Memories in the Making

By dindaarula

58.6K 5.9K 962

[Cerita Terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

โ€ Introduksi
โ€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
โ€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
โ€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
โ€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
โ€ 05 - Tindakan Langka Janu
โ€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
โ€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
โ€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
โ€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
โ€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
โ€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
โ€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
โ€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
โ€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
โ€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
โ€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
โ€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
โ€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
โ€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
โ€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
โ€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
โ€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
โ€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
โ€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
โ€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
โ€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
โ€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
โ€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
โ€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
โ€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
โ€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
โ€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
โ€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
โ€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
โ€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
โ€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
โ€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
โ€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
โ€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
โ€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan
โ€ 42 - Tatkala Dunia Janu Meruntuh

โ€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna

1.1K 124 37
By dindaarula

SELEPAS menyelesaikan ritual bersih-bersihnya di kamar mandi, Xenna lekas mengenakan piama serba panjang bermotif kelinci favoritnya. Meski malam belum terlalu larut, Xenna berniat untuk segera pergi tidur saja sebab memang tidak ada lagi yang perlu ia kerjakan. Namun sebelum itu, Xenna mesti mengeringkan rambut panjangnya yang basah agar ia dapat berbaring dengan nyaman. Gadis itu pun segera saja mengambil hair dryer dan dinyalakan, lantas ia pergunakan alat tersebut sebagaimana fungsinya.

Di tengah-tengah kegiatannya tersebut, perhatian Xenna mendadak teralihkan ketika layar ponsel yang terletak di atas meja belajarnya tiba-tiba menyala. Sebuah notifikasi baru saja masuk. Tanpa menghentikan apa yang tengah dilakukan, tangan kiri Xenna pun tergerak untuk meraih gawai miliknya tersebut untuk mengecek pesan yang telah ia terima.

Dan, nama kontak si pengirim kontan membuat sepasang netranya membulat. Isi pesan tersebut pun turut menjadi salah satu alasan di balik reaksinya pula.

Mas Janu
Mana filenya?

Sejatinya Xenna masih tak memercayai ini. Ternyata, Janu betulan bersedia untuk membantunya? Entah hanya karena terpaksa atau tidak, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa Xenna lebih senang Janu yang akan melakukannya, bukan Haidar. Maka dari itu, Xenna langsung saja mematikan hair dryer dan ia letakkan di atas meja, lantas cepat-cepat mencari dokumen berisi draf skripsinya yang kebetulan sudah ia back up ke ponsel. Usai ditemukan, Xenna pun segera mengirimkannya pada Janu.

Sekitar tiga menit berselang, balasan dari Janu akhirnya datang.

Mas Janu
Knp cuma bab 3?
Kamu kira saya bisa paham isi skripsi kamu kalau gak baca dari awal?

Bibir Xenna mengerucut perlahan membaca itu. Ia bahkan sampai turut meloloskan dengkusan kesal. Bagaimana bisa ketikan lelaki itu terdengar lebih ketus ketimbang dosen pembimbingnya sendiri? Kini Xenna pun seketika mempertanyakan lagi keputusannya untuk membiarkan Janu memberikan bantuan. Namun, sayangnya nasi sudah menjadi bubur, dan sesungguhnya Xenna pun tidak sepatutnya langsung menilai di awal jika belum menjalani proses keseluruhannya.

Xenna mengembuskan napas berat, lalu segera saja dicarinya draf skripsi bab satu dan dua untuk kembali ia kirimkan pada Janu.

Xenna Adhika
[Sent a document]
[Sent a document]
Ini mass
Tapi utk bab 1 sama bab 2 udah direvisi kokk, dan udh diacc juga sama dosbing aku

Mas Janu
Ok.
Saya baca dulu.

Xenna Adhika
Baik, pak dosen 🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Xenna tersenyum geli sendiri melihat balasan terakhirnya. Sengaja karena ingin iseng saja sebab Xenna benar-benar merasa seperti tengah bertukar pesan dengan dosennya sendiri saat ini. Xenna bahkan dapat membayangkan bagaimana kedua mata Janu yang memliki visual seperti rubah langsung menyorot tajam. Lelaki itu mungkin tengah kesal sekarang. Lihat saja, pesan Xenna bahkan hanya dibiarkan terbaca.

Karenanya Xenna pun mengabaikan ponselnya dan lanjut mengeringkan rambut. Setelah selesai, Xenna segera naik ke atas tempat tidurnya dan menarik selimut hingga menutupi tubuh hingga sebatas dada. Bermenit-menit lamanya Xenna habiskan hanya untuk berselancar di media sosial oleh sebab rasa kantuk yang mendadak lenyap. Dan, Xenna baru berhenti ketika ia tiba-tiba saja menerima pesan baru dari Janu. Setelahnya ia pun sepenuhnya beralih fokus pada percakapan virtual mereka.

Mas Janu
Kamu bimbingan hari apa?

Xenna Adhika
Lusa mass

Mas Janu
Kalau gitu malam ini saja.
Besok saya gak bisa karena kemungkinan harus lembur lagi.

Xenna Adhika
Sekarang banget mas??
Jadinya aku ke rumah mas janu nih?

Mas Janu
Gak perlu.
Skrng sudah hampir jam 9.

Xenna Adhika
Terusss?

Mas Janu
Via zoom meeting.
Nanti saya share linknya.

Kedua alis Xenna seketika bertautan. Via zoom meeting, katanya? Yang benar saja! Bukankah akan terasa formal sekali jika mereka benar-benar menggunakan media tersebut? Apakah lelaki itu benar-benar akan melakukan sesi bimbingan sungguhan alih-alih hanya sekadar mengeceknya?

Xenna Adhika
Masa pake zoom sih masss
Kayak mau kuliah online aja ih ngga mau akuu ☹️
Kenapa ngga vidcall ajaa??

Xenna betul-betul mengirimkannya dengan cepat tanpa sadar apa yang baru saja ia ketikkan. Hingga beberapa detik berselang, ketika Xenna kembali membaca pesan terakhir tersebut, sontak saja kedua matanya melebar panik dengan mulut terbuka. Xenna pun buru-buru bangkit, mengubah posisi menjadi duduk. Dengan cepat ia menghapusnya sebelum Janu sempat melihat. Namun, tepat setelah pesan benar-benar terhapus, centang abu-abu seketika berubah biru. