Surat Takdir Dari Tuhan ✔️

By __jummiazizah

23.1K 1.8K 284

[TAHAP REVISI] Setelah merasa bebas karena berhenti mondok dan melanjutkan pendidikan di bangku MA, Azlan pi... More

[1] Manusia-Manusia Ganteng!
[2] Saudara Paling Akur!
[3] Kelas Yang Sangat Rukun!
[4] Ada Bidadari!
[5] Jalan Menuju Mushola Sekolah!
[6] Rencana Makan Bakso!
[7] Seisi Kantin Jadi Heboh!
[8] Berterimakasih Itu Susah!
[9] Tempat Berteduh!
[10] Hukuman Di Lapangan!
[11] Majelis!
[12] Perihal Kesopanan!
[13] Saingan!
[14] Dia Datang!
[15] Menolak Menjadi Pecundang!
[16] Ada Yang Hilang!
[17] Kado Kecil Untuk Fyan!
[18] Takdir!
[19] Do'a!
[20] Kedekatan!
[21] Keputusan!
[22] Terimakasih !
[23] Ikhlas?!
[24] Acara 2 sahabat!
[25] Foto Lama!
[26] Ada Yang Mengejar Dan Ada Yang Berhenti!
[27] Martabat Seorang Wanita!
[28] The Real Hijrah!
[29] Pondasi!
[30] Hari Kelulusan!
[31] Menyempurnakan Separuh Agama!
Surat Takdir Dari Tuhan [THE END]

[32] Takdir Ilahi!

870 55 21
By __jummiazizah

***

Azlan meraih tangan sang istri begitu melihatnya hampir terjungkal sebab tak memperhatikan jalan. Dia memeluknya dari samping dengan raut wajah khawatirnya.

"Aku, 'kan udah bilang, kalau jalan hati-hati, sayang...."

Sang istri menyengir lebar dari balik cadarnya. "Itu nanti keburu habis jagungnya..." rengeknya sembari menunjuk pedagang asongan yang menjual jagung bakar.

Azlan terkekeh pelan. Ia menoel hidung yang tertutupi kain itu dengan gemas.

"Kalau gitu, aku yang beliin." Katanya yang langsung diangguki dengan semangat oleh istrinya.

Selepas Azlan pergi, sang istri -Hayatul Silmi Azizah, memilih duduk di kursi yang terdapat di taman itu. Senyumnya tak pernah luntur memperhatikan suaminya yang sedang antri hanya untuk sekedar memenuhi keinginannya yang ingin makan jagung bakar.

Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa Azlan dan Silmi? Bukan Afnan dan Nadhif yang jelas-jelas baru selesai melangsungkan pernikahan.

1 tahun yang lalu, sahabatnya menikah dengan pujaan hati. Maka 1 tahun setelahnya, Silmi menikah dengan cinta pertamanya yang ia temui ketika berumur 10 tahun di masa lampau.

Silmi memilih untuk tidak kuliah. Lebih baik daripada ia harus jauh-jauh dengan suaminya.

Pernikahan mereka mungkin terlalu tiba-tiba, sampai mengejutkan dua pasutri -Afnan Nadhif, namun juga disambut dengan meriah.

Baru beberapa bulan pernikahan mereka, dan Silmi selalu di buat jatuh cinta yang kesekian dengan orang yang sama. Azlan luar biasa dewasa, dia royal, terkadang manja, juga sedikit over protektif, namun Silmi menyukai itu semua.

Entah bagaimana caranya ia harus mendefinisikan rasa bersyukur yang dirasakan setelah memutuskan tidak melanjut pendidikan, namun dihadiahi hal yang luar biasa diluar dugaan.

Silmi merasa seberuntung itu bisa mencintai Atharauf Azlan Nuzula tanpa melebihi cintanya kepada Sang Pencipta.

"Sayang... Hei, kok ngelamun?"

Lamunan Silmi buyar, ia spontan mendongak menatap suaminya yang jauh lebih tinggi dari dirinya. Karna posisi Azlan yang tengah berdiri, Silmi langsung ikut berdiri dan merengkuh erat tubuh kekar itu.

Azlan membulatkan mata lantaran terkejut dengan respon tiba-tiba istrinya. Tangan kanannya yang memegang jagung bakar berbungkus kertas terangkat keatas, kemudian ia gunakan lengan kirinya untuk membalas pelukan itu.

Di usap-usapnya punggung Silmi dengan lembut. "Kenapa? Ada yang ganggu pikiran, adek?"

Gelengan yang ia dapati.

Azlan mengulum bibir, membiarkan posisi mereka tetap seperti ini untuk beberapa menit meskipun sudah banyak pasang mata yang memperhatikan keduanya.

Hampir 5 menit lamanya, barulah Silmi melonggarkan pelukannya.

