Surat Takdir Dari Tuhan ✔️

By __jummiazizah

23.2K 1.8K 284

[TAHAP REVISI] Setelah merasa bebas karena berhenti mondok dan melanjutkan pendidikan di bangku MA, Azlan pi... More

[1] Manusia-Manusia Ganteng!
[2] Saudara Paling Akur!
[3] Kelas Yang Sangat Rukun!
[4] Ada Bidadari!
[5] Jalan Menuju Mushola Sekolah!
[6] Rencana Makan Bakso!
[7] Seisi Kantin Jadi Heboh!
[8] Berterimakasih Itu Susah!
[9] Tempat Berteduh!
[10] Hukuman Di Lapangan!
[11] Majelis!
[12] Perihal Kesopanan!
[13] Saingan!
[14] Dia Datang!
[15] Menolak Menjadi Pecundang!
[16] Ada Yang Hilang!
[17] Kado Kecil Untuk Fyan!
[18] Takdir!
[19] Do'a!
[20] Kedekatan!
[21] Keputusan!
[22] Terimakasih !
[23] Ikhlas?!
[24] Acara 2 sahabat!
[25] Foto Lama!
[26] Ada Yang Mengejar Dan Ada Yang Berhenti!
[27] Martabat Seorang Wanita!
[28] The Real Hijrah!
[29] Pondasi!
[30] Hari Kelulusan!
[31] Menyempurnakan Separuh Agama!
[32] Takdir Ilahi!

Surat Takdir Dari Tuhan [THE END]

1.1K 64 24
By __jummiazizah

***

"Maaf aku baru ngasih kabar. Mungkin terkesan nggak tau malu, yaa... Soalnya 4 tahun lamanya aku malah ngilang. Hari ini aku pulang, pengen banget deh kalo disambut besti ku ini..."

Nadhif tak henti tersenyum bahagia lantaran setelah empat tahun lamanya dipisahkan oleh jarak, hari ini Silmi akan pulang setelah kuliah di Madinah.

Bagaimanapun, empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Begitu banyak hal yang ia telah lewati bersama suami tanpa berkeluh kesah dengan Silmi yang dulu menjadi tempatnya bercerita.

Ia memasang khimar berukuran senada hingga menutupi rambut panjangnya. Lengkungan senyum terbit melihat dirinya sendiri di pantulan cermin.

Di belakangnya berdiri Afnan yang terlihat kesusahan memasang kancing bajunya. Sesekali wanita itu melihat suaminya menggerutu kesal.

Nadhif berbalik dan berjalan mendekat, tangannya langsung mengambil alih untuk memasangkan kancing baju tersebut.

Ia yang memang telaten dengan mudah melakukan tugas kecil itu yang sudah menjadi kebiasaannya sejak menikah dengan Afnan.

"Makasih, sayangkuu..." kata Afnan sembari mengusap gemas puncuk kepala Nadhif yang tertutup khimar.

"Sama-samaaa.." balas Nadhif.

"Kayaknya udah nggak sabar banget ya mau ketemu sahabatnya?"

Nadhif mengangguk semangat. "Aku rindu banget, nggak nyangka juga ternyata udah empat tahun dia pergi."

"Dan empat tahun juga kita udah sama-sama." Timpal Afnan. "Sini sini, mau peluk sayangku yang erat."

Afnan mencium pucuk kepala Nadhif selama pelukan mereka berlangsung.

"Sayang..." panggil Afnan.

"Hm?"

"Rumah kita masih kurang rame, bikin dedek bayi lagi yuk!" Ujar Afnan antusias.

Nadhif langsung mencubit pinggang suaminya kesal dan malu dalam waktu yang bersamaan. "Mesum."

Afnan melonggarkan pelukan sembari bibirnya mencebik lucu. "Astagfirullah, nggak ada kata mesum dalam hubungan suami istri, ya shalihah."

"Hanan sama Hanin aja belum gede, bi." Balas Nadhif.

"Nanti aku beliin susu dancow, biar cepet-cepet gede."

Nadhif tertawa renyah. "Apasih!"

"Kalau ketawa gitu, cantiknya nambah." Puji Afnan dengan senyum lebar.

Nadhif menepuk bahu suaminya main-main. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan membelakangi Afnan.

Seakan belum puas, Afnan kembali merengkuh tubuh sang istri dari belakang.

"Sayang, biarpun seisi dunia di penuhi wanita-wanita yang mempertontonkan kecantikannya, Atharauf Afnan Isrul tetap jatuh kepada Shurafa Nadhif Aziza dalam hal cinta."

Nadhif tersenyum tipis, rasa-rasanya sebentar lagi ia akan menangis. Jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama ia rasakan setelah bertemu dengan pemuda yang kini bergelar suami.

Afnan memperlakukannya seperti seorang ratu. Laki-laki itu luar biasa peka. Nadhif tidak bicara pun, Afnan seakan mengetahui isi hatinya.

"Aku bahagia, karna kamu nahkoda yang dipilih Allah untuk membimbing aku lebih dekat dengan-Nya."

Afnan membalik tubuh Nadhif untuk menghadap kearahnya. Ia berikan hadiah sekali kecupan di kening wanitanya.

"Kalau perempuannya itu kamu, rugi besar kalo nggak jatuh cinta cepet-cepet." Tutur Afnan.

"Dan kalau laki-lakinya itu kamu, sia-sia kalau yang dapet bukan aku."

Keduanya lantas tertawa bersama, Nadhif jadi mahir menggombal karna pengaruh suaminya. Sesuatu yang bila dilakukan setelah menikah, berpahala.

"Abi! Ummi!"

Dua pasutri itu sama-sama menoleh ke ambang pintu, dimana kedua anaknya —Atharauf Hanin Zahara (anak pertama) dan Atharauf Hanan Ibram (anak bungsu) sudah bersiap dengan pakaian muslim mereka.

"Hanin udah siap." Kata Hanin lantang.

"Anan uga!!" Teriak Hanan dengan bahasa cadelnya.

Nadhif mendekat dan berjongkok mensejajarkan tingginya dengan sang anak, disusul Afnan setelahnya.

"Kita mau kemana?" tanya Nadhif mengetes ingatan anaknya.

"Mau ketemu aunty Silmi." Bahasa Hanin memang sudah jelas dan tepat. Meski usianya baru tiga tahun lebih.

"Pintar." Afnan mengusap pelan pucuk kepala anak sulungnya.

Hanan yang tidak diperlakukan seperti itu merasa Abinya pilih kasih. Ia memukul lengan kekar Afnan dengan tenaga yang ia rasa sangat kuat, padahal yang Afnan rasa bagaikan kapas lembut menimpuk lengannya.

"Anan uga!!"

Nadhif dan Afnan sama-sama tertawa. Barulah kemudian Afnan mengusap pucuk kepala Hanan dengan gemas.

Setelahnya ia mengangkat Hanan kedalam gendongannya. Sedangkan Hanin hanya bergandengan tangan dengan Nadhif. Ia tidak suka di gendong, seperti anak kecil katanya. Padahal dia juga masih anak kecil.

***

Silmi menuruni anak tangga pesawat dengan tangan kirinya yang mengangkat koper. Ia memejamkan mata menghirup udara di bandara Soekarno-hatta tempatnya turun.

"Selamat datang kembali jakarta."

Rasanya sudah lama sekali. Seperti sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak menginjakkan kaki di tanah jakarta. Lebih tepatnya, telah berlalu selama empat tahun.

Bandara ini tidak berubah. Masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat ini dengan perasaan gundah gulana.

Silmi menghela nafas. Tidak ada perasaan sesak lagi yang ia rasakan, ia telah berdamai dengan keadaan. Ia datang kembali kesini bukan untuk mengorek luka lama, melainkan untuk kembali menjalani hidup sebagaimana semestinya.

Bagaimana kabar Nadhif?

Silmi bisa membayangkan ia telah memiliki keponakan-keponakan lucu yang berstatus sebagai anak sahabatnya itu.

Ponselnya telah rusak dikarenakan tak sengaja jatuh dilantai yang menghasilkan retakan dan kerusakan pada ponselnya. Itu sebabnya ia tidak lagi menggunakan ponsel sejak saat itu.

Ia menjauhkan diri dari android untuk semakin mendekatkan diri kepada Penciptanya. Terlebih di Madinah, ponsel tidak terlalu dibutuhkan. Sesekali ia hanya meminjam ponsel salah satu teman fakultas untuk menghubungi orang tuanya.

Barulah kemudian Silmi mengambil langkah berjalan di luasnya bandara. Ia harus memesan taksi untuk pulang kerumah dan bertemu orang tua serta sahabatnya.

Jujur saja, Silmi benar-benar kesepian. Sangat kesepian.

Ia juga takut menjadi asing dengan sahabatnya. Barangkali Nadhif sudah tidak begitu membutuhkan sahabat sepertinya lantaran sudah memiliki pasangan hidup, sekiranya itulah pikiran negatif yang selalu muncul di benaknya.

Namun, ia tepis pemikiran itu. Ia tahu dan yakin bahwa selama ini ia tidak pernah salah memilih seorang sahabat yang kelak juga berpeluang besar mendapat naungan di Padang Mahsyar lantaran tergolong bersama karena Allah dan berpisah juga karena Allah.

Lamunan Silmi buyar ketika seorang anak laki-laki menabraknya.

Anak laki-laki tersebut menunduk sopan, mungkin saja sebagai permintaan maaf karena ketidak sopanannya.

"Maaf, tantee... Idan ndak sengaja..."

Silmi tersenyum tipis, ia berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anak laki-laki tersebut.

Diusapnya ubun-ubun anak itu pelan. "Gapapa kok, tante nggak marah. Lain kali Idan hati-hati yaa..."

Anak laki-laki itu mengerjap bingung. "Kok tante tau nama Idan?"

Silmi tertawa lepas, bagaimana menjelaskannya yaa...

Tidak ada niatan menjawab pertanyaan itu, Silmi memperhatikan setiap inci lekuk wajah bocah kecil itu. Seperti tidak asing...

"Ya Allah, Zaidan... Kamu nabrak orang? Udah minta maaf?"

"Udah, Ummi."

Barulah Silmi kembali berdiri tegak ketika bocah itu sudah dipelukan seorang wanita bercadar, yang sepertinya adalah ibu anak laki-laki tersebut.

"Maaf ya Buu... Anak saya ini memang— Silmi?"

Senyum Silmi yang tadi mengembang seketika luntur, berganti dengan kening yang berkerut bingung.

"Mbak kenal saya?" tanya Silmi menunjuk dirinya sendiri.

"Ini aku, Maura."

Silmi tertegun, tak lama ia tersadar. "Ya Allah, Maura... MasyaAllah... Ini kamu? Pangling aku."

"Lama nggak ketemu, yaa..." kekeh Maura.

"Jadi ini anak kamu?" Silmi menunjuk bocah laki-laki itu.

"Iya, namanya Zaidan."

"Bapaknya siapa?"

Bibir Maura kelu untuk menjawab. Namun, tak lama seseorang memeluknya dari samping.

"Kenapa lama banget, sayang?"

Jantung Silmi seakan tengah berhenti berdetak. Di depannya sekarang seorang laki-laki yang dapat ia yakini merupakan suami dari Maura adalah... Azlan. Ya, dia Azlan. Atharauf Azlan Nuzula.

Azlan menoleh kearahnya membuat Silmi langsung membuang pandangan.

Sama seperti Silmi yang terkejut, Azlan pun begitu.

Maura berdeham cukup kuat. Ia menatap suaminya dengan perasaan khawatir, khawatir Azlan tiba-tiba akan berpaling darinya sebab bertemu cinta pertamanya.

Azlan membalas tatapan sang istri, memberikan senyum tulus untuk wanitanya. Ia mengeratkan pelukannya yang dari samping itu seakan menjawab ke khawatiran dalam hati Maura.

Benar, Silmi hanyalah masa lalu. Dialah masa depan Azlan.

Silmi memberikan senyuman terbaiknya. Sudah ia katakan, kembali ke jakarta bukan untuk mengorek luka lama, apalagi itu membuat seseorang merasa tersaingi hanya karena kehadirannya. Silmi kembali dengan niat baik, tidak akan ia hancurkan rumah tangga seseorang dengan kembalinya dia.

Maura... Dulu dia dengan tulus melepas Azlan untuknya. Kemudian Allah dengan segala kekuasaan-Nya mempersatukan mereka dalam ikatan yang halal.

Sampai disini aku sadar, Allah tidak hanya melihat hamba-Nya yang berjuang, melainkan juga melihat mereka yang ikhlas, berserah diri dan ridho atas segala ketentuan-Nya.

"Selamat atas pernikahannya, aku bener-bener ikut bahagia. Itu tulus dari hati aku. Maaf banget ya nggak dateng, soalnya sibuk study di kampus." Kata Silmi dengan sedikit kekehan.

Ia menoleh sejenak pada Azlan. "Kalian harus hidup bahagia, yaa..."

Pada akhirnya, kita hanyalah sebatas teman kecil. Namun lebih dari itu, aku pernah menjadi perempuan yang merasa paling beruntung sebab kala itu dicintai dengan hebat oleh laki-laki setia seperti; dia.

Azlan mengangguk mantap. "Itu pasti."

Tak lama dari itu, Nadhif dan Afnan beserta kedua anaknya telah sampai di bandara. Keempatnya mendekat pada ketiga insan yang melihat kearah mereka.

"NADHIFFFF!!!" Silmi berlari mendekat dan memeluk tubuh sahabatnya dengan erat. "Aku rindu banget, hwaaaa...."

"Aku jugaaaaaa...." Teriak Nadhif tak kalah semangat.

Yang lain tertawa dengan tingkah kedua sahabat yang baru bertemu setelah sekian lama itu.

Afnan mendekat kepada Azlan dan keduanya berpelukan. Maklumlah, mereka adalah saudara yang tidak pernah terpisah dari kecil. Namun karena sudah memiliki keluarga masing-masing, waktu mereka berdua tidak sebanyak dulu lagi.

Afnan melepas pelukannya. "Mau ke Mesir?" tebaknya.

Azlan mengangguk sekali.

"Ajak istri jalan-jalan ketempat hijrah kita dulu." Katanya yang di balas anggukan paham.

Afnan menangkup kedua tangan dengan sedikit menunduk kearah Maura, gadis itu membalas dengan melakukan hal yang sama.

"Nadhif, ini keponakan aku?"

"Iya, imut-imut, 'kan?"

"Huwaaa, imut banget, gemoy, kiyowooo, gemesin..." Silmi mencubit kencang pipi Hanan, sedangkan Hanin bersembunyi di belakang Umminya.

"Udah-udah, anak saya takut." Tegur Afnan.

"Entar malem bikin lagi ya, Dhif. Nanti aku adopsi." Canda Silmi.

Afnan dan Nadhif, serta Azlan dan Maura sama-sama meledakkan tawa.

Pemandangan indah.

Setelah itu, biarkan mereka mengukir kisah sendiri tanpa dituliskan lagi.

Semua yang telah berjalan hingga kini, merupakan catatan takdir yang telah Tuhan tuliskan untuk mereka teliti, kemudian pahami. Pengalaman hidup ini banyak mengambil pelajaran, banyak menguras tenaga, menguji mental. Namun karena mereka adalah jiwa-jiwa yang hebat, Tuhan memberikan ujian yang lebih berat, sebab Tuhan percaya mereka mampu melewatinya.

Allah tidak akan pernah menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya.

Dan itu benar.


Kata mereka :

ATHARAUF AZLAN NUZULA
"Allah tidak berjanji bahwa kau akan
menikah dengan orang yang kau cintai,
tapi Allah berjanji, orang yang baik
akan bersama dengan orang yang baik pula."

ATHARAUF AFNAN ISRUL
"Bisa bertemu dan mengenal kamu adalah anugerah. Tuhan terlalu baik memberikan permata dari dasar laut, untuk manusia biasa yang berasal dari dasar sungai."

SHURAFA NADHIF AZIZA
"Dan betapa indahnya kedekatan
setelah pernikahan, yang berlandaskan
Allah Ta'ala."

HAYATUL SILMI AZIZAH
"Terimakasih pernah ada meski hanya
sekedar singgah. Allah tidak memberikan
kamu untukku, sebab ada satu dari jutaan
wanita yang menunggu diratukan olehmu."

"Hayatul Silmi Azizah & Shurafa Nadhif Aziza"
Benar adanya, bahwa rezeki dari Tuhan tak hanya berbentuk uang, memiliki sahabat seperti kamu juga merupakan rezeki terbesar. Meskipun jalan kita tak searah, setidaknya tujuan kita sama, sama-sama ingin bersama hingga Jannah.

THE END
—————

Gimana?

Happy or sad?

Pendapatnya dong 🤧

Continue Reading

You'll Also Like

3.7K 1K 20
Seorang gadis cantik yang ingin dicintai oleh laki-laki yang selalu membuatnya nyaman (nya = dia)(aman = keluar). Ketika rasa nyaman dihianati oleh c...
7.6K 107 1
Shakayla Aretha Huzaima, tiga tahun memendam perasaan pada sosok laki-laki yang pernah ia temui. Azzam Alfaresi. Ia tak sengaja bertemu dengannya dia...
Raffasya By Maryam

Teen Fiction

278 105 7
Udah follow? Belum! Waduh, follow dulu sayang biar nyaman bacanya. Starting from : 19 april 2024 Finished : -- hay, kenalin ini cerita baru aku. sem...
13.7K 1.7K 30
Kisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperin...