Memories in the Making

By dindaarula

58.6K 5.9K 962

[Cerita Terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

โ€ Introduksi
โ€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
โ€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
โ€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
โ€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
โ€ 05 - Tindakan Langka Janu
โ€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
โ€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
โ€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
โ€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
โ€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
โ€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
โ€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
โ€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
โ€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
โ€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
โ€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
โ€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
โ€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
โ€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
โ€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
โ€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
โ€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
โ€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
โ€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
โ€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
โ€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
โ€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
โ€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
โ€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
โ€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
โ€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
โ€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
โ€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
โ€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
โ€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
โ€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
โ€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
โ€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
โ€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
โ€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan
โ€ 42 - Tatkala Dunia Janu Meruntuh

โ€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu

1.1K 114 33
By dindaarula

DUA hari sudah berlalu, tetapi Janu masih saja mendapati dirinya sibuk memikirkan satu hal pasti sebab belum juga ia temukan jawaban yang tepat. Padahal, persoalan tersebut dapat dikatakan merupakan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, tetapi nyatanya tidak bagi Janu. Memang, Janu sudah sempat menyampaikannya secara langsung. Hanya saja lelaki itu belum menjelaskannya secara detail apa yang sebenarnya ia inginkan. Oleh karenanya, sebuah tanya terus saja terputar dalam benaknya secara berulang: bagaimana caranya?

Janu mengembuskan napas pelan. Sejenak ia menyesap secangkir teh yang menemani Sabtu paginya sebelum kembali membiarkan otaknya kembali bekerja keras. Sampai tiba pada satu titik di mana sebuah ide muncul di kepala, membuat Janu lekas meraih ponsel dari atas meja dan lekas saja ia cari satu kontak. Kedua ibu jarinya siap untuk mengetikkan kata-kata. Ragu-ragu pada mulanya, sebelum akhirnya ia yakin dengan apa yang akan dilakukannya.

Adhyaksa Januar
Dar
Gimana caranya ngajak perempuan pergi berdua?

Setelah dikirimkan, Janu kembali meminum teh hangatnya dengan lirikan mata yang terus tertuju pada layar ponsel. Sekitar tiga menit berlalu, Haidar belum juga membalas pesannya. Dibaca pun tidak. Namun, setelah menunggu selama lima menit berikutnya, Janu akhirnya mendapati tanda centang dua sudah berubah warna menjadi biru. Hanya saja, balasan dari Haidar tak kunjung datang.

Sesaat Janu pun berpikir, apakah pertanyaannya terlalu konyol sampai-sampai Haidar kebingungan untuk memberikan jawaban? Di sisi lain, oleh karena sudah jauh lebih berpengalaman, seharusnya mudah saja bagi Haidar untuk membaginya pada Janu, bukan? Ataukah mungkin Janu yang salah dalam memilih untuk bertanya pada orang lain?

Dan, tanpa disangka, tak lama setelahnya Janu sudah mendapatkan jawaban dari apa-apa saja yang dipertanyakan di atas.

Segalanya berawal dari notifikasi di mana Haidar adalah sang pengirim, tetapi Janu segera mengernyitkan dahi sebab alih-alih menerimanya secara personal, pesan tersebut Haidar kirimkan pada grup berisikan dirinya, Haidar sendiri, Reza, dan juga Dion.

Haidar Rajaksa
[Sent a photo]
Tinggal sebut ngedate aja susah bgt kayanya

Janu segera mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Haidar membagikan isi pesan yang ia ketikkan tanpa seizinnya!

Reza Adi Permana
Ya tinggal ajak?
Pertanyaan lo tolol kalo kata gue @ Adhyaksa Januar

Laksamana Dion G.
Anying ketawa bgt aing wkwkwk
Jangan2 entar klo mau ngelamar malah nanya dulu ke idar gimana caranya
Ya gak nu? @ Adhyaksa Januar

Haidar Rajaksa
Ga bakal kaget lagi sih gue
Jangankan ngelamar
Gue malah sangsi dia tau caranya nembak cewek

Dengkusan kasar Janu loloskan. Segera saja ia keluar dari ruang obrolan sebab tak tahan melihat tiga kawannya malah sibuk meledek alih-alih memberi bantuan. Teh dalam cangkir Janu tandaskan saking jengkelnya. Ia pun membuang napas panjang-panjang. Awalnya Janu berniat untuk mengabaikan ponselnya saja. Namun, notifikasi yang tak henti-hentinya ia terima membuat rasa penasaran kembali muncul terkait apa yang sesungguhnya tengah mereka bicarakan. Lantas beberapa menit kemudian, dengan terpaksa Janu raih benda pipih tersebut dan kembali membuka grup.

Laksamana Dion G.
Tapi serius
Janu lagi suka sama cewek?

Haidar Rajaksa
Ya menurut maneh weh
Ngapain atuh sampe ngajak ngedate kalo dia ga suka?

Laksamana Dion G.
Bjirrr
Bumi gonjang-ganjing manusia kulkas satu ini akhirnya jatuh cinta

Reza Adi Permana
Siapa ceweknya?
Lo cuma ngasih tau haidar nu? @ Adhyaksa Januar
Lo anggep gue sama dion apaan?
Tega bener ckckck

Haidar Rajaksa
Lo berdua udah pernah ketemu kok

Reza Adi Permana
Siapa dah?
Xenna?

Laksamana Dion G.
Hah

Reza Adi Permana
Hah
Anjir
Gue cuma asal tebak
Beneran anjir banget kalo beneran

Laksamana Dion G.
Anjir
ANJIR
SERIUS?

Haidar Rajaksa
Pernah liat janu care sama cewek lebih2 dari carenya dia ke xenna ga?
Dari situ udah jelas jawabannya tuh

Laksamana Dion G.
ANJIRRR

Kali ini Janu tidak tahan lagi. Lagi-lagi Haidar bertindak dengan semaunya. Pilihannya untuk bertanya pada lelaki itu rupanya betul-betul sebuah kesalahan besar.

Adhyaksa Januar
Musnah aja lo. @ Haidar Rajaksa

Haidar Rajaksa
Wesss kalem atuh nu
Nanti kalo gue ga ada lo ga bisa tanya2 kayak gitu lagi kan
Wkwkwk

Reza Adi Permana
Masih bisa tanya google
Sekalian aja cari rekomendasi tempat buat ngedate nu

Laksamana Dion G.
Bentar daks gue masih belum bisa memproses semua ini
Seriusan janu suka sama xenna?
Xenna yang itu?
Dedek cantik yang itu???

Adhyaksa Januar
Lo mau mati juga?

Laksamana Dion G.
Ah elah nu jawab dulu yang benerrr

Adhyaksa Januar
Ya.
Kenapa emangnya?

Reza Adi Permana
Gapapa gapapa nu
Santai
Gak bakal kita rebut kok wkwkwk

Laksamana Dion G.
Njirlahhh
Lo bakal jadi adek ipar gue dong nu kalo nyokap gue jadi sama bokapnya xenna

Haidar Rajaksa
Gusti ieu budak, masih keukeuh pengen jodohin orangtua

Laksamana Dion G.
Bercanda elah
Btw perlu syukuran ga sih kita?
Yang dikira bakal jomblo permanen akhirnya keliatan juga hilalnya bakal punya cewek 🤣

Reza Adi Permana
Emang udah pasti mau ceweknya?
Xenna juga bakal mikir dua kali mungkin buat punya cowok spek es kutub

Haidar Rajaksa
Duh jangan langsung diulti gitu atuh ja 🤭

Pesan-pesan yang mereka kirimkan membuat Janu merasa makin dongkol lagi. Lelaki itu pun meloloskan napas kasar lalu menyugar rambut hitamnya ke belakang. Setelahnya ia pun kembali memberikan balasan dalam grup tersebut.

Adhyaksa Januar
Musnah aja lo semua.

Laksamana Dion G.
Iya iya ampun nu gue masih pengen idup lebih lama jangan didoain mati mulu 🙏🏻

Haidar Rajaksa
Mending lo pada kasih ide buat janu gimana caranya ngajak ngedate
Susah nih, minim pengalaman dalam percintaan soalnya

Reza Adi Permana
Gue udah kasih tau di awal tuh
Kan tinggal ajak aja
Susahnya di mana?

Haidar Rajaksa
Terhalang gengsi ja
Gitu aja masa ga ngerti?

Reza Adi Permana
Halah gengsi gengsi tai kucing
Kebanyakan gengsi gak akan maju idup lo

Laksamana Dion G.
Gue mau kasih saran nih nu
Serius ini, lo baca baik-baik dah
Intinya lo cuma perlu jadi diri sendiri aja nu
Xenna udah kenal lama sama lo kan? Dia juga pasti udah tau bgt lo orangnya gimana
Lo bisa tetep lakuin dgn cara lo sendiri asalkan lo beneran tulus
Tapi ga ada salahnya juga klo lo mau coba agresif dikit
Daripada kecolongan lagi kek dulu kan?

Reza Adi Permana
Kayanya gue paham apa yang lo maksud yon

Laksamana Dion G.
Ytta wkwkwk

Reza Adi Permana
Amanda kan?

Usai membaca apa yang Reza kirimkan, Janu lekas terdiam sesaat lantaran tidak menyangka. Jadi ... Dion dan Reza pun tahu kendati ia tak pernah menceritakannya?

Haidar Rajaksa
Sumpah nu gue ga ada ngomong apa2 ke mereka
Jangan suruh gue buat mati lagi 🙏🏻

Laksamana Dion G.
Tanpa dikasih tau emangnya lo pikir gue ga bakal nyadar?

Haidar Rajaksa
Udahlah yon, ga usah bahas masa lalu

Reza Adi Permana
Tapi ngomong2 soal amanda
Kalian udah tau kabarnya?

Laksamana Dion G.
Hah
Kabar apaan ja?

Reza Adi Permana
Waktu itu gue sempet iseng tanya ke dia tunangannya kapan krn ga ada info pasti sampe sekarang
Tapi katanya dia sendiri blm bisa mastiin?
Trs gue tanya, lagi ada masalah apa gmn
Dia cuma bilang, "terancam batal semuanya, tapi lo doain aja yg terbaik"

Laksamana Dion G.
Serius ja?
Masa sih batal gitu aja? Pacarannya kan udah bertahun-tahun
Dia ada cerita ke lo gak nu? @ Adhyaksa Januar
Kan biasanya kalo ada apa2 dia langsung ke lo

Haidar Rajaksa
Yon

Janu tidak segera memberi balasan. Ia tak tahu apakah Dion sedang bercanda atau tidak. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya memanglah demikian. Tapi itu dahulu. Kini semuanya sudah tak sama lagi. Janu bukanlah orang pertama yang akan Amanda hubungi jika perempuan itu sedang dilanda masalah. Pun, Janu merasa tak perlu tahu mengenai apa yang terjadi dalam hubungan yang dijalani orang lain. Sekalipun Amanda adalah temannya sendiri.

Atau lebih tepatnya ... karena perempuan itu bukan lagi segalanya bagi Janu, ia sudah tidak perlu tahu semua hal tentangnya seperti dulu. Maka dari itu, segera Janu gerakkan kembali dua ibu jarinya untuk mengetikkan pesan yang langsung membungkam ketiga kawannya dalam waktu singkat.

