Kosan 210

By diaaprilia_

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... More

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
11 | Perempuan Berbaju Putih
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories
16 | Hidup Kadang Kidding

10 | Waduh

42 10 2
By diaaprilia_

Pagi-pagi sekali, Aldo sudah terbangun dari tidurnya. Dia jarang bangun sepagi ini karena biasanya, cowok itu akan bangun pada pukul tujuh pagi.

Jam di dinding masih menunjukkan pukul lima pagi. Yang mana, ini benar-benar bukan Aldo bisa terbangun pada pagi buta. Mau dipaksa tidur lagi, rasanya tidak bisa. Matanya sudah melek sempurna.

Aldo berdecak sebal, kenapa bisa-bisa terbangun pada pukul lima pagi. Akhirnya cowok itu memutuskan keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur untuk mengisi botol air minumnya.

Suasana rumah masih sepi, mungkin para penghuni masih terlelap. Tapi untuk Naufal dan Devan yang rajin bangun pagi, rasanya tidak mungkin kalau mereka kembali tidur setelah menyelesaikan shalat shubuh.

Saat Aldo sampai di dapur hanya sepi yang menyelimuti. Cowok itu tidak takut pada hantu dan sejenisnya, tapi anehnya dia merasa seperti ada yang mengawasi dari setiap sudut.

Dengan cuek, dia mengisi kembali air dari dispenser ke botol minumnya. Berusaha tidak memedulikan perasaan aneh yang muncul itu.

Saat botol sudah terisi penuh, Aldo segera bergegas untuk kembali ke kamarnya. Tapi, kebetulan dia berpapasan dengan Devan yang baru saja masuk ke dapur.

"Ko Devan asli atau bukan?" tanya Aldo langsung dan setelahnya dia mendapat satu geplakan di kepalanya.

"Lo kira gue setan, hah?" Devan menyahut galak.

"Sa kira ko bukan orang, Van. Tiba di dapur kerasa beda sekali."

"Apanya yang beda?" Devan bertanya heran, cowok itu baru saja menyalakan kompor untuk memasak air panas.

Aldo mengusap bagian leher belakangnya. "Hawanya, ko nggak ada berasa dilihatin kah di sini tiap bangun pagi?"

"Ah, kagak. Biasa aja. Ini dapur kadang dingajiin sama si Naufal, tuh kalo shubuh."

"Rajin dia, ya. Tapi, serius. Ko beneran nggak merinding sama sekali?"

"Kagak, dibilang." Devan meyakinkan. "Mau ngopi kagak lo? Gue mau nyeduh teh, nih."

Lucu, kan? Devan menawari kopi untuk Aldo tapi dia sendiri malah mau menyeduh teh.

Aldo mengangguk. "Boleh, deh."

Cowok itu tak ambil pusing. Sekalipun ada hantu yang muncul, dia berdua dengan Devan jadi tidak sendirian.

"Lo tumben banget pagi-pagi buta udah bangun?"

Aldo tertawa ringan. "Kebangun. Rasanya aneh juga bangun sepagi ini. Tapi, udah kebangun juga, toh."

"Sering-sering aja bangun di jam segini. Udaranya masih seger, Do."

Mereka lanjut mengobrol ditemani secangkir kopi hitam dan secangkir earl grey kesukaan Devan.

"Naufal di kamarnya kah?" Aldo bertanya sebab dia belum melihat Naufal sedari tadi.

Devan mengambil satu buah biskuit dari dalam toples, menggigitnya kecil. "Udah bangun, kelar shubuhan langsung masuk kamar. Palingan lagi ngaji."

"Udah kelar belum kira-kira? Ajaklah ke sini, biar kita ngopi bareng-bareng."

"Bentar gue chat anaknya, siapa tau—"

Kalimat Devan terpotong oleh suara gayung tiba-tiba yang jatuh dari dalam kamar mandi. Devan dan Aldo kontan saling melemparkan tatapan terkejut sekaligus ngeri.

