Rengkuh Sang Biru

By Lalanaraya

81.7K 9.6K 3.6K

Renjana Sabiru harus menerima fakta tentang kepergian kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi yatim piatu... More

Awal || intro
Karakter tokoh
Bab.1 || Awal kisah, Di Balik Sebuah Janji
Bab.2 || Kembali Pulang, Bersama Segenggam Hangat
Bab.3 || Pengakuan Dan Harapan
Bab.4 || Harap Yang Patah
Bab.5 || Porak-Poranda Dalam Diam
Bab.6 || Dingin Yang Tidak Terbaca
Bab.7 || Setumpuk Amarah Dan Seberkas Iri.
Bab.8 || Langkah Pertama Menuju Petaka
Bab.9 || Perisai Dingin Yang Membentang
Bab.10 || Ketika kecewa dan patah mulai melebur
Bab.11 || Perihal Kecewa Dan Amarah
Bab.12 || Patah, Hancur Lebur, Tercerai Berai.
Bab.13 || Ketika Asa Tidak Lagi Tersisa.
Bab.14 || Bagaimana Pahit Terasa Manis.
Bab.15 ||Sederhana Yang Patut Disyukuri
Bab.16 ||Sudut-Sudut Ruang Hampa
Bab.17 || Dua Sisi Koin Yang Berbeda
Bab.19 || Yang Telah Putus Tidak Bisa Dibenahi.
Bab.20 || Ketika Hujan Kembali Menyamarkan Tangis.
Bab.21 || Jutaan Rasa Sakit Absolute.
Bab.22 || Sunyi Di Antara Riuh Semesta.
Bab.23 ||Secercah Harap Berselimut Fana
Bab.24 || Sepasang Binar yang Kembali Berpendar.
Bab.25 || Badai yang Belum sepenuhnya Usai
Bab.26 || Rengkuh Hangat Untuk Sang Biru
Cerita baru

Bab.18 || Tawa Yang Kembali Terenggut

2K 295 155
By Lalanaraya

Follow IG : lalanaraya

•••

Siang itu, terik matahari ditengah kepadatan ibukota terasa lebih membakar. Bersama asap-asap kendaraan yang membuat udara disekitar terasa semakin pengap dan menyesakan. Para pengemudi kendaraan yang saling berebut untuk berada di garis depan. Juga anak-anak berseragam sekolah yang tengah menunggu lampu pejalan kaki berganti warna.

Sebotol sedang air mineral dingin telah berhasil Biru tandaskan tanpa sisa. Bocah itu meminum dengan rakus hingga botol tersebut kosong seketika. Wajar, panas kali ini terasa lebih menyengat hingga pakaian Biru bahkan hampir basah oleh keringat.

Bocah limabelas tahun itu baru saja beristirahat setelah seharian penuh menjual karya lukisannya dengan berkeliling di sepanjang jalanan dekat lampu merah. Sebenarnya hasilnya cukup lumayan, banyak yang merasa puas dengan karya lukisan Biru. Tak jarang beberapa pembeli meminta di gambarkan sesuai keinginan mereka. Meski hanya mampu mengumpulkan beberapa lembar recehan serta koin seribuan, Biru tetap merasa bersyukur sebab dirinya sudah mampu menghasilkan uang sendiri.

"Huh, panas banget sumpah," ucap Biru bermonolog. Bocah itu mengipasi dirinya dengan kertas-kertas ditangannya.

"Panas ngeluh, hujan ngeluh. Dasar manusia."

Cibiran bernada sarkasme yang Nathan lontarkan membuat Biru menoleh, melirik Nathan yang baru datang dan ikut mendudukkan dirinya disamping Biru. Kini keduanya tengah berteduh di sebuah halte yang terlihat sepi tanpa sosok lain selain Biru.

"Bang Nathan tuh, ngerusak pemandangan di depanku tau nggak," ucap Biru membalas cibiran Nathan.

Nathan menoleh sinis mendengar balasan Biru. Hampir satu minggu hidup bersama membuat bocah itu tidak lagi memiliki batas untuk segan seperti sebelumnya. Biru sudah bergabung bersama Juna, Erren, dan Hiro sebagai golongan bocah-bocah titisan setan yang senang menistai ketampanan Nathan.

