DAPAT 131 Vote dalam 24 jam, UPDATE LAGI Kamis.
Kalau enggak, ya sampai jumpa Jumat!
Hal pertama yang kurasakan setelah kegelapan pekat adalah aroma antiseptik. Mataku terasa berat ketika kucoba untuk membukanya. Aku mencoba memanggil siapa pun, tapi hanya erangan yang bisa keluar dari mulut. Tiba-tiba tempat aku terbaring bergoyang sedikit dan tanganku terasa direngkuh hangat.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar? Kamu pingsan hampir satu jam." Mas Bram memandang selintas jam yang tergantung di dinding. Nada suaranya sudah lebih lembut dari sebelum aku tak sadarkan diri.
"Ma-af," bisikku lirih. Baru itu yang mampu kuucapkan.
Tiba-tiba kulihat mata Mas Bram berkaca-kaca dan dua bulir kristal bening meluruh jatuh di pipinya.
Akan tetapi, aku belum sempat menanyakan apa yang terjadi tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar. Mas Bram langsung menyeka wajahnya kasar untuk menghapus semua air mata yang sempat jatuh.
Suster masuk bersama dengan seorang dokter muda. Tampaknya masih dokter jaga. Suster langsung memeriksa tekanan darah, laju infus, juga membantuku duduk untuk minum teh manis hangat dengan sedotan.
"Masih mual?" Dokter bertanya sambil memeriksa mata dan dadaku dengan stetoskop.
"Sedikit. Rasanya telinga berdenging kayak naik gunung," balasku pelan. Aku sudah cukup bisa bicara setelah minum air teh manis hangat tadi.
"Tensi Ibu lumayan rendah. Harus banyak makan dan minum vitaminnya, ya, nanti," terangnya lagi.
Aku mengangguk. "Akhir-akhir ini gampang banget capek, Dok," keluhku. Aku tidak boleh sampai sakit.
Dokter itu tersenyum tipis. "Mengenai itu, hasil tes darah lab sudah keluar. Nanti akan saya rujuk ke dokter spesialis untuk pastinya." Dokter muda itu memberikan map ke arah Mas Bram.
Napasku tertahan. Apa aku memiliki penyakit gawat? Apa usiaku tinggal sebentar lagi? Bagaimana dengan Daffa?
"Ada masalah dengan hasil tesnya, Dok?" Mas Bram tampak lebih khawatir daripada diriku saat membuka lembaran hasil lab yang pastinya tidak dia mengerti.
Akan tetapi, senyum yang mengembang di wajah dokter perempuan muda itu membuat perasaanku sedikit lebih tenang.
"Level HCG Bu Raya adalah 23mlU/Ml. Memang nanti harus dipastikan dulu dengan USG. Kalau di atas 25, sudah pasti hamil soalnya."
Mulutku langsung menganga lebar. Aku langsung menoleh ke arah Mas Bram yang membeku tak bergerak.
"Sekarang Ibu istirahat saja dulu. Nanti mungkin Ibu akan dibawa ke klinik atau dokter yang bawa USG portable ke sini. Tergantung bagaimana nantinya." Dokter itu tersenyum lagi. "Namun, InsyaAllah Ibu beneran hamil. Gejala pusing, mual, juga mudah capeknya mulai terlihat."
"Terima kasih, Dok!" Mas Bram membungkuk sedikit. Wajahnya memerah entah karena menahan semua rasa yang kini sepertinya berdesakan untuk dikeluarkan.
Dokter dan suster pun pamit tak lama sesudahnya.
Tiba-tiba Mas Bram meraih kedua tanganku dan meletakkan di dahinya selagi dia duduk di kursi. Tak sedikit pun dia berani mengangkat wajahnya.
"M-mas?" Aku kebingungan dengan eratnya genggaman tangannya itu.
"Ma-Mas sudah sangat jahat padamu, Raya. Astagfirullah!" Aku bisa mendengar kalau nadanya merintih. "Mas, nggak mikirin kebahagiaanmu sama sekali. Mas egois!"
Aku tak mampu berkata apa-apa. Padahal, aku yang salah sudah diam-diam berdagang tanpa izinnya, kenapa sekarang justru Mas Bram yang meminta maaf?
"Mami memarahiku habis-habisan saat menyetir ke sini." Akhirnya Mas Bram mengangkat kepalanya. "Mami bilang, kamu stres karena Daffa tidak bisa sekolah di TK yang bagus karena Laura. Sejak berdagang, kamu terlihat jauh lebih bahagia. Mas sama sekali nggak menyadari itu. Mas sibuk meninggikan ego bahwa Mas bisa menafkahimu tanpa bantuan. Namun, itu justru membuatmu stres hingga pingsan."
"Aku bukan stres, aku cuma kecapean karena hamil." Aku berusaha membantah kekhawatirannya.
"Mas nggak bisa kamu bohongi, Raya." Pandangannya melembut sekaligus berduka. "Ekspresimu sebelum pingsan mengingatkanku saat Adnan datang ke pernikahan kita dulu. Dan kini, Mas lah penyebab ketakutan itu. Mas sungguh-sungguh menyesal."
Kali ini aku hanya bisa menarik napas perlahan. "Kalau Mas nggak rida, Raya akan menutup bisnis ini. Tiga bulan terakhir, meski omzet Raya bagus, tapi hati ini nggak tenang, Mas. Sungguh, berbisnis dengan rida suami memang yang terbaik."
Tiba-tiba Mas Bram bangkit dan merengkuh erat tubuhku.
"Kamu nggak usah cemas. Mas justru akan mendukungmu. Perlu kusewakan rumah untuk tokomu? Tapi nanti kamu kecapaian nggak?"
Aku tertawa dalam dekapannya. "Enggak usah, Mas. Karena Raya hamil, Raya akan mengurangi promosi dan lain-lain yang membebani tubuh. Jadi, tidak perlu sewa rumah. Kalau boleh, Raya minta tukar kamar ke kamar tamu. Supaya tidak naik turun tangga."
"Deal!" Mas Bram langsung menyetujui. "Mas nggak ingin bayi kita sampai kenapa-kenapa. Namun, Mas lebih nggak ingin kamu yang kenapa-kenapa." Dibelainya pipiku lembut. "Kamu mau memaafkan Mas?"
Kecupan lembut di bibir pun menjadi jawaban. Mas Bram menangkup wajahku dan membalas kecupan ringanku dengan lebih bersemangat dan dalam. Seolah kerinduannya sudah memuncak akibat rasa bersalah.
"Bram, katanya Raya udah bangun. Jadi Mami...."
Aku dan Mas Bram langsung sama-sama menarik diri ketika mendadak Mami muncul dari balik gorden yang tertutup.
"Maaf, Mami ganggu, tapi ini di rumah sakit. Tolong ciumannya di rumah aja." Mami memukul punggung Bram sambil melotot. "Istri lagi sakit masih aja digarap!"
"Eh, bukan, Mi. Tadi, Raya yang nyium duluan," belaku yang mendapat senyum tipis dari Mas Bram.
"Lagian, kenapa juga pakai ciuman di sini. Malu dong kalau ketahuan suster!"
"So-soalnya..." Wajahku memanas. "Raya kemungkinan besar hamil, Mi. Tinggal tunggu dokter spesialis datang sore nanti buat USG."
"MASYAALLAAAAH!!!" Mami langsung berseru dan memelukku erat sambil tertawa. "Alhamdulillaaaaah! Doa Mami akhirnya terkabul setelah tiga tahun!"
Aku hanya menyengir kalau mengingat Mas Bram lah yang justru tak ingin aku hamil lebih cepat.
"Oh iya, Mi. Apa Mas Reza harus diberi tahu soal kehamilan Raya?" Mas Bram sekoyong-koyong menanyakan sesuatu yang membuatku terkejut.
Mami tak menjawab untuk beberapa saat. "Namun, kalau nggak dikasih tahu pun, lama-lama, dia akan tahu, kan?"
"Memang kenapa?" Aku bertanya bingung.
"Mas Reza amat sangat ingin punya anak. Rasanya Mas sedikit nggak tega menyampaikan kabar ini padanya."
Aku mengangguk maklum. "Akan tetapi, kalau nanti Mas Reza tahunya telat, bisa jadi Mas Reza merasa tidak dianggap saudara karena berita sebesar ini tidak dikabarkan. Raya malah merasa efek buruknya jauh lebih banyak jika dirahasiakan."
Mami mengangguk setuju. "Mami rasa juga begitu."
"Baiklah kalau memang itu yang dirasa paling baik." Mas Bram pun mengangguk.
Saat itu aku belum sadar, bahwa keputusanku akan membawa semua kekacauan di rumah beberapa bulan ke depan.
Maaf, ternyata ini udah di DRAFT lupa di publish wakakakaka
Di Joylada udah bab 62, ya!
Shirei bener-bener oleng.
Btw, Shirei nonton ini :
ya Allah, ga ada subs aja aku bisa nangis kejer. Gimana ada subs. Wakakak HAPPY END PADAHAL, tapi nangis mulu. Wakakakak
Ada yang pernah tahu fandom ini?
Kepengin nulis cerita kayak gini. Simple, ga ada konflik yang WOW banget. Daily life seorang dokter, tapi bener-bener DALEM di setiap episodenya.
Aduh.... bisa nggak ya kalau bahasnya bukan dokter......
Mikir dulu....
Btw.... Ditunggu vote-nya atau sampai jumpa tahun 2024 InsyaAllah