Dangerous Iqbaal

By rizalavarrel

40K 1.7K 128

Ketika mata cokelat itu menatap dirinya, saat sebuah senyum tipis tersungging di bibir merah tipis itu, dia t... More

Dangerous Iqbaal
[Beginning!]
[Secretarist?]
[Awal yang B(uruk)aik]
[Rasa yang Aneh]

[Meet Him]

5.9K 262 18
By rizalavarrel

Bab 2

[Meet Him]

Maaf ya kalo ini ngebosenin pake banget xD wkwk

——————

"Pria kurang ajar! Tidak tahu dimalu! Aneh! Tidak jelas!" pekik Hanna menghardik pria—entah-siapa-namanya-itu yang dengan tidak sopannya memaksa dirinya melakukan adegan kiss. Sebulan yang lalu.

Tanpa sadar Alwan sedang berdiri di depan Hanna selama beberapa detik, lalu sebuah senyum kecil mengembang di bibirnya.

"Hei, pria mana yang kau maksud?" Alwan terkekeh mengingat kalimat yang keluar dari mulut Hanna.

"Eh! Alwan…" Hanna tersenyum malu, ia menggigit bibir bawahnya. Alwan selalu terlihat sama, dengan rambutnya yang berantakan dan matanya yang teduh, "tidak, maksud ku bukan siapa-siapa," Hanna nyengir.

"Ohh…" Alwan mendekat ke arah Hanna, "handphone ku ketinggalan," ujarnya setelah meraih sebuah ponsel berwarna hitam yang tergeletak tak jauh dari tempat duduk Hanna.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan lukamu?" senyuman itu belum hilang, sepertinya Alwan sering mengumbar senyum manisnya.

"Lebih baik setelah kau mengobatinya," Hanna tersenyum penuh.

"Kau yakin? Tidak ingin ke dokter?"

"Iya," Hanna mengangguk.

"Kau…"

"Alwan aku baik-baik saja, tak perlu mencemaskanku, ini hanya luka kecil," Hanna menatap dalam Alwan. "Terima kasih telah peduli kepada ku. Kau teman yang baik".

"Oh…sama-sama," Alwan tersenyum tapi, entahlah, mungkin Hanna salah lihat, ia merasa ada guratan kekecewaan pada raut wajah Alwan saat Hanna mengucapkan  kalimat barusan.

Di tatapnya punggung Alwan yang kian menjauh lalu menghilang, dengan perasaan bingung. Apa ada yang salah dari kalimatnya barusan?

Hanna kembali sendirian di ruangan ini, ruangan berbentuk persegi bercatkan warna putih dengan satu buah sofa berbentuk L yang kini Hanna duduki, sebuah AC dan perabotan untuk memasak, di sampingnya terdapat lemari pendingin yang berisi bahan-bahan masakan, ruangan ini tidak terlalu besar namun, cukup nyaman, biasanya ini ruangan tempat mereka bertujuh—Hanna, Steffie, Alwan, Cassie, Inarah, Bastian dan dua Chef, Bidi dan Kiki— meluapkan rasa penat ketika bekerja hampir setengah hari di Blank Time. Karyawan di sini di pisah menjadi 2 Shift. Shift pagi dan malam, untunglah Steffie, Hanna, Alwan, dan Chef Bidi masuk ke Shift pagi walau jam kerjanya lebih panjang dari Shift malam yakni jam kerja dari Cassie, Inarah, Bastian dan Chef Kiki.

Blank Time merupakan Cafe milik pria bernama Joceph atau yang akrab disapa Mr. Joce dengan nuansa barat berinterior kayu yang terletak di Jakarta Pusat. Beroperasi dari pukul 08:30 a.m. - 10:00 p.m. (Senin-Kamis) dan 07:00 a.m. - 00:00 p.m. (Weekend) ini menyediakan masakan barat, Eropa, sampai Asia yang banyak diminati dari semua kalangan, biasanya tempat ini juga menjadi tempat tongkrongan anak muda setiap harinya.