"Mata lo baru aja ngelihat pemandangan cowok paling ganteng se-jabodetabek. Harusnya lo banyak-banyak bersyukur bisa lihat wajah sempurna gue dari deket." Nathan dengan segala narsisme dan kepercayaan diri yang tinggi memang tidak bisa dipatahkan.

"Bang Nathan tuh kok ya bisa sepede itu," celetuk Biru tak habis pikir.

"Oh ya harus. Sebelum lo mencintai orang lain, lo harus mencintai diri lo sendiri dulu. Itu slogan salah satu boyband kpop yang paling terkenal tuh."

"Itu narsis bang! Bukan mencintai diri sendiri."

Tawa renyah Nathan pecah. Pemuda itu mendongkak dengan jumawa. "Orang ganteng mah bebas."

Biru menatap Nathan dengan tampang julid yang kerap Erren ajarkan padanya. Bocah itu menggeleng tak habis pikir akan bagaimana Nathan yang begitu percaya diri. Meski tidak dapat dipungkiri, wajah dan proporsi tubuh Nathan memang bisa dikatakan sempurna. Sayangnya, hal tersebut tertutup oleh pakaian lusuh dan status sosial Nathan yang kerap dipandang sebelah mata.

Di mana-mana status sosial memang selalu menjadi nomor satu. Sama seperti saat di sekolah dulu, dimana Biru akan selalu menjadi sosok yang harus memaafkan meskipun para guru tahu bagaimana perisakan yang Biru terima.

Hanya karena Biru murid penerima beasiswa dan anak seorang kuli, guru-gurupun ikut memandang sebelah mata. Seolah seluruh prestasi yang Biru torehkan dengan membawa nama sekolahnya tidaklah berarti apa-apa.

Ah, mengingat sekolah membuat Biru ikut mengingat satu-satunya sahabatnya. Sedang apa ya anak itu sekarang. Di jam seperti ini, Arai pasti akan mengajak Biru untuk membolos di ruang UKS sebagai alibi untuk bertemu mbak Indah.

Arah pandang Biru lalu tertuju pada barisan anak-anak sekolah yang menunggu lampu penyebrangan jalan berganti. Biru tersenyum miris. Mengingat dirinya yang tidak akan lagi memakai seragam sekolah. Mengingat mimpinya yang harus patah bahkan sebelum Biru sempat berangan-angan.

"Lo ... beneran udah nggak mau lanjutin sekolah lo?"

Tanya itu Nathan suarakan dengan nada yang lebih rendah serta raut wajah yang tidak lagi terlihat jenaka. Pemuda itu ikut mengamati bagaimana anak-anak sekolah mulai menyebrang saat lampu pejalan kaki sudah berganti warna.

"Maksud gue. Yah, Gue sama anak-anak lain kan emang besar dijalanan. Nggak pernah duduk dibangku sekolah. Kalo lo 'kan, beda." Nathan berujar dengan hati-hati.

"Nggak tau, bang. Aku takut berharap terlalu tinggi. Aku udah sering dikecewain sama orang-orang di sekitarku," ucap Biru dengan pandangan menerawang kedepan. Meski binar dari sebalik manik cokelat madunya telah kembali berpendar, ada kosong yang terlihat dari bagaimana Biru menatap sekitarnya.

"Ya, emang apa yang lo harapin dari manusia?"

Biru menoleh, saat tanya bernada gamang Nathan suarakan tanpa mengalihkan atensinya pada jalanan didepan sana. Pada barisan kendaraan yang terjebak macet hingga bunyi klakson saling bersahutan dengan nyaring.

"Kalo lo ngerasa dikecewain. Itu salah lo sendiri karena lo naruh harapan terlalu tinggi sama manusia," tutur Nathan bersama manik kelamnya yang bertubrukan dengan manik cokelat madu milik Biru.

"Jangan berharap terlalu banyak sama manusia. Manusia itu cuma ciptaan, bukan pencipta."

