Kevin Huo's Proposal

By Liana_DS

863 157 43

Berkorban untuk pekerjaan tidak pernah ada dalam kamus Zhang Ling. Jika sebuah merek, proyek, atau fotografer... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58

38

9 2 0
By Liana_DS

"Susah juga, ya, jadi populer."

"Lihat itu, baru terkenal berapa bulan saja sudah besar kepala." Mingmei mendesah keras dan Ling menertawakannya. "Walaupun menjengkelkan, aku bersyukur kau sadar apa dampak popularitasmu ini. Kalau kau yang dulu dapat kesempatan seperti ini, aku yakin kau sudah kabur dari rumah Feng Xiang buat jalan-jalan sesukanya ke Sanfang Qixiang."

Ling baru kepikiran. Suatu waktu, seorang rekan modelnya menunjukkan foto liburan di gang-gang kota tua Sanfang Qixiang yang telah disulap menjadi tujuan wisata. Ia ingat memohon-mohon ke agensi untuk mencarikan pekerjaan di Fuzhou gara-gara itu, tetapi tidak pernah keturutan sampai lupa punya keinginan itu.

Membuang napas, Ling menyandarkan punggungnya ke kursi teras. "Aku yang dulu tidak punya banyak job, jadi masih punya tenaga buat jalan-jalan. Kalau yang sekarang, bisa tidur tanpa badan pegal saja sudah syukur ...."

"Hm? Tapi kalau Feng Xiang tiba-tiba mengajakmu ke sana, masih ingin tinggal saja di rumah?"

"Tentu saja aku akan tetap pergi ke Sanfang Qixiang, duh," jawab Ling tanpa tedeng aling-aling; hasrat pelesirnya ke Sanfang Qixiang ternyata masih membara. "Kesempatan jalan-jalan bersama Feng Xiang itu langka, bodoh kalau menyia-nyiakannya!"

Lagipula, pergi jalan-jalan berdua dengan Feng Xiang di kampung halamannya ... bukankah itu romantis?

Usai menepuk-setengah-menampar pipinya sekali, Ling tersadar dari khayalan yang memerahkan wajahnya. Ia bilang akan pulang dengan penerbangan besok sore, jadi kemungkinan besar ia hanya akan sarapan, berkemas, dan menghabiskan waktu di rumah keluarga Feng sebelum pulang. Bagaimanapun, yang terpenting dari perjalanannya sekarang bukan rekreasi, melainkan pulihnya kembali hubungan Feng bersaudara dengan orang tua mereka. Mingmei pura-pura menangis terharu karena Ling yang tak seegois dulu lagi, hanya untuk ditiru kata-katanya oleh Ling dengan nada mencibir. Keduanya tertawa sebelum saling mengucap salam perpisahan dan menutup telepon.

"Kau ingin pergi ke Sanfang Qixiang?"

Ling menoleh dan mendapati Xiang dengan dua gelas teh merah hangat. Pria yang barusan menanyai Ling itu meletakkan satu gelas di meja depan Ling, sementara satu gelas dinikmatinya sendiri setelah duduk menyebelahi Ling.

"T-Tidak, kok!" Tergagap Ling menyangkal. Sebanyak apa Feng Xiang mendengarkan percakapanku dengan Kak Mei? batinnya. "Aku ke sini bukannya mau berwisata, tetapi menemanimu menemui keluargamu."

"Kurasa sehari ini pun sudah sangat cukup untukku. Dapat melihat wajah orang tuaku secara langsung, memastikan bahwa mereka sehat ... rasanya memuaskan meskipun sebentar." Xiang meletakkan gelasnya, lalu menatap hangat Ling. "Kamu membuatku mengerti apa yang sebenarnya penting dan membangkitkan keberanianku. Yang seperti itu harusnya dapat balas jasa, kan? Jadi, mengapa kita tidak pergi ke Sanfang Qixiang bersama?"

Jantung Ling hampir melompat keluar dari iga. Uap panas seakan membumbung dari dalam bajunya, merebus wajahnya sampai merah. Diam-diam Ling mencubit lengannya: sakit. Ini bukan mimpi.

"Kenapa mukamu begitu?" kekeh Xiang. "Aku menunggu jawabanmu, lho, walaupun tadi kamu sempat bilang pasti akan pergi kalau aku mengajak."

Orang ini gila. Apa dia tidak tahu seberapa mirip ajakannya dengan kencan? Apa benar cuma aku yang pernah menerima ajakan ini darinya? Feng Xiang!