Hanna baru bekerja di sini selama 2 bulan, mengingat hal itu membuat Hanna meringis, tiba-tiba saja Hanna teringat saat tadi pagi ia tidak sengaja menjatuhkan 10 piring pesanan, dan membuat 2 pelanggan memarahinya karena tidak becus dalam bekerja, saat itu Alwan yang melihat kejadiannya segera meminta maaf dan mengatakan bahwa pihak Cafe akan mengganti rugi, setelah selesai Alwan membawa Hanna ke ruangan ini, ruangan yang mereka sebut Heaven Rest. Sebenarnya sih itu bukan yang pertama kali, itu ulah kecerobohannya untuk ke-5 kalinya. Tapi, yang tadi adalah yang paling parah, hingga membuat dirinya sendiri terluka.

******

Iqbaal memakirkan mobil Audi R8 Blacknya di depan gang kecil. Dengan gaya dinginnya yang kaku, ia perlahan berjalan memasuki gang kecil itu, matanya yang mengintimidasi mengamati sekitar, bangunan tua yang terlihat kokoh di hadapannya berhasil membuat senyuman tipis di permukaan bibirnya.

Terlihat Iqbaal mendekati 2 gedung tua yang berjarak kurang lebih 1 meter itu, suasana di sini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang, beberapa orang yang berhasil membuat Iqbaal bergidik ngeri, pemandangan segerombolan pria-pria tua yang memainkan kartu judi dengan asap rokok yang mengepul, wanita-wanita bertubuh gempal dengan muka bantal yang sibuk merumpi, anak-anak kecil yang berlari bermain berlalu lalang di tengah jalan dengan baju compang-camping seperti tidak terurus, Iqbaal bergidik. Tempat ini mengerikan. Jauh dari kesan mewah.

"Apa benar gadis itu tinggal di sini?" tanyanya ragu kepada dua orang pria berjas bertubuh tegap yang sedari tadi mengiringinya.

"Iya tuan, kami yakin gadis yang dimaksud tuan tinggal di sini,  kami sering membuntuti dia," pria dengan name tag-Karel itu menjawab dengan lugas. Dia adalah pengawal Iqbaal, sedang pria satunya lagi adalah Aldi yang bertugas sebagai Driver Bank di Dhiafakhri Company Bank.

"Dia benar-benar menarik," Iqbaal tersenyum misterius.

Iqbaal menyuruh Karel dan Aldi untuk bertanya dengan orang-orang itu untuk menunjukkan kamar yang di tempati gadis bernama 'Hanna Leonella'.

Setelah tahu, Iqbaal segera pergi ke sana. Tapi, tidak dengan Karel maupun Aldi. Ia sendirian. Kini, Iqbaal tengah berdiri di depan sebuah kamar dengan nomor 6, ia mengamati pintu kamar itu dengan intens, di sana tertuliskan sebuah ukiran kayu dengan nama 'Hanna Leonella dan Steffie'. Iqbaal tersenyum, lalu menaruh setangkai mawar merah dengan sebuah amplop berwarna keemasan ke bawah pintu.

"See you tomorrow," ucapnya berpamitan kepada pintu(?) Setelah selesai, Iqbaal turun dan menghampiri Karel dan Aldi, lalu pulang.

******

Semburat warna oranye menghiasi langit sore saat ini. Hanna tengah melamun menatap jalanan, ia masih bingung dengan sambungan telepon pagi tadi, apa maksudnya dengan 'Sepulang anda dari Blank Time anda akan tahu maksud saya,' namun, sampai sekarang Hanna tidak tahu apa maksudnya itu, mungkinkah dia salah sambung? Sepertinya iya, tapi kenapa suaranya terdengar yakin bahwa dia mengenal Hanna bahkan pernah menciumnya? Setahu Hanna  hanya ada satu pria yang menyebalkan yang berhasil mencuri ciuman pertamanya! Hanna menggigit bibirnya gelisah. Atau pria itu penguntit?

Hanna mendesah. "Dasar aneh!".

"Siapa yang aneh?" Steffie melirik Hanna.

Mereka kini tengah berjalan memasuki gang kecil untuk sampai ke rumah susun mereka.

"Pria yang meneleponku tadi pagi," ujarnya.

"Pria? Siapa?" Steffie bertaut alis.