Nathan kembali menyelami manik cokelat madu milik Biru, sebelum kemudian melanjutkan, "Jangan percaya seratus persen sama siapapun selain diri lo sendiri. Begitu juga gue, jangan terlalu percaya sama gue. Karena bisa jadi, gue bakal ngecewain lo kedepannya. Itu sebagai antisipasi. Supaya lo nggak berharap terlalu banyak sama orang lain."

Biru pikir, Nathan ini mengidap penyakit semacam bipolar. Sebab Biru seolah tidak mampu menerka suasana hati Nathan, serta jalan pikiran pemuda jangkung tersebut. Satu menit sebelumnya ia bisa bersikap narsis tanpa tau malu. Lalu sstu menit berikutnya ia berubah menjadi sosok yang jauh lebih dewasa dan kritis.

Namun terlepas dari itu, baris kalimat yang Nathan suarakan selalu mampu menampar Biru pada realita kehidupan yang sebenarnya.

Benar, mungkin memang Biru yang berharap terlalu banyak pada manusia. Hingga saat dikecewakan sedemikian rupa, Biru merasa seolah semesta berlaku tidak adil padanya. Padahal, Biru hanya salah menaruh harap. Pada manusia yang sejatinya hanya ciptaan, bukan pada Tuhan, yang merupakan pencipta yang sebenarnya.

"Abang bener, kayaknya emang aku yang salah menaruh harapan. Harusnya, aku berharap sewajarnya sama mereka," ucap Biru setelah mengambil jeda panjang untuk sejenak.

"Tapi .... bolehkan, aku berharap abang tetep jadi Jonathan yang aku kenal?"

Bocah limabelas tahun itu membuang napas cukup panjang, sebelum manik cokelatnya kembali terarah pada pemuda jangkung disampingnya.

"Tolong, jangan pernah berubah. Jangan jadi bagian dari lukaku kayak mereka. Bang Nathan, Erren, Juna, dan Hiro. Kalian punya peran penting buat aku. Kalian yang ngajarin aku buat lebih kuat dan nggak gampang buat nyerah. Kalian yang ngajarin aku cara bersyukur," tutur Biru dengan tulus yang mampu Nathan tangkap dari tiap baris kata yang Biru perdengarkan.

Pemuda berbahu lebar itu juga menangkap binar penuh harap dari balik manik cokelat Biru. Namun, hal itu rupanya menjadi beban untuk Nathan.

Nathan tidak yakin ia mampu mempertahankan binar harap milik bocah itu. Namun, dia juga sangsi jika kelak dirinya mungkin saja akan mematahkan binar harap dari sekembar manik cokelat madu itu.

Biru ... belum mengenal Nathan lebih jauh.

••••••


Tajam tatap Galaksi tertuju pada selembar kertas di tangannya. Kertas yang sebelumnya telah ia remat begitu kuat hingga robek dibeberapa bagian. Rahang pemuda itu mengeras sempurna, bersama dingin yang mampu membekukan sekitar. Pun juga tatapan tajam yang seolah mampu menikam siapapun yang menatapnya.

Kertas digenggaman Galaksi berisi kertas pemberitahuan tentang Biru yang telah di drop out dari sekolahnya. Bahkan sudah satu minggu berlalu. Dan Galaksi baru mengetahuinya saat dirinya mengunjungi sekolah Biru pagi tadi.

Setelah pesan singkat yang ia terima dari Regan tempo hari, Galaksi memang lebih teliti dan berusaha mencuri waktu di jam kerja dan lemburnya untuk mencari tahu kabar sang adik seorang diri.

"Apa ... yang udah Oma sembunyiin dari aku tentang Biru?"

Dingin kalimat Galaksi menjadi pemecah hening pertama diruang utama rumah Galaksi. Ada Oma dan juga Reksa yang masing-masing duduk terpisah disana. Dengan Galaksi yang berdiri dengan tajam tatap serta dingin kalimat yang seolah mampu menikam siapa saja.

"Aku tanya, apa yang aku nggak tau soal Biru?" Galaksi bertanya sekali lagi. Dengan penekanan mutlak di setiap baris katanya.

"Oma, 'kan cuma ngasih tau gimana dia hidup sama budenya itu, Gal. Nggak ada yang Oma sembunyiin kok. Wong kamu sendiri juga lihat gimana anak itu hidup setelah pergi dari sini," tukas Oma dengan berkilah.