Namun, Xiang butuh jawaban gamblang segera. Jalan-jalan ke Sanfang Qixiang merupakan salah satu keinginan Ling sejak merintis karier modeling dan melakukannya bersama Xiang merupakan penyempurnaan dari mimpi itu. Kalau mengutip perkataannya sendiri beberapa menit lalu, 'bodoh sekali kalau kesempatan ini dilewatkan'.

"Aku mau," jawab Ling lirih. Mingmei pasti akan tertawa kalau melihat sikap malu-malu yang menyalahi karakternya ini, tetapi gadis manapun dapat berubah jinak ketika sedang jatuh cinta. "Aku mau ... tapi bagaimana dengan ayah-ibumu? Kamu harus lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka kalau memang cuma punya waktu kurang dari dua hari. Bagaimana pula dengan Feng Tian?"

"Mereka akan ikut jalan-jalan, tentu saja. Sekadar informasi, kami juga belum pernah ke Sanfang Qixiang, jadi ini merupakan pengalaman pertama kami jalan-jalan sebagai keluarga; ditambah kamu akan semakin lengkap.

"Ini ... juga pertama kali aku mengajak seorang teman bersamaku." Xiang mengusap tengkuk dengan rikuh. "Sejak menjadi duta Kevin Huo, aku tidak pernah lagi bepergian untuk urusan selain bisnis, jadi aku juga menantikannya, liburan singkat bersama sahabatku."

Xiang bergeser mendekat dengan tatapan memohon dan Ling pikir dadanya akan meledak karena itu. Betapa menggemaskan seperti seekor anak anjing!

"Jadi, maukah?" tanya Xiang lagi. Ling menelan ludah.

"I-Iya ...."

"Apa? Tidak kedengaran."

"Iya." Ling mengeraskan suaranya. "Iya! Aku mau! Aku sangat mau! Kita akan liburan sampai puas, belanja dan mengambil banyak foto! Sangat banyak sampai album foto keluargamu penuh lagi! Sudah, dong, Feng Xiang, jangan menggodaiku terus begini!!!"

Kontan wajah Xiang menjadi cerah, kontras dengan Ling yang menutup muka karena malu berat.

"Benar kau mau? Syukurlah! Bagian mana dari Sanfang Qixiang yang ingin kaukunjungi? Coba kita lihat—ah, jalan-jalannya cantik sekali untuk latar foto! Mereka juga punya toko kerajinan lak, rumah teh, museum seni—"

Mengambil gelas minumannya yang tak sepanas sebelumnya, Ling membiarkan Xiang sibuk sendiri dengan ponselnya, mengoceh ngalor-ngidul tentang rencana perjalanan yang berantakan, berusaha menjejalkan banyak lokasi wisata dalam sekali jalan. Meskipun kacau, Ling tahu Xiang mencoba menyenangkannya sebagai 'tuan rumah'.

"Tidak usah bingung-bingung cari tempat wisata lain. Kita hanya perlu pergi ke Sanfang Qixiang." Memotong ocehan Xiang, Ling menyembunyikan senyum dengan menunduk dan menyeruput tehnya. "Aku tidak perlu pergi ke banyak tempat buat bersenang-senang. Kita pergi bersama saja sudah cukup menyenangkan, kok."

Hening. Beberapa saat dalam keheningan itu menyadarkan Ling bahwa ia telah mengakhiri kalimat dengan cara yang ambigu. Buru-buru ia menoleh dan meralat panik, "M-Maksudku, aku senang pergi ke mana pun asal bersama teman! Teman! Tolong jangan salah paham!"

Xiang menatap Ling dengan tatapan yang sulit diartikan dan Ling rasanya ingin mengubur diri saja.

"Ya, sebagai teman," ulang Xiang lambat-lambat sebelum seulas senyum tipis terkembang di wajahnya. Pipinya merona. "Mulai sekarang, ada baiknya kita pergi jalan-jalan lebih sering ... sebagai sahabat."

Kurang ajar tidak, sih, batin Ling saat menghirup minumannya dengan bunyi yang keras, kalau aku berharap bisa jalan-jalan sama Feng Xiang sebagai lebih dari teman?

***

Sanfang Qixiang, 'Tiga Jalur dan Tujuh Gang', di masa Cina imperial merupakan pemukiman pejabat dan orang-orang kaya. Rumah-rumah besar dengan taman yang cantik, paviliun untuk pertunjukan teater, dan toko-toko tua yang dipugar berpadu dalam sebuah labirin raksasa. Tempat itu memuat sebagian besar sejarah Cina, segala jatuh dan bangunnya, miniatur masa lampau yang nostalgik bagi generasi tua dan atraktif bagi generasi muda.