"Entahlah, aku juga tidak mengenalnya," aku Hanna mengangkat bahu tak acuh.

"Oh. Mungkin dia salah sambung," Steffie memberi pendapat.

"Mungkin,"

"Kenapa tidak mencoba menelepon balik?" tanya Steffie.

"Dia menggunakan nomor pribadi," Hanna memanyunkan bibirnya. Steffie memutar bola mata. Langkah kaki mereka kini tengah menapaki tangga untuk sampai ke kamar mereka.

"Ada-ada saja…" Steffie menggeleng, namun raut wajahnya seketika berubah, "oh aku tahu!" senyuman Steffie mengembang sempurna. Hanna menatapnya dengan tampang bertanya.

"Apa mungkin dia itu pelanggan yang telah kau celakai?" tiba-tiba saja tawa Steffie meledak di antara tangga di bangunan tua ini. Oh yang benar saja! Hanna memutar bola mata kesal.

Steffie puas dengan kalimatnya yang menurutnya sangat lucu, tapi tidak dengan Hanna yang dongkol karena Steffie kembali mengejeknya kecerobohannya.

"Bagaimana dengan lukamu?" Steffie berhenti tertawa , ia mengalihkan pembicaraan.

"Tidak masalah, hanya luka kecil,"

Terjadi keheningan setelahnya, mereka diam dan hanya menaiki anak tangga satu per satu.

"Eh, tunggu!" saat Steffie hendak melangkah masuk, Hanna menghentikan langkahnya. Steffie berhenti tertawa saat melihat Hanna berjongkok mengambil sesuatu di bawah pintu.

Sebuah mawar merah dan sebuah amplop berwarna keemasan. Hanna mengamatinya dengan seksama. Di amplop itu tertuliskan nama dirinya 'Hanna Leonella' dengan manik emas.

"Coba aku lihat," lama menunggu Hanna yang tidak bereaksi, Steffie mengambil paksa amplop di tangannya.

"Hanna Leonella…ini surat untuk mu," Steffie menggernyit. Ditatapnya Hanna.

"Buka ya?" bagaimanapun juga itu surat untuk Hanna jadi Steffie harus meminta restu terlebih dahulu, tapi karena Hanna tidak menggubris, Steffie membukanya semaunya.

"…dengan ini kami memanggil anda untuk melakukan serangkain tes interview besok…" Steffie menganga tak percaya. Seketika Steffie teringat dengan berkas yang ia dan Hanna kirim ke Perusahaan Dhiafakhri Company Bank.

"Oh ya ampun! Berkasmu diterima! Kau akan tes besok!" Steffie menjerit histeris. Hanna tidak menggubrisnya, ia tengah sibuk dengan pikirannya, bau bunga mawar ini mengingatkan dia dengan seseorang…pria di club sebulan yang lalu.

'Apa mungkin dia…' batin Hanna bertanya.

"Aku tidak ingin ikut tes," Hanna mengigit bibir bawahnya. Steffie terbelalak mendengarnya.

"Apa?! Kau tidak ingin ikut tes? Apa kau gila hah?!"

"Apa kau ingat tentang pria yang menciumku di club waktu itu? Bau mawar ini seperti baunya," Hanna menatap Steffie serius.

"Oh ayolah Hanna! Jangan biarkan otakmu yang bodoh itu merusak segalanya! Apa kau pikir hanya pria itu yang punya bau seperti bunga mawar ini?" Steffie membuang nafas asal. Hanna sempat terdiam, seketika Hanna merasa bodoh karena ucapan Steffie.

"Benar juga sih," katanya dengan ekspresi sok imut. Steffie tak habis pikir dengan jalan pikiran Hanna. Ia ceroboh, naif dan kekanak-kanakan. Lengkap sudah.

"Pokoknya kau besok harus ikut tes! Oh ya ampun aku tidak bisa membayangkan jika kau akan bertemu dengan Mr. Black," kata Steffie antusias.

"Siapa Mr. Black?" tanya Hanna polos.

