Cerpen 3 Tema: A Long Journey

By flc_writers

1.3K 136 87

Buku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerp... More

『 Tema ke-1 』
01. Kalau Enggak Ada Aim, Enggak Mungkin Ada Cinta
02. Sky River Alliance
04. Pancaka
『 Tema ke-2 』
01. Pesta Ini Bukan Untukmu
『 Tema ke-3 』
01. Halunatic
02. PERTEMUAN
03. Berkabung
04. Nanti Kita Bertemu di Sana
05. Sukulen vs. Zombi
06. What If Lex Luthor Was My Father
『 Tema ke-4 』
01. my life and my hope
02. Harapan Kecil yang Konyol
03. Damai.
04. I.l.
『 Tema ke-5 』
01. The Demons in the Great Hall
02. juvita to jupiter.
03. Mencari Jupiter
04. Sepasang Cincin Karna Jupiter
05. Nujum House
『 Tema ke-6 』
01. Payung Putih
02. Mie
03. Kutunggu Dirimu di Halte
[ March 2024 ] 🏆 Pemenang Vote Cerpen!
『 Tema ke-7 』
『 Tema ke-8 』
『 Tema ke-9 』

03. Dicari: semua anggota winter young kecuali rio

50 6 10
By flc_writers

Keringat mengucur di dahiku dan teman-temanku. Napas kami tidak teratur seperti baru saja berlari marathon berkilo-kilo meter yang padahal kami cuma diam di satu tempat saja, sambil menggerakkan jari atau tangan sesuai alat yang kami pegang.

Entah berapa orang di depanku yang berteriak dan menjerit; kebanyakan perempuan. Padahal bagiku ini seperti lagu untuk laki-laki meskipun bukan genre rock atau metal.

Aku mengedarkan pandang ke posisi paling depan yang lebih banyak mengerahkan suaranya dibanding tangannya. Dia yang paling percaya diri di antara kami berlima.

Selanjutnya ke posisi paling belakang. Entah kenapa dia tidak terlihat berkeringat walau suara hentakan drumnya agak memekakkan telingaku. Dia yang paling (anak laki-laki tidak mengatakan ini kepada sesamanya) kau tahu, memiliki wajah yang lebih.

Tak jauh di depannya ada orang paling misterius di dunia. Dia memegang alat musik tekan. Aku bahkan ragu dia penduduk asli planet ini atau kiriman dari Saturnus.

Terakhir agak jauh di sampingku namun sejajar dan alat yang kami pegang pun mirip, dia dulu temanku. Masa lalu yang sangat ingin kami lupakan.

Lalu aku sendiri, aku hanya memainkan gitar. Inginnya tambah masker karena kerap kali aku mengalami demam panggung. Tapi Junio selalu melarangku sambil marah-marah.

Dan momen ini, momen yang kupikir aku tak akan pernah bisa menggapainya sebab katanya ini tidak baik untukku, aku merasakan jantungku berdebar-debar hebat lebih-lebih dari sekadar bertemu pujaan hati.

Aku... impianku... benar-benar tercapai.

Tapi dengan cara curang.

"Bagaimana, performance terakhir kalian?" Manajer kami yang 'cantik' dan 'baik hati' tidak membiarkan kami mengangkat botol minum sedikit pun. Dia orangnya agak pemarah, mengharuskan salah satu dari kami mengalah dan menjawab pertanyaannya.

"Bentar, ah." Junio tetap menengguk minumannya yang disiapkan Winter.

"Keren." Aku yang menjawab, dan langsung menghasilkan tatapan semua personil. "Apa?"

Junio memandangku aneh. "Harusnya penonton yang mengatakan itu."

"Aku kan menonton juga."

"Fokus pada permainan gitar bodohmu saja." Junio kembali menengguk minum.

Winter tertawa. "Iya, iya. Rio memang yang paling menikmati penampilan ini."

Aku setuju dan sedikit berbangga diri.

"Oke, setelah ini aku traktir, ya. Pakai uangnya Junio."

Semua orang langsung bersorak kecuali yang namanya disebutkan barusan.

Dan sebelum dia mengeluarkan protes, manajer kami sudah menyahut duluan, "Sudahlah, kau yang paling kaya di antara kita, Jun."

Di restoran all you can eat, kami menempati ruangan privasi. Aku duduk di sisi paling kiri dekat pintu, di samping Winter. Perempuan itu selalu mengambil tempat paling tengah.

