Kosan 210

By diaaprilia_

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... More

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
10 | Waduh
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories
16 | Hidup Kadang Kidding

11 | Perempuan Berbaju Putih

47 7 0
By diaaprilia_


Sinar matahari menembus tirai berwarna putih yang menutupi jendela kaca itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Devan mengerang pelan saat sorot itu mengenai wajahnya. Membuatnya terbangun sambil mencebik sebal.

Dia baru bisa tidur selepas shalat shubuh tadi. Semalaman dia begadang menyelesaikan tugas akhirnya. Samar, dia mendengar suara orang memasak dari dapur, mungkin Naufal atau Farris sedang membuat sarapan.

Beberapa hari yang lalu, Mami menelepon Devan. Menanyakan sudah sampai mana tugas yang dia kerjakan. Devan mengeluh dan merasa salah mengambil langkah dalam memilih salah satu materi untuk diperdalam. Mami hanya tertawa dalam sambungan telepon tersebut. Mami tahu, kalau Devan sangat menyukai visualisasi yang tergambar dalam bentuk apa pun. Dari kecil, Devan sudah memiliki ketertarikan pada segala macam spektrum warna-warni yang tidak biasa.

Dia akan menumpahkannya pada sebuah buku gambar yang dibelikan Mami dari toko buku langganan. Imajinasinya tertuang dalam kertas putih itu. Menciptakan berbagai macam gambar keren, padahal saat itu Devan baru berumur 8 tahun.

"Emang apa yang kamu lagi kerjain sekarang, sih?" Mami bertanya saat itu.

"Aku pilih desain grafis, Mi. Aku kepikiran mau buat buku ilustrasi. Semua karakter yang tadinya aku pede bakal jadi keren ternyata malah bikin aku tambah pusing." Devan mengeluh di telepon.

Mami lagi-lagi tertawa mendengarnya. Anak semata wayangnya itu tetaplah seorang anak kecil di matanya.

"Istirahat dulu aja. Mami kan, nggak nyuruh kamu buru-buru lulus juga."

"Iya, Mi."

"Setelah kuliahmu selesai, kamu bebas memilih mau bekerja di mana pun. Ikuti kata hatimu aja. Selagi buat kamu senang, Mami juga ikut senang."

"Nggak harus buka perusahaan kayak Koh Liam kan, Mi?"

"Enggak, dong." Mami terkekeh.

"Mami dan Papi nggak mewajibkan kamu berbisnis. Kamu punya bakat dan kemampuan, kembangankan itu. Kalau bisa kejar pekerjaan impianmu itu sampai ke luar negeri."

Devan tertawa, hatinya lega. Bercerita dengan Mami semuanya jadi terasa ringan. "Oke, Mi! Makasih, ya."

"Anytime, anak Mami."

Kertas-kertas yang menumpuk di atas meja belajar Devan tampak kacau. Pena, tab, alat mewarnai semuanya berantakan. Lagi dan lagi dia kembali berdecak. Dengan langkah gontai dia berjalan menuju meja belajarnya itu. Mengambil sebuah kabel colokan untuk tab-nya yang ternyata sudah kehabisan daya sejak semalam.

 "Van, nyarap heula geura." suara Farris terdengar dari depan pintu kamar Devan.

"Yaaa, tunggu aja di meja makan." Devan membalasnya dengan sedikit berteriak agar terdengar Farris.

"Oke. Nopal masak omelet, nih! Buruan, nanti keabisan."

Mendengar informasi yang Farris berikan membuat Devan tertawa pelan. Itu makanan favoritnya.

Setelah meja terlihat lebih rapi dari sebelumnya, Devan keluar dari kamar. Menuju kamar mandi yang berada di sebelah kanan dapur rumah. Dia melihat sudah ada Naufal, Jazmi, dan Farris duduk di meja makan. Bersiap mengambil nasi yang baru saja matang dan megepulkan uap panas.

"Sarapan sek, Van." Jazmi mengajaknya untuk makan bersama. Devan mengangguk tapi dia memutuskan untuk sikat gigi terlebih dahulu.

Selesai menggosok gigi, Devan bergabung ke meja makan. Aldo juga baru saja ikut bergabung dengan muka bantalnya. Sama seperti Devan, cowok itu baru saja bangun tidur.

"Naufal semua yang masak?" Devan bertanya saat mengambil nasi ke piringnya.

