TANAH BAGHDAD

By frasaberliana

896K 80.3K 53.9K

Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu... More

Attention
Profil Penulis
Wajib dibaca!
Prolog
TB2 - Khitbah
TB3 - Pernikahan
TB4 - Malam Pertama?
TB5 - Mujahadah
TB6 - Baghdad
TB7 - Dua Garis
TB8 - Prioritas
TB9 - Terhalang
TB10 - Luka
TB11 - Ingkar
TB12 - Dingin
TB13 - Satu Hati
TB14 - Bayangan Kelam
TB15 - Setetes Embun
TB16A - Tasbih dan Rosario
TB16B - Tasbih dan Rosario
TB17 - Pengakuan
TB18 - Perjanjian
TB19 - Right Path
TB20 - Sleepover
TB21 - Tergoda
TB22 - Ujian Untuknya
TB23 - Hilang
Part 24?
TB24 - Pergi

TB1 - Khaizuran

33.4K 2.5K 288
By frasaberliana

Tahu cerita ini dari mana?

Sudah pernah membaca karya-karyaku yang lain? Laut Tengah dan Langit Goryeo?

Follow wattpad authornya supaya semangat update di frasaberliana

Tekan tombol bintang dan beri komentar yang baik.

"Maka dengan ini, berakhir pulalah rangkaian acara International Hijab Solidarity Day 2023. Jazakumullahu khayran katsir kepada seluruh narasumber dan teman-teman peserta yang hadir. Kami selaku MC pamit undur diri."

"Ayo, Keisya. Kita foto bareng Mbak Nurul juga. Biasanya kita bertiga cuma saling sapa di medsos, kan?" ajak muslimah berkerudung hitam yang tadi membawakan materi tentang kiprah muslimah dalam hukum dan politik di Indonesia.

Perempuan dengan gamis warna kuning keabu-abuan segera bersiap saat kamera depan dari layar ponsel dinyalakan. Dia lengkungkan bibir di balik cadar dan kedua matanya memancarkan bahagia.

"Keisya, Zalina, semoga kita bisa ketemu lagi, ya," ujar wanita berjilbab merah marun dengan pin bendera Palestina tersemat di bahu kanannya.

"Insyaa Allah, Mbak Nurul." Mbak Nurul adalah seorang ahli gizi yang juga aktif menyuarakan tentang isu kemanusiaan di Palestina. Maka dari itu, hari ini dia diminta panitia mengisi materi soal muslimah dan Palestina, sedangkan Keisya Khaizuran, putri pendiri Pondok Pesantren Mahasiswi Fathimah Al-Fihriyah diminta mengisi materi tentang melangitkan cita dan mencintai Al-Qur'an.

Tentulah topik ini cocok sekali dengannya. Kegiatan menghafal Al-Qur'an telah mendarah daging pada dirinya. Dia juga seorang musyrifah, penanggung jawab asrama sekaligus pengajar kelas tahsin dan tahfidz di pesantrennya.

Keisya juga aktif membagikan aktivitasnya di pesantren dan membuat tulisan-tulisan tentang kehidupan yang dikaitkan dengan tafsir dari ayat-ayat Al-Qur'an di media sosial. Dia memang bukan influencer besar, tetapi amanah 15 ribu followers akan selalu dia jaga.

"Kamu pulang bareng aku aja, ya, Kei?" ajak Zalina.

"Benar nih, ibu lawyer Zalina mau antar aku?"

"Supaya dapat berkah antar anaknya Ustaz Salman. Barangkali pulang dari Jogja dapat jodoh," bisik Zalina yang membuat Keisya tertawa.

Keisya mengambil tas bahunya dan berjalan dengan Zalina keluar dari gedung acara ke area parkiran mobil. "Sampai hari apa kamu di Jogja, Za?" tanya Keisya sesaat setelah memasang sabuk pengaman.