"Lagian kenapa kamu tiba-tiba nanyain anak itu lagi. Dia sudah hidup sama keluarga aslinya. Kamu nggak perlu lagi ngurusin dia." Kalimat Oma selanjutnya mendapatkan lirikan tajam dari Galaksi.

Pemuda dingin tersebut memperlihatkan kertas lusuh yang telah ia remat hingga sobek dibeberapa bagian, lalu meletakkannya tepat di hadapan Oma.

"Aku nggak akan bertanya-tanya kalo aku nggak nemuin kertas ini dari sekolah Biru. Dan pengakuan Regan yang sempat ngelihat Biru dijalanan," ujar Galaksi yang tidak sedikitpun mengendurkan raut wajahnya yang mengeras.

Galaksi tatap kertas tersebut dengan sendu. Hingga birai bibirnya kembali terbuka dan bersuara lirih, "Aku nggak tahu apa adikku hidup dengan baik seperti yang Oma bilang, atau justru sebaliknya."

Sesak itu kembali datang dan menghimpit rongga dada Galaksi. Hingga membuat pemuda itu kepayahan untuk sekedar menarik napas. Saat mengingat fakta apa saja yang baru ia ketahui. Juga kemungkinan paling menyesakkan tentang hidup adiknya diluar sana.

"Gala, kamu tahu 'kan, Oma selalu pengen yang terbaik buat kamu. Oma nggak mungkin nyembunyiin sesuatu dari kamu." Oma kembali perdengarkan baris kalimatnya dengan tenang. Seolah tak gentar akan tajam dari bagaimana Galaksi menatapnya.

Galaksi kembali meremat kuat kertas digenggamannya. Hingga kertas tersebut benar-benar hancur tanpa baris aksara yang dapat dibaca. Galaksi perlihatkan hitam jelaganya yang begitu pekat dan dingin. Menatap tepat pada Oma yang seolah tak merasa apa-apa.

"Aku bakal cari tahu sendiri. Dan aku pastiin, aku bakal tahu kebenarannya, Oma." Galaksi arahkan hitam jelaganya menatap tepat pada manik kelam sang Oma. Menatap Oma dengan tatapan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Dan kalau aku tahu selama ini Oma berbohong tentang Biru, aku nggak tahu apa rasa hormatku akan tetap sama atau enggak."

Tepat setelah baris kalimat mutlak itu Galaksi suarakan. Pemuda duapuluh lima tahun itu berbalik meninggalkan presensi Oma dan Reksa tanpa menengok kebelakang. Abai saat Reksa meneriaki namanya.

Punggung tegap pemuda jangkung tersebut kian menjauh hingga menghilang dari pandangan Oma dan Reksa. Menyisakan dingin juga ketegangan yang masih mendominasi ruang tersebut. Kendati Galaksi bahkan tidak lagi berada disana.

Arah pandang Reksa kemudian beralih pada Oma, yang masih terpaku pada kepergian Galaksi. Ada kalut serta cemas yang menginvasi ruang pikiran Reksa. Remaja itu takut jika apa yang ia takutkan akan terjadi.

"Oma," panggil Reksa pelan. Ia tatap sang Oma yang juga beralih menatapnya. "Aku nggak tau apa aja yang Oma lakuin diam-diam. Tapi kalau sampai Galaksi pergi ninggalin aku gara-gara Oma, aku nggak akan maafin Oma."

Sekon berikutnya, Reksa ambil langkah konstan meninggalkan ruang tersebut. Menyisakan sang Oma yang masih terdiam santai ditempatnya. Seolah apa yang baru saja terjadi bukanlah apa-apa untuknya.

Oma justru sematkan segaris senyum tipis. Sangat tipis hingga hampir menyerupai seringai. Tanpa siapapun lihat. Tanpa siapapun sadari.

"Tenang aja Reksa, Oma juga nggak akan biarin Galaksi pergi dari kita. Oma akan lakuin apapun, bahkan jika harus menyingkirkan anak haram itu."