Ia memberikan senyuman termanis kepada sang suami hingga matanya menyipit. Tanpa mengatakan apa-apa, ia mengambil jagung bakar dari tangan Azlan, mendudukkan diri di kursi dan mulai menggigit jagung bakar tersebut.

Azlan hanya geleng-geleng kepala sembari ikut mendudukkan diri di kursi yang terdapat di depan istrinya. Memperhatikan wanita itu dalam diam, terkadang tingkah Silmi memang diluar nalar dan sulit ditebak.

Ia mengusap gemas pucuk kepada Silmi tanpa melunturkan senyumannya.

Lama mereka terdiam dalam keheningan. Silmi melirik Azlan dengan ekor matanya. Ia menyodorkan jagung bakar yang masih ada setengah kepada suaminya.

"Mau?" tawarnya.

Azlan menatap jagung bakar itu, kemudian kembali menatap Silmi. "Emang boleh?"

"Boleh dong. Tapi ini bekas aku..."

Satu gigitan di pinggir jagung bakar, Azlan mengunyah hasil gigitannya dengan khidmat.

"Emang kenapa kalau bekas istri? Nggak dosa, justru berpahala." Timpalnya.

Silmi membuang pandangan ke sembarang arah. Bibirnya berkedut menahan senyum.

Azlan memiringkan kepalanya dengan ekspresi polosnya. "Aku tebak pasti pipi adek lagi merah kayak tomat."

"Nggak ya!!" Elak Silmi.

Azlan menyandarkan diri di sandaran kursi sembari bersedekap dada, wajah tengilnya membuat Silmi kesal.

"Aku ini sebenarnya peramal, dek... Tapi yang bisa aku ramal cuma kamu."

Silmi terkekeh pelan. "Ngawur banget sih, kak, ihh!!"

"Kamu pasti nggak percaya lagi..." celetuk Azlan.

"Eummm.... Percaya deh."

Mata Azlan langsung berbinar, ia mencubit pipi yang dibaluti kain itu dengan gemas.

"Iiiii, entah kebaikan apa yang pernah aku lakuin dulu sampe dianugerahi istri gemoy begini." Tangan Azlan masih setia mencubit pipi Silmi, membuat wanita itu merengek minta dilepaskan.

"Ahahaha, gemoyyyyy banget!!" Sebab kasihan juga, Azlan akhirnya menghentikan aktivitasnya.

Silmi menggerutu kesal, ia menyipitkan mata tanda permusuhan kepada suaminya.

"Kak Azlan!!"

"Dek Silmii!!!"

***

Tepat pukul 03:00 dini hari, Azlan terbangun dari tidurnya. Ini memang sudah menjadi kebiasaannya sejak di Mesir tahun lalu.

Tangannya mengucek mata cukup kuat selagi menahan diri untuk tidak menguap. Ia menoleh ke samping dimana Silmi tertidur pulas menghadap kearahnya.

Sudut bibir Azlan terangkat membentuk senyuman tulus, tangannya mengelus lembut rambut sebahu sang istri dengan perasaan bahagia yang tidak dapat di definisikan lagi saking bahagianya.

Tangannya kemudian turun untuk mencubit pipi yang semakin hari semakin bulat itu, telunjuknya menusuk-nusuk pipi tersebut hingga membuat sang empu terusik dari tidurnya.

Silmi mengerjap pelan, matanya menyipit lantaran cahaya lampu kamar menusuk indra penglihatan.

"Kak?"

"Hm?"

"Udah sholat tahajjud?"

"Belum, nungguin kamu."

Silmi mengangguk pelan, kemudian ia bangkit dari pembaringannya. Meraih ikat rambut di samping nakas kemudian mengikat rambutnya asal.

"Yaudah, aku cuci muka dulu sekalian wudhu."

Azlan langsung mendekat. "Aku ikut, kita barengan aja."

"Ke kamar mandi?"

Pemuda itu mengangguk semangat. Sedangkan Silmi mengerutkan kening.

"Nggak mau!" Tolaknya.

"Kenapa?" bingung Azlan.

"Nanti kakak macem-macem." Silmi mundur selangkah kemudian mengambil ancang-ancang seakan bersiap menghajar Azlan, terbukti dari kedua tangannya yang mengepal.

Azlan meledakkan tawa, ia berlari mendekat dan langsung meraih tubuh mungil itu kedalam pelukan.

Tubuhnya bergoyang dari sisi ke sisi dengan mata terpejam. "Memangnya kalo macem-macem kenapa? Udah halal juga."

Silmi terdiam, ia hanya membalas pelukan sang suami untuk menyalurkan rasa sayang. Namun, lama kelamaan pelukan Azlan semakin erat, membuat Silmi terhimpit dan kesulitan bernafas.

