JAUHAR 1980

By MacaroneGosong

125 6 0

WARNING!! Cerita ini fiksi semata, jika tidak menyukai gendre yang diangkat, silakan meninggalkan lapak ini. More

Karakter
Perjodohan Keluarga Atmojo

Bandung 1973

22 1 0
By MacaroneGosong

Derap langkah yang samar-samar, nyaris tidak terdengar. Entah langkah siapa yang hilir mudik saat itu. Seorang laki-laki tersungkur keras ketika hendak meraih anak balita yang menangis di pojok sana. 

Suara teriakan histeris di luar lebih terdengar nyaring di bandingkan teriakan seseorang yang memintanya segera keluar dari ruangan itu. Laki-laki itu menatap semua atap dengan fokus yang semakin kacau.

"Mereka semua tidak berdosa!!!"

"Kenapa kalian membunuh mereka!!"

"Kalian pembunuh!"

"Dokter, semua terbakar.."

"Dokter,, anda membunuh mereka semua!"

"kami melaporkan terkait tragedi 1980, saat ini team kepolisian dengan pemadam kebakaran.." 

...

"Permisi, Pak?" 

"Tidak!!" 

"Tidak!!"

"Bukan saya!!"

"Hah??!"

Jauhar berteriak histeris, ia terperanjat dari tempatnya tertidur. Napasnya masih tersengal saat ia melihat ke luar jendela. Jauhar tersenyum seraya mengangkat tangannya pada pramugari kereta yang baru saja membangunkannya dari mimpi buruk. 

"Saya tidak apa-apa, maafkan saya karena sudah membuat keributan di kereta ini," ucapnya. Ia sedikit menunduk sebagai tanda permintaan maafnya.

"Ah, Tidak masalah pak, saya hanya sedikit khawatir saat melihat bapak mengigau sedari tadi, maaf sebelumnya jika saya mengganggu tidur bapak." Mendengar ucapan pramugari tersebut, Jauhar mengangguk.

Ini bukan pertama kalinya Jauhar memimpikan kejadian yang sama. Biasanya, laki-laki itu hanya bermimpi sekitar tahun dan bulan yang sama. Namun, sejak satu tahun terakhir Jauhar sering bermimpi di Tahun 1980.

"Rasanya saya seperti sedang berperang dalam neraka ketika mimpi itu kembali," ujarnya.

"Betapa mengerikannya mimpi saya, sehingga saya berharap bisa segera terbangun tanpa berharap tertidur kembali."

"Bahkan, saya sangat takut setiap kali saya tertidur. Bukan karena saya percaya pada setiap mimpi saya. Tapi setiap saya tertidur, seakan saya sedang membuka banyak musibah untuk waktu yang akan datang."  Jauhar tidak pernah tahu asal-usul mengapa dirinya bisa bermimpi hal-hal aneh dalam hidupnya. Sejak usia 7 tahun, setiap kejadian yang dia mimpikan selalu menjadi kenyataan. Salah satunya tragedi kematian Raden Mas Cahyo, Ayahanda Atmojo bersaudara ketika Jauhar berusia 17 tahun.

Memilih untuk tidak mempedulikan mimpinya kali ini, Jauhar mengeluarkan buku catatan kecil beserta penanya dari dalam tas. Ia berniat menuliskan surat untuk perempuan itu. Perempuan yang menjadi alasan mengapa dirinya berada di kereta saat ini.

Saya menulis surat ini untuk di kirimkan kepada Adinda Airizia De Van Houthler ketika saya sudah berada di Bandung. 

Saya ingin mengatakan melalui surat ini, bahwasannya saya sudah menerima ribuan surat yang adinda tuliskan untuk saya dan saat surat ini berada di tangan adinda, saya sudah berada di Kota Bandung. 

Salam hormat

Raden Mas Jauhar Kanda Atmojo.

Setelah menghabiskan waktu dua bulan lamanya untuk mempertimbangkan perkataan Kang Mas Raka, Jauhar akhirnya membulatkan niatnya untuk pergi menemui Airizia. Meskipun, Jauhar tidak tahu pasti tujuannya bertemu dengan Airizia untuk apa.

