He is my wife

By jakehoon02

218K 20.8K 2.1K

sunghoon x jake Sunghoon hanya memenuhi keinginan sang bunda untuk menikah dan memberikan cucu. Dan ia memil... More

๐ŸŒธ
๐ŸŒผ
๐ŸŒธยฒ
๐ŸŒผยฒ
๐ŸŒธยณ
๐ŸŒผยณ
๐ŸŒธโด
๐ŸŒผโด
๐ŸŒธ๐ŸŒธ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ
๐ŸŒธ๐ŸŒธยฒ
๐ŸŒผ๐ŸŒผยฒ
๐ŸŒธ๐ŸŒธยณ
๐ŸŒผ๐ŸŒผยณ
๐ŸŒธ๐ŸŒธโด
๐ŸŒผ๐ŸŒผโด
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธยฒ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผยฒ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธยณ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผยณ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธโด
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผโด
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผยฒ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธยณ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผยณ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธโด
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผโด
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธยฒ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผยฒ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธยณ
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผยณ
๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธโด
๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผโด

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธยฒ

6.6K 550 81
By jakehoon02

"Sunghoon, aku mau kuliah."

Sunghoon yang sedang menyetir saat perjalanan pulang mereka dari rumah sakit, menoleh sekilas dengan ekspresi terkejut.

"Tiba-tiba?"

Jaeyun menghela napas. "Kemarin saat pergi bersama Riki, dia menanyaiku soal kuliah. Dia heran bagaimana aku bisa bekerja di perusahaanmu saat aku sendiri hanya lulusan sekolah menengah. Itu jadi membuatku kepikiran."

Bocah sialan, maki Sunghoon dalam hati. Bisa-bisanya bocah itu menambah beban pikiran suami kecilnya yang sedang hamil.

"Tapi kau sedang hamil. Dokter melarangmu melakukan banyak aktivitas terutama yang menambah beban pikiranmu."

"Aku tidak bilang sekarang. Kurasa setelah melahirkan, aku akan mendaftar kuliah."

Sunghoon menggeleng pelan. Terlihat mustahil baginya. Bagaimana caranya Jaeyun membagi waktu dan energinya saat harus melakukan kerja, kuliah dan mengurus anak bersamaan?

"Aku tidak yakin kau bisa kuliah sementara di saat yang sama kau harus kerja dan mengurus bayi. Tapi kalau itu maumu baiklah, aku akan mendukungmu."

Jaeyun menoleh sambil tersenyum senang. "Kau semakin membuatku mencintaimu."

Sunghoon terkekeh saja. Sifat Jaeyun yang mulai to the point dibandingkan sejak awal mereka bertemu entah kenapa membuatnya suka. Suka dalam arti suka akan perubahan sifat Jaeyun yang memudahkannya mengerti isi pikiran pria itu. Inilah yang dia mau sejak awal pernikahan, tidak ribet dengan kode-kode yang diberikan perempuan padahal kan tinggal bilang saja kalau memang mau dimengerti.

"Kau pernah tanya, apakah aku tidak suka menikah denganmu."

Jaeyun menoleh. Menatap Sunghoon penuh minat. "Ne. Kau belum memberiku alasan sebenarnya."

Sunghoon meliriknya sekilas. "Yah, aku suka menikah denganmu."

Mata Jaeyun berbinar. "Jadi Hyung menyukaiku?"

"Not you, but our marriage."

Si manis langsung manyun. Ia menolehkan kepalanya kembali ke depan, sudah tidak minat lagi mendengar ucapan Sunghoon.

"Sejauh ini menurutku pernikahan kita sempurna, seperti yang kubayangkan," lanjut Sunghoon tanpa peduli dengan reaksi Jaeyun.

"Yah tentu saja, sejak awal kau hanya butuh sekretaris dan ART berkedok istri," balas Jaeyun agak sewot. Memang apa lagi yang dia harapkan dari Sunghoon?

"Awalnya memang begitu. Sejak awal aku menikah hanya untuk memenuhi keinginan bunda punya cucu. Di satu sisi aku juga butuh sekretaris yang bisa merangkap sebagai asisten rumah tangga. Well, semua itu akhirnya diwujudkan dalam status istri."

Jika dulu Jaeyun akan menerima dengan ucapan Sunghoon ini, kali ini dia merasa kesal dan sedih. Dia menyimpulkan, bahwa sejak awal dirinya hanya diinginkan sebagai mesin penghasil anak, sekretaris dan ART saja, bukan pasangan hidup. Kenapa terdengar miris sekali nasibnya.