"Emang ada orang di kamar mandi?" Seumur-umur Aldo hidup, baru ini dia merinding sekujur tubuh.

Devan menggeleng. "Kagak ada, kan dari tadi kita berdua di mari, Do."

Dengan berani, Devan berjalan ke arah kamar mandi untuk memastikan. Aldo mengekorinya dari belakang.

Pintu kamar mandi agak tertutup sedikit, Devan mendorong pelan itu lalu yang mereka temukan hanyalah gayung yang sudah terjatuh di lantai serta air dalam bak mandi yang tenang.

"Mampuslah! Nggak ada orangnya itu!" Aldo mendadak histeris sendiri.

"Aneh amat tiba-tiba jatoh sendiri." Devan tidak merasa takut melainkan heran, kenapa gayung bisa jatuh sendiri padahal tidak ada yang menyenggolnya.

Kemudian, dia mencuci gayung tersebut lalu meletakkannya kembali di atas bak mandi.

"Udah, selaw. Mending balik ngopi, ayo!"

Aldo menggeleng kuat. "Pindah aja kita lah, Van. Nggak benar ini hawanya dari tadi udah sa bilang."

Keduanya sepakat pindah ke ruang tamu alih-alih kembali ke meja makan. Mereka semua sudah dua tahun tinggal di sini. Tidak pernah ada kejadian aneh seperti barusan. Tapi, pagi ini untuk pertama kalinya mereka berdua dikagetkan oleh gayung yang jatuh di kamar mandi.

"Siapa yang jatohin barang?" Naufal keluar dari dalam kamar, sepertinya juga ikut mendengar suara gayung jatuh barusan.

"Jatoh sendiri, Pal. Nggak bohong! Ko tanya Devan, nih!" ucap Aldo meyakinkan.

Naufal melirik ke arah Devan yang tetap tenang dan tidak merasa takut seperti Naufal.

"Ini kagak kebalik, nih? Aldo yang ketakutan sementara Devan santai aje?" Sontak Naufal langsung terbahak melihat kedua temannya.

Devan tampak berpikir keras. "Gue cuma ngerasa aneh, kenapa gayung bisa jatoh tanpa ada dorongan?"

Aldo tepuk jidat. "Aduh, ko orang anak dkv bukan anak fmipa. Nggak usah itu mikirin teori kenapa gayungnya jatuh sendiri."

Naufal jadi ikut duduk bersama mereka. "Mungkin lagi pengen jahil itu."

"Siapa? Setannya?" Devan menyebutnya tanpa basa-basi yang langsung mendapat geplakan dari Aldo.

"Jangan sebut-sebut!"

"Tapi nih, lo berdua emang kagak ngerasa aneh sama kejadian akhir-akhir ini?"

Aldo yang baru ini mendengar gayung yang jatuh sendiri bingung. "Hah? Sebelumnya memang ada juga?"

Devan kembali mengingat apa yang Letta ceritakan waktu itu. "Ah, gue inget! Suara perempuan nangis pas sore-sore itu, tuh! Sampe sekarang juga gue nggak tau itu siapa."

Mendengar penuturan Devan barusan, Aldo malah makin memepet Devan. "Ah, yang bener aja. Halusinasi Letta aja itu."

"Kalo halu doang mah, masa kompakan sama Rania ngehalu suara perempuan nangis?" Naufal ikutan berteori.

"Tapi nih, coy. Masa kosan kita tiba-tiba jadi angker gitu aja? Aneh, lah. Kan sebelom-sebelomnya juga aman-aman aja, nih. Nggak ada gangguan aneh-aneh."

Naufal manggut-manggut setuju dengan apa yang dikatakan oleh Devan. Dia menjetikkan jarinya saat ide muncul di kepalanya. "Gimana kalo kita ruqyah aja ini rumah?"

Devan mencebikkan mulutnya. "Nih, yang di sebelah gue beda servernya, njir! Iya kalo setannya islam, kalo ternyata buddha gimana?"

"Ya, suruh si Aldo panggil biksu aja, kelar dah, tuh! Double protection! Dijamin, setannya bakal ngibrit karena dikepung pake dua server, coy!" Naufal jadi paling bersemangat soal idenya untuk meruqyah rumah kosan ini.

"Ko jangan kasih ide aneh-aneh, Fal. Cukup udah cukup!" Aldo semakin bergidik ngeri.

"Mending gini, "Devan nampak berpikir lagi. "Kita lihat aja dulu beberapa hari ke depan, kalo gangguannya makin parah, baru kita ruqyah ini rumah."

"Setuju gue!" Naufal mengangguk. "Tadi perasaan lo kayak paling kagak percaya, Van?"

"Mulai manuk akal di gue dari rentetan kejadian akhir-akhir ini."

Baru saja Naufal mau memberi saran lainnya, tiba-tiba seluruh lampu di dalam rumah padam.

"ANJIR, TUH KAN! SA BILANG JUGA APA, KAWAN! JANGAN ANEH-ANEH!"

***

Terik matahari begitu menyengat siang ini. Rania baru saja menyelesaikan kelasnya. Syukurnya hari ini dia hanya ada 1 mata kuliah saja. Niatnya mau langsung kembali ke kosan, akan tetapi Kath keburu menariknya ke kantin fakultas yang mana mau tidak mau, Rania ikut.

"Lo mau pesen apa, Ran?" Kath bertanya saat keduanya telah sampai di kantin.

Rania mengedarkan pandangannya ke kantin, menatap satu per satu penjual makanan. Tidak ada yang membuatnya tertarik. Rania tidak merasa lapar, karena baginya tidur siang terdengar lebih menyenangkan untuk sekarang.

"Gue nggak laper, sumpah. Pesen es aja deh, gue kayaknya."

Kath mencubit lengan Rania pelan. "Apaan lo begitu? Makan siang nggak boleh diskip, tau!"

"Ya, tapi gue beneran nggak laper, serius."

"Sate ayam deh, tuh kan pake lontong. Mau nggak?"

Rania menggeleng tanda dia tidak mau. "Nggak, Kath. Udah, deh. Gue pesen es jeruk aja. Lo mau makan ya, nggak apa-apa. Gih, pesen sana."

"Lo lagi banyak pikiran, ya?" Kath bertanya penuh selidik.

"Nggak, gue cuma ngantuk. Kepengen tidur siang."

"Geez, demi Tuhan, Rania. Perasan lo dah berumur, deh."

Rania terkekeh. "Orang dewasa juga butuh tidur, Kath."

Yah, Kath tidak bisa membantah juga, sih. Memang terlihat jelas dari raut wajah Rania bahwa cewek itu kelelahan dan sangat kurang tidur. Yang akhirnya malah justru Kath yang memesan sate ayam untuk makan siangnya. Dengan porsi double, siapa tahu Rania menjadi tergugah seleranya saat mencium aroma sate ayam yang dihidangkan di atas meja.

"Gue ngerasa nggak enak, deh sama lo." Kath berujar.

"Tiba-tiba minta maaf? Lebaran masih lama, sistur."

"Soal si Jazmi. Gue nggak tahu kalo dia tetangga kosan lo."

"Yaelah, kenapa juga lo kudu minta maaf, deh? Lo nggak ada salah lagian."

"I don't know. But it just feels wrong to me. There's something happened between you and him, ya?"

Rania kontan menggeleng kuat. "No. There's nothing happened between me and him. Perasaan lo aja kali. Gue sama Jazmi cuma pure temenan karena kosan kami satu pemilik, itu aja."

Bohong. Rania merutuki dirinya sendiri dalam hati. Tentu saja ada perasaan tidak nyaman saat beberapa kali melihat insta story Jazmi yang berisikan Kath di dalamnya.

Boleh saja Jazmi menggombal kepadanya selama beberapa kali dan harusnya Rania tidak baper akan hal itu. Tapi ternyata dia salah mengambil langkah.

Obrolan mereka terjeda saat pesanan sate ayam milik Kath datang.