Setelah bersulang dengan soda dan jus jeruk sambil menyerukan sorakan tidak jelas, kami menenggak minuman yang lebih segar dan nikmat dibanding botol minum di bawah panggung tadi.

Ini bukan pertama kalinya, tapi aku selalu merasa seperti baru saja menyantap minuman dari surga. Meskipun aku bukan berasal dari keluarga miskin atau pun kaya, bagiku pesta makan besar seperti ini bagaikan mimpi. Sekali lagi aku memandang satu-satu kepada teman-teman bandku.

Namun dalam situasi berbahagia seperti ini pun, mereka masih saja bisu seakan di-mute oleh sutradara drama.

Aku mengetuk meja dua kali. "Hei, hei. Apa tidak ada yang ingin mengatakan sesuatu?"

Tadi itu konser terakhir kami, lho. Apa tidak ada yang ingin menyampaikan kata-kata puitis?

Yang melirikku hanyalah Degi. Aku tahu di sini dia yang paling setia kawan, apalagi terhadapku.

"Apa? Mau menjual cerita sedih masing-masing?" Seperti biasa omongan Junio selalu pedas sampai menyentuh level lima. "Aku tidak punya cerita sedih apa-apa. Kalian saja yang bercerita." Dia membenturkan gelas ke permukaan meja.

"Bukannya kau dulu pernah ditindas seisi sekolah?"

Junio beranjak dari duduk lesehannya dan langsung menyambar Degi di seberang meja. "Jangan ngawur, B*jingan!"

Ah, kata-kata kasarnya keluar lagi.

Aku berdeham tak berdosa. "Lihat dirimu di cermin, Degi."

"Sama-sama pernah ditindas tidak usah bangga." Manajer menengahi. "Kalian di sini bisa diteriaki banyak cewek dan makan enak gini tuh gara-gara aku. Kalau tidak kalian semua pasti sudah punya batu nisan sendiri-sendiri."

Beberapa detik hening, Andra tiba-tiba menyuruh menyalakan lampu.

Dan aku yang pertama dilirik Winter.

"Apa?" Aku bicara keras.

"Enak kan, bisa main gitar sepuasnya tanpa dicambuk ayah?"

....

Setelah hampir satu tahun identitas masing-masing dirahasiakan oleh diri sendiri, malah oleh si manajer semuanya dibongkar.

"Enak kan, bisa nyanyi sepuasnya tanpa menjatuhkan harga dirimu yang setinggi Burj Khalifa itu?"

Junio pura-pura memakan daging yang masih mentah.

"Enak kan, bisa menyalurkan hobi bermusikmu tanpa pusing harus gabung band mana?"

Firas, tidak bereaksi apa-apa.

"Enak kan, bisa punya banyak kegiatan dan tidak keseringan melamun, huh?"

Degi malah melirikku.

"Enak kan, bisa memedulikan hal lain tanpa menyalahkan diri sendiri atas kematian bidadarimu itu?"

Andra tampak kaget luar biasa.

Aku berteriak tak sabaran. "Sudahlah, makan saja!"

"Kau sendiri yang menyuruhku bercerita."

"Aku tidak spesifik menyebut-mu."

Winter melempar daging yang masih dipanggang ke wajahku. Mukaku langsung terasa kotor dan panas.

"Hei!"

"Salah sendiri, siksable."

Tapi benar. Walaupun perempuan ini kadar menyebalkannya di atas rata-rata, memang dialah penyebab kami berada di dunia ini. Masih dunia yang sama tempat kami berpijak. Namun perbedaannya adalah kehadiran band ternama kesukaan gadis-gadis bernama Winter Young dan usia kami berlima yang tersisa... satu minggu.

Aku tidak ingin ini berakhir.

Sehabis party, kami masuk ke mobil yang telah diparkir di wilayah khusus karyawan. Katanya restoran ini memang sering kedatangan artis-artis, dan sebagai imbalannya mereka harus berfoto bersama para pegawai. Aku masih saja asing dengan identitas artis itu.

"Kak Rio, pengen foto bareng." Dua perempuan berpakaian pelayan mendekatiku malu-malu sambil menggenggam erat-erat ponselnya.

Aku tersenyum saja.

Keluar dari restoran, segera aku memakai masker beserta topi yang sama-sama berwarna hitam. Aku yang terakhir masuk ke mobil. Tapi sebelum itu aku ditabrak oleh seseorang yang berlari kencang menujuku hingga menyebabkanku terjatuh ke aspal.