"Besok pagi aku harus udah balik ke Jakarta, Kei. Sorenya udah ada meeting sama klien. Biasalah, paling muda di kantor jadi nggak dikasih waktu libur." Zalina fokus menyetir sambil menceritakan nasibnya di firma hukum tempatnya bekerja.

"Tapi uangnya, kan, banyak," goda Keisya.

"Enakan juga jadi ustazah yang mendidik santri kayak kamu, Kei. Pasti banyak berkahnya. Ah, jadi insecure."

"Ada sih tadi yang bilang ke peserta kajian kalau setiap muslim punya jalan juang dakwahnya masing-masing," sindir Keisya.

"Ampun, deh, ampun Ammah Keisyaku." Keduanya kemudian tertawa.

"Kei, ngomong-ngomong kamu ada waktu kosong nggak di bulan Oktober?"

"Belum ada agenda. Kenapa?"

"Ikut aku, yuk, ke Uzbekistan. Napakin jejak peradaban Islam."

"Uzbekistan, Asia Tengah?" tanya Keisya.

"Iya. Nanti akan ada Ustaz Hasyim, Ustazah Saudah, dan beberapa content creator muslimah lain yang tertarik sama sejarah Islam. Pasti makin seru kalau ada kamu. Aku juga belum pernah ke sana."

Keisya terdiam cukup lama. Uzbekistan merupakan salah satu destinasi yang sangat ingin dia kunjungi dalam hidupnya. Selain bangunan-bangunan bersejarahnya yang indah, negara Uzbekistan adalah saksi betapa hebatnya peradaban ilmu yang umat Islam miliki di masanya.

Saat peradaban lain belum mengenal apa pentingnya mandi untuk kesehatan, Uzbekistan sebagai bagian dari Dinasti Abbasiyah sudah memiliki perguruan tinggi di setiap sudut desa dan kotanya. Pemuda-pemuda muslim mengenyam pendidikan tinggi secara gratis. Mereka berguru pada ulama-ulama hebat yang akhirnya melahirkan para ilmuwan muslim tangguh yang jasanya dapat kita rasakan hingga sekarang. Sebut saja Imam Bukhari sang ahli hadist dan Al-Khawarizmi penemu aljabar.

"Insyaa Allah, Za. Nanti aku izin Umi dan Abah dulu, tapi aku nggak bisa janji. Soalnya Uzbekistan itu jauh, nggak kayak Malioboro," kekeh Keisya yang membuat Zalina juga ikut terkikik pelan.

"Iya juga. Aku ajak kamu ke Uzbek udah kayak ajak main ke Malioboro. Tapi aku berdoa, semoga kamu bisa ikut."

Mobil sedan putih berhenti di halaman depan PPMI Fathimah Al-Fihriyah. Suasana pesantren tampak lebih lengang dari biasanya. Hari ini akhir pekan. Pasti para mahasantri memanfaatkan waktu untuk berkegiatan di luar pondok.

"Kamu mau turun dulu, Za?"

"Kei, kayaknya aku nggak bisa mampir. Ada deadline berkas klien yang harus aku submit. Salam untuk Umi dan Abahmu, ya."

"Insyaa Allah nanti aku sampaikan. Fii amanillah, Za. Semoga lelahnya berkah."

"Jazakillah khayr. Pamit, ya, Kei. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Keisya memastikan mobil sahabatnya tak dapat lagi terlihat di pandangan mata. Dia bergegas menuju ndalem, sebutan tempat tinggal bagi pengasuh PPMI Fathimah Al-Fihriyah atau keluarga Ustaz Salman dengan istri dan keempat putrinya.

Rumah ini sekarang hanya ditinggali oleh 3 orang, yaitu Umi, Abah, dan Keisya. Mbak Sarah tinggal di Semarang dengan Gus Ahmad, Dek Hafsah dibawa suaminya tinggal di Madinah, dan Dek Fatimah berkuliah serta mondok menjadi mahasantri di Ponorogo.

"Assalamu'alaikum, Umi?" Keisya menaruh tas di sofa ruang tengah lalu mencari ibunya ke seluruh sudut ruangan lantai bawah. Ternyata ibunya sedang menyeduh wedang jahe di dapur sambil sesekali terbatuk-batuk.