"Gue sengaja pesen double porsi, barangkali lo mau nyicip." Kath menggeser piring tersebut ke tengah-tengah.

"Gampang lah, itu. Lo makan aja dulu, soal Jazmi dan gue nggak usah dipikirin."

Kath terlihat gusar dan dengan jelas Rania menangkap hal itu. "Gue nggak tahu kalo Jazmi banyak yang kenal, ya ternyata?"

"Cukup famous di kampusnya, sih. Dia juga kan, pernah join hima jurusan, anak band juga. Punya bakat lah, dia buat dongkrak popularitas. Kenapa, tuh?"

"Kemarin ada yang dm gue, caci maki gue karena katanya gue keganjenan deketin Jazmi." Kath menyuap satenya dengan lesu.

"Hah?" Rania melongo mendengarnya. "Siapa yang dm lo, Kath? Gila, kali, ya?!"

"Apa ya, gue lupa username-nya. Intinya dia ngatain gue sih. Katanya gue jangan sok cantik mentang-mentang bisa masuk igs si Jazmi."

Astaga, Rania mendadak pusing mendengar cerita dari Kath. Bisa-bisanya seorang Kathrina Evelyn dilabrak oleh penggemarnya Jazmi?

"Nanti gue ngomong deh ke Jazmi. Emang kudu dijinakkin tuh, para fansnya itu."

Rania sempat merasa cemburu tiap kali melihat story keduanya. Tapi sekarang dia justru jadi merasa kesal. Bagaimana pun, Kath adalah sahabatnya di kampus. Apalagi Kath ini bukan tipikal cewek yang gemar mencari musuh sana sini. Kok bisa, ada yang sempat meluangkan waktunya hanya untuk menyuarakan ketidaksukaannya itu? Seluang itu kah sampai tidak ada waktu hanya untuk mengirim barisan pesan yang hanya berisikan cacian?

"Nggak usah juga, nggak apa-apa, Ran. Gue cuma kaget aja tiba-tiba dapet dm dari orang yang nggak gue kenal terus ngata-ngatain segala lagi."

"Besok-besok kalo ada dm nggak jelas kayak gitu lagi, lo ss terus kirim ke gue, ya!"

Kath mengangguk, dia menyodorkan piring ke hadapan Rania. "Makan, gue nggak terima penolakan pokoknya."

Tawa Rania pecah. Kath memaksanya makan terlihat lucu di matanya. Mana mungkin Rania mau egois untuk hal itu? Kath sangat baik padanya. Mungkin benar kata orang-orang, adakalanya rasa suka yang kita miliki jauh lebih baik dipendam daripada disuarakan untuk beberapa alasan.

Untuk itu Rania setuju.

***

Athalia lupa kapan terakhir kalinya dia merasakan kepalanya sepusing ini. Padahal saat siang tadi, dia tidak melewatkan jam makan siangnya. Tapi sore ini, kepalanya kembali berdenyut, membuatnya jadi kurang fokus pada pekerjaannya yang hampir selesai.

Sudah dari lama, Ibu menyuruh Lia untuk fokus berkuliah saja alih-alih bekerja. Tapi Lia bersikeras mau tetap bekerja dengan alasan mau membantu perekonomian keluarganya.

Ibunya masih bekerja sebagai sekretaris utama di salah satu kantor jasa consultant engineering di wilayah Jakarta Barat. Sementara Ayahnya sudah lama berpisah dengan Ibu saat Athalia masih duduk di bangku kelas dua smp. Itu memori lama yang sudah Lia pendam rapat-rapat. Dia melewati banyak hari dengan banyak pertanyaan yang tidak menemukan jawabannya. Lia tahu, kalau Ibu kadang menangis dalam diam pada malam hari selepas pulang bekerja.

Ketika itu, Lia masih bingung harus berbuat apa. Meski Ibu bilang padanya, cukup fokus untuk belajar yang rajin dan tidak perlu memikirkan hal-hal yang akan menganggu konsentrasinya saat bersekolah dulu. Hingga Lia mengerti alasan yang menyebabkan tangis Ibunya pecah pada malam-malam itu. 