"Nak, temui saja dulu. Ini adalah permintaan dari ibumu."  Sebenarnya, perkataan Bi Ningrum lah yang meyakinkan niat Jauhar untuk pergi ke Bandung malam itu. Andai Bi Ningrum tidak bercerita soal keinginan Ibu Nayumi, mungkin saja keras kepalanya Jauhar tidak akan pernah bisa di kalahkan.

"Nyonya Nayumi adalah sahabat dari Ibunda Nona Airizia. Ketika tragedi yang mengancam nyawa keturunan jepang saat itu, Nyonya Laurenz Van yang menyelamatkan nyawa Nyonya Nayumi. Mungkin karena hutang nyawa itu lah, ibu mu menjodohkanmu dengan Nona Airizia agar kamu bisa melindungi keturunan dari Nyonya Laurenz Van, ibu dari Nona Airizia.

Perempuan itu, Jauhar sama sekali tidak mengetahui siapa dia selain seorang putri bangsawan keturunan Belanda yang tinggal di keluarga perwira di Kota Bandung.

Ayahnya yang seorang perwira berdarahkan Bangsawan Jawa dan ibunya putri dari seorang Panglima Tentara Belanda.  Bahkan, sejarah bisa mencatat bahwa Airizia adalah perempuan yang sangat disegani di Kota Bandung pada masa itu. Hanya saja, selain informasi itu Jauhar benar-benar tidak mengenal siapa Airizia.

"Jauhar?" laki-laki itu menoleh saat Mas Brama menepuk pundaknya. 

"Ada apa, Mas?" tanyanya. Kali ini dengan bahasa isyarat. Kita semua tidak bisa menghilangkan fakta jika putra kedua Raden Mas Cahyo  dan anak laki-laki kedua dari Atmojo bersuadara adalah seorang tunarungu.

"Apa yang kamu pikirkan? apa kamu ragu untuk bertemu dengan perempuan itu?" 

Jauhar tersenyum, ia menggelengkan kepala.

"Tentu tidak, Mas! katanya perempuan itu adalah perempuan tercantik di zaman ini, jelas saya tidak ragu bertemu dia," balasnya. Mas Brama tersenyum, ia kembali menggerakan tangannya. Jauhar berkali-kali mengakui jika suara yang Mas Brama ciptakan melalui gerakan jarinya adalah suara terindah yang pernah Jauhar dengar.

"Syukurlah, jangan terlalu banyak berpikir! kita akan segera sampai di Stasiun Bandung!" katanya. Meskipun tidak terdengar, namun Jauhar tahu jelas bagaimana suaranya.

Jauhar mengangguk disusul senyuman indah dan sorot mata teduh dari Mas Brama.

Meskipun Kang Mas keduanya adalah seorang yang dilahirkan tidak sempurna, namun  Mas Brama adalah laki-laki tercerdas di keluara Atmojo. Katanya demi katanya, Mas Brama ketiplek dari Alm Bapak. Ketika remaja, bapak adalah pria yang paling disanjung karena kecerdasannya. Ia juga mampu lulus dari Universitas terbaik yang berada di Amerika Serikat kurang dari 4 tahun dengan nilai paling tinggi diantara rekan satu angkatannya. Dan saat ini, Mas Brama pun berhasil lulus sebagai mahasiswa terbaik di Universitas tunarungu Amerika Serikat.

"Saya boleh memiliki banyak kekurangan, dunia boleh mengheningkan kehidupan saya, tapi dalam hidup ini saya harus meraih satu keberhasilan untuk memberikan banyak perubahan," ucap Mas Brama pada media tahun 1971 yang lalu saat di wawancarai. 

Hari itu, tentu Jauhar ada di samping Mas Brama. Percaya tidak percaya, hanya Jauhar yang mengerti bahasa isyarat. Sehingga setiap kali Mas Brama di undang media, Jauhar selalu menemaninya sebagai seorang penerjemah.

"Arizia, saya sudah sampai." Tulisnya. Ia tersenyum, melipat kertas yang akan segera di kirimkan ke kediaman Perwira Djodjohardjo atau kediaman Ayah Airizia, wanita yang akan di lamarnya.

***

Bandung, 1973. Kediaman Perwira Tinggi Djodjohardjo Hardi kusumo

"Plak!"

"Nonaaa!!"

"Plak!!!"

"Curang! curang! kalian lihat, Nona Airizia main curang!"