"Wa'alaikumussalam," jawab Isna dengan suara sedikit serak.

"Astagfirllah, Umi sakit?" Keisya mencium punggung tangan dan telapak tangan Isna yang terasa sedikit panas.

"Umi nggak apa-apa. Hanya kecapaian saja." Isna membawa dua cangkir berisi air jahe ke meja makan.

"Mau aku urut pakai minyak angin?"

"Nggak usah, Nduk. Mendingan kamu duduk di sini temani Umi ngobrol. Nih, tadi Umi juga sempat goreng tahu isi." Isna membuka tudung saji.

Keisya melepas cadarnya lalu menyeruput wedang jahe buatan umi tercinta. "Abah ke mana, Mi?"

"Sepulang dari MBI Umar bin Khattab, Abah langsung ke masjid untuk solat zuhur. Mungkin sebentar lagi pulang."

Sesaat desiran itu mencelos melewati relung hati saat sebuah nama tempat terucap . "Eum ... Gus Fikra gimana kabarnya, Mi?"

"Alhamdulillah, baik," jawab Isna setelah air jahe menghangatkan tenggorokan.

"Baik aja? Maksud Eca, setelah lamarannya ditolak Pendar waktu itu, apa dia beneran baik-baik aja?" Keisya bertanya dengan nada yang rendah dan tak begitu jelas pelafalan kalimatnya. Tidak lain karena rasa gugup di hatinya.

"Nduk, tidak baik mencari tahu sesuatu yang bukan hak kita."

Saat itu juga Keisya tersentak. Kalimat Umi menampar batinnya. Umi benar, tidak seharusnya dia bertanya-tanya tentang kehidupan privasi Gus Fikra. Beberapa jam yang lalu di hadapan para peserta kajian Keisya membahas pentingnya muslimah menjaga kesucian jika ingin hatinya selalu tertaut pada Al-Qur'an.

Salah satunya dengan tidak memikirkan orang lain atas dasar nafsu berkedok cinta. Keisya tertunduk menahan malu pada Umi, tetapi ada malu berbalut takut yang lebih besar dia rasakan pada Tuhannya. "Astaghfirllah hal 'adzim ..." lirih Keisya dalam hatinya.

"Tadi Mbak Eca kenapa tanya tentang Abah?"

"Oh, itu, Mi. Ada yang mau aku bicarakan dengan Abah."

"Tentang?"

Keisya mengurungkan niat menjelaskan tentang Uzbekistan karena suara berat terdengar memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Isna menyambut kepulangan suaminya. Keisya turut berdiri lalu mencium tangan Salman.

"Wah, lagi pada asik ngobrolin apa ini? Ada wedang jahe dan tahu isi kesukaan Abah."

"Umi ambilkan wedang jahe yang masih hangat untuk Abah dulu di belakang."

"Biar aku aja, Mi," tawar Keisya.

"Nduk, nanti saja mengambilkan wedang jahenya. Ada hal penting yang ingin Abah bicarakan."

Keisya kembali duduk di kursi makan. "Apa, Abah?"

"Tadi pagi setelah pengajian di MBI selesai, Gus Fikra ditemani oleh Kyai Sobari matur ke Abah ingin melamarmu."

Bukan hanya Keisya, tetapi Isna juga terkejut mendengar penuturan suaminya. Selama pengajian berlangsung, mereka memang duduk di tempat yang terpisah.

"Nduk, keluarga kita sudah lama sekali saling kenal. Gus Fikra insyaa Allah soleh dan mandiri secara finansial. Dia juga seorang putra dari guru-guru yang mendidik Umi dan Abah."

"Abah, tapi aku nggak ada rencana menikah dalam waktu dekat."

"Lebih baik kamu istikharahkan dulu tawaran Gus Fikra. Jangan gegabah dalam menyikapi niat baik seperti ini."