"Omeletnya mah Nopal. Kalo tumis kangkungnya mah jelas urang." Farris mengatakannya dengan bangga sambil menunjuk mangkuk yang berisikan tumis kangkung itu.

"Kalo tahu sama tempe gorengnya si Jazmi, nih. Semoga aja nggak keasinan dah." Naufal tertawa setelahnya.

Jazmi juga ikut tertawa. "Dijamin enak! Takaran garemnya udah pas iki!"

"Enak. Bikin sa punya mata melek. Padahal masih agak mengantuk tadinya."

Farris tertawa melihat Aldo yang tengah mengunyah tahu goreng itu. Matanya masih menyipit karena kantuk yang tertahan.

Semuanya sarapan dengan nikmat. Beberapa kali sambil mengobrol singkat mengenai perkembangan tugas masing-masing. Semuanya dibuat terkejut saat Aldo bilang kalau dia akan menghadiri wisuda pada bulan depan.

"Anjir! Cepet pisan maneh, Do!" Reaksi yang diberikan Farris membuat Aldo tertawa.

"Papa yang suruh. Katanya jangan lama-lama di Jogjanya."

"Ini kalo mau ngumpul lagi berat, nih. Kita kudu jemput dia ke Manado masalahnya." ucapan Naufal disetujui oleh yang lain.

"Definisi berat diongkos buat main doang." Devan menambahkan.

Jazmi geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Kalian ki piye, sih? Kae loh, Papanya seng nduwe tambang nang Sulawesi. Nek masalah ongkos wes tenang wae. Yo ora, Do?"

Aldo mengangguk. "Tenang aja. Sa bisa bayar ongkos pesawat pp. Tapi untuk jajan, ditanggung masing-masing, ya."

Farris mengangguk mantap. "Urusan jajan mah kan, ada si Devan. Aman atuhlah."

"Aing deui, anjir!" Devan mengikuti logat Sunda seperti Farris saat sedang berbicara. Suara tawa kembali menggema mengisi dapur. Suasana hangat ini yang nantinya akan susah untuk diulangi kembali.

***

Aletta berulang kali mengecek kalender di hadapannya. Berharap tanggal itu tidak bertabrakan. Sayangnya, tanggal yang dia pilih untuk pergi bersama teman-teman seangkatannya saat ospek itu bertepatan dengan jadwalnya kerja kelompok di salah satu mata kuliah yang paling dia tidak suka.

Terpaksa, Letta menghubungi salah satu temannya dan mengatakan bahwa dia tidak bisa ikut acara tersebut dikarenakan harus mengikuti kerja kelompok bersama teman sekelasnya. Temannya mengerti dan berkata tidak apa-apa. Letta bisa ikut di lain waktu. Dengan rasa bersalah, beberapa kali dia mengatakan maaf.

"Letta, Ta! Jadi mau beli rujak apa nggak?"

"Bentar, Kak Ran! Tungguin, jangan ditinggalin." Letta menutup laptopnya, lalu menuju rak gantung pakaiannya.

Dia meniup poninya. Kebingungan saat memilih baju yang akan dia pakai keluar. Siang hari ini sangat terik. Letta tidak mau memakai outer yang tipis karena akan membuat kulitnya terasa kebakar. Pilihannya jatuh pada sebuah hoodie cream bergambar kelinci lucu, hadiah dari salah seorang teman saat Letta berulang tahun beberapa bulan yang lalu.

Menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan lalu mengambil maskernya. Pokoknya Letta tidak mau belang setelah pulang membeli rujak.

"Lama amat anak gadis siap-siapnya." Rania berkomentar saat Letta menutup pintu kamarnya. Dia hanya menyengir lebar.

"Sekalian beli apalagi, Kak?"

"Gre nitip mogu-mogu sama beberapa cemilan. Anaknya tadi buru-buru banget, kayaknya sih, ada urusan."

Letta mengangguk paham. "Chika ke mana?"

"Ada di kamar. Lagi tidur, biarin. Bete dia abis balik kelas tadi, dosennya mungkin nyebelin kali, ya."

"Pake motor gue apa lo nih, Kak?"

Rania menunjukkan kunci motor yang memiliki gantungan boneka panda lucu itu ke hadapan Letta. "Motor gue aja. Yuk, buruan."

Kemudian mereka keluar. Rania yang mengemudi sementara Letta duduk manis di belakang. Seperti dugaan Letta sebelum berangkat tadi, matahari begitu terik. Terasa menusuk. Syukurnya baik dia maupun Rania memakai helm. Jadi, kepala mereka aman dan tidak akan pusing saat sedang berada di jalan raya seperti sekarang.

Rujak yang mereka beli tidak jauh dari sebuah sekolah dasar Muhammadiyah di daerah Sagan. Yang pertama kali memberi tahu rujak itu adalah Chika. Lalu entah kapan, anak-anak kosan lain jadi terbiasa membeli rujak di situ. Biasanya Rania akan membeli rujak di depan Rumah Sakit Sakinah Idaman, tapi hari ini dia lebih memilih rujak di Sagan dan mengajak Letta untuk menemaninya.

"Kok nggak ada, ya?" Rania menengok ke kanan dan kiri, mencari tukang rujak langganannya itu saat keduanya sudah sampai di tempat tukang rujak tersebut biasa berjualan.

Letta membuka kaca helmnya. "Dia nggak jualan kali, Kak hari ini."

"Duh, masa iya? Jualan terus tau hampir setiap hari."

"Coba tanya ke tukang es teh itu dah, Kak. Kali aja tau ke mana si amang rujaknya."

Rania turun dari motor lalu berjalan ke penjual es teh tersebut. "Ibu, maaf mau tanya. Tukang rujak yang biasanya mangkal di sini, nggak jualan ya, hari ini?"

"Pindah, Mbak jualannya. Udah semingguan ini nggak di sini lagi." Dengan logat Jawa yang kental si Ibu itu menjawab sambil tersenyum.

"Oalah. Pindah ke mana ya, kalo boleh tau?"

"Sekarang jualannya deket asrama putri Aceh. Mbaknya tau, nggak? Lewat Panti Rapih juga bisa." Ibu itu menunjuk ke arah kiri jalan raya.

Rania mengangguk. Jaraknya tidak terlalu jauh syukurnya. "Ah, begitu. Esnya boleh deh, Bu, dua, ya."

Karena tidak enak hanya bertanya keberadaan si tukang rujak itu, Rania akhirnya membeli 2 gelas es teh manis. Lumayan, berhubung cuaca sangat terik siang ini. Meminum es teh akan melegakan tenggorokannya. 

"Oh, ya, boleh. Saya bungkuskan sebentar, ya, Mbak."

Letta yang memperhatikan dari motor agak sedikit bingung. Kenapa Kak Rania malah membeli es teh? Katanya cuma mau tanya soal si tukang rujak.

Setelah pesananya selesai, Rania membayar sambil mengucapkan terima kasih. Dia berjalan menuju Letta yang sedari tadi sudah menunggu di motor.

"Kak? Lah, kok malah beli es teh?"

Rania terkekeh lalu menyodorkan satu gelas es teh manis itu kepada Letta. "Nggak enak kalo cuma nanya doang. Kata si Ibu yang jual es teh, tukang rujaknya pindah, coy."

Letta menyedot es tersebut, terasa menyegarkan tenggorokannya. "Hah? Pindah ke mana?"

"Katanya sih, sekarang jualannya di depan asrama putri Aceh itu. Pernah lewat kagak lo?"

Letta bingung. "Gue jarang lewat sini, apalagi tau itu asrama, Kak. Asrama anak-anak Depok aja gue kagak tau di mana, apalagi punya orang Aceh!"

Rania terpingkal mendengarnya. "Bener juga, ya."

"Ya, udah ayo ke sana, deh. Pake maps nggak?"

Rania mengangguk. "Boleh. Jangan sampe salah nunjukkin arah ya, Ta."

"Kalo salah tinggal puter balik, Kak."

"Ya, udah. Yuk gaskeun!"

***

Gretha sampai di kosan. Dia heran kenapa terasa sepi sekali. Memanggil satu per satu nama para penghuni kosan tidak ada sahutan juga.

"Kok sepi, sih?" Dia bertanya pada dirinya sendiri.

Waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Hawa panas masih terasa di kulit padahal dia sudah masuk ke dalam rumah. Gretha menyelonjorkan kakinya di sebuah sofa panjang. Tadinya, mau langsung masuk ke kamar saja. Tapi dia baru ingat kalau tadi dia menitip beberapa camilan kepada Rania. Jadi, dia memiliu menunggu Rania di ruang tamu saja.

"Assalaamualaikum!" suara seseorang mengucapkan salam membuat Gretha bangun dari posisi rebahannya di atas sofa.

Saat melihat si pemilik suara itu dia berdecak. "Apa, Ris tiba-tiba ngagetin?"

Farris agak terkejut karena dia mengira yang rebahan itu adalah Rania, makanya dia mengucapkan salam. "Eh, kirain urang teh si Rania. Makanya ngucap salam, maapkeun, Gre."

Gretha tertawa. "Nggak apa-apa, santai aja." Matanya langsung melirik ke arah kantong plastik merah yang ditenteng oleh Farris. "Apa itu?"

"Ini? Ayam potong. Tapi belom dicuci, tadi beli abis dari pasar. Buat ntar malem makan."

"Hah? Tiba-tiba banget? Acara apa, toh?"

Farris masuk lalu meletakkan plastik merah itu ke atas meja. Kemudian dia duduk di salah satu sofa single seat. "Idenya Jazmi ieu mah. Dia mau ayam bakar tapi maunya masak sendiri. Jadi weh, beli ayam mentahnya."

"Ya ampun, ngeribetin banget buat makan doang." Gretha geleng-geleng kepala, capek dengan segala tingkah laku anak-anak kosan.

"Naha sepi kieu? Pada pergi?"

Gretha mengangguk sekenanya, dia kembali merebahankan diri di atas sofa. "Rania keluar sama Letta. Lia masih di kerjaan. Chika kayaknya, sih, tidur."

"Oh, gitu." Farris mengangguk kemudian ide iseng muncul di kepalanya. Dia berjalan menuju kamar Chika sambil terkekeh pelan.

Gretha hanya bisa menepuk jidat. Sudah paham dengan apa yang akan dilakukan Farris.

Benar saja, tepat saat berdiri di depan pintu kamar Chika, Farris berdeham bersiap-siap untuk mengetuk pintu tersebut.

Ketukan pelan beberapa kali dia lakukan tanpa bersuara atau lebih tepatnya dia menahan tawanya agar tidak terdengar oleh Chika.

Ketukan kedua dengan tempo yang mulai cepat.

Ketukan ketiga barulah Farris mengeluarkan suaranya.

"Chik, bangun, Chik! Buru bangun! Indonesia udah merdeka, nih!"

"BERISIK!" Chika berteriak dari dalam kamarnya.

Tak henti sampai di situ, meski sudah diteriaki Farris tetap mengulangnya. Mengetuk pintu lagi sampai terdengar suara lemparan barang ke arah pintu kamar.

"Farris gue tabok lo, ya! Dieeemmm!"

"Bangun atuh, makanya, Chik. Udah sore yeuh, nggak boleh tidur sore-sore mah." Farris terpingkal sambil masih mengetuk.

Terdengar suara Chika bangun dari ranjangnya. Lalu kembali berteriak.

"BACOT BANGET FARRISSSS!"

Dengan tawa yang tersisa, Farris berjalan kembali ke arah ruang tamu. Gretha masih rebahan namun terdengar kalau dia menghela napas lelah.

"Ris, jahil banget kamu."

Farris masih saja tertawa. "Seru, Gre. Udah lama nggak jahilin si Chika."

Bertepatan dengan sisa tawa milik Farris, Rania dan Letta sampai.

"Panas, panas, panas." Letta berjalan cepat meninggalkan Rania yang bahkan belum melepas helmnya.

Letta langsung merebahkan dirinya di atas lantai ruang tamu.

"Buset, maneh, Ta. Salam minimal mah. Main rebahan, wae!"

"Panas, coy di luar!"

Rania yang membawa tentengan itu hanya menggelengkan kepalanya. Dia duduk di sebelah Gretha yang tidak jadi memejamkan matanya karena beberapa kegaduhan barusan.

"Lo ngapain di mari?" Rania menatap Farris. "Terus ini apaan, nih? Ayam punya siapa?" Dia menunjuk ke arah plastik merah yang berisi ayam mentah yang sudah dipotong.

"Buat ntar bakar-bakar ini mah."

"Taro kulkas dulu, ege. Keburu bau ntar!"

"He'eh, poho urang!" Farris bangun lalu mengambil plastik merah itu. Dia dengan santainya berjalan menuju dapur di belakang, serasa dia pemilik rumah kosan ini.

"Aduh, sengaja." Farris menyenggol kaki Letta dengan pelan saat melewati cewek itu.

Letta yang tahu akan dijahili dengan sigap membalasnya dengan cubitan di betis Farris, membuat cowok itu mengaduh kesakitan.