"Tapi semakin lama, aku akhirnya menyadari sesuatu." Sunghoon menjeda ceritanya, memberhentikan mobil karena lampu merah. Dengan begitu dia bisa memandangi wajah manis Jaeyun dari samping dengan lebih leluasa. Tangannya terulur untuk menjawil pipi tembam Jaeyun.

"Ternyata aku membutuhkan seorang istri."

Jaeyun yang sejak tadi menatap ke luar jendela di sampingnya karena tidak ingin mendengar Sunghoon mengoceh, kali ini akhirnya menoleh. Ia mengerjap tak mengerti saat Sunghoon menatapnya dengan senyum teduh.

"Kau sangat berarti bagiku, Jaeyun. Eksistensimu jauh lebih berarti dari tiga peran yang kusebutkan sebelumnya. Aku suka menikah denganmu, karena bagiku hanya kau satu-satunya orang yang pantas menjadi istriku, bukan yang lain."

Jika Sunghoon menganggap Jaeyun sudah mulai berubah banyak sejak menikah, begitu pula yang dipikirkan Jaeyun tentang Sunghoon. Dulu Sunghoon bersikap dingin, bicara seperlunya saja dan hanya bicara panjang lebar soal pekerjaan. Isi pikiran Sunghoon dulu hanya tentang pekerjaan, tidak pernah mereka membahas hal-hal di luar itu terutama soal pernikahan mereka.

Karena itulah Jaeyun saat ini tidak tau harus bereaksi bagaimana. Jujur dia terenyuh, tapi bukan berarti dia merasa senang juga. Lagi-lagi dia menyimpulkan sendiri kalau Sunghoon suka menikah dengannya karena dirinya cocok dengan standar pria itu, bukan karena mencintainya.

Argh! Kenapa sekarang Jaeyun jadi menye-menye begini? Kemana perginya Jaeyun yang menerima dengan lapang dada saat Sunghoon meminangnya untuk pernikahan bersyarat? Lagipula diluar itu, mereka ini memang saling membutuhkan bukan? Jaeyun membutuhkan keluarga dan rumah untuk pulang. Jadi tidak ada salahnya kan kalau Sunghoon juga butuh dirinya menjadi sekretaris dan ART pribadinya?

Tapi kenapa dia masih merasa sedih?

Sunghoon sendiri seolah mengerti dengan gejolak di pikiran Jaeyun. Ia menunduk untuk mempertemukan tangan mereka. Senyumnya mengembang saat menyadari cincin nikah yang masih tersemat apik di jari manis Jaeyun.

"Aku tau bukan ini yang ingin kau dengar Jaeyun. Tapi aku ingin belajar mencintaimu, bisakah kau membantuku?"

Jaeyun membelalak saat mendengar pertanyaan terakhir. Tiba-tiba dadanya berdesir, membuat dirinya sedikit tidak nyaman sampai mengelus dadanya sendiri.

"A-apa?"

Sunghoon lantas menatapnya lurus tepat di mata. "Aku ingin mencintaimu, Jaeyun."

Jaeyun tanpa sadar mengeratkan genggaman tangan mereka. Ini terlalu tiba-tiba, Jaeyun sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk ini.

"Sunghoon."

"Hm?"

"Lampunya sudah hijau."

"Hah?"

Tin tin!

Suara klakson keras dari kendaraan di belakang mereka langsung menyadarkan Sunghoon. Dia buru-buru melepas genggamannya pada tangan Jaeyun lalu tancap gas supaya tidak menimbulkan keriuhan panjang lalu lintas.

Setelah melaju beberapa ratus meter, Jaeyun tiba-tiba tertawa. Sunghoon meliriknya bingung sekilas, tak lama kemudian ikut tertawa. Keduanya merasa bodoh karena sudah membuat scene dramatis saat lampu merah.

"Ah, aku terlalu keras tertawa, baby pasti akan terguncang di dalam sini," kata Jaeyun sambil mengelus perutnya sendiri yang mulai sakit karena tertawa terlalu keras.

Sunghoon mengulurkan tangannya untuk mengelus singkat perut Jaeyun. "Jungwonie pasti ikut bahagia saat tau papanya sedang tertawa."

"Jungwonie? Sejak kapan kau memberi nama dia?"

"Sejak tadi, setelah tau kalau jenis kelaminnya laki-laki. Nama itu terlintas begitu saja di kepalaku saat melihat dia di monitor USG."