Keisya memandang ke arah ibunya, berharap sekali Isna memberikan pendapat lain untuknya. Keisya pernah memendam rasa untuk Gus Fikra memang satu hal, tetapi hatinya yang sedang berusaha menjauh dari laki-laki itu juga hal lain yang perlu dipertimbangkan.

Suara ketukan pintu terdengar. Seorang mahasantri bertandang begitu sopan dengan tubuh sedikit membungkuk dan suara cukup pelan sebagai bentuk adab pada guru-gurunya.

"Assalamu'alaikum, nuwun sewu, Umi Isna sudah ditunggu mahasantri untuk menyimak hafalan Al-Qur'an di aula." Dia berkata dari balik tirai rotan yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.

"Nduk, bisa gantikan Umi? Umi ingin istirahat. Soal yang tadi bisa kita bicarakan lagi nanti malam. Iya, kan, Abah?"

Keisya menatap Isna dengan ekspresi bingung.

Walau hatinya sedikit berat, Salman menyetujui permintaan istrinya. "Iya, Nduk, gantikan Umi dulu."

Keisya berpamitan dengan Umi dan Abah. Selama berjalan menuju aula, Keisya tidak bisa berkonsentrasi. Dia membuka kelas tahfidz di hadapan para mahasantri sekitar 15 orang, tetapi hati dan pikirannya masih tertinggal di ruang makan.

Pernyataan Abah tentang Gus Fikra memporak-porandakan harinya. Bahkan Keisya lupa tentang keinginannya pergi ke Uzbekistan. Salman tidak pernah membentak saat menasihati putri-putrinya, tetapi wibawa dan kehanifannya cukup membuat anak-anaknya segan.

"Rekap penilaian ada di kamu, Ta?" tanya Keisya pada mahasantri yang diamanahi menjadi ketua kelas.

"Maaf, Ammah. Bukunya kemarin dibawa Umi. Aku ambil dulu, ya, Ammah."

Keisya mencegah mahasantrinya yang akan berdiri. "Biar Ammah saja yang ambil. Sekalian Ammah ambil wudu sebentar."

"Baik, Ammah."

Keisya pun meninggalkan aula.

***

Sementara di ndalem, ternyata Isna dan Salman sedang bersitegang.

"Umi tidak setuju jika Abah ingin menjodohkan Keisya dengan Gus Fikra."

"Menjodohkan bagaimana, Mi? Abah itu minta Keisya menentukan pilihannya sendiri. Makanya Abah minta dia istikharah."

"Tapi Umi tahu bagaimana sifat anak kita. Dia sangat penurut, Abah. Meskipun Gus Fikra adalah putra dari Kyai Sobari dan Bu Nyai Wahidah, dia tidak besar di lingkungan pesantren. Sejak remaja, dia sudah tinggal dengan pakde dan budenya di Jakarta."

"Biar begitu Gus Fikra tetap bersekolah di lembaga pendidikan Islam," balas Salman.

"Sudah menjadi rahasia umum gaya hidup Gus Fikra tidak mencerminkan seorang santri dan putra kyai. Apalagi setelah dia kuliah di London. Abah bisa lihat di media sosialnya. Pertimbangkan jika dia menikah dengan anak kita yang selalu hidup di lingkungan dakwah dan pesantren."

Ustaz Salman terkesiap dan sedikit menaikkan nada bicara. "Istigfar, Mi. Apakah Umi sedang tinggi hati? Tidak ada yang tahu kedudukan seseorang di mata Rabb-nya. Buktinya saat kembali ke Jogja dia langsung membantu Kyai Sobari untuk bekerjasama dengan pondok kita."

Diskusi Isna dan Salman semakin sengit. Isna bersikeras tidak setuju, sedangkan Salman menganggap istrinya tidak lagi hormat kepada guru-guru mereka.

"Gus Fikra sering bercampur baur dengan teman-teman perempuannya!" Isna menyatakan fakta sampai dirinya terbatuk-batuk sedikit keras.