"Akhirnya aku bertemu denganmu!"

Tumben aku yang diserang.

Aku sudah akan kehabisan napas tapi Andra dan Junio turun dari dalam mobil, menyingkirkan perempuan itu dari atas tubuhku. Perempuan gila memang harus ditangani oleh dua orang sekaligus.

Mengetahui dirinya terlepas dariku, dia lalu menengok ke kiri dan kanan, lantas menyadari masing-masing lengannya dipegang oleh dua personil Winter Young lainnya.

Dia pun menjerit heboh.

Sudah seperti boygroup Korea saja. Padahal kami hanya anggota band rendahan.

"Kenapa kau turun?" Junio membentak Andra.

Andra mengerjap. "Aku bertindak sesuai insting."

Terima kasih untuk kalian berdua. Lain waktu aku akan mentraktir kalian di restoran yang lebih mahal lagi tanpa Firas dan Degi, apalagi Winter.

Setelah kasus berhasil ditangani dan kami telah benar-benar berada di mobil, aku mulai mempertanyakan bagaimana cara perempuan ini mempertahankan keselamatan anggota bandnya. Semakin ke sini tindakan penggemar semakin anarki.

"Biar hemat anggaran." Dia santai sekali mengemudikan mobil, tanpa sopir yang repot-repot dia pekerjakan.

Dia ini pelit, ya?

"Lagi pula ini cuma setahun. Kalian tidak perlu merasa seluar biasa itu sampai harus dikawal bodyguard segala. Kalian ini kan laki-laki."

Memang benar. Tapi tidak perlu diungkit sampai terdengar menyedihkan juga dong.

"Degi dan Firas. Lain kali harus berani turun gunung, ya."

Kami semua saling memandang di jok tengah dan belakang. Masalahnya tidak ada lagi 'lain kali' bagi para calon mati ini.

"Omong-omong, apa tidak ada yang mau duduk di sebelahku? Aku benar-benar terlihat seperti sopir."

Tidak ada yang beranjak sedikit pun dari kursinya.

"Dasar anak-anak nakal." Winter menghela napas.

"Kita mau ke mana?" Aku bertanya sehabis menyadari jalan yang kami lewati tidak mengarah ke apartemen.

"Pantai."

Aku memekik kaget. "Capek-capek begini ke pantai?"

"Sudahlah," Junio menepuk kepalaku. "Jangan jadi anak no life terus."

Itu di kehidupanku yang sebelumnya. Ah, sudahlah.

Lalu di pertengahan perjalanan pun akhirnya aku tersadar.

Ini saat-saat terakhir momen kebersamaan kami. Dan tempat paling berkesan untuk dihabiskan di masa-masa terindah hidupmu adalah pantai.

Winter telah menyewa dua vila untuk kami berlima dan dirinya seorang diri. Vila dekat pantai. Anginnya bertiup kencang dan langit sorenya membuat hatiku damai.

Tapi tetap saja aku, Junio, Degi, Firas, dan Andra tepar begitu menginjakkan kaki di lantai dingin vila. Kami bahkan langsung tiduran di ubin kosong ruang televisi, saling menindih tanpa melayangkan protes. Kami sama sekali tidak dibiarkan istirahat.

Namun ponselku segera berbunyi. Aku melihat notifikasi grup band beserta si manajer di dalamnya. Katanya, "Ke pantainya besok. Malam ini kalian tidur saja."

Dan begitulah hari yang melelahkan itu berakhir.

Bangun-bangun besok paginya, aku mendapati diriku masih berbaring di lantai seorang diri sementara yang lainnya sudah sibuk menata makanan di meja makan.

"Kenapa tidak ada yang membangunkanku?" Aku bangun dengan heboh.

Firas yang mendengar suaraku lalu menjawab, "Kau tidur seperti koala kehabisan napas."

Aku mengerutkan kening dalam-dalam.

Kami pun menyarap bersama ketika si manajer band tahu-tahu membuka pintu vila tanpa mengetuk dulu.

"Kau yang tidak bisa masak, kami yang direpotkan," kata Junio.

"Kalian semua kan budak-budakku."

Kami semua kecuali Degi dan Andra seketika menjauhkan piring kami masing-masing. Winter langsung sumringah ke arah mereka berdua. "Untung di sini masih ada orang baik."