Pisahnya Ayah sebab lelaki itu memilih perempuan lainnya dan meninggalkan Lia dengan Ibu juga kedua adiknya yang masih sangat kecil. Alasan itulah yang menjadikan kenapa Lia mau tetap bekerja sambil kuliah yang mana waktunya akan terbagi-bagi.

Tatapannya pada layar laptopnya yang masih menyala perlahan membuyar diiringi dengan keringat dingin di seluruh tubuhnya juga dengung samar yang terdengar oleh telinganya lalu perlahan semua menggelap sempurna.

Sahutan panik temannya samar terdengar oleh Lia, tapi matanya begitu sulit untuk terbuka. Lia memaksa untuk membuka matanya yang malah membuat rasa pusing di kepalanya semakin terasa sakit. Hingga beberapa menit kemudian Lia terbangun lalu mencoba mengenali sekitarnya.

Dinding putih serta bau aroma antiseptik yang tajam memenuhi indera penciumannya. Dua rekan kerjanya tengah duduk di sampingnya dengan raut wajah khawatir.

"Li, udah kerasa mendingan?" Temannya yang berkacamata itu bertanya hati-hati.

Lia mengangguk perlahan. "Udah. Ini aku di mana? Klinik?"

Temannya yang satu lagi menyodorkan segelas teh hangat untuk Lia. "Iya, tadi kamu pingsan tiba-tiba. Kami panik terus kami bawa kamu ke klinik, deh."

Tangannya terulur mengambil gelas yang berisikan teh hangat itu, menyesapnya pelan lalu meringis. "Maaf ya, mbak Kinar. Jadi ngerepotin. Maaf juga ya, Aya bikin kamu panik."

Temannya hanya tersenyum lalu mengelus tangan kiri Lia pelan. "Wes, nggak apa-apa. Yang penting kamu udah siuman."

"Tadi perasanku kamu makan siang deh, Li. Mendadak nggak enak badan po, piye?" Aya, rekan satu divisinya masih terlihat khawatir.

"Lagi banyak pikiran aja, kok. Aman udah sekarang. Aku izin pulang duluan boleh nggak ya, kira-kira? Sisa kerjaan biar kubawa pulang aja, Mbak."

Rekan kerjanya yang bernama Kinar itu mengangguk mengerti. "Nggak apa-apa pulang aja. Urusan kerjaan besok lagi. Yang penting kamu istirahat dulu aja. Aku udah bilang ke Pak Adi juga. Semoga besok udah membaik ya, Li. Jangan banyak yang dipikirin gitu, ah."

Lia tertawa. Dia bersyukur diberi lingkungan kerja yang seperti ini.

"Cowokmu juga udah nunggu di depan, tuh." Aya menyahut jahil.

"Hah?"

"Tadi waktu kamu dibopong ke sini sama temen-temen yang lain, cowokmu nelepon. Maaf ya, aku lancang angkat teleponnya. Aku bilang kalo kamu pingsan terus aku suruh tunggu dia di depan aja. Takutnya ruangan klinik penuh, bikin kamu makin sesak. Sekali lagi maaf ya, Lia." Aya merasa bersalah karena menurutnya tindakan itu sangat lancang. Tapi justru Lia berterima kasih karena sudah mengangkat telepon tersebut. 

Siapa lagi yang meneleponnya kalau bukan Naufal?

"Nggak apa-apa, Aya. Makasih ya udah ngabarin ke dia. Kalo gitu aku pulang duluan, ya?"

Mbak Kinar dan Aya kompak mengangguk.

"Tak temenin sampe depan, laptop sama tasmu biar Aya yang bantu beresin." Mbak Kinar memberi kode melalui tatapan mata ke Aya yang langsung sigap berjalan menuju ruang kantor mereka.

Dengan pelan, Mbak Kinar menuntut Lia menuju area depan kantor. Naufal sudah menunggunya di atas motor. Lia menangkap raut wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran.

"Syukur nggak kenapa-kenapa cewekmu, nih. Kayaknya cuma kecapekan aja. Anterin sampe kosannya dengan selamat, ya!" Mbak Kinar menepuk pelan bahu milik Naufal.

"Iya Mbak, makasih, ya." Naufal mengangguk lalu tangannya terulur dan menggenggam jari-jari mungil milik Lia.

Aya berlari sembari membawa tas yang berisikan laptop serta tumblr biru kesayangan milik Lia. "Ini, tasnya. Pulangnya hati-hati ya, Li. Masnya bawa motor nggak usah ngebut-ngebut!"

Lagi, Naufal kembali mengangguk. "Siap, Mbak!" Naufal melirik ke arah Lia, wajahnya masih terlihat pucat. "Naik, Li, ayo. Biar cepet sampe kosannya."

Lia mengangguk pelan, kepalanya masih agak pusing sedikit.

"Mbak Kinar dan Aya, aku pamit pulang duluan, ya!"

"Hati-hati ya, kalian berdua!"

Motor yang dikendarai oleh Naufal lalu keluar dari halaman depan kantor, membaur dengan jalan raya yang mulai padat merayap.

Naufal melirik Lia dari spion kanannya. Tampak dengan jelas kalau Lia benar-benar drop sekarang. Tangannya menarik tangan Lia, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket hitamnya.

"Biar nggak dingin, Li. Kalo mau nyender langsung nyender aja, ya."

Seulas senyum tipis membingkai wajah pucat Lia. Dia tersenyum menatap spion kanan itu. Dagunya dia sandarkan pada pundak milik Naufal. Wangi parfum yang entah sejak kapan menjadi favorit Lia itu menguar memenuhi penciuman Lia.

"Makasih ya, Fal."

"Sama-sama. Ijin ngebut, ya. Biar cepet sampe kosan."

Lia mengangguk pelan lalu mengeratkan tangannya yang memeluk Naufal dari belakang. Kepalanya masih terasa pusing, jadi Lia setuju-setuju saja kalau Naufal memilih ngebut. Dia cuma ingin segera sampai kosan lalu masuk kamar dan beristirahat.

***

Berulang kali Farris mengusap hidungnya yang terasa gatal. Padahal dia sudah mandi lengkap dengan cuci muka. Tapi, anehnya hidungnya masih terasa gatal.

Layar laptopnya menyala, menampilkan baris-baris kalimat dengan beberapa kata yang terus menerus diubah.

Itu skripsinya yang perlahan mulai rampung.

Farris meregangkan tangannya sambil menguap. Mengistirahatkan persendiannya yang sedari tadi sudah meronta untuk diistirahatkan. Jam di atas mejanya sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dia sama sekali tidak menyadari bila dia sudah duduk selama kurang lebih 6 jam di depan laptopnya.

Demi rampungnya tugas akhir itu, Farris kerap kali mengabaikan jam makan malamnya. Syukurnya, dia tidak jatuh sakit. Farris tidak ingin merepotkan siapa pun.

"Makan naon, yah. Laper banget." Farris bangkit dari duduknya sambil membuka ponselnya yang sedari tadi tidak dia pegang.

Beberapa pesan dari anak kosan baru saja dia baca. Dengan segera dia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu.

Terlihat semua penghuni kosan sedang sibuk pada laptopnya masing-masing. Farris geleng-geleng kepala sambil terkekeh pelan. Wajah teman-teman sekosannya itu tidak jauh berbeda dengannya.

Wajah lelah digempur tugas-tugas akhir dari masa perkuliahan.

Jazmi yang menyadari kehadiran Farris langsung menyuruhnya untuk duduk. "Makan, Ris. Nasgor, tuh. Tadi Devan yang beli."

Naufal melirik sebentar, kemudian kembali pada layar laptop di hadapannya. "Gue kira lagi di luar. Taunya ngerem lo di kamar."