"Di dalam nanti akan ku ceritakan," Steffie melangkah memasuki kamar nomor 6 lalu melepas flatshoes yang mengurung kakinya selama lebih dari 9 jam bekerja, kamar kecil minimalis dengan segala perabotan mereka berdua, kamar berbentuk petak bercat warna putih yang agak memudar termakan usia, kamar yang mereka berdua tempati selama 4 bulan terakhir.

Steffie dan Hanna bersahabat sejak lama, tapi mereka berasal dari keluarga dengan latar yang berbeda, Steffie berasal dari keluarga yang kaya, Steffie sendiri berpisah dari keluarganya hanya untuk mencoba hidup mandiri, sedang Hanna anak yatim piatu. Kedua orangtua Hanna meninggal saat ia berumur 2 tahun karen kecelakaan, ia dibesarkan oleh paman dan bibinya sampai ia tamat kuliah dengan mengambil jurusan Adminitrasi dan meraih nilai yang cukup bagus, sekarang ia sudah tidak tinggal bersama paman dan bibinya karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri, paman dan bibinya memaklumi.

Steffie duduk bersilang, menatap Hanna.

"Mr. Black itu, adalah panggilan untuk Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan. Dia adalah anak dari Hermawan Dhiafakhri yang sekarang menjabat sebagai Direktur Utama dari perusahaan bank terkemuka, Dhiafakhri Company Bank yang bergerak di bidang Investasi keuangan, tak hanya itu di usianya yang masih terbilang muda yakni 29 tahun, Iqbaal mempunyai restoran dan rumah sakit yang cukup elite dan terkenal, dia lulusan dari University College London dan mendapat gelar Master of Economic saat ia berumur 25 tahun.

Dia mengelola perusahaannya dengan baik selama kurun waktu 4 tahun, dia masuk ke dalam 10 pebisnis muda kaya raya versi majalah Forbes, dia memiliki wajah tampan dan dingin suaranya juga tak kalah dingin dari wajahnya dan dia mempunyai mata cokelat karamel yang indah," Steffie terlihat antusias saat menjelaskannya, matanya berbinar saat mendeskripsikan sosok Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan. Hanna yang mendengarkannya saja sudah bisa membayangkan betapa banyak wanita yang pasti rela memberikan apapun untuk mendapatkan pria seperti dia.

"Kau tahu banyak tentang dia," kata Hanna sedikit menahan tawa.

"Kau saja yang tidak tahu! Bahkan seluruh dunia membicarakannya,"

Hanna seketika meringis, Steffie yang melihatnya berkerut kening, "kenapa?"

"Tidak," Hanna menjawab dengan cengirannya, "ku rasa kau benar, pria idaman seperti dia tidak mungkin menciumku di club waktu itu," Steffie terkekeh mendengarnya, ternyata Hanna masih memikirkan pria di club waktu itu, "Hanna, mana mungkin seseorang seperti Iqbaal melakukan hal bodoh semacam itu. Ya walau ku akui kau memang cantik dengan memiliki tubuh seksi tapi, ayolah Hanna selera dia pasti lebih tinggi," Hanna hanya tersenyum malu.

"Yasudah, lebih baik istirahat. Kau harus bersiap untuk besok," Steffie mengingatkan, Hanna membalas dengan two thumbs upnya.

******

Mentari pagi bersinar cerah pagi ini. Saat ini Hanna duduk di depan sebuah cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Steffie telah habis-habisan mempermak wajah dan penampilan Hanna. Blazer hitam dengan list putih di bagian kancing, dalaman berwarna putih berbahan satin, dan pencil skirt hitam 3 cm di atas lutut, tas dan sepatu higheels yang tidak terlalu tinggi berwarna senada. Hanna menatap wajahnya, warna nude color yang natural dan sedikit sentuhan lipstick berwarna merah dan gaya rambut dikucir ponytail dengan ujung yang melengkung.

Semua itu merupakan usaha Steffie yang dalam semalam ia berhasil mendapatkan semua keperluan Hanna dan dalam sekejap Steffie merias wajahnya dengan cantik namun tetap dengan gaya konservatif, Hanna sangat bersukur mempunyai sahabat seperti Steffie yang sangat baik dan suka menolong walau terkadang menyebalkan dan cerewet.

"Apa ini tidak berlebihan, aku terlihat sangat dewasa," tanyanya.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang fashion, lebih baik kau diam saja. Lagipula kau itu mau melamar bekerja, menurut ku tidak berlebihan, " jawab Steffie yang sibuk mengamati Hanna, mencari-cari jika saja ada yang kurang, ia berhasil membuat Hanna kicep.

Hanna memegangi dadanya, "deg-degan," katanya. Steffie hanya tersenyum.

"Sepertinya sudah selesai," Steffie mengangguk-angguk. Sekilas ia melirik jam di tangannya, "sebaiknya kau pergi sekarang,"

Hanna melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 06:30 "masih ada waktu 30 menit," jawabnya.

"Sebaiknya pergi sekarang sebelum jalanan macet!" sungut Steffie. Hanna menaikkan sebelah bibir bagian atasnya ke kanan(?).

"Jangan lupa izinkan aku di Blank Time!" ucapnya sambil lalu, setelah berpamitan dengan Steffie.

Hanna berjalan melewati tangga hingga sampai di lantai bawah karena mereka berada di lantai 2. Tapi, langkah kaki Hanna terhenti saat mendapati Alwan yang tengah duduk di jok motornya.

"Alwan," kata Hanna. Alwan yang sedang sibuk dengan pemikirannya, lantas menoleh ke samping kanannya dan mendapati Hanna yang berpakaian rapi seperti wanita kantoran.

Selama beberapa detik Alwan terpaku, matanya melebar disambut sebuah senyuman di wajahnya.

"Alwan!" kata Hanna sedikit lebih keras. Alwan menggerjap.

"Eh?"

"Ada perlu apa kau ke sini? Kau ada urusan dengan Steffie?" tanyanya.

"Tidak! Eh, tadi Steffie menelponku, dia memintaku untuk mengantarkanmu, katanya kau ingin melamar bekerja ya?" Alwan nyengir setelah mengucapkannya, ia menggosok tengkuknya yang  tidak gatal sama sekali.

"Iya," Hanna tidak perlu penjelasan banyak jika hal ini berkaitan dengan Steffie, yang jelas ini bukan kali pertamanya Steffie melakukan hal seperti ini.

Alwan menghidupkan mesin motornya, "yaudah yok, nanti kau terlambat," Hanna mendekati Alwan kemudian duduk menyelempang(?).

Sesaat setelah itu mereka sudah hilang ditelan kejauhan.

Dan di sinilah Hanna sekarang, berdiri di tengah gedung bertingkat yang Hanna ketahui dari Steffie memiliki 30 lantai. Kemarin malam setelah mereka sibuk berburu baju dan segala keperluan yang dibutuhkan Hanna, Steffie kembali menceritakan segala hal yang ia ketahui tentang Mr.Black atau siapapun itu dan segala seluk beluk perusahaan Dhiafakhri Company Bank kepadanya.

Hanna mendapati dirinya bersusah payah meneguk saliva, ditatapnya gedung itu dengan mulut sedikit menganga, apakah ia salah alamat? Entahlah, ini seperti mimpi, perusahaan sebesar ini menerima fresh graduation seperti dirinya? Hanna baru saja lulus di usianya yang menginjak 23 tahun dari Universitas Indonesia dengan nilai yang cukup bagus. Hanna berusaha menenangkan dirinya, ia menggigit bibir bawahnya, itu adalah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat merasa gugup.

Di depan gedung berkaca dengan cat berwarna biru terdapat tulisan 'Dhiafakhri Company Bank'. Di depan gedung banyak orang berlalu lalang, orang-orang biasa, maupun pekerja baik wanita maupun pria dengan wajah serius dan gaya jalan yang berwibawa. Hanna menatap pakaian mereka dengan pakaiannya, hasilnya tidak terlalu buruk, Hanna terlihat menyatu dengan mereka, kemudian Hanna menirukan cara jalan mereka, dengan percaya diri Hanna melenggang memasuki gedung itu.

Saat memasukinya kata yang akan muncul adalah adalah 'mewah'. Hanna akui ini merupakan bank paling mewah yang pernah ia kunjungi, pemandangan yang pertama kali kalian dapati saat menapaki kaki adalah dua orang satpam berwajah manis yang akan tersenyum menyambut mu, kemudian beralih ke beberapa staff teller bank wanita dan pria yang selalu tersenyum manis saat melayani nasabah, lalu 3 kursi sofa empuk memanjang berwarna cream tempat duduk nasabah yang mengantri, juga terdapat sebuah patung berbentuk uang dolar berwarna hijau yang di kelilingi air mancur di dalamnya, langit-langitnya memberikan penerangan yang memadai, lantai yang mengkilap memantulkan sinar lampu, area teller bank itu sendiri dibuat semaksimalkan mungkin dengan ruang gerak dan arus mereka untuk ke sana-ke sini, dan dindingnya di tempelkan frame foto keluarga Dhifakhri dan frame dengan tulisan yang tidak terbaca oleh Hanna.

Di tengah lamunannya, seorang wanita dengan pakaian berwarna biru muda menghampiri Hanna dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, "anda Hanna Leonella?" tanyanya dengan suara amat lembut.

Hanna mengangguk dan tersenyum, "ya,"

"Saya Olivia kepala divisi di bank ini," katanya memperkenalkan diri, "baiklah kalau begitu mari ikut saya, Bapak Iqbaal sudah menunggu anda,"

Kemudian Hanna membuntuti wanita bernama Olivia itu, setelah itu mereka berhenti di depan sebuah lift yang pintunya terdapat tulisan bercetak tebal hitam 'MR. BLACK'.

"Anda cukup menekan angka 30. Lift ini akan mengantarkan anda ke ruangan Bapak Iqbaal," wanita itu pergi setelah mempersilahkan Hanna memasuki lift.

Pintu lift hampir tertutup saat tiba-tiba seorang wanita bertubuh molek ikut masuk. Wanita itu cantik dengan rambut keemasan bergelombang yang dibiarkan terurai. Ia menatap Hanna yang memilik tinggi badan sama dengannya dari atas sampai bawah, Hanna menggigit bibir bawahnya. Tangan wanita itu kemudian menekan tombol 10. Apa ia terlihat seperti gembel sampai wanita ini melihatnya seperti itu?

"Siapa kau?" tanyanya dengan wajah sepertinya tidak bersahabat. Bahkan bahasanya tidak menunjukkan ke formalitasan.

"Aku baru melamar di perusahaan ini," Hanna tersenyum, tapi wanita ini melengos, ia sibuk membenarkan penampilannya.

'Ting' lift terbuka.

Wanita itu menoleh ke arah Hanna, "good luck," ucapnya dengan senyum yang terlihat terpaksa. "Terima kasih," ucap Hanna, kemudian ia menekan tombol angka 30.

Sendirian di dalam lift membuat Hanna bergidik ngeri, imajinasinya yang liar membuatnya takut kalau-kalau lift ini berhenti mendadak karena macet dan ia terjebak di sini selama beberapa jam hingga ia kehabisan nafas dan akhirnya mati, itu mungkin saja terjadikan? Hanna menggeleng menggigit bibir bawahnya, ia lalu sedikit menempelkan badannya ke dinding lift.

'Ting' pintu lift perlahan terbuka. Hanna merasakan jantungnya berdetak 10× lebih kencang. Di lihatnya seorang pria yang berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Dengan gugup Hanna melangkah masuk.

Ruangan ini berada paling atas dan sangat luas, berbeda dari ruangan lainnya karena ruangan ini seperti rumah minimalis, catnya berwarna abu-abu dengan setiap perabotnya berwarna hitam, aroma ruangan ini juga berbeda, aroma lembut dan seperti basah sama seperti aroma mawar kemarin, menambah kesan maskulin. Tapi ada yang mengganjal perasaan Hanna, ohya! Di mana pelamar lain? Ruangan ini sepi. Hanna menatap sekeliling, hanya ada dirinya dan pria di hadapannya, apa ia terlambat? Atau ia datang terlalu cepat?

"Selamat pagi Pak," kata Hanna berusaha menyapa dengan tenang menghiraukan perasaan risau.

"Selamat pagi. Anda Hanna Leonella?" kata pria di hadapannya, tanpa berbalik.

"Iya Pak," benar! Steffie benar! Dia memiliki suara yang dingin dan terkesan kaku. Hanna masih menggigit bibir bawahnya. Kenapa tiba-tiba ia penasaran dengan sosok Iqbaal?

"Silahkan duduk," dia masih bertahan di posisinya.

Hanna mendekat ke kursi yang telah di sediakan. Hanna mendaratkan tubuhnya di atas kursi.

"Senang berjumpa dengan anda," tiba-tiba pria itu berbalik. Hanna menganga tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Bola mata cokelat itu menatap dirinya, sebuah senyum tipis tersungging di bibir merah tipis itu, Hanna tahu sedang berhadapan dengan siapa, Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan. Ternyata dia pria yang sama waktu itu.

Hanna menggeram. Melihat mata Iqbaal mengingatkannya kembali bagaimana Iqbaal memaksanya berciuman dan menatapnya seperti ingin melahap dirinya bulat-bulat.

Hanna berdiri dengan amarah yang membuncah. "Kau…" geramnya.

"Tenanglah, saya tidak berniat mencium anda untuk saat ini, anda tidak usah takut," Hanna menatap tajam wajah di hadapannya yang semakin mendekat.

"Duduklah," Iqbaal mengucapkannya tepat di samping telinga Hanna, bagai angin malam yang menyapu lembut, kulit Hanna meremang. Hanna duduk kembali. Iqbaal juga duduk di kursinya. Tangannya bergerak mengambil berkas lamaran dari Hanna.

"Jadi…nama anda adalah Hanna Leonella, nama yang cantik secantik orangnya, bukan begitu?" Iqbaal mengintip dari balik berkas itu, Hanna tak menggubrisnya.

"Di sini tertulis anda mengidap penyakit Auchlophobia atau ketakutan terhadap kegelapan, apa itu benar?"

"Itu benar…"

"Oh! Menarik, saya jadi bertanya, apa yang anda lakukan di tempat clubbing saat itu?" Iqbaal memotong kalimat Hanna mata cokelat itu mengintimidasi. Hanna terdiam.

Sungguh itu bukan kemauan Hanna, tapi Steffie memaksanya ikut karena para pegawai Blank Time semuanya ada di sana untuk merayakan hari jadi Bidi dan Cassie.

"Itu karena, teman-teman saya memaksa," Hanna menggigit bibir bawahnya, ia menjawab dengan gugup, terlalu takut untuk menatap mata itu, itu terlalu mengerikan, ia kemudian menghembus nafas asal.

"Oh, jadi anda terpaksa ikut. Apa ada alasan lain?"

"Tidak ada, saya benar-benar dipaksa saat itu, percayalah saya bukan tipe gadis yang…" Hanna belum sempat menyelesaikan kalimatnya, saat wajah Iqbaal mendekat dan tangannya memegang tengkuk dan memaksanya mendekat.

"Tapi, bagaimana jika saya tidak percaya?" ucapnya dingin, nafasnya memburu di hadapan wajah Hanna, ia merasakan jantungnya akan lepas. Wajah Iqbaal benar-benar dekat dengannya, tanpa sadar Hanna memejamkan matanya dan mengigit bibir bawahnya, ia takut menatap wajah Iqbaal.

"Berhenti melakukan itu atau kejadian waktu itu akan terulang," Hanna merasakan darahnya berdesir saat ucapan Iqbaal menerobos masuk ke dalam otaknya.

Bersambung

Maaf ya lambat update :3 soalnya cerita ini juga di share di FP gue, nih linknya facebook.com/rizalavarrel *kaliajaadayangmaungunjungin

Btw, feelnya dapet nggak sih? :)
Maacih buat yang udah Votmen *cipoksatu-satu

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 318K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
16.3M 608K 35
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
5.5M 452K 63
"Allahuakbar! Cowok siapa itu tadi, Mar?!" "Abang gue itu." "Sumpah demi apa?!" "Demi puja kerang ajaib." "SIALAN KENAPA LO GAK BILANG-BILANG KALO PU...
1.2M 48.4K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...