"Mulutmu mau aku cubit lagi hah?"  teriak Airizia. Ia bersedekap angkuh di hadapan dua pelayannya saat dirinya kembali memenangkan permainan kartu domino.

"HAHAHA." 

Gelak tawa Airizia yang nyaring sore itu benar-benar menggelegarkan seisi halaman belakang Rumah Perwira Djodjoharjo. Lupakan soal fakta dari luar kediaman Djodjohardjo yang menobatkan Raden Ajeng Airizia sebagai perempuan paling anggun pada masa itu. Tidak semua orang tahu sisi lain dari putri Perwira tinggi Djodjohardjo tersebut. 

"Nonaaa kembalikan uang ku!" ucap salah satu pelayan, namanya Sri Ratih. Airizia menyeringai dengan muka di penuhi coretan kapur.

"Sekarang ini uangku! kamu sudah kalah Ratih!" balasnya. Ia tersenyum licik. Dua pelayannya Ratih dan Siti mendengus kesal. Meskipun keduanya tahu akan kalah telak oleh Nona Airizia, mereka masih saja berani taruhan. Alasannya Klise  jika tidak menuruti keinginan Nona Airizia, putri bungsu Pak Djodjohardjo itu akan memusuhi mereka berhari-hari.

"Nona lihat deh!" sorot mata Airizia seolah tanggap merespon ucapan dari Sri Ratih. Perempuan berusia 22 tahun di hadapannya membuka selebaran koran. Airizia melirik kearah koran yang di tangan Ratih.

"Bukankah para pria ini sangat tampan?" tanyanya. Airizia tersenyum.

"Apa matamu hanya di ciptakan untuk melihat laki-laki Ratih?"

"Tapi Nona, laki-laki ini tampan bukan? lihat otot-ototnya."

"Sini kamu!"

"Sakit sakit nona..sakit!" teriakan spontannya bisa terdengar saat  Airizia menarik daun telinga Sri Ratih. Kedekatan Airizia dengan para pembantu dan tukang kebun di Rumah Djodjohardjo memang sudah menjadi sesuatu yang umum. Bahkan, Airizia sangat dekat dengan para pedagang sayur dan pedagang ikan di pasar atau para pengemis serta para bandit. Mereka semua benar-benar menghormati Airizia daripada Kakak tirinya, Raden Ajeng Arthalya yang sama sekali enggan bersosialisasi.

"Nona ada surat."

Alih-alih melanjutkan candaannya pada Ratih, Airizia menoleh cepat ketika Kang Sumitra, tukang kebun di rumahnya berlari membawa sepucuk surat.

"Dari siapa, Kang?" anggap saja kepribadian Airizia seketika berubah dalam persekian detik saat Kang Sumitra menyerahkan surat yang ia bawa.

"Dari Raden Mas Jauhar."

Airizia menutup kembali surat yang hampir ia buka saat mendengar nama Jauhar. Raut wajahnya berubah persekian derajat saat nama yang paling ia hindari terdengar daun telinganya. 

"Kembalikan saja suratnya!" ucapnya. Kang Sumitra menghela napas, ia melanjutkan ucapannya dengan berat hati, "tapi Raden Mas Jauhar sudah ada di gerbang rumah."

"Apa???"

Perempuan itu segera membuka sepucuk surat yang di kirimkan Jauhar. Helaan napanya terdengar berat sesaat setelah membaca isi suratnya. Ia mendengus kesal.

"Dasar bajingan gila!" hardiknya. Bahkan, tidak pernah terpikir sama sekali oleh Siti dan Ratih kata -kata keramat Nona mereka keluar kembali dari mulutnya.


Continue Reading

You'll Also Like

979K 22.3K 48
Luciana Roman was blamed for her mother's death at the age of four by her family. She was called a murderer until she was shipped onto a plane for Ne...
4.4M 245K 188
Now available in paperback on Amazon! Though the last chapter is read that doesn't mean the story is over. One shots for A Secret Service including...
501K 14.5K 53
what happened when the biggest mafia in the world hid his real identity and married an innocent, sweet girl?
38.6K 2.7K 23
|ongoing| Ivana grew up alone. She was alone since the day she was born and she was sure she would also die alone. Without anyone by her side she str...