Jaeyun lagi-lagi mengelus perutnya sendiri. Tersenyum teduh membayangkan bahwa dirinya akan menjadi seorang papa—or mommy, dari seorang anak laki-laki yang lucu dengan perpaduan wajah dirinya dan Sunghoon.

"Jungwonie, Park Jungwon. Nama yang indah."

💐💐💐

Jaeyun sama sekali tidak mengerti dengan maksud Sunghoon yang ingin dia untuk mengajarinya jatuh cinta padanya. Menurutnya, kalau memang mau mencintai seseorang, tinggal lakukan saja kan? Seperti dirinya yang mencintai Sunghoon.

Tapi tampaknya jalan pikir keduanya cukup berbeda. Sunghoon lebih membutuhkan teori. Dia tak tau harus berbuat apa untuk mencintai Jaeyun. Dirinya kurang peka dengan urusan perasaan. Bahkan pada perasaannya sendiri saja dia tidak peka. Demi apapun, seandainya Sunghoon punya teman dekat, pasti orang itu sadar kalau Sunghoon sebenarnya sudah cinta mati pada Jaeyun.

Mereka sedang rapat di kantor saat Sunghoon dengan iseng membaca CV milik Jaeyun. Yah walaupun Jaeyun masuk jalur rekomendasi dari dirinya sendiri, tetap saja Jaeyun harus menyerahkan CV pada bagian personalia. Dari personalia itulah soft file CV Jaeyun dikirimkan padanya. Disinilah dia, mendengarkan Jaeyun memimpin rapat dengan dia yang membaca CV pria itu.

Nothing special.

Dalam artian secara pendidikan. Jaeyun hanya lulusan SMA di Aussie. Namun pria itu memiliki segudang prestasi baik akademik maupun non akademik. Pemain biola, sepak bola, olimpiade matematika fisika, renang, menyanyi, dan masih banyak lagi. Sunghoon menyimpulkan kalau Jaeyun dulunya adalah siswa top di sekolahnya.

Sayang sekali orangtuanya meninggal saat hari kelulusan Jaeyun. Dia kembali ke Korea untuk menyaksikan pemakaman orangtuanya, dan tidak ingin kembali ke Aussie karena memang tidak ada saudara sama sekali di sana.

Sejak lulus SMA itulah Jaeyun bekerja serabutan di Korea. Di CV tertera kalau Jaeyun pernah menjadi pekerja paruh waktu minimarket, waiter di restoran, barista di cafe, bahkan mengambil job sebagai sales paruh waktu di mall saat holiday. Sulit baginya kuliah di Korea saat dirinya berstatus lulusan sekolah menengah luar negeri.

Setelah membaca CV sang istri, Sunghoon tiba-tiba menyadari sesuatu. Tanggal lahir. Ia baru tau kalau ulangtahun Jaeyun selang 4 hari dari sekarang. Tanggal 15 November, hanya berselang 23 hari dari tanggal lahirnya.

Sunghoon pun mematikan iPadnya saat Jaeyun menutup rapat. Dia tersenyum menyambut Jaeyun yang akhirnya bisa duduk setelah setengah jam lebih hanya berdiri di depan.

"Kerja bagus, Sayang," katanya sembari memijat lembut bahu Jaeyun.

Jaeyun sendiri meneguk air minumnya dengan sedikit rakus, merasa sangat kehausan setelah berdiri dan berbicara non stop di depan.

Di saat karyawan lain berbondong-bondong keluar dari ruangan, Sunghoon masih setia di kursinya menemani Jaeyun melepas penat.

"Kakimu sakit?" tanyanya saat Jaeyun mulai beres-beres barangnya.

"Lumayan."

"Haruskah kita beli kursi pijat untuk di rumah? Dokter bilang semakin tua usia kehamilan, tubuhmu akan lebih sering pegal."

Jaeyun langsung menoleh dengan mata berbinar. "Kursi pijat? Sama seperti di sauna itu?"

Sunghoon mengangguk dengan senyum terplester di wajahnya. "Ya. Kau mau itu? Kita beli nanti di perjalanan pulang."

"Jinjja? Bukannya itu mahal, Hyung?"

Sunghoon berdecak tak senang. "Lihat sikapmu. Suamimu ini presdir perusahaan, apa yang tidak bisa kubeli untukmu, huh?"

Jaeyun terkekeh geli. Ia menyikut lengan Sunghoon lalu melanjutkan kembali aktivitas beres-beresnya. "Iya iya. Aku tau Hyung bisa beli apapun yang dimau."

"Ralat, aku bisa beli apapun yang kau mau," sergah Sunghoon yang terlihat tidak puas dengan kalimat Jaeyun sebelumnya.

"Ne, Hyungnim," balas Jaeyun sebagai tanda bahwa dia malas memperpanjang obrolan tidak penting ini.

"Termasuk mengajakmu honeymoon."

Jaeyun langsung berhenti bergerak. Memastikan bahwa pendengarannya tidak salah, dia pun menoleh perlahan pada sang suami. Mata lebarnya yang makin lebar menunjukkan bahwa dirinya sangat terkejut dengan pernyataan Sunghoon barusan.

"A-apa?"

Sunghoon tersenyum penuh arti. Ia pun bangkit dengan membawa iPad dan laptopnya. "Tentukan kemana kau ingin pergi, Jaeyun. Kita bicarakan di ruangan kita."

Jaeyun masih duduk saat Sunghoon beranjak mendahuluinya keluar dari ruang meeting. Ia masih belum bisa mencerna kenapa Sunghoon tiba-tiba membahas tentang honeymoon. Orang yang 90% isi pikirannya hanya tentang pekerjaan, tiba-tiba berinisiatif mengajaknya honeymoon?

Sunghoon ini memang sedikit aneh. Sulit ditebak bagi Jaeyun. Ia tidak akan tau apa mau pria itu sampai pria itu sendiri yang mengatakannya.

Harusnya kalau menggunakan logika Sunghoon, apa gunanya melakukan honeymoon sekarang? Honeymoon biasanya dilakukan pasangan pengantin baru terutama untuk cepat hamil. Sedangkan posisi Jaeyun sekarang sudah hamil, jadi buat apa membuang waktu untuk honeymoon?

Ah entahlah, Jaeyun benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikir suaminya. Tapi tentu saja dia tidak akan menolak ajakan Sunghoon. Jujur saja, dirinya memang butuh sedikit liburan mengingat bekerja selama hamil ternyata tidak semudah itu.

Jaeyun pun akhirnya beranjak menyusul Sunghoon. Ia pikir Sunghoon sudah sampai di ruangannya, tapi ternyata pria itu masih berdiri di depan lift dengan tanpa siapapun di sampingnya. Jaeyun pun mempercepat langkahnya hingga sampai di samping sang suami.

"Sunghoon."

Pria itu menoleh. Menyadari bahwa itu Jaeyun, dia pun merentangkan satu tangannya untuk merangkul pinggang Jaeyun. "Sudah tentukan mau kemana?"

"Sunghoon menungguku sejak tadi? Disini?"

Pria itu hanya tersenyum saja. Dia pun menekan tombol angka 12 di samping pintu lift. Terlihat di monitor bahwa lift itu bergerak turun dari lantai 7 ke lantai 5 tempat dimana ruangan meeting berada.

"Jadi kemana?"

Tampaknya Sunghoon memang sangat berniat sekali dengan agenda honeymoon mereka. Ia terus mendesak Jaeyun untuk memberi jawaban. Anehnya, kenapa begitu terburu-buru? Sunghoon sedang mengejar apa sebenarnya?

"Kita honeymoon dalam waktu dekat?" tanya Jaeyun memastikan.

"Hm, kita berangkat besok. Maka dari itu, tentukan tujuannya sekarang."

"Besok?!"

Sunghoon menertawai ekspresi syok Jaeyun. Kenapa sih Jaeyun selalu lucu seperti puppy?

Ting!

Lift pun sampai di hadapan mereka. Begitu pintunya bergeser membuka, Sunghoon segera menarik—lebih tepatnya menyeret- Jaeyun untuk masuk ke lift bersamanya.

"Kelihatannya kau butuh liburan, makanya aku ingin mengajakmu honeymoon," jelas Sunghoon saat lift mulai bergerak naik menuju lantai 12.

Jaeyun sangsi kalau alasannya hanya itu. Jika memang benar mengajaknya honeymoon sekaligus liburan, kan bisa dilakukan di akhir pekan. Ini bahkan masih hari senin.

"Aku mau ke Jeju."

Sunghoon terhenyak menatapnya. "Jeju?" Well dia pikir Jaeyun akan meminta pergi ke luar negeri, seperti Venice, Berlin, New Zealand, Kanada, atau bahkan ke Aussie. Tidak dia sangka prianya itu menginginkan honeymoon di dalam negeri, Jeju?

Jaeyun mengangguk semangat. "Selama aku di Korea belum pernah sekalipun berkunjung ke Jeju. Orang-orang bilang tempatnya bagus, aku penasaran."