"Mi, cukup. Abah yakin Gus Fikra paham ilmu agama."

Isna sedikit mengatur napasnya yang terengah-engah. "Apa yang membuat Abah yakin dengan Gus Fikra, selain karena dia anak kyai? Tidak ada, kan?"

"Abah sudah berkata pada Kyai Sobari bahwa keluarga kita akan menyambut lamaran mereka dengan baik."

"Kalau begitu Abah sama saja menjodohkan Keisya dengan Gus Fikra secara paksa. Umi mohon jangan, Bah."

Ustaz Salman tidak ingin memperpanjang perdebatan. Dia bangkit dari posisinya lalu hendak melangkah masuk ke kamar.

Isna menghadang langkah suaminya. "Apakah kamu sudah siap mengatakan pada Keisya bahwa kamu tidak bisa menjadi wali nikahnya?" tanya Isna penuh penekanan di setiap kata.

Kedua mata seorang ibu yang sayu telah memerah. Bersamaan dengan apa yang ingin diungkapkannya, air matanya menetes begitu deras. "Apa kamu sudah siap mengatakan bahwa dia adalah anak angkat? Anak yang aku dan adikmu susui sampai kenyang? Kamu siap menceritakan asal usulnya, Mas?"

"Umi—" Sepertinya Salman tak terpikir memberi peringatan. Jantungnya berdegup begitu cepat saat menyadari keberadaan Keisya yang berdiri tidak jauh dari mereka berdebat.

"A-pa mak-sudnya, Umi?" Setetes cairan bening mengalir di pipi. Tangan yang menggenggam buku rekap nilai mengerat karena gemetar.

"Nduk ...." Isna sama terkejutnya dengan Salman saat mendengar suara Keisya.

"Abah, apa benar aku anak angkat?" Berat sekali rasanya mengucap kata. Tenggorokannya tercekat hingga menimbulkan sesak di rongga dada.

"Umi, apa benar aku anak angkat? Kenapa Abah dan Umi diam?"

"Nduk, Sayang ...." Isna mendekati Keisya karena ingin memberi pelukan, tetapi gadis berusia 25 tahun itu menolak.

"Mbak Eca dengarkan Abah dulu, Nak."

Keisya memundurkan langkah. Dia beri jarak pada Salman yang mendekat. Dia menaiki tangga dan mengunci pintu kamar. Tangisnya tumpah. Keisya tersedu-sedu tak siap menerima kenyataan.

***

Mau lanjut ke part 2? Pastikan kamu sudah menekan tombol bintang dan meninggalkan jejak di kolom komentar.

Coba jawab jujur, ini kepanjangan nggak?

***

Footnote:

1. Ammah: Secara umum, ada yang mengartikan kata "ammah" sebagai "ibu kecil" alias Tante dari pihak bapak. Akan tetapi, di beberapa pondok pesantren Indonesia, kata ammah juga disematkan untuk memanggil kakak-kakak yang memandu para santri atau untuk musyrifah (penanggung jawab asrama).

2. Fii amanillah: Semoga engkau selalu dalam perlindungan Allah

3. Jazakillah khayr: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan

4. Gus: Panggilan untuk putra pemilik pondok pesantren di sebagian Pulau Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah

©Berliana Kimberly | Part 1 published 6 Januari 2023 | Genre: Romance-Spiritual | Karya ini dilindungi oleh Undang-Undang No.28/2014 tentang Hak Cipta dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP)

Continue Reading

You'll Also Like

23.1K 553 54
Brukkkk!!! "aduhhh"ringis nya "Minggir" "HEH LO MINTA MAAF DULU KEK UDH NABRAK GK MINTA MAAF LAGI, WOYYY"teriak nya saat orang itu pergi tanpa memint...
1.1M 30.5K 18
"Jika aku mampu,mungkin sudah berontak Tapi aku tak mampu, karena yang kulawan adalah takdir." ikuti alur seperti air yang mengalir Cerita murni has...
2.8M 211K 47
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
419K 35.6K 38
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...