"Emang lo doang yang bisa jahil, hah?"

"Syukur gue beli esnya lebih, nih. Kalo ngepas bisa nangis tuh, si Farris kagak dibeliin."

Kembalinya Farris dari dapur, mereka mengobrol. Membahas soal Aldo yang akan diwisuda bulan depan juga rencana Jazmi yang mau bakar-bakar ayam malam ini. Rania sedikit kaget karena dia tidak mengira kalau progress Aldo sudah secepat itu. Karena yang dia lihat ke anak-anak cowok ini sangat santai sekali. Seolah skripsi itu bukan hal yang penting.

"Abis wisuda langsung pulang ke Manado, dia?" Letta yang sudah duduk di atas sofa bertanya sambil menyomot pisang goreng yang ada di atas meja.

"Katanya mah mau semingguan dulu di sini. Terus dia ngajakkin ke pantai lagi atau ke mana weh, yang penting lengkap ngumpul semua."

Seakan langsung paham, Rania mengangguk. "Pantesan Jazmi ngajak bakar-bakar."

"Iya, bisa jadi karena Bang Aldo mau wisuda kali, ya. Dia ngide tuh, nyiptain momen di hari-hari sebelum wisudanya dilaksanain." Letta ikut setuju.

"Ya, udah. Nanti siap-siap masaknya nunggu Lia pulang aja. Kebetulan besok kan hari Sabtu, kalo bakar-bakarnya kemaleman nggak apa-apa. Lia bisa istirahat besoknya karena libur." Gretha memberi saran.

Keempatnya mengangguk setuju. Kembali mengobrol-ngobrol sambil memakan beberapa jajanan pinggir jalan yang Rania beli bersama Letta tadi.

Dalam hati, Letta merasa sedih. Kenapa waktu berjalan begitu cepat. Dia merasa sedikit sekali momen bersama Aldo. Cowok itu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar ketimbang di kosan. Sekiranya ada acara ngumpul bersama pun, Aldo jarang menimbrung. Selalu bentrok dengan agendanya yang begitu padat.

Tadi apa kata Farris? Seminggu setelah wisuda, Aldo benar-benar akan pulang ke Manado? Bagaimana kalau Letta mau mengajaknya pergi main? Depok ke Manado itu jauh. Belum lagi pasti Aldo akan disibukkan dengan bekerja di pertambangan nanti.

Meski tertawa, dalam hatinya Letta tetap merasa sedih. Ini baru Aldo, bagaimana nanti jika satu per satu penghuni kosan berpamitan? Letta belum siap menutup lembarannya bersama anak-anak kosan.

***

Malamnya ketika semua sudah diberi tahu oleh Farris, anak-anak kosan membagi tugas masing-masing. Dengan sigap, Jazmi dan Aldo mengambil alih dalam urusan bakar membakar. Rania ambil tugas dalam urusan perbumbuan untuk marinasi 2 ekor ayam yang sudah dipotong itu.

Gretha, Letta, dan Chika menyiapkan minuman serta camilan lainnya. Lia pulang telat, sehabis maghrib tadi dia baru sampai kosan. Tapi sudah diberi tahu via whatsapp oleh Naufal. Seperti sebelumnya, Naufal yang menjemputnya pulang dari kerjaan. Keduanya sempat mampir sebentar untuk membeli minuman dan makanan yang kurang sebagai tambahan nanti apabila ada stock persediaan bumbu dan sebagainya yang tidak cukup.

Devan dan Farris sibuk memasak lauk pendampingnya. Seperti tumis kangkung, tempe goreng, tahu goreng, dan lalapan lainnya.

Rasanya seperti mengulang kembali saat Lia baru saja tiba di kosan. Baru ada setengah tahun dan itu sama sekali tidak terasa karena waktu berjalan begitu cepatnya.

"Tolong sambelnya jangan pedes-pedes!" Jazmi berteriak sambil menyiapkan arang untuk bakaran.

Aldo terkekeh pelan. "Orang Jawa ini kenapa lidahnya nggak bisa bersahabat sama rasa pedes, sih?"

"Yo, nggak enak, Do. Nggak bisa menikmati makanan itu namanya kalo terlalu pedes."

"Padahal kalo pedes itu nikmat. Makan jadi tambah nafsu."

Jazmi bergidik saat mengingat seblak buatan Rania beberapa waktu yang lalu. "Kapok aku, bolak-balik kamar mandi gara-gara mules!"