"Makan punyaku saja." Aku mendorong jatah sarapanku padanya, kemudian beranjak. 

Disusul Andra, Degi, Junio, terakhir Firas. Perempuan itu lalu berteriak marah di tengah tertawaan kami.

Di pantai, aku memeluk lutut menghadap laut di sebelah Degi yang meluruskan kaki.

"Kenapa kau ingin bunuh diri?" Aku bertanya tanpa basa-basi. Aku sudah sedikit bisa memperkirakan jawabannya, tapi aku memutuskan tetap bertanya.

Degi benar-benar merasa malu dengan masa lalunya yang terus-menerus ditindas.

"Bosan saja."

Apa?

"Tidak ada tujuan hidup. Dan penawaran Winter terdengar lumayan menarik."

Aku menatap sisi wajahnya beberapa saat. "Walau seluruh hidupmu harus dikorbankan?"

"Masa nanti juga akan begini-begini saja. Aku malas berjuang untuk sesuatu yang tidak benar-benar kuinginkan."

"Bohong."

Degi tersenyum sebelah. "Artinya kau belum benar-benar mengenalku."

Memang iya. Kami hanya satu sekolah saat SD. Lalu bertemu di universe ciptaan Winter ini. Aku bahkan terkejut melihat Degi di ruang latihan Winter Young. Dia bisa bermain musik? Pikirku saat itu.

"Kau sendiri, Rio?"

"Benci keluarga."

"Disuruh masuk kedokteran?"

Aku terkejut dengan ketepatannya. "Kok tahu?"

"Alasan klise."

Apalagi aku terlihat seperti orang yang pandai dalam pelajaran, ya?

"Kau ingin melupakan masa lalu?" Aku lanjut bertanya.

Degi tampak kesal. "Kenapa kau terus mengungkitnya, sih?"

"Maafkan aku." Mataku mulai memerah. "Aku... harusnya aku bisa meminta bantuan. Aku tidak mampu menyuarakan luka-lukaku bahkan yang terlihat oleh mata telanjang sekali pun. Aku...."

"Terlalu banyak menangis." Degi menarik leherku ke bahunya, dan aku menangis seperti perkataannya yang tidak pernah salah.

Dulu, kami berteman. Dan sekarang kami bertemu lagi berkat seorang perempuan menyebalkan yang entah dari mana asal-usulnya. Lain waktu kurasa aku harus lebih memerhatikannya.

Cekrek!

Aku menarik kepalaku kembali.

Orang yang baru saja kubicarakan kembali hadir membawa serta sikap usilnya. Dia mengibas-ngibas foto polaroid yang keluar dari kamera tersebut. "Wah, ini akan menjadi oleh-oleh yang menyenangkan untuk kusimpan nanti."

Tidak jadi. Aku tidak akan pernah mau memerhatikan dia.

Teman-teman lain mulai bermain air termasuk Degi yang tiba-tiba beranjak. Pakaian mereka basah dan mereka tampak bahagia sekali. Apa air laut memang mengandung unsur kebahagiaan bagi umat manusia?

Omong-omong meski tadi kubilang waktu kami hidup tersisa satu minggu, sebenarnya jatah keseluruhannya adalah satu tahun.

Bulan pertama, kami masih bingung dengan keadaan sekitar. Bulan kedua, kami berkenalan satu sama lain. Bulan ketiga sampai kelima, kami fokus latihan band sambil memainkan beberapa lagu. Bulan keenam sampai kedua belas, kami sibuk dengan konser dan latihan-latihan lagi. Dan... konser terakhir Winter Young pun baru saja selesai hari kemarin tanpa ada satu penonton pun yang tahu bahwa kami akan menghilang. Di dunia yang mana pun itu.

Selama hampir satu tahun ini pun, kami tidak mengungkit masa lalu atau kehidupan sebenarnya kami masing-masing. Yang kami lakukan hanya menjalankan tugas sebagai anggota band dan remaja-remaja laki-laki yang bermain di sisa terakhir masa hidupnya.

Tidak ada yang berusaha mengulik... selain yang aku tanyakan barusan kepada Degi.

Lagi pula lusa nanti kami akan mati.

Semua ini akan berakhir.

Senyuman itu akan berakhir.

Tapi setidaknya... kami pernah merasa bahagia.

Ucapanku lalu terbukti bohong saat Andra berteriak Winter menghilang. Aku tidak tahu waktu telah berjalan berapa lama sampai aku menyadari pakaian basah mereka telah setengah kering.