Adhyaksa Januar
Gue gak tau apa-apa.
Gak usah tanya gue.

Semestinya Xenna bisa bersantai menikmati waktu libur di akhir pekan ini. Namun apa daya, Bu Tanti selaku dosen pembimbingnya telah memberikan titah untuk melakukan pergantian jadwal bimbingan tepat di hari Sabtu. Xenna tentu tak bisa melakukan apa pun sebab skripsinya adalah yang terpenting, kendati ia harus menempuh perjalanan jarak jauh karena tempat dilaksanakannya adalah rumah Bu Tanti yang berlokasi di Setiabudi.

Hanya saja, keberuntungan sedang tak berpihak pada Xenna. Ia sama sekali tidak tahu bahwa selain dirinya, ada satu lagi mahasiswa bimbingan Bu Tanti yang juga diminta datang ke rumahnya hari ini. Di saat pertama kali melihat presensinya, Xenna betul-betul tak bisa berkata apa pun lantaran sama sekali tidak menduga hal itu. Suasana hatinya pun lambat laun kian memburuk, membuat gadis itu ingin cepat-cepat terbebas dari situasi tak mengenakkan tersebut.

Sayangnya, ketika Xenna pikir keinginannya berhasil dikabulkan, Bu Tanti malah meminta Xenna untuk tidak langsung pulang sebab ada beberapa hal yang perlu disampaikan kepada dua anak bimbingannya di akhir nanti. Lagi-lagi Xenna tak punya pilihan selain menurut. Alhasil, Xenna pun harus kembali menunggu sampai ia benar-benar dapat pergi dan dengan cepat pulang ke rumahnya

"Gia, kamu pulangnya pakai apa?" Bu Tanti melontarkan tanya sembari mengantarkan Gia--yang ternyata turut melakukan bimbingan hari ini--dan Xenna sampai ke teras.

Yang ditanya menoleh. Senyum kakunya terbentuk. Sebelum menjawab, ia mengarahkan tatapnya sejenak pada Xenna yang tampak sama sekali tidak berminat untuk mendengar jawabannya. Gia pun kembali menoleh pada Bu Tanti, lantas dari mulutnya terlontar, "Saya dijemput pacar saya, Bu."

Diam-diam Xenna mendengkus samar. Keinginannya untuk cepat pulang kian bertambah saja sebab ia sungguh enggan jika harus kembali melihat wajah Arka--pacar Gia yang juga merupakan mantan pacar Xenna.

"Oh, begitu," Bu Tanti membalas singkat, tetapi senyum penuh arti seketika terlukis di bibirnya. Kemudian wanita paruh baya itu beralih pada Xenna. "Kalau Xenna? Sama pacarnya juga?"

Xenna menengok, mengerjap. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk lengkungan kecil hanya sebagai bentuk kesopanan. "Nggak, Bu. Saya pakai ojek online."

"Bukannya jauh sekali dari sini ke rumah kamu? Pasti mahal sekali kalau pakai ojek online, Xenna," sahut Bu Tanti, terdengar penuh perhatian selayaknya seorang ibu yang mengkhawatirkan anak perempuannya. "Mau diantar aja sama anak ibu, nggak? Kebetulan dia lagi libur, nggak ada kerjaan juga di rumah."

Xenna lekas membulatkan mata. "Eh, nggak usah, Bu, nggak papa," tolak Xenna langsung sebab ia betul-betul merasa tak enak jika harus merepotkan orang lain yang tak dikenalnya. Dengan cepat ia pun memikirkan alasan yang sekiranya dapat membuat Bu Tanti takkan memaksakan tawarannya. "Umm, kebetulan saya juga emang mau mampir ke tempat yang nggak jauh dari sini, Bu, sudah janjian sama teman. Nanti pulangnya saya bisa minta tolong sama dia juga."

"Oh, begitu? Ya sudah, itu malah lebih bagus." Bu Tanti manggut-manggut mengerti, tampak lega. Kemudian ia menatap dua anak bimbingannya secara bergantian. "Kalau gitu, kalian bisa tunggu di sini aja ya sampai jemputannya datang. Ibu mau masuk ke dalam dulu sebentar." Setelah mendapatkan anggukan setuju, Bu Tanti pun kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Xenna dan Gia dalam kecanggungan.

Menghadapi situasi tersebut, Xenna berusaha tak acuh dan lekas memakai sepatunya seolah Gia sama sekali tidak berada di sana. Ia juga tak sedikit pun melihat ke arah Gia sehingga tak tahu apa yang gadis itu lakukan. Lantas Xenna segera mengambil ponsel untuk memesan ojek daring. Namun di saat itu, tiba-tiba saja Xenna malah mendengar suara yang datangnya dari Gia.

"Xen ...."

Xenna menghentikan pergerakannya. Ia yang terduduk di kursi pun mendongak, mengarahkan pandangan pada Gia yang rupanya tetap berdiri di posisi semula. Sorot yang Gia layangkan tidak dapat Xenna definisikan secara sempurna, sehingga Xenna tak mudah menebak apa maksud di balik panggilan tersebut.

"Nggak, Gi, gue nggak berencana buat ngerebut Arka balik dari lo. Lo tenang aja," Xenna berucap sedikit ketus dengan wajah datar. Ia benar-benar tak bisa melupakan perkataan Gia pada kejadian tempo hari. Ditambah pula dengan penjelasan yang Sheila berikan padanya. "Lo nggak usah nuduh gue sembarangan gitu, Gi, sampe ngatain gue bohong segala karena gue punya maksud tertentu." Ada jeda sejenak. "Tapi, lo udah liat sendiri 'kan waktu di Gramedia hari itu, kalau gue cuma ngomong apa adanya? Kalau lo masih denial, terserah. Sekarang gue cuma bisa berharap, lo nggak akan nerima perlakuan kasar yang sama selama lo ngejalani hubungan sama dia."

"Xen ... nggak gitu maksud gue." Gia kini terlihat frustasi, tetapi hal tersebut sama sekali tak mampu memengaruhi Xenna. "Gue sadar gue udah berlebihan hari itu. Gue minta maaf sama lo. Tapi ... sejujurnya gue cuma takut kehilangan Arka, Xen. Gue nggak mau kehilangan orang yang gue sayang."

Xenna tergeming selama beberapa saat. Perkataan Gia bagaikan sejumlah jarum yang menusuk tepat di hatinya. Perih, memang. Tapi Xenna sudah terlampau terbiasa dengan rasa sakit seperti itu. "Ah ... ternyata gue nggak sepenting itu di hidup lo ya, Gi? Lo bahkan lebih takut kehilangan Arka daripada gue." Xenna menghirup napas begitu berat sebab dadanya yang mendadak terasa sesak. "Lo nggak mau kehilangan, tapi tanpa lo sadari lo udah jadi penyebab segala kehilangan yang gue alami. Di hari permainan lo terbongkar, di saat itu juga gue kehilangan sekaligus tiga orang yang gue sayang, Gi. Lo pernah mikirin itu, nggak?"

Belum sempat Gia bereaksi, Xenna sudah menambahkan, "Oh, tapi nggak mungkin juga kayaknya, ya? Lo aja nggak ada mikirin gue waktu lo main belakang sama Arka. Salah emang gue udah nanya begitu." Xenna kemudian bingkas dari kursi. Kendati ia belum sempat memesan ojek online, rasanya ia sudah tak sanggup jika harus berlama-lama di sana. Dengan malas ia pun berpamitan hanya sebagai bentuk formalitas, "Gue duluan, Gi. Tolong sampein juga ke Bu Tanti kalau beliau ke sini lagi."

Mungkin Janu benar. Bersikap egois memang diperlukan untuk menerima keadaan. Maka Xenna pun akan terus melakukannya dengan caranya sendiri--berusaha kembali menjauhkan diri dari sumber rasa sakit seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tanpa perlu memikirkan perasaan mereka, tanpa perlu hati-hati dalam bertutur kata, tanpa peduli dengan keadaan di mana semesta terus-terusan memberikan kejutan tak terduga padanya. Lagi pula, Xenna tak bisa melihat rasa bersalah ataupun ketulusan itu dengan jelas. Lantas, mengapa ia harus memberikan maaf dengan mudahnya?

Meninggalkan pekarangan rumah Bu Tanti, Xenna terus mengambil langkah tanpa melihat ke belakang. Alih-alih menunggu di depan pagar, Xenna memilih berjalan menjauh guna menghindari kemungkinan pertemuannya dengan Arka. Gadis itu melewati trotoar ditemani oleh bisingnya mesin kendaraan yang berlalu-lalang di jalan utama komplek. Entah sudah berapa waktu dan jarak yang ditempuh, Xenna baru memperlambat gerak kaki-kakinya ketika merasakan getaran panjang dari ponsel yang berada dalam saku jaketnya.

Setelah mengeceknya, langkah Xenna seketika terhenti total sebab mengetahui si pemanggil adalah Mami. Pikirnya pasti ada sesuatu yang penting karena Mami langsung meneleponnya alih-alih mengirimkan pesan. Tanpa menunggu lama, Xenna pun segera saja menjawab panggilan tersebut.

"Halo, Mami," sapa Xenna kasual sambil berusaha menormalkan intonasinya.

"Halo, Xen," Mami lekas menyahut. "Kamu lagi di mana, Xen? Kok nggak ada di rumah?"

"Oh, Xenna lagi di Setiabudi, Mi, habis bimbingan di rumah dosen Xenna," jawab Xenna sekenanya.

"Lho, jauh amat sampe ke Setiabudi, Xen," Xenna dapat menangkap rasa khawatir dalam nada suara yang Mami gunakan. Mami kemudian lanjut bertanya, "Terus kamu kapan pulangnya?"

"Ini udah mau pulang kok, Mi."

"Kalau gitu kamu tunggu di sana aja ya, Xen? Biar Mami suruh Janu jemput kamu ke sana."

Sontak kedua mata Xenna pun membulat panik. Tentu ia merasa tidak enak hati jika harus terus-menerus merepotkan Janu. Terlebih lagi jarak rumahnya menuju Setiabudi sangatlah jauh. "Eh, nggak usah, Mi, nggak papa kok Xenna pulang sendiri aja," Xenna kembali melayangkan sebuah penolakan untuk yang kedua kalinya hari ini. Dan, lagi-lagi ia harus memikirkan alasan agar Mami tak memaksanya. "Xenna udah keburu pesan ojek online, Mi, kasian driver-nya kalau di-cancel soalnya udah mau nyampe ...."

Mami terdiam sesaat. "Begitu, ya?" Embusan napas Mami kemudian terdengar. "Ya sudah, kamu hati-hati aja kalau gitu ya, Xen. Nanti kalau udah sampe kamu ke rumah Mami, ya? Tadi itu Mami mau anterin oleh-oleh buat kamu karena kemarin nggak sempat, tapi kamunya ternyata nggak ada di rumah."

"Iya, Mami, nanti Xenna ke rumah, ya."

"Oke, Xen. Kalau gitu Mami tutup teleponnya, ya."

Xenna hanya membalas seadanya, lantas Mami pun memutus sambungan telepon.

Pada akhirnya, Xenna benar-benar memesan ojek online sebab ia memang harus segera pulang sekarang. Namun, sesuatu lagi-lagi menghentikannya. Kali ini adalah notifikasi pesan dari seseorang tak terduga.

Mas Janu
Kenapa gak mau saya jemput?

Xenna menggigit bibir bawahnya. Ia masih saja tak terbiasa dengan Janu yang mendadak bersikap seperti ini. Setelah memikirkan balasan apa yang harus ia berikan, Xenna pun mengetikkannya sebelum ia kirimkan.

Xenna Adhika
Bukannya ngga mau mass
Aku udah mau otw pake ojol inii

Mas Janu
Kalau gitu shareloc.

Xenna Adhika
Buat apa mas??

Mas Janu
Biar saya bisa pantau kamu terus.

Tubuh Xenna mematung usai membacanya. Seketika ia pun merasakan perutnya bergelenyar aneh. Sumpah ya, Mas Janu yang kayak gini bikin gue tambah pusing, Xenna membatin frustasi, Mas Janu tuh kenapaaa?! Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Janu akhir-akhir ini, tetapi Xenna tak dapat memungkiri bahwa ia lebih menyukai Janu yang sekarang--sesuatu yang tak bisa Xenna jawab langsung ketika Janu menanyakannya. Tak peduli dengan fakta bahwa lelaki itu membuat ia makin tak waras saja setiap harinya.

Kini Xenna bahkan merasa suasana hatinya kembali membaik secara perlahan hanya karena hal-hal sederhana yang dihantarkan melalui Mami dan Janu. Oleh karenanya, Xenna segera operasikan kembali ponselnya sembari berharap ia dapat segera pulang dan cepat sampai di rumah.

"Cimooolll!" Xenna memekik senang melihat kucing putih gembul itu tiba-tiba menghampirinya ketika ia baru saja tiba di rumah Janu. Makhluk berbulu lebat tersebut lekas mengeong dengan menggesekkan tubuhnya di kaki Xenna, membuat iatak kuasa menahan rasa ingin menggendongnya. Xenna pun lekas saja mengangkat Cimol, betul-betul menggendongnya seperti bayi. Cimol yang memang sudah nyaman dengan Xenna pun sama sekali tidak memberontak.

"Aduuuh makin berat aja kamu tuh, ya," kini Xenna malah sibuk berbicara dengan Cimol seraya mengikuti langkah Mami--yang tadi membukakan pintu--menuju dapur. "Badannya makin gembrot. Harusnya kamu ganti aja namanya jadi Cimbrot. Cimol gembrot." Xenna kemudian terkikik sendiri karena nama ciptaannya, lalu ia menciumi Cimol dengan gemas.

Mami yang mendengar itu turut melepas tawa kecil, menoleh sekilas pada Xenna lalu menggeleng-geleng pelan. "Haduh, ada-ada aja kamu, Xen. Kayaknya kamu bakal disinisin Janu kalau dia tau anaknya dinamain aneh-aneh lagi. Sampe sekarang aja sebetulnya dia masih nggak setuju sama nama-nama anaknya yang Mami sama April kasih."

Mendengar perkataan Mami, Xenna langsung dapat membayangkan bagaimana wajah sebal Janu dengan sorot tajamnya. Membuat senyum gelinya segera tersungging. "Padahal namanya lucu. Lagian kucing kan emang cocoknya dikasih nama-nama lucu, Mi. Masa iya harus bagus-bagus kayak nama manusia?" Tepat setelah mengatakannya, Xenna menghentikan langkah sebab dirinya dan Mami sudah sampai di dapur. Mami kemudian kembali sibuk dengan pesanan kue, sementara Xenna berdiri tak jauh dari kompor.

"Ya itu dia, Xen. Nggak ngerti Mami juga sama Janu," balas Mami sambil mengeluarkan brownies dari dalam oven.

Xenna mengangguk-angguk setuju. Kemudian ia menyahut, "Emang nggak seru Mas Janu."

"Siapa yang nggak seru?"

Vokal berat yang datang dari arah belakang membuat Xenna sedikit terlonjak kaget. Jantungnya pun seketika berdentum hebat. Sebab ia tahu pasti siapa pemilik suara tersebut. Membuat Xenna makin tak berani lagi untuk membalikkan badan. Namun, beberapa milisekon berselang, ia justru tak kuasa menahan keinginan untuk melihat wajah lelaki itu. Maka dengan ragu-ragu ia berbalik, dan di saat itu juga kedua matanya sontak melebar dengan napas yang tertahan.

Tanpa diduga, rupanya Janu sudah berada persis di belakangnya. Dekat sekali, sampai-sampai Xenna mampu membaui aroma mint dari tubuhnya. Rasa panas segera menjalari wajah Xenna. Gadis itu pun cukup yakin bahwa semburat merah sudah tampak di kedua pipinya sekarang.

Janu tahu-tahu saja maju satu langkah, membuat Xenna refleks mundur, tetapi sadar di belakangnya terdapat meja marmer. Xenna bahkan sampai mengeratkan dekapannya pada Cimol, membuat makhluk berbulu tersebut mengeong. "M-mas Janu mau ngapain?" cicit Xenna tanpa berani menatap langsung sang lawan bicara. Ia hanya menengok sekilas, sebelum kembali membuang pandangan sebab Janu tatapan Janu yang begitu lekat.

Lelaki berkacamata itu tidak menjawab. Ia malah kembali mengambil satu langkah ke depan dengan santainya sementara Xenna kelimpungan sendiri dan berusaha keras menjauhkan tubuhnya dari Janu. Namun, tiba-tiba saja satu tangan Janu terangkat untuk meraih sesuatu. Bunyi yang ditimbulkan membuat Xenna secara otomatis menoleh.

"Ambil kopi," Janu membalas tenang dengan satu tangan memegang sebungkus kopi instan. Baru saja diambilnya dari lemari kecil yang berada tepat di atas kepala Xenna. "Kamu pikir saya mau ngapain?" Tanpa menunggu respons dari Xenna, lelaki itu sudah berbalik dan beranjak menuju lemari piring, mengambil sebuah cangkir dari dalamnya.

Kemudian, tiba-tiba terdengar decakan pelan dari Mami. "Nggak usah iseng begitu kamu, Mas," ujar wanita itu tanpa menoleh sedikit pun, sehingga ia tak tahu persis apa yang sebetulnya sudah dilakukan oleh anak laki-lakinya. "Dikira Xenna itu April, apa?"

Janu lantas mendengkus pelan. Setelah menuangkan bubuk kopi instan ke dalam cangkir, segera saja ia tuangkan air panas dari dispenser. "Suruh siapa dia berdiri di situ," balasnya enteng tanpa menengok sedikit pun. Ia hanya fokus menyeduh kopinya sebelum mengambil langkah santai menuju ruang tengah.

"Emangnya orang kayak Mas Janu bisa iseng, Mi?" tanya Xenna pelan sambil mengecek apakah Janu sudah benar-benar jauh dari dapur.

Mami meloloskan napas ringan. "Kamu nggak tau aja, Xen, dulu waktu kecil kerjaannya Janu ya isengin adeknya terus," terang Mami, lalu ia menggeleng-geleng singkat. "Nggak tau kenapa makin gede malah makin cuek anaknya. Entah karena kepalanya pernah kepentok apa, entah karena beban hidupnya yang tambah berat. Bingung Mami juga." Kalimat Mami diakhiri oleh sebuah senyum geli, pertanda bahwa ucapannya tak benar-benar serius.

Xenna mau tak mau pun menarik ujung-ujung bibirnya. Rasa penasaran pun mendadak muncul dalam diri. Kira-kira bagaimana sosok Janu sewaktu kecil dulu?

"Oh ya, Xen, kamu jangan pulang dulu, ya," Mami tahu-tahu saja kembali bersuara bersamaan dengan selesainya semua pekerjaan. "Habis ini Mami mau antar pesanan sekaligus titipan oleh-oleh dulu ke rumah Bu RT. Kamu di sini dulu aja, tunggu Mami pulang. Mami ada beliin kamu baju buat kamu soalnya, nanti kamu lihat-lihat dulu mana yang cocok."

Mami pun beranjak meninggalkan dapur. Xenna--yang masih setia menggendong Cimol--pun langsung mengekori. "Mas," panggil Mami pada Janu yang berada di ruang tengah, terduduk di sofa panjang, "kamu jangan ke mana-mana, ya. Mami mau pergi sebentar. Jangan tinggalin Xenna sendiri, lho. Takutnya ada kejadian kayak waktu itu lagi."

Janu menoleh sebentar. Pada Mami, lalu Xenna. Berhenti lebih lama di gadis itu, sebelum membalas, "Ya, Mi." Lantas ia kembali menghadap depan dan melanjutkan kegiatannya--entah sedang melakukan apa, Xenna tak dapat melihatnya dengan jelas.

Mami pun beranjak ke kamarnya dan kembali ke luar setelah berganti baju. Sesudahnya Mami berpamitan pergi seraya membawa barang-barang yang akan diantarkannya. Meninggalkan Xenna di ruang tengah, berdua saja dengan Janu. Membuatnya mendadak kikuk, apa kiranya yang harus dilakukannya sekarang.

Sesaat Xenna tolehkan kepala ke arah Janu, memandanginya yang tampak sedang berkutat dengan pulpen dan sebuah buku di tangannya. Ragu-ragu Xenna mengambil langkah mendekat, berakhir duduk di atas karpet berbulu tanpa menurunkan Cimol--yang kini sudah berpindah ke pangkuan. Tak lama setelahnya, sekali lagi Xenna arahkan tatapannya pada Janu. Lelaki berkacamata itu masih tampak fokus dengan kegiatannya seolah presensi Xenna nihil.

Entah mengapa Xenna pun seakan lupa bagaimana caranya memulakan sebuah percakapan sehingga yang ia lakukan selama beberapa menit ke depan hanyalah terdiam, bermain-main dengan Cimol, lantas mencuri pandang pada Janu yang masih saja sibuk sendiri dengan dunianya. Sampai pada yang ketiga kali, keheningan akhirnya terpecah oleh karena Janu yang tiba-tiba saja bersuara.

"Kenapa ngeliatin saya terus?"

Tubuh Xenna sedikit tersentak karena kaget. Cepat-cepat ia pun membuang muka. Gadis itu sungguh tidak menyangka Janu tetap tahu apa yang dilakukannya meski kedua matanya tidak bergerak sedikit pun ke arahnya. "Ng-nggak papa, Mas," balas Xenna dengan suara pelan. Secuil rasa malu masih menyerang sebab ia sudah tertangkap basah. Hingga beberapa milisekon berselang, Xenna mendadak berpikir bahwa semestinya ia tak perlu berkilah. Toh, memang sudah terlanjur juga. Lantas, tanpa ragu Xenna pun melontarkan tanya, "Mas Janu lagi ngapain?"

Janu terlebih dahulu menengok--walau hanya sekilas, sebelum dengan tenang menjawab, "Menggambar."

"Menggambar?" Sepasang netra Xenna membulat, berbinar antusias. "Aku boleh liat?"

Sejenak pergerakan Janu terhenti. Ia kembali menoleh pada Xenna. Rautnya tak terdefinisakan, tetapi tampak jelas bahwa ia sama sekali tidak merasa terganggu. "Ya," balas lelaki itu pada akhirnya. Lantas, ia menepuk singkat ruang kosong persis di samping kirinya. "Sini."

Senyum cerah segera tersungging di bibir Xenna. Gadis itu lekas saja bingkas sembari membawa Cimol dan berpindah ke atas sofa, duduk bersila tepat menghadap Janu. Kucing putih itu pun kembali diletakkannya di atas pangkuan. "Mas Janu menggambar apa?" tanyanya bak seorang anak kecil yang punya rasa penasaran tinggi.

"Kenapa nggak lihat sendiri?" Janu menyahut enteng tanpa menatap sang lawan bicara.

"Susah. Ada Cimol."

Kali ini Janu menengok. Melihat Xenna yang tak tega untuk sekadar memindahkan Cimol membuatnya segera meloloskan napas panjang. Lelaki itu pun menaruh sketchbook dan pulpen ke atas meja, lantas diraihnya tubuh Cimol untuk dipindahkan ke pangkuannya sendiri. Beruntungnya, Cimol sama sekali tidak berontak dan langsung kembali mencari posisi yang nyaman. "Sudah, 'kan?" ujar Janu setelahnya.

Xenna kontan memamerkan cengirannya. Ia pun sedikit bergeser ke depan. Agak ragu-ragu sebab sadar bahwa makin tipis jaraknya dengan Janu, maka makin tidak baik pula untuk kesehatan jantungnya. Xenna sedikit memajukan tubuh setelah Janu meraih kembali alat-alat menggambarnya dan melanjutkan apa yang sempat terhenti. Sesaat gadis itu hanya diam mengamati, sampai akhirnya baru bisa melihat dengan jelas, kedua alisnya lekas saja menyatu. "Loh, kucing hitam?" Pandangan Xenna kemudian beralih pada Janu. "Kirain aku Mas Janu gambar apaan. Ini pasti Mas mau niru gambaran aku waktu itu, ya?"

Janu segera mendelik pada Xenna, lalu diembuskannya napas perlahan. "Setidaknya gambaran saya nggak berakhir mirip tikus seperti punya kamu."

Mendengar itu, sontak saja Xenna pun cemberut. "Ish, iya aku tau Mas Janu jago gambar, tapi nggak usah ngeledek gitu dong, Mas," tukasnya agak ketus. Bibir gadis itu pun mengerucut sementara sorot kesalnya ia layangkan pada Janu.

Mendengkus pelan, Janu tampak menaikkan sedikit satu sudut bibirnya. Tanpa kata, hanya terus melanjutkan gambarnya yang belum rampung.

"Tapi, gambaran yang ini malah jauh lebih mirip," Xenna tiba-tiba menyeletuk santai.

"Mirip apa?"

"Mirip sama Mas Janu."

Dengan cepat Janu pun menoleh. Wajahnya tampak tak terima, dan Xenna malah tertawa kecil melihatnya. Membuat Janu lekas meloloskan sebuah dengkusan. Namun, alih-alih memberi sebuah balasan melalui kata, Janu melakukannya melalui cara yang lain.

Lelaki berkacamata itu tahu-tahu saja membuka lembaran baru sketchbook, menunda pengerjaan gambar sebelumnya. Lantas ia mulai kembali menggoreskan pena pada kertas. Kecepatannya dalam membentuk garis-garis tersebut menjadi sebuah objek menandakan bahwa ia bukanlah seorang amatir. Bahkan tidak butuh waktu yang lama sampai karya sederhana ciptaannya betul-betul rampung. Setelahnya, Janu pun mengangkat sketchbook tersebut, menyejajarkannya dengan wajah Xenna.

"Ini juga mirip," Janu berucap enteng sementara garis lengkung tipis tercetak di bibirnya.

Xenna yang mulanya kebingungan langsung saja mengambil alih sketchbook dari tangan Janu dan melihat sendiri apa yang sebetulnya lelaki itu gambarkan di sana. "Ih," seketika Xenna merengut kesal, melayangkan sorot tak terimanya pada Janu, "masa aku disamain sama bebek sih, Maaas?"

"Karena kenyataannya memang mirip." Janu kemudian menunjuk bibir Xenna yang sudah maju beberapa senti. "Coba lihat sendiri. Bibir kamu sudah seperti paruh bebek kalau lagi kesal."

"Ya, ya itu kan refleks aja bibir aku begitu, Mas ...."

"Refleks? Tapi di foto profil kamu, bibir kamu pun begitu juga."

Xenna mengerjap. "Foto profil?" Dahi Xenna mengerut samar. Kemudian kedua alisnya terangkat saat teringat foto profil yang digunakannya untuk aplikasi WhatsApp. "Tapi, Mas, perasaan aku belum lama deh ganti foto profilnya. Berarti baru-baru ini Mas Janu sempet merhatiin foto aku, ya?" terka Xenna dengan penuh rasa keingintahuan.

Seketika Janu pun terdiam, tersadar bahwa ia sudah mengutarakan sesuatu tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Lelaki itu pun berdeham pelan, lalu ia meraih sketchbook miliknya dari tangan Xenna. Kembali melanjutkan gambar yang sebelumnya. "Cuma nggak sengaja lihat," kilahnya segera.

"Masa, sih? Nggak percaya aku."

"Terserah."

Xenna kontan mendengkus. "Tapi, Mas, kenapa harus bebek, sih?" Ia masih saja tak terima sebab Janu menyamakan dirinya dengan seekor bebek.

"Memangnya kenapa? Kamu juga seenaknya menyamakan saya dengan kucing hitam."

"Ya kan masih mending kucing daripada bebek."

"Nggak ada yang lebih mending karena keduanya sama-sama hewan."