"Seblaknya Rania kan yang waktu itu?" Aldo tertawa ketika ingat seblak buatan Rania waktu itu.

"Iyo! Nggak bisa itu dimakan lagi. Bukan buat manusia."

Aldo tertawa saat melihat raut ngeri dari wajah Jazmi saat cowok membayangkan seblak buatan Rania. 

Setelah semuanya selesai, mereka semua duduk. Aroma ayam bakar menguar, membuat Farrris ingin segera mengambilnya duluan. Lauk pendamping juga sudah makan.

Selayaknya ketua, Devan berdeham pelan membuat semua menatap ke arahnya.

"Oke, gue tau semuanya pada laper. Tapi, tahan dulu." Devan menjeda, yang lainnya mendengarkan dengan seksama. "Berhubung Aldo bentar lagi wisuda, terus setelahnya dia bakal balik Manado, bakal susah buat kita semua ketemu dia lagi. Bisa, sih. Tapi nabung dulu karena ongkosnya nggak murah. Mewakili yang lain, gue ucapin selamat buat perjuangan lo, Do dalam menyelesaikan tanggung jawab lo sebagai mahasiswa. Semoga sukses untuk ke depannya."

Mendengar namanya disebut membuat Aldo merasa terharu. Apalagi anak-anak kosan sampai bela-belain membuat acara makan malam seperti ini. Bisa lebih mudahnya mereka memilih restoran untuk merayakan Aldo yang mau wisuda. Tapi demi kebersamaan yang lebih terasa dan juga mereka bisa bebas mau selesai kapan pun tanpa yang menyuruh untuk segera bergantian dengan pelanggan yang lain, maka acara bakar-bakar ini adalah pilihan yang tepat.

"Terima kasih, ya semuanya. Sa rasa sebenarnya nggak usah pake acara begini juga tidak apa-apa. Tapi, sa tau kalian. Orang-orang baik yang nggak pernah saya duga bisa ketemu di sini."

"Jangan nangis, Bang." Itu suara Letta yang meledeknya, anak-anak yang lain kompak terkekeh.

Aldo menggeleng. "Nggak nangis tapi cukup terharu. Sekali lagi terima kasih. Ayo, makan!"

Penuh semangat, Farris mengambil nasi lebih dulu. Sempat berebut dengan Naufal yang pada akhirnya cowok itu memilih mengalah dan membiarkan Farris mengambil nasi terlebih dahulu.

Jazmi bangun dari tempatnya. Mengambil satu piring besar dan mengisinya dengan lauk pauk yang ada.

"Buat bu Nanik, guys. Jangan lupa." Cowok itu terkekeh lalu menaruh piring itu di sampingnya. Selesai makan nanti, dia berniat mengantarkannya ke rumah bu Nanik yang ada di depan kosan.

"Sampe sekarang gue penasaran, deh. Suara perempuan nangis itu siapa, ya? Nggak ada wujudnya, anjir!" Rania memulai ceritanya.

Seakan setuju Letta mengangguk antusias. "Iya, anjir, Kak! Gue juga sempet denger. Tapi nggak pernah lihat bentukannya."

"Lah? Beberapa hari yang lalu juga gayung kamar mandi jatoh sendiri. Ya, kan, Do?" Devan melirik ke arah Aldo yang langsung mengangguk setuju.

"Hah?" Lia menganga saat mendengarnya. Bukannya takut, melainnya rasa tidak percaya muncul memenuhi benaknya. "Kesengggol kali itu gayung. Makanya jadi jatoh."

"Kagak ada yang nyenggol, Li. Masih pada tidur itu. Pagi-pagi soalnya. Yang di dapur gue sama Aldo doang, si Naufal sama yang lain di kamar masing-masing."

"Tapi selama ngekos di sini, gue nggak pernah ngerasa diganggu." Lia masih menyangkalnya.

Gretha nampak berpikir. "Kalian habis main dari luar ada yang ikut mungkin?"

"Saha atuh? Da kita-kita mah nggak jauh-jauh dari kosan-kampus. Gitu, weh tiap hari mah."

"Mau diruqyah tapi nggak semuanya muslim." Naufal menyeletuk asal.

Kontan anak-anak tertawa mendengarnya. Pembahasan berlanjut ke topik lainnya. Mereka saling melempar canda dan tawa. Semua terlihat senang dan tidak ingin momen ini cepat berlalu begitu saja.

"Waktu keran kamar mandi patah itu, tau ulah siapa?" Devan melemparkan pertanyaan.

"Jangan diingetin gitu, lho, Van. Malu aku, cok!" Jazmi merengut saat Devan mengingatkan soal keran kamar mandi yang sempat patah.

Letta terbahak saat mendengar Devan bercerita. "Kok bisa patah, sih?"

"Lo kalo mandi, kerannya bukan diputer tapi lo tarik kali ya, Mi?" Chika tidak kaget, apalagi melihat tangan Jazmi yang penuh otot itu. Keran yang patah bisa masuk akal.

Mereka kembali tertawa. Jazmi cemberut tapi tidak kehabisan ide. Dia juga mengungkit soal Farris yang merebus air untuk membuat kopi namun ditinggal. Alhasil panci untuk merebus air tersebut gosong dan air di dalamnya menguap tanpa tersisa sama sekali. 

Rentetan kejadian-kejadian lucu selama mereka tinggal di rumah itu kembali diceritakan. Gelak tawa tak berhenti selama cerita itu dilontarkan lagi. Hal-hal sepele seperti lantai kotor yang tidak dibersihkan, kamar mandi yang lupa disikat, bahkan jemuran yang penuh sampai tidak bisa bergantian untuk menjemur. Semua cerita tumpah ruah pada malam ini.

Waktu terus bergulir, hingga tak terasa jarum jam sudah melewati pukul 11 malam. Karena sudah kenyang makan juga mengobrol, mereka sepakat untuk menyudahinya dan membereskan sisa-sisa acara makan malam tersebut. Tidak lupa Jazmi membawa makanan untuk bu Nanik yang sudah dia pisahkan sejak awal tadi.

Mereka membagi tugas seperti biasanya. Setelah beres, anak-anak cewek langsung masuk ke rumah dikarenakan sudah mengantuk. Sementara anak-anak cowok melanjutkan dengan mengobrol ringan.

"Bakalan netep di sana, Do? Nggak merantau lagi?" Naufal bertanya setelah mengeluarkan asap dari pod yang baru saja dia hirup.

Aldo menggeleng pelan sambil menjentikkan abu di ujung rokok yang dia pegang. "Nggak kayaknya. Papa suruh kerja di Sulawesi aja."

Devan manggut-manggut. "Banyak tambang menunggu, sih, di sana."

Jazmi melirik ke arah Farris. Anak itu biasanya paling berisik tapi malam ini, dia lebih banyak diam. Merespon seadanya dan selalu fokus ke ponselnya.

"Ngopo toh, Ris?"

Farris menengok saat namanya dipanggil. "Naon, Mi?"

"Ya, kowe ki ngopo? Meneng, wae. Akeh sing dipikirke po, piye?"

Meski awalnya dia tidak paham bahasa Jawa, tapi kini dia sudah mulai paham walaupun sedikit. "Enteu, ah. Eweuh nu dipikirin. Santuy, weh, santuy."

"Boong aje lo." Naufal meledek. "Lo biasanya berisik, Ris. Diem mulu sedari tadi. Cerita aja udah."

Wajahnya menampilkan ekspresi ragu dan bingung. Devan bisa menangkap itu. "Kalo dipendem sendiri nggak bakal enak. Mending lo keluarin aja."

Menggeleng kuat lalu Farris tersenyum tipis. "Nggak, nggak kenapa-napa sumpah, dah." Dia melirik ke arah botol cairan liquid pod milih Naufal. "Rasa naon eta?"

"Stroberi, Lia yang pilihin kemaren."

"Dia jadi diam pas tadi cerita-cerita setan. Kenapa, Ris?" Aldo mengingat lagi soal gangguan itu membuat yang lain menjadi diam.

"Lo digangguin juga di kamar?" Devan bertanya penuh selidik.

"Nggak." Farris diam beberapa saat. "Tapi, emang iya, aneh, sih. Masa ini rumah tiba-tiba berhantu? Asa teu masuk akal, ah."

"Masuk akal aje. Kita hidup berdampingan lagian." Naufal menyergahnya dengan sebuah fakta.

"Mungkin mereka nggak siap kalo kita udah pada mau lulus? Bisa aja, kan?" Devan menaikkan sebelah alisnya.

Farris mengusap dagunya sambil manggut-manggut, seolah sedang berpikir. "Masuk akal juga, sih."

Sementara Aldo hanya berdecak malas. "Mulai lagi kita ini bahas setan?"