Degi telah mengecek ke vilanya maupun vila kami tetapi kosong. Di sekitaran situ pun setelah bertanya ke penduduk sekitar, tak ada yang melihat sesosok perempuan berusia dua puluhan yang berjalan-jalan.

Mereka semua mulai menunjukkan raut panik, kecuali Firas. Karena sampai pukul sepuluh malam pun, manajer kami itu tak kunjung pulang ke rumah kami.

"Siapa yang terakhir kali lihat dia?" Junio bertindak sebagai pemimpin.

Aku dan Degi menyahut berbarengan, berkata perempuan itu memotret kami menggunakan kamera polaroid.

"Tidak bertengkar?"

"Tidaklah." Hanya aku yang menjawab.

Junio tampak frustrasi. "Pergi ke mana sih, dia. Mana ponselnya pun tidak dia bawa."

Winter pernah berkata kepada kami. Winter Young berarti musim dingin yang terjadi ketika kami menginjak usia remaja. Musim yang dingin, seperti kehidupan remaja kami tanpa sumber kehangatan dari mana pun.

Dia juga sempat bercanda Winter Young berarti dirinya yang akan selalu terlihat muda. Memang manajer mana lagi yang menjadikan nama dirinya sebagai nama band asuhannya? Bahkan aku yakin Winter bukan nama aslinya.

Karena belum genap 24 jam dan kami sudah lelah, aku, Degi, dan Andra tidur duluan setelah memenangkan hompimpa. Nanti pukul tiga dini hari giliran mereka berdua yang tidur dan kami berjaga. Kali saja Winter pulang.

Aku jadi tidak enak hati sempat berpikiran buruk tentangnya.

Sungguh, aku tidak membenci Winter. Tidak mungkin.

Dia yang menyelamatkan hidupku....

Masuk ke kamarku dan Firas, aku bingung mendapati sebuah foto polaroid di atas tempat tidurku. Namun dari kejauhan terlihat tidak asing.

Tidak, bukan. Itu bukan foto punggungku dan Degi. Tetapi kami berlima yang terlihat dari kejauhan dengan background pantai. Saat iseng membalik fotonya, mataku membulat besar-besar.

Tahu tidak, siapa anggota Winter Young yang paling aku suka? Rio.

Ini apa....

Ketika itu, ketika aku masih berdiri di sisi tempat tidurku, ribuan sinar yang membuat silau tiba-tiba menerpa seluruh penglihatanku. Dan mataku kembali terbuka di perpustakaan sekolahku dengan sebuah surat yang tergenggam di tangan kiriku.

Surat....

Surat yang kutulis sebelum aku memutuskan kapan tepatnya aku harus mengakhiri nyawaku.

Sebentar....

Murid-murid sekolah, guru, pegawai perpustakaan, sinar matahari siang....

Aku tidak jadi mati?

Bukannya sisa hidupku tersisa satu minggu lagi? Kenapa aku kembali? Lalu bagaimana dengan perjanjian yang disebut Winter? Katanya setelah menukar seluruh usiaku untuk satu tahun yang hangat itu, kami akan mati setelahnya....

Kenapa aku masih hidup?

Aku masih ingin menghabiskan waktu bersama band dan mereka berlima.

Hei, masa hidupku di sana tersisa satu minggu lagi!

Lalu aku teringat perkataan Winter yang sesungguhnya mengenai arti nama grup band.

"Sebenarnya Winter Young berarti meskipun masa mudamu terasa dingin, bukan berarti seluruh hidupmu kacau. Kau bisa menjadi sumber hangat itu, untuk dirimu sendiri. Jadi terus hidup, ya?"

Aku meremukkan surat yang kupegang. Lalu, aku yang cengeng ini pun menangis, tanpa seorang pun Winter Young dan manajernya di sampingnya.

Aku akan mencari mereka berlima.

🍀🍀🍀

Penulis: pinnavy

Continue Reading

You'll Also Like

968K 61.5K 37
SLOW UPDATE Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata lentik...
43.5K 1.7K 23
Introducing the Final Part of the Trilogy. The Dark Lord has now declared war and is marching his army to claim the world. Only the hero and his grou...
147K 282 9
Gadis polos yang terjerumus suasana malam club, menceritakan cerita seorang influencer yang terkenal dikalangan remaja berusia 16 tahun. cerita lengk...