"Kak, jangan terlalu erat, sesak."

Barulah kemudian Azlan melonggarkan pelukannya meski belum sepenuhnya terlepas. Ia mengecup kening Silmi cukup lama.

"Sama kalo nggak ada kamu, sesak."

Silmi dibuat membisu. Ia pandang mata tajam itu dengan lekat, mencari setidaknya secuil kebohongan dari kalimat suaminya. Namun yang ia dapati bukanlah dusta, melainkan fakta.

Wanita itu mengerjap canggung, ia dorong bahu Azlan pelan hingga terkikis jarak diantara mereka.

"Aku mau wudhu dulu." Katanya masih dengan nada canggung.

"Jadi nggak mau barengan?"

"Kak!" Silmi itu tidak bisa untuk tidak salah tingkah dengan segala gombalan Azlan.

"Ahahaha, yaudah... Padahal udah beberapa bulan kok masih malu-malu kucing..." gumam Azlan yang masih bisa di dengar sang istri.

Silmi sudah bersiap lari untuk masuk kedalam kamar mandi, namun pergelangan tangannya di tahan oleh Azlan.

"Abis sholat kamu nggak lupa, 'kan? Harus setoran hafalan. Kalo ada bacaan surah yang salah aku hukum."

Silmi ternganga. "Hukum? Hukuman apa? Parah?"

"Aku cium. Satu kali salah, sepuluh kali ciuman."

Triiiinggggg

Suara alarm berhasil mengejutkan Silmi. Ia lantas bangun dari tidurnya dengan nafas tersenggal. Kepalanya menoleh ke samping, di mana hanya ada bantal guling yang selalu setia menemaninya tidur.

Pandangannya terangkat melihat jam dinding yang menampilkan pukul 03:00 dini hari.

Silmi menghela nafas dengan senyum getir.

Jadi yang tadi itu hanya mimpi? Menikah dan hidup bahagia dengan Azlan hanyalah mimpi? Mengapa terasa begitu nyata.

Silmi tidak pernah berniat berhenti kuliah, jika pun iya, itu hanya mimpi. Silmi tidak pernah menikah dengan Azlan, jika pun iya, itu hanya mimpi.

Silmi menunduk dalam. Bahunya bergetar tanda ia telah menangis. Silmi terisak cukup kuat, tangannya menutup wajah agar mata sembabnya tak terlihat.

Ia malu, Allah pasti sedang memperhatikannya. Sekuat tenaga ia tahan namun pada akhirnya runtuh juga.

Masih dengan terisak, Silmi terus mengusap air matanya yang enggan berhenti. Lama kelamaan tangannya terangkat mengacak kasar rambutnya.

Kenapa?

Pertanyaan yang terus menggerogoti pikirannya.

Silmi menepuk dadanya yang terasa nyeri. Ia mengatur nafas untuk menenangkan diri. Tidak apa-apa, Silmi baik-baik saja.

Ia akan menangis untuk Azlan yang terakhir kalinya. Setelah itu, tidak ada lagi alasan ia terus terpenjara oleh perasaan. Meskipun memang Azlan selalu menunggu, Silmi akan meminta maaf atas keputusannya.

Azlan akan menemukan yang lebih baik dari dia. Terdapat 1 dari sejuta wanita baik di dunia, jodoh Azlan adalah salah satunya.

Silmi turun dari atas ranjang berniat mengambil air wudhu. Jam delapan pagi ia akan berangkat ke bandara untuk menuju Universitas Madinah, kota impiannya. Disanalah Silmi akan memulai hidupnya yang baru.

Tidak mudah, tapi akan ia coba.

***

"Haruskah sebuah cinta kandas?
Hanya karena salah satu dari keduanya
merasa tak pantas?"

-jummiazizah-

Bandara Soekarno-hatta (CKG).

Bandara Soekarno-Hatta terletak di Tangerang, Banten, sekitar 20 kilometer barat laut dari pusat kota Jakarta. Dan bandara inilah yang ia pilih untuk melihat keindahan kota jakarta untuk terakhir kali.

Silmi menyeret kopernya menuju Lounge; Bandara Soekarno-Hatta memiliki fasilitas lounge bagi penumpang yang ingin bersantai sebelum atau setelah penerbangan. Lounge ini dilengkapi dengan kenyamanan seperti kursi yang nyaman, makanan dan minuman ringan, serta akses Wi-Fi gratis.

Mendudukkan diri di salah satu kursi, tangannya setia menggenggam tiket yang telah ia beli tadi.