Semua tertawa kecuali Aldo yang menampilkan raut wajah malasnya.

"Kenapa, sih, Do? Takut, ya?" tanya Naufal sambil meledek.

"Enggak. Cuma kayak nggak ada pembahasan lain aja."

Obrolan mereka terjeda saat suara ranting jatuh dari dua pohon mangga yang bersebelahan berada di pojok halaman belakang kosan. Kompak, semuanya menoleh ke arah sumber suara tersebut.

Farris yang terkejut langsung bangun dari duduknya. "Gaes, ieu mah asli pundung manehna."

"Kan! Kan marah dia itu!" Aldo ikutan berdiri. "Ayo udah masuk aja, udah malam juga." Dengan gerakan cepat, dia mematikan rokok yang belum sepenuhnya habis itu ke asbak.

"WOY! SIAPA ITU?" Berkebalikan dengan dua temannya, Naufal malah berteriak ke arah pohon mangga yang menjulang tinggi itu.

"EH, KAMPRET, GILA LO, YA?!" Devan menabok lengan milik Naufal.

Jazmi diam tapi matanya tak lepas menatap ke arah pohon tersebut. Hingga sesuatu menyerupai bayangan putih lewat di antara dahan pohon tersebut.

"ASU! KUNTILANAK, COK!" Jazmi ngibrit meninggalkan keempat temannya yang menampilkan wajah kebingungan.

"Naon katanya si Jazmi?" Farris bertanya, memastikan apa yang dia dengar barusan.

"Gue duluan, ya!" Devan ikutan berlari masuk ke dalam rumah.

Aldo, Naufal, dan Farris saling melemparkan tatapan. Seolah memberikan kode melalui mata, ketiganya kompak berhamburan masuk ke dalam meninggalkan gelas-gelas kopi serta asbak rokok yang belum dibereskan.

Farris yang shock setelah masuk kamar.

Naufal ikut-ikutan shock, padahal dia tadi nantangin tapi nggak ada lihat apa pun. Ngerasa bersalah soalnya udah sok berani di awal.


"Aku rapopo, gaes. Kaget dikit nggak ngaruh."

***

A/n :

Yak, jadi begitulah pemirsaahhh. Ada yang mulai menunjukkan wujudnya selama ini, huahahahahha.

Tenang, ini bukan cerita horor. Cuma nggak menutup kemungkinan kan, di setiap kosan pasti suka ada yang iseng. Dan apesnya, Jazmi yang diliatin sama si mbaknya, hahhahaha.

Semoga aja Mas Jazmi nggak kenapa-napa, yaaaa. Shock dikit aja, kok karena sebelumnya nggak pernah melihat penampakan.

Chapter selanjutnya mungkin gonjang-ganjing berkaitan dengan para mantan yang satu per satu nongol terang-terangan, hahahahahahahaha.

Yaudah, gitu aja, deehhh.

Semoga suka dengan part ini, yaawwww.

Terima kasih yang sudah menyempatkan diri untuk membaca, wuff u kamsahamnidaaaaa. ❤️❤️❤️❤️❤️

Bekasi, 21 Januari 2024.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1K 82 5
WARNING 🔞++, BL. HOMOPHOBIC MENJAUH..., *** Apakah cinta jenis ini bisa kupegang selamanya, apakah cinta ini bisa kuhinggap sampai ke alam sana? Seb...
4.2K 181 6
Her Ladyship Y/n ruled over a thriving village and owned a large estate for herself. For only a few months she had been fulfilling her role as a fair...
139K 6.1K 55
ငယ်ငယ်ကတည်းကတစ်ယောက်နှင့်တစ်ယောက်မတည့်တဲ့ကောင်လေးနှစ်ယောက်ကအလှလေးတစ်ယောက်ကိုအပြိုင်အဆိုင်လိုက်ကြရာက မိဘတွေရဲ့အတင်းအကြပ်စီစဉ်ပေးမှုကြောင့်တစ်ယောက်အပေါ...
129K 6.4K 46
ငယ်ငယ်ကတည်းက ရင့်ကျက်ပြီး အတန်းခေါင်းဆောင်အမြဲလုပ်ရတဲ့ ကောင်လေး ကျော်နေမင်း ခြူခြာလွန်းလို့ ကျော်နေမင်းက ပိုးဟပ်ဖြူလို့ နာမည်ပေးခံရတဲ့ ကောင်မလေး နေခြ...