Farris duduk di sebelah Jazmi sambil membuka bungkusan cokelat yang berisi nasi goreng itu. "Nggak nyadar urang teh, Pal. Kirain masih jam tujuhan. Taunya udah malem gini."

"Revisian?" Devan bertanya tanpa menoleh.

"He'eh. Pusing pisan. Tahun ini kudu wisuda urang mah pokokna."

"Kita semua lebih tepatnya. Udah tua kita ini di kampus." Aldo menyahut lalu terkekeh.

"Sepi, dong nanti ini kosan." Farris berpura-pura memasang raut wajah sedih.

Naufal terkekeh pelan. "Nggak, lah. Generasi selanjutnya pasti lebih kocak dan random dari kita."

"Semoga kejadian kolor terbang berkurang." Jazmi mengingatkan kembali soal celana boxer miliknya itu terbang tertiup angin dari jemuran ke arah kosan anak-anak cewek.

Kompak, semuanya tertawa. Banyak hal lucu yang akan sangat panjang apabila kembali diceritakan. Memori ini yang nantinya akan dirindukan saat semuanya kembali ke kota asal masing-masing.

***

A/N :

Kelamaan banget upload-nya, maapiinn. Untuk works ini emang gak akan sepanjang itu, yaahhh.

Jadi nanti bakal ada cerita baru khusus beberapa tokoh. Yang paling jelas tentunya works khusus Athalia dan Naufal xixixixixi.

Paling, kosan 210 kubuat sampe kurleb 20 chapter aja, sihh. Atau 25 mungkinnn. Sisanya nanti kurang lebih ditambahkan ke works yang baruuuu.

Hope u enjoy this story, okeeee. Selamat berjuang di tahun 2024 ini. Semoga lebih banyak hal baik yang datang untuk kita semuaaaa!

See u. ❤️

Bekasi, 19 Januari 2024.

Continue Reading

You'll Also Like

113K 4.7K 198
This story follows the early life of James also known by his street name Headshot or Shooter. James had an extremely rough childhood, one that turned...
253K 20.5K 44
(๐Ÿ’ซ) : she is my crush, but i wish i never met her! "gue nyesel, gue pengen dia balik lagi ke gue!" - RYUJIN AND LIA ITZY - ๐Ÿ“ Seoul, Korea Selatan [...
115K 5.6K 43
แ€„แ€šแ€บแ€„แ€šแ€บแ€€แ€แ€Šแ€บแ€ธแ€€ แ€›แ€„แ€บแ€ทแ€€แ€ปแ€€แ€บแ€•แ€ผแ€ฎแ€ธ แ€กแ€แ€”แ€บแ€ธแ€แ€ฑแ€ซแ€„แ€บแ€ธแ€†แ€ฑแ€ฌแ€„แ€บแ€กแ€™แ€ผแ€ฒแ€œแ€ฏแ€•แ€บแ€›แ€แ€ฒแ€ท แ€€แ€ฑแ€ฌแ€„แ€บแ€œแ€ฑแ€ธ แ€€แ€ปแ€ฑแ€ฌแ€บแ€”แ€ฑแ€™แ€„แ€บแ€ธ แ€แ€ผแ€ฐแ€แ€ผแ€ฌแ€œแ€ฝแ€”แ€บแ€ธแ€œแ€ญแ€ฏแ€ท แ€€แ€ปแ€ฑแ€ฌแ€บแ€”แ€ฑแ€™แ€„แ€บแ€ธแ€€ แ€•แ€ญแ€ฏแ€ธแ€Ÿแ€•แ€บแ€–แ€ผแ€ฐแ€œแ€ญแ€ฏแ€ท แ€”แ€ฌแ€™แ€Šแ€บแ€•แ€ฑแ€ธแ€แ€ถแ€›แ€แ€ฒแ€ท แ€€แ€ฑแ€ฌแ€„แ€บแ€™แ€œแ€ฑแ€ธ แ€”แ€ฑแ€แ€ผ...
605K 2.3K 63
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!