Sebenarnya Sunghoon sudah berulang kali mendatangi Jeju, baik sejak kecil atau saat sudah bekerja. Tapi baiklah, karena suaminya yang meminta dan ini adalah cara menunjukkan rasa kasih sayang yang disebut dengan 'cinta'—seperti yang dia baca di internet, Sunghoon akan menurutinya dengan sukarela.

"Oke, kita berangkat ke Jeju besok."

Binar bahagia di mata Jaeyun sudah cukup memuaskan Sunghoon. Pria kecil ini selalu senang dengan hal-hal yang juga kecil seperti dirinya. Sunghoon rasa ini hanyalah sesuatu bare minimum yang memang harus ia penuhi sebagai seorang suami.

Lift tiba-tiba berhenti di lantai 10. Seorang karyawan masuk dengan wajah pucat. Ia membungkuk sejenak pada kedua atasannya, lalu berdiri di depan Jaeyun.

Jaeyun tau siapa dia. Karyawan intern yang ditemuinya beberapa waktu lalu, Kim Sunoo.

Begitu lift bergerak naik. Karyawan itu tiba-tiba oleng. Jaeyun yang refleks dan peka, lantas memegangi kedua lengan pemuda itu.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Pemuda itu berbalik untuk mengucapkan maaf dan terimakasih, tapi kesadarannya keburu hilang hingga dirinya jatuh ke pelukan Jaeyun.

Sunghoon ikut panik sebab pemuda itu membuat Jaeyun terduduk karena tidak kuat menahan beban tubuhnya. Begitu sampai di lantai 12, keduanya segera menggotong pemuda itu menuju ruangan presdir.

"Sepertinya kita harus panggil dokter, Sunghoon," kata Jaeyun sembari memegang dahi Sunoo.

Sunghoon sebenarnya tidak peduli-peduli amat dengan orang selain Jaeyun. Tapi melihat Jaeyun yang begitu khawatir dengan pemuda asing ini, akhirnya mau tak mau Sunghoon pun menghubungi dokter langganannya.

"Kau kenal dia?" tanya Sunghoon pada suami kecilnya.

"Tidak, tapi aku pernah berpapasan dengannya di lift, saat akan pergi bersama Riki."

Sunghoon manggut-manggut saja. Sambil menunggu dokter datang, Sunghoon pun beranjak ke mejanya untuk bekerja. Sementara Jaeyun masih betah duduk di sofa sebelah sofa yang ditempati Sunoo. Mengamati wajah itu dengan seksama.

Pemuda itu memiliki kulit seputih Sunghoon yang membuatnya terlihat sangat pucat sekarang. Entah mengapa dia merasa kalau mereka mengalami hal yang sama. Mungkin dia harus berbicara dengannya nanti setelah ia siuman.

"Sunghoon, apa kau punya biodata orang ini?" tanya Jaeyun memecah keheningan di ruangan itu.

Sunghoon mendongak dari laptopnya. "Tidak. Tapi kau bisa minta ke bagian personalia."

"Begitukah? Baiklah, akan kuhubungi manager personalia."

Sunghoon menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Mengamati gerak-gerik Jaeyun yang begitu semangat untuk mencari tau soal pemuda itu. Kenapa Jaeyun begitu tertarik padanya?

Jaeyun sendiri langsung mendapatkan CV Sunoo dari personalia. Dia membacanya dengan teliti. Well, Sunoo rupanya lulusan ahli pratama dan usianya masih 21 tahun. Pria ini lebih beruntung darinya dalam hal pendidikan, tapi dari segi keluarga ternyata sama. Orangtuanya meninggal dan dia adalah anak tunggal.

Mungkin itulah kenapa Jaeyun merasa mereka cukup mirip.

"Eungh."

Jaeyun langsung bangkit saat melihat Sunoo mulai siuman. Ia pun mendekat begitu Sunoo menyadari presensinya.

"Oh, Biseonim." Sunoo buru-buru duduk begitu mengenali Jaeyun. Karena pergerakannya yang tiba-tiba itulah, kepalanya langsung sakit.

"Eh kau baik-baik saja?" Jaeyun lekas duduk di sampingnya, terlihat begitu khawatir dengan Sunoo yang memegangi kepalanya sambil meringis.

"Kepalaku agak sakit tapi selebihnya tidak masalah, Biseonim," jawab Sunoo dengan segan, berusaha supaya Jaeyun tidak berlarut-larut mengkhawatirkannya.

"Sajangnim sudah memanggil dokter kemari, mungkin beliau dalam perjalanan. Tahan sebentar ya," kata Jaeyun sembari mengusap lembut bahu Sunoo.

Mendengar ucapan Jaeyun, Sunoo membelalak cemas. Dia melihat sekelilingnya, baru menyadari bahwa ia di sebuah ruangan yang terlihat mewah dan eksklusif. Dirinya makin syok saat mendapati puncak rantai makanan organisasi perusahaan ternyata berada di satu ruangan dengannya. Jangan bilang dia sedang di ruangan presdir?

Sunoo lantas bangkit dan membungkuk 90 derajat penuh pada sang presdir. Kepalanya masih sakit tapi ia berusaha mengabaikannya. Dirinya yang hanya karyawan magang rendahan rasanya benar-benar tak pantas berada di ruangan presdir, bahkan tidur-tiduran?!

"Maafkan saya, Sajangnim. Maaf sudah merepotkan Anda dan Biseonim. Saya mohon maaf atas kelancangan saya disini. Kumohon maafkan saya."

"Yah, kalau bukan karena istriku yang panik melihatmu, aku juga tidak ingin siapapun menginjakkan kaki disini."

Jaeyun memberinya pelototan karena bicara dengan kasar begitu. Pantas tidak ada karyawan yang mau mengobrol dengannya, rupanya karakter Sunghoon ini kalau bicara selalu menusuk ke ulu hati.

"Maafkan saya, Sajangnim," ulang Sunoo masih dengan posisi yang sama.

"Daripada meminta maaf begitu, lebih baik kau berterimakasih pada istriku. Oh, dan dokter sudah tiba di lobi. Kau bisa temuinya di bawah untuk pemeriksaan kesehatan. Gratis untukmu, dari istriku."

Jaeyun hanya bisa menggeleng pelan dengan sikap Sunghoon. Baiklah, terserah kalau Sunghoon mau mempertahankan imej sajangnim angkuhnya itu. Jaeyun tidak mau memiliki imej yang sama.

"Kaja, Sunoo-ssi, biar kutemani menemui dokter."

"Ah tidak, Biseonim. Aku tidak ingin merepotkanmu." Sunoo menolak dengan halus, ada nada takut dan cemas karena ini berurusan langsung dengan istri presdirnya.

"Kau tidak merepotkanku. Ayolah."

Sunghoon hanya mengamati saja gerak-gerik keduanya. Dia juga sama sekali tidak melarang Jaeyun menyeret Sunoo keluar dari ruangan. Biarlah pria kecilnya melakukan sesuka hati. Ini pertama kalinya dia melihat Jaeyun terlihat begitu bersemangat dengan orang baru. Mungkin saja mereka akan berteman nanti?

💐💐💐

"Kim Sunoo-ssi, berdasarkan diagnosis saya, Anda mengalami kelelahan. Tekanan darah cenderung rendah, detak jantung tidak teratur."

Sunoo hanya diam menunduk. Sedangkan Jaeyun di sampingnya tampak begitu khawatir saat mendengarkan penjelasan dokter.

"Kurasa kau harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke rumah sakit untuk detailnya. Untuk saat ini, tolong atur stress, dan sebisa mungkin kurangi konsumsi obat-obatan pemicu hipotensi, termasuk antidepresan."

"Baik, Dokter," jawab Sunoo dengan lirih, menutup konsultasinya dengan dokter langganan Sunghoon itu.

Begitu sang dokter pergi, Jaeyun masih duduk di tempatnya menemani Sunoo.

"Pasti berat ya?" Jaeyun meraih tangan Sunoo, mengelus sambil memangkunya.

Sunoo menatap Jaeyun tak mengerti. Mengapa Jaeyun yang notabene sekretaris sekaligus istri presdir ini begitu peduli padanya yang hanya pegawai magang rendahan? Bila Jaeyun tau latar belakangnya, pasti pria itu tidak akan mau berbicara dengannya.

Jaeyun memberinya senyum hangat. "Aku juga pernah berada di posisimu, Sunoo. Hidup sebatang kara tanpa orangtua dan saudara memang... menyedihkan."

Keping berwarna coklat terang itu tampak membelalak. Ia tak tau kalau Jaeyun memiliki latar belakang yang sama dengannya dan darimana pria itu tau tentang dirinya?

"Maaf, aku membaca riwayat hidupmu yang kuminta dari personalia," sahut Jaeyun seolah memahami jalan pikir Sunoo. "Aku sangat tertarik padamu, dan kurasa kita mengalami hal yang sama, Sunoo."

Tak bisa dipungkiri kalau Sunoo merasa senang karena ada orang lain yang mengalami dan memahami kondisinya. Namun di satu sisi, Sunoo merasa tidak pantas. Tetap saja Jaeyun adalah atasannya di kantor, menikahi seorang presdir yang kini derajat hidupnya jauh lebih baik dari dirinya.

Sunoo pun menarik tangannya perlahan. Menghindari tatapan Jaeyun dengan melihat tangannya sendiri di atas pangkuan. "Aku merasa tidak pantas mendapatkan perhatian darimu, Biseonim. Presdir Park juga pasti tidak senang melihatmu dekat denganku."

"Kenapa? Aku tulus ingin berteman dengamu, Sunoo. Perbedaan usia kita juga tidak jauh. Aku tau hidup sendirian itu tidak enak. Sejak pindah kemari aku selalu ingin punya teman tapi tidak ada satupun yang mau berteman denganku. Mereka menganggapku remeh karena tidak fasih berbahasa Korea, hanya lulusan sekolah menengah, tidak memiliki sanak saudara satupun. Dan sekarang aku ingin berteman denganmu, ingin menemanimu, tapi kau juga menolakku?"

Jaeyun berbicara panjang lebar dengan menahan air matanya. Jujur, rasanya lebih sakit ditolak seseorang yang ingin sekali kau jadikan teman daripada ditolak cinta. Jaeyun merasa dirinya memang ditakdirkan tidak boleh memiliki teman satupun. Memang apa salah dan kurangnya? Kenapa semua orang tidak mau berteman dengannya?

"Biseonim, kau salah paham, bukan seperti itu maksudku." Sunoo panik sendiri melihat mata Jaeyun berkaca-kaca. Kalau sampai Jaeyun menangis, bisa-bisa dia dipecat Sunghoon bahkan sebelum dirinya tandatangan kontrak.

"Lalu kenapa tidak mau berteman denganku? Apa kurangku?"

Sunoo menggeleng keras. Dia pun meraih dan menggenggam kedua tangan Jaeyun. Tangan yang hangat, sehangat karakter orangnya.

"Bukan aku tidak mau, Biseonim. Aku hanya... sajangnim—"

"Abaikan dia. Aku yang ingin berteman denganmu, bukan dia. Lagipula dia tidak akan protes kalau kita berteman, Sunoo."

Pria yang lebih muda tampak bimbang. Dia juga sebenarnya ingin dekat dengan Jaeyun, tapi di satu sisi dia takut dengan Sunghoon. Justru dirinya mempertanyakan, bolehkah dirinya berteman dengan sosok sehangat Jaeyun?

"Jadi.. kau mau berteman denganku?" tanya Jaeyun dengan lebih jelas. Sebut saja dirinya tak sabaran, tapi memang saat ini ia merasa sangat frustasi. Entah pengaruh hamil atau bukan, rasa-rasanya Jaeyun akan menangis kalau Sunoo menolak berteman dengannya.

Sunoo mengangguk ragu-ragu. "A-aku mau, berteman denganmu, Biseonim."

Raut wajah Jaeyun berubah total. Saking bahagianya dia bahkan langsung memeluk Sunoo dengan erat. Mengusak wajahnya di bahu lebar pemuda itu. "Terimakasih, Sunoo. Ah, aku benar-benar ingin memelukmu sejak awal kita bertemu. Tolong jangan bersedih lagi."

Sunoo sempat merasakan tubuhnya menegang sesaat. Namun setelah mendengar perkataan Jaeyun, tubuhnya pun mulai rileks, senyum mengembang dengan tulus dan tangannya membalas dekapan Jaeyun. "Terimakasih juga, Biseonim."

"No~ panggil aku nama saja, atau hyung juga tidak apa. Kita berteman mulai hari ini, Sunoo adikku."

Menjadi teman saja sudah suatu kehormatan baginya, apalagi dianggap adik? Apa yang sudah Sunoo lakukan di masa lalu sampai dia dipertemukan dengan orang sebaik dan sehangat Jaeyun?

"Ne, Hyung."

Jaeyun tampak memekik senang sembari mengeratkan pelukannya. Selang beberapa saat kemudian dia melepas pelukan mereka, lalu menatap Sunoo lurus.

"Karena kau sedang sakit hari ini, kau harus pulang lebih awal, Sunoo."

Sunoo membelalak. Dia menggeleng tak setuju tapi Jaeyun tetap keukeuh dengan pendiriannya.

"Aku akan mengizinkanmu pada manajermu. Kau harus beristirahat di rumah. Ah, biar seseorang mengantarmu, sebentar."

Jaeyun terlihat sibuk sendiri mengeluarkan ponsel dari saku blazernya, lalu menempelkan benda itu ke telinganya, seperti sedang menelepon seseorang.