"Ish ...." Xenna pun pada akhirnya menyerah ketimbang perdebatan tak jelas mereka akan menjadi makin panjang.

Selama beberapa saat konversasi terhenti, dan yang tertangkap oleh rungu Xenna hanyalah bunyi dari pena yang bersentuhan dengan kertas. Gadis itu kemudian mengubah posisi duduknya, bersandar pada punggung sofa. "Omong-omong," Xenna yang lebih dulu melanjutkan percakapan, membawa topik yang berbeda, "Mas Janu nggak melukis lagi?"

"Akhir-akhir ini, belum," Janu menjawab sekenanya. Fokusnya masih tertuju pada sketchbook. "Saya belum nemu inspirasi."

"Inspirasi? Emang biasanya Mas Janu dapat inspirasi dari mana?"

"Macam-macam. Kadang suka datang sendiri. Kadang juga saya dapatkan setelah nonton film, baca buku, ataupun hal-hal yang saya temukan di internet."

"Hmm, kalau yang didapat dari luar, belum pernah, Mas?"

"Dari luar?"

"Iya. Misalnya, dari apa yang terjadi di sekitar. Atau bisa juga dari tempat-tempat yang dikunjungi. Coba aja Mas Janu pergi ke tempat-tempat bagus, deh. Hitung-hitung refreshing juga gitu, Mas, daripada Mas Janu sibuk sama kerjaan terus dan pas libur seringnya malah cuma diem di rumah."

Janu tergeming sejenak usia mendengar penuturan Xenna. Gerakan tangannya yang memegang pena pun perlahan melambat, hingga akhirnya berhenti total. Janu kemudian menoleh pada Xenna, mengunci pandangannya pada gadis itu. Raut yang tertampil di wajahnya tak terbaca, membuat Xenna tak bisa mengetahui apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun, tak lama setelahnya, Janu tiba-tiba saja berujar, "Mau ikut?"

Seketika Xenna pun tertegun. Beberapa kali ia berkedip sebab tak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari mulut Janu. "I-ikut?"

"Ya. Kamu ... ikut saya cari inspirasi."

Xenna makin terkejut lagi dibuatnya. Benarkah Janu baru saja mengajaknya? Mengajaknya untuk pergi berdua? Rasanya sungguh mustahil. Tapi kemudian, mendadak Xenna teringat akan sesuatu yang pernah Janu utarakan tempo hari. Meski awalnya ragu-ragu, pada akhirnya Xenna meyakinkan diri untuk bertanya, "Apa ini yang Mas Janu maksud waktu minta aku kosongin waktu buat Mas?"

"Bukan," jawab Janu. Pandangannya masih betah tertumbuk pada Xenna. "Tapi nggak ada salahnya kalau dilakukan di hari yang sama."

Xenna terdiam sesaat, sebelum membalas, "Mas Janu masih belum mau ngasih tau aku juga?"

Yang ditanya tidak langsung membalas. Janu meloloskan napasnya panjang-panjang, kemudian ia letakkan sketchbook dan pulpen di atas meja. Terpaksa sekali ia memindahkan Cimol yang tertidur di pangkuannya ke atas karpet sebab ia perlu mengambil sesuatu yang terletak di bawah meja. Lantas, tanpa berpikir lama, segera saja Janu serahkan apa yang ada di tangannya kepada Xenna.

Merupakan sebuah undangan pernikahan, yang membuat Xenna sempat kebingungan mengapa Janu memberikan itu padanya. Namun, melihat tanggal pelaksanaan yang tertera di sana, sebuah asumsi segera saja terbentuk dalam kepalanya dengan secepat kilat.

"Temani saya," sebuah permintaan meluncur dari mulut Janu, dibarengi oleh tatapan lekat sebagai tanda bahwa ia sungguh-sungguh mengatakannya.

Kedua mata Xenna lekas saja melebar. Dugaannya terbukti benar, tetapi ia betul-betul tak mengerti mengapa Janu meminta hal seperti itu kepada dirinya yang bukan siapa-siapa. "T-tapi kenapa aku? Mas Janu kan bisa ajak yang lain .... Kenapa aku, Mas?"

"Nggak ada yang lain. Cuma kamu." Janu menghela napasnya sejenak. Keseriusan tampak begitu jelas dalam sorot kedua netra di balik lensa kaca itu. "Saya cuma mau kamu."

Alih-alih sebuah pilihan yang biasa selalu Janu berikan, kali ini lelaki itu benar-benar menjawab pertanyaan Xenna seperti yang diinginkan. Lugas dan tegas, hanya saja secara bersamaan terdengar ambigu. Seluruh ketidakmungkinan selaku penghalang besar akan melambungnya asa pun seakan-akan menjadi nyata perlahan. Seolah-olah lelaki itu memberikan izin bagi Xenna untuk bebas berspekulasi dengan harapan-harapan yang tertuang di dalamnya.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

BONUS

foto profil xenna yang bibirnya kayak bebek kata janu :))

padahal dalem ati mah sibuk mengagumi kecantikannya kan masss wkwkwk.

btw bau-bau bakal confess ga sih ini? atau malah mau masuk konflik? let's see sama-sama aja deh yaa 🙃

bandung, 14 desember 2023

Continue Reading

You'll Also Like

2K 183 16
Rachel Helena sudah memasuki titik putih. Setelah titik abu-abu itu kalah mengenaskan di dalam mata Jared Assad suaminya, Rachel Assad memilih untuk...
1M 153K 50
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
618 121 5
Banyak lelaki tampan yang sering Audy temui, akan tetapi seseorang bernama Chaltra yang usianya terpaut 10 tahun darinya itu membuat Audy berniat unt...
3.7M 54.6K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...