Ayah Xiang mengatakan bahwa 'di masa susah dulu', ia mesti bekerja sambilan menjadi kurir. Salah satu tantangannya adalah mengantarkan barang ke gang-gang sempit nan suram dari Sanfang Qixiang. Karena itulah, ia dan istrinya terheran-heran melihat setiap celah sempit di sana telah menjadi area preservasi sejarah yang cerah-ceria.

"Lebih baik begini biar aku punya kenangan menyenangkan di Sanfang Qixiang!"

Terinspirasi dari kata-kata ayah Xiang ini, Ling lantas membisikkan sebuah gagasan pada Xiang—yang langsung disetujui. Menggunakan kamera ponsel, Xiang memotret pasangan Feng di tengah salah satu jalan paving, di bawah payung-payung kertas yang digantung menghiasinya, tentunya setelah Ling mengarahkan pasangan itu untuk bergaya.

Tian tak mau kalah menyenangkan orang tuanya. Dibawanya ayah-ibunya ke kompleks toko kerajinan di jalan utama Sanfang Qixiang, Nan Hou Jie. Seni lak Fuzhou yang sudah hampir mati bertahan di sini dalam bentuk terbaiknya—dan Tian tersenyum bangga ketika ibunya menunjukkan ketertarikan pada satu tea set hitam berlapis lak dan lukisan bunga peoni.

"Tapi, seni begini tentu saja datang bersama harga." Ibu Xiang tertawa canggung sebelum berpaling ke produk lain. Ia sangat terbiasa hidup sederhana serta mengorbankan keinginan pribadinya demi keluarga sehingga masih berusaha menahan diri kendati barang mahal yang diingini sudah terjangkau harganya.

"Jangan khawatir!" ujar ayah Xiang pada istrinya, mendahului Tian yang sudah membuka mulut. "A-Tian dan A-Xiang pasti bisa bayar itu!"

Laki-laki ini tidak ada sungkan-sungkannya! Ling menutup mulut untuk menahan tawa yang hampir menyembur. Bukannya di saat seperti ini, seorang dengan penuh kebanggaan akan merogoh kocek sendiri buat menyenangkan pasangan? Ayah Xiang malah merogoh kocek putranya.

"Ayah benar!" Oh, Ling tak pernah melihat Tian semenggebu-gebu itu. Ia akhirnya paham bahwa melalui pernyataan tadi, ayah Xiang sebetulnya berniat melambungkan hati putra bungsunya. "Ibu mau tea set ini? Aku akan membelinya buat Ibu!"

Demikianlah akhirnya ibu Xiang mendapatkan satu tea set bergaya antik yang akan diantarkan dalam dua hari ke rumah.

Ayah Xiang memang belum sanggup membelikan istrinya tea set lak mahal, tetapi ia masih ingat restoran pangsit babi kesukaan sang istri dan sanggup 'kalau cuma membayar lima porsi pangsit'. Ling, Xiang, dan Tian sangat antusias menyambut ide itu, bukan hanya karena lapar, tetapi juga tertarik mengetahui di mana tempat pasangan itu dulu berkencan. Lucunya, sampai di sana, ayah dan ibu Xiang malah pangling dengan tempat makan favorit mereka berhubung tempat itu mengalami banyak renovasi.

Beruntung, meski semula tak mengenali restoran pangsit babi mereka, pasangan Feng teryakinkan oleh atmosfer rumahan restoran itu—yang tak berubah, mau sedekade atau bahkan seabad kemudian. Hanyut dalam suasana dan gurihnya kuah pangsit, Ling tak berhenti tersenyum menyaksikan pasangan Feng bermesraan tanpa tampak norak seperti beberapa anak muda di sekitar. Lagi-lagi, sang peragawati teringat ayah-ibunya, juga ayah-ibu Wei yang sedikit-banyak serupa dengan pasangan di depannya.

Alangkah tenangnya hidup kalau punya pasangan yang bersedia menghadapi berbagai rintangan bersamamu dan bertahan cukup lama untuk mencecap kesuksesan kemudian. Kenapa, ya, laki-laki seperti itu belum hadir juga untukku?

Sekonyong-konyong, Ling melirik Xiang dan teringat kehidupan mereka berdua yang naik-turun sebagai duta Kevin Huo. Terlepas dari singkatnya kerangka waktu itu dibanding kehidupan yang telah dijalani pasangan Feng bersama, bukankah itu cukup mewakili?

Mungkin sadar bahwa dirinya sedang diamati, Xiang mengangkat pandang dari mangkok pangsitnya dan bersitatap dengan Ling. Pria itu bertanya lewat senyum tipis dan alisnya yang terangkat, tetapi Ling malah salah tingkah dan menghindari tatapannya.

Selesai mengisi perut, rombongan Feng bergerak lagi. Berhubung Sanfang Qixiang adalah lokasi historis, pasangan Feng lebih banyak menuntun rombongan menuju tempat-tempat kenangan, juga gang-gang sempit yang bukan tujuan wisata utama di sana. Mereka tak sengaja bertemu teman-teman lama pasangan itu di jalan: para pengusaha wisata yang dulunya pekerja seperti orang tua Xiang. Percakapan-percakapan kecil berujung pada janji temu dan tukar kontak ... tetapi Ling—yang niat aslinya adalah untuk pelesir alih-alih napak tilas—dengan cepat merasa bosan.

Tengah hari, Xiang menawari anggota rombongannya bubble tea, tetapi hanya Ling yang mau. Pasangan Feng dan Tian memang tipe yang sadar kesehatan, tidak seperti Ling yang makan dan minum sesukanya, mungkin akan jadi 'liar' kalau tidak dikekang aturan diet agensi. Ini juga yang mengherankan Ling: Xiang harusnya satu selera dengan keluarganya. Ling pikir pemuda itu akan lebih memilih menawarkan teh oolong dingin daripada minuman tapioka manis berkalori tinggi.

"Zhang Ling, kaubilang semalam tahu bubble tea yang enak di sini? Tunjukkan jalannya."

Ling terbelalak ketika Xiang menggandeng tangannya, lalu menariknya menjauh dari pasangan Feng dan Tian setelah berpamitan. Berdua, mereka menemukan toko yang direkomendasikan, hasil browsing Ling di aplikasi panduan wisata. Dipesanlah segelas bubble tea karamel dan segelas teh krisan dingin tanpa gula.

"Feng Xiang, kita sudah jauh dari manajermu. Mengapa kau masih memesan minuman diet?" Ling memicing; boba-nya terlalu lezat hingga tak bisa mengapresiasi teh krisan Xiang yang hambar. Ia lantas mengarahkan ujung sedotan ke dekat muka Xiang. "Nih, coba. Kujamin kau akan membuang teh krisan itu dan menukarnya dengan ini."

"Kita lihat saja." Tergelitik, Xiang merendahkan wajahnya, tetapi berhenti di tengah-tengah. "Um, kau oke kalau aku minum dari sedotanmu?"

Ah, sialan, ciuman tidak langsung. Mengapa di mata Ling, bibir Xiang agak lebih lembap dari tadi pagi, apalagi dalam jarak begitu dekat?

"Duh, kau bukannya pembawa penyakit menular atau apa." Ling menyentuhkan ujung sedotan ke bibir Xiang. "Minum saja!"

Xiang pun mencicipi minuman bubble tea; bibirnya begitu dekat dengan buku jari Ling yang memegangi sedotan. Ling merasa bodoh karena deg-degan, padahal Xiang cuma minum. Tanpa sadar, ia menahan napas sepanjang Xiang meneguk bubble tea dan mengembuskannya samar begitu pria itu selesai.

"Tidak, terima kasih." Xiang kembali minum teh krisannya. Ling hampir protes, mengira ada yang keliru dengan lidah Xiang, tetapi sang peragawan meneruskan, "Memang enak, jadi buatmu saja."

"Oh." Bisa saja menghindarnya! Ling menyeruput bubble tea dengan ganas untuk menutupi rasa malu.

"Zhang Ling, dari tadi kau cuma ikut saja ke mana pun Ayah-Ibu mengajak, padahal jalan-jalan ini sebenarnya untukmu. Waktu kita tinggal sedikit; mau ke suatu tempat tertentu?"

Ling sejenak tercenung. Apakah menawarkan beli bubble tea yang tidak disukai keluarganya merupakan 'strategi' Xiang agar mereka bisa memisahkan diri dari rombongan utama?

"Kamu bilang," Xiang menoleh pada Ling, "ingin berfoto di beberapa spot yang ada dalam media sosial kawan-kawanmu. Di mana saja itu?" []

Continue Reading

You'll Also Like

139K 6.5K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
JEJAK By Niknik Nuraeni

Mystery / Thriller

369 77 9
Setelah penyebab kematian kakaknya tidak diungkap dengan tuntas, Rara seolah mendapat penggilan untuk menyelidikinya sendiri dengan mengandalkan kema...
49.9K 5.6K 22
Diperbarui setiap tanggal 3, 13, dan 23 Progres: 23 Mei 2023 - 0/20 28 Juli 2023 - 3/20
88.2K 16.3K 36
Sebagian part sudah dihapus Arunika Pramesti Maharani, wanita 40 tahun yang tidak terlihat sesuai usianya ini paling benci lagu Diana Ross, When you...