Pandangannya terfokus kearah kanan, ia memperhatikan beberapa interaksi orang-orang dengan keluarganya. Berbicara tentang keluarga, orang tua Silmi yang telah mengantar ke bandara ini, namun karena urusan mendadak mereka tidak bisa menemani Silmi hingga berangkat. Silmi yang sudah terbiasa di tinggal seperti itu hanya mengiyakan tanpa banyak protes.

Seseorang mendudukkan diri di samping kiri Silmi, namun gadis itu tidak menoleh sedikitpun. Ia acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, sekarang fokusnya hanya kepada tiket di genggamannya.

"Kita udah seasing itu? Sampai pamit pun kamu nggak mau."

Mendengar suara tak asing itu, Silmi menoleh cepat ke samping kiri, dimana duduk pemuda tinggi yang tersenyum tipis kearahnya.

Silmi tertegun.

"Saya ada salah, yaa?"

Gadis itu menggeleng kukuh.

"Lantas?"

Keduanya saling membuang pandangan, tidak berniat saling pandang dalam jangka waktu yang lama.

"Akhirnya kita ketemu." Kata Silmi.

"Saya selalu ada, kamu aja yang nggak sadar. Atau mungkin kamu nggak peduli." Balas Azlan.

Silmi tersenyum tipis. "Awalnya saya mau pamit, tapi waktu saya terlalu sempit. Senang bisa ketemu kamu lagi, dan saya emang nggak pernah sadar kalo kamu selalu ada."

Entah mengapa percakapan mereka terdengar ambigu. Pandangan keduanya lurus kedepan, untuk sekedar saling melirik pun keduanya enggan.

"Azlan." Panggil Silmi. "Saya udah ingat semuanya."

Seketika Azlan menoleh cepat kesamping seakan meminta penjelasan, namun Silmi tetap pada posisinya yang menatap kedepan.

"Kita pernah ketemu, saat usia kita sama-sama 10 tahun. Saya Aya... Nama panggilan yang saya kenalkan ke kamu dulu."

Azlan menyandarkan diri di sandaran kursi, ia terlihat pasrah. Telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengarkan kalimat Silmi.

"Mumpung kita ketemu, saya izinin kamu buat lepas janji kamu."

Azlan menelan ludah yang terasa pahit.

"Maaf buat kamu nunggu selama ini. Saya nggak mau kamu terjerat janji terus, kamu harus mulai menjalani hidup kamu sendiri."

"Kamu pikir saya nunggu selama ini karna terpaksa?" Azlan menyela. "Nggak! Itu karna saya memang punya perasaan sama kamu yang belum berubah sampai sekarang."

Silmi mendongak keatas, ia mengerjap berkali-kali untuk menghalau air mata yang ingin jatuh.

"Kamu nunggu tapi kamu juga tersiksa sama penantian yang nggak pasti, 'kan?" tutur Silmi dengan nada bergetar. "Berhenti berharap sama manusia, Allah-lah tempat berharap yang sebaik-baiknya."

Kali ini Silmi menatap Azlan, dan Azlan juga balas menatapnya.

Setidaknya aku pernah memiliki kamu, meskipun tidak lebih hanya karangan dalam bunga tidurku.

"Saya nggak nuntut apa-apa selain kamu mau menjalani hidup tanpa ada saya."

Dengan segera Silmi meraih kopernya dan pergi meninggalkan Azlan sendiri dalam keterdiamannya. Silmi menangkap netra berkaca-kaca dari mata Azlan, itu membuatnya tidak sanggup berlama-lama dekat dengan pemuda itu.

Berjalan menuju tempat penerbangan dengan air mata yang sukses luruh.

Meninggalkan Azlan yang menunduk dalam dengan bahu bergetar lantaran perih.

Perempuan yang egois dan laki-laki yang mudah pasrah.

Serumit itu takdir mempertemukan mereka.

Silakan untuk mengambil hikmah dari kisah mereka. Ambil baiknya dan buang buruknya.




















Tbc.

Dipersilakan untuk memaki
Chapter berikutnya sudah ending ya,
elus dada sambil istighfar.

Jangan lupa follow IG ku 🤭 :

@wp.mejza_

Continue Reading

You'll Also Like

106K 8.5K 21
CERITANYA LANJUT DI INSTAGRAM MATCHAENAK17_ Lembah menerima tantangan dari saudaranya demi mendapat warisan dari kedua orang tua. Tantangan berupa me...
3.7K 1K 20
Seorang gadis cantik yang ingin dicintai oleh laki-laki yang selalu membuatnya nyaman (nya = dia)(aman = keluar). Ketika rasa nyaman dihianati oleh c...
996 376 8
Aku akan menyerah, setidaknya aku sudah berusaha ~Batin Khansa. "Apa aku boleh menyerah?" tanya Khansa lesu. "Aku tidak akan membiarkan kamu menyerah...
13.4K 1.7K 30
Kisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperin...