4K 63
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!
2.1M 54.3K 14
"fuck you" "fuck me" "w-what?" *smut* short chapters but that's the style of the book.