••••••

Pukul sembilan malam, saat langit Jakarta telah sepenuhnya menggelap, Biru kembali pulang ke rumah bawah jembatan dengan sekantung snack dan makanan yang ia beli untuk para penghuni rumah barunya. Nathan sudah menghilang entah kemana setelah perbincangan mereka siang tadi.

Entahlah, bahkan sampai sekarang, Biru masih belum mengetahui pekerjaan Nathan yang kerap menghilang dan datang tiba-tiba. Menanyai Juna dan yang lain pun, mereka hanya tahu Nathan bekerja serabutan.

Tetapi, saat langkah Biru telah mendekati kolong jembatan tersebut. Yang Biru lihat pertama kali didepan rumah berdinding spanduk bekas tersebut adalah sosok Erren yang menangis tersedu-sedu di depan rumah mereka.

Tanpa menunggu lama, Biru segera mempercepat langkahnya menghampiri Erren. Remaja limabelas tahun tersebut lantas berjongkok menyamai tingginya dengan Erren yang terduduk dikursi rodanya.

"Hei, kenapa nangis, Ren?" Biru bertanya lembut. Setelah meletakkan seluruh plastik makanannya yang awalnya hendak ia bagi untuk mereka bertiga.

"Mana Juna sama Hiro?"

Bocah yang sejak tadi tertunduk menangis itu mendongkak, sekembar manik bulat Erren yang berbingkai kaca bertemu pandang dengan manik coklat madu milik Biru.

Dan entah kenapa, Biru bisa melihat kosong serta sendu dari bagaimana Erren menatapnya. Perasaan Biru mendadak kalut tanpa sebab. Takut jika hal buruk terjadi pada Erren atau bahkan kedua saudaranya. Pun setelahnya, apa yang Biru takutkan benar terjadi.

"Kak, Hiro ketabrak. A-ada anak sekolah yang naik motor ugal-ugalan. Mereka nabrak badan Hiro waktu kita lagi ngamen. D-dan ... " Kalimat Erren terjeda. Saat tangisnya kembali tumpah ketika mengingat tubuh berlumur darah sang adik yang tertabrak sepeda motor.

"Mereka kabur gitu aja. Ninggalin Hiro yang udah berdarah-darah. Hiro ... Hiro udah nggak sadar, d-dan kakiku yang nggak berguna ini nggak bisa nyelamatin adikku, kak. Aku-"

"Ssttt, hei udah." Biru berujar lirih, sembari mengusap wajah Erren yang telah basah oleh airmata. Ia bawa tubuh Erren dalam pelukannya. Berusaha membagi secuil hangat yang ia miliki untuk bisa menenangkan Erren.

Remaja tanggung itu mengusap lembut punggung bergetar Erren. Lalu dengan lembut ia berkata, "Nggakpapa, semua bakal baik-baik aja. Jangan nyalahin diri kamu sendiri. Semua diluar kendalimu, nggak ada manusia yang sempurna didunia ini, Ren."

Sekon hingga menit berlalu saat Biru berusaha menenangkan tangis Erren saat hatinya sendiri diluputi kalut tak karuan.

Hingga saat tangis Erren sepenuhnya mereda, Biru mengurai pelukannya dari bocah tersebut. Dengan lembut menyeka airmata diwajah kumal bocah tersebut. Ia genggam jemari Erren dan merematnya pelan.

"Sekarang, kasih tau aku dimana Hiro? Dan kenapa kamu bisa sendirian disini?" Biru kembali pertanyaan hal yang sejak awal ingin ia suarakan.

Meski tangisnya tak sehebat tadi, namun Erren masih terisak kecil tanpa airmata. "Kak Juna bawa Hiro kerumah sakit. Aku disuruh balik kesini buat nungguin kak Biru sama bang Nathan."

"Kak Juna bilang, Hiro butuh wali buat ngurus administrasi supaya dapat penanganan lebih lanjut. Kita nggak punya BPJS, nggak punya kartu keluarga, nggak punya orangtua. Rumah aja nggak punya. Terus, siapa yang harus kita panggil?"

Ada sesak yang merengkuh Biru saat Erren suarakan lirih bergetarnya dengan parau. Ada keputusan asaan yang kentara dalam setiap baris kalimat yang bocah itu perdengarkan.