"Kau punya waktu sekarang? Kemarilah, aku ada di kantor. Ada hal penting yang ingin kuberitahukan padamu. Ck, jangan banyak tanya, kemarilah dulu. Hati-hati di jalan."

Jaeyun tersenyum pada Sunoo yang masih menatapnya bingung. "Dia akan mengantarmu pulang, tenang saja, dia anak baik."

Sunoo benar-benar tak paham dengan maksud Jaeyun. Dirinya bahkan menurut saja saat Jaeyun mengajaknya untuk mulai berbenah. Istri presdir itu bahkan ikut ke ruang kerjanya. Sampai-sampai semua orang di ruangan tersebut heboh karena kedatangan atasan. Manajer yang menjadi mentor Sunoo sampai batal memarahi bawahannya itu saat melihat wajah Jaeyun. Ia juga dengan mudahnya memberi izin Sunoo untuk pulang lebih awal.

Disinilah mereka sekarang, lobi depan gedung perusahaan. Jaeyun menyambut seorang pemuda berjaket olahraga Adidas yang berjalan menghampiri mereka setelah memarkirkan motornya.

"Ada hal penting apa sebenarnya?" tanya Riki dengan agak mendesak. Yaps, orang yang ditelepon Jaeyun adalah si pemuda Jepang, Nishimura Riki.

Jaeyun langsung menarik lengan Riki dan berhenti di hadapan Sunoo. Kedua orang beda usia itu saling pandang dengan bingung, lalu sama-sama menoleh pada Jaeyun meminta penjelasan.

"Antar dia ya? Dia teman baruku, Kim Sunoo. Dia sedang sakit, jadi aku mau kau antar dia pulang."

Riki tampak mengernyit. "Itu hal penting yang kau maksud, Hyung?"

Jaeyun mengangguk tanpa dosa. "Ya. Aku tidak bisa memercayai orang lain, jadi tolong kau antar pulang ya?"

Riki sekali lagi melihat pria di depannya dari bawah ke atas. Lalu saat menoleh pada Jaeyun lagi, dia langsung disuguhi dengan puppy eyes yang sulit sekali membuatnya mengatakan tidak. Menghela napas, dia pun mengangguk.

"Tapi ada syaratnya."

Jaeyun memicing padanya. "Kenapa ada syarat segala?"

"Kau harus mau berkencan denganku di akhir pekan. Harus," sambung Riki tanpa memedulikan protesan Jaeyun.

Jaeyun berdecak sambil merotasikan mata. "Ya ya ya, semoga di hari itu aku sudah pulang dari Jeju."

"Jeju?" Riki menaikkan sebelah alisnya penasaran.

"Ah sudahlah, sana antarkan adikku dulu. Dia bisa-bisa semakin sakit kalau harus menunggumu."

"Adik? Hyung, kau berhutang banyak penjelasan padaku."

Jaeyun dengan tak sabaran langsung mendorong punggung keduanya bergantian untuk segera pergi. Dia melambaikan tangan dengan heboh saat keduanya berjalan beriringan menuju motor Riki.

"Hati-hati di jalan!"

Jaeyun dengan setia menunggu mereka pergi sampai keduanya menghilang di hiruk pikuk keramaian kota. Senyumnya terus terpatri di wajah bahkan saat berjalan memasuki gedung, kembali ke ruangannya bersama Sunghoon.

Well, ini mungkin terdengar kekanak-kanakan, tapi Jaeyun benar-benar merasa puas dengan dirinya sendiri yang berhasil membuat Riki dan Sunoo saling bertemu dan berkenalan. Dia sudah seperti makcomblang, rasanya menyenangkan bisa menjodohkan dua orang yang 'menurutnya' akan saling melengkapi satu sama lain itu.

Ia berharap dengan cara ini Sunoo akan berhenti merasa kesepian, dan Riki akan berhenti mendesak dirinya berpacaran dengannya.

Wah, Jaeyun, kau ternyata jenius sekali.

Tbc

Semoga ga mengecewakan ya

Panjang banget krn mau ngenalkan cast baru juga

In rl lagi hectic bgt krn aku juga ketularan sakit 😭

Sehat-sehat ya kalian, cuacanya lagi mendukung bgt buat sakit batuk pilek 🥲

Continue Reading

You'll Also Like

223K 40.4K 27
Soobin harus pergi ke Kerajaan Venus setelah kalah bermain batu gunting kertas dengan kakak-kakaknya, karena siapa yang kalah, maka dirinya yang akan...
194K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...