"Kak, tolong Hiro. Kak Juna pasti lagi kebingungan disana. Dia udah mohon-mohon sama petugas medis, tapi mereka bahkan belum periksa kondisi Hiro," tutur Erren yang kini membalas genggaman tangan Biru pada jemarinya.

Sudut-sudut mata Biru yang basah ia seka. Bocah itu ikut meremat jemari bergetar Erren guna memberi kekuatan. Ia arahkan manik cokelat madunya pada netra bulat Erren yang telah sepenuhnya sembab dan memerah, kentara sekali terlalu lama menangis.

"Kamu tenang aja. Hiro bakal baik-baik aja. Ayo kita susulin Juna," ucap Biru seraya membereskan plastik-plastik berisi makanan yang tadi ia beli.

Anak itu meletakkannya didalam rumah sederhana mereka. Lalu menempelkan selembar kertas coretan untuk Nathan. Menulisnya dengan pensil yang ka gunakan untuk melukis dan menempelkannya di depan pintu rumah mereka.

Setelahnya, Biru kembali pada Erren yang masih terisak kecil ditempatnya. Ia membawa sepotong jaket miliknya untuk ia pakaikan pada tubuh kecil Erren. Abai dengan tubuhnya yang hanya terbalut kaos tipis.

"Ayo, kita susulin Juna sama Hiro. Aku udah ninggalin catatan buat bang Nathan."

Erren tidak menjawab, hanya mengangguk lemah dan membiarkan Biru mendorong pelan kursi rodanya.

Keduanya beranjak meninggalkan rumah mereka. Dengan Biru yang mendorong pelan kursi roda Erren. Meninggalkan catatan yang Biru tempelkan dipintu rumah mereka.


•••••

Memakan waktu hampir satu jam lamanya dalam perjalanan menuju rumah sakit yang Erren tujukan, kini keduanya telah sampai ditempat yang mereka tuju.

Dan disinilah mereka sekarang, didepan ruang unit gawat darurat 24jam. Saat sampai disana, Biru sudah mendapati Juna yang memohon tanpa suara pada salah satu perawat yang melintas disana.

Lekas saja Biru segera mendorong kursi roda Erren dengan cepat. Menghampiri Juna yang sampai bersujud-sujud memohon pada petugas medis.

"Juna!"

Seruan Biru membuat Juna menoleh. Dengan berderai airmata bocah itu berhambur pada Biru. Tangannya yang bergetar lantas membuat gerakan isyarat.

Beruntungnya, Biru tidak perlu lagi meminta Erren untuk menerjemahkannya. Ia sudah cukup banyak memahami bahasa isyarat untuk dapat lebih mudah berkomunikasi dengan Juna.

'Hiro masih didalam kak. Belum diperiksa, padahal darahnya banyak banget.'

'Mereka nggak mau meriksa Hiro, kak.'

Manik cokelat Biru memburam berbingkai kaca saat memahami kata-kata yang Juna suarakan lewat isyarat tangannya. Arah pandangnya lalu melirik kedalam ruang UGD yang terbuka, memperlihatkan tubuh berlumur darah sikecil Hiro yang terbaring diatas brankar tanpa diperiksa.

Biru langsung alihkan tatapannya pada petugas medis yang tadi ditahan oleh Juna. Ia meraih tangan petugas medis tersebut dengan wajah basah airmata.

"Suster, t-tolongin adik saya. Tolong periksa dia. Saya janji akan bayar biaya administrasinya. Saya bisa jadi walinya kalo perlu. Asal adik saya diperiksa dulu. Tolong Sus, adik saya sekarat," ucap Biru memohon dengan bergetar. Menahan perasaan sesak yang seolah ingin ditumpahkan lewat tangisnya.

"Kamu walinya?" Biru mengangguk yakin.

"Umur kamu berapa?" Petugas tersebut kembali bertanya.

"Limabelas, Sus," jawab Biru lirih. Nyaris tak terdengar.

Terlihat setelahnya, petugas medis wanita tersebut menggeleng tak habis pikir. Lantas melepaskan genggaman tangan Biru dari tangannya.

"Maaf, dik. Umur kamu aja bahkan belum legal. Kamu ini masih dibawah umur," ucap sang petugas medis setelah mengambil jarak dari Biru. "Dokter disini masih dalam jam praktek. Dan kita juga belum bisa melakukan penanganan lebih lanjut sebelum wali pasien sendiri yang datang dan mengkonfirmasi biaya administrasi."

Dengan tangan bergetar, Biru merogoh saku celananya. Mengeluarkan uang serta koin recehan hasil ia menjual lukisannya seharian ini. Ia memberikan seluruhnya pada petugas medis itu.

"Aku cuma punya ini. Aku janji bakal lunasin administrasinya. Tapi tolong, tolong periksa adikku dulu. Dia butuh penanganan secepatnya, Sus," ujar Biru penuh permohonan.

"Maaf, dik. Saya juga hanya dibayar dan diberi perintah. Saya nggak punya wewenang lebih disini." Perawat tersebut meletakkan kembali lembar recehan milik Biru dengan iba.

"Kalian semua jahat!"

Seruan nyaring itu berhasil membuat hampir seluruh atensi terpusat pada Erren. Bocah yang baru saja berteriak nyaring disela tangisnya.

"Kalian itu perawat! Tugas utama kalian nyelamatin orang-orang yang butuh pertolongan. Tapi kenapa kalian harus nunggu uang dulu buat bergerak? Kenapa didunia ini semuanya harus dibeli pake uang? Nyawa adikku didalam sana lebih berharga dari uang-uang itu!" Kalimat dengan getar parau yang Erren suarakan seolah mampu menikam orang-orang yang ada disekitar sana.

"Kalau sampai adikku nggak selamat. Aku bakal minta dia buat ngadu sama Tuhan. Aku bakal kasih tau manusia-manusia mana aja yang udah jahatin kami. Supaya Tuhan sendiri yang ngehukum kalian."

Rasa-rasanya Biru ingin menangis kencang detik itu juga. Ia juga merasa sakit saat dapat melihat keputusan asaan dalam tatapan Erren. Ia juga ingin menangis, tetapi ia masih mengingat Juna dan juga Erren yang lebih terpukul darinya.

Lagi-lagi, Biru ditempatkan pada situasi sulit yang membuatnya kepayahan. Padahal, baru saja kemarin malam Biru merasa semesta mulai berlaku adil padanya. Baru saja kemarin Biru bisa tertawa lepas tanpa topeng palsunya.

Tetapi semesta kembali merenggut tawa Biru dalam satu malam berikutnya. Bahkan membalasnya dengan rasa sakit absolut yang membuat Biru kepayahan bahkan untuk sekedar menarik napas.

Kenapa, semesta senang sekali mempermainkan kewarasan Biru?




tobikontinu.

Halo, Sabiru kembali. Dengan sedikit terlambat:(

Aku gk tau knpa minat menulisku kembali hilang. Aku merasa kisah Sabiru udh gak menarik buat dilanjutkan.

Dan mungkin sebagian dari kalian udh merasa bosan.

Entah, aku benar-benar merasa kosong. Berjam-jam aku cuma diem tanpa bisa nulis satupun kalimat di draft kosongku. Aku coba cari inspirasi, tapi rasanya tetap hambar.

Padahal, aku merasa kisah Sabiru ini cukup relate sama kehidupanku. Tapi entah kenapa makin kesini justru aku merasa hambar:(

Maaf kalau aku udah mengecewakan kalian.


Salam sayang dari Mas Gala

.

Continue Reading

You'll Also Like

28.2K 276 4
[WHEN THE STARS FALL] "Katanya buat permintaan saat bintang jatuh, bisa cepat terkabul." ______________________________________________ [JIMIN FANFIC...
969 179 9
"Keluarga yang menyenangkan bukan?' Cast : All bts members x Other Cast Not BxB ❌ Brothership Area ⚠️ Bukan BxB tapi bukan berarti semua tokoh nya no...
49.5K 4.2K 56
"Cita-cita gue pengen jadi atlet voli nasional, kalau perlu sampai ke tahap internasional juga. Tapi yang utama sih, tetep pengen jadi orang kaya ray...
47.5K 5.2K 33
Suatu kebenaran yang terungkap dengan caranya. Star : 15 oktober 2021 End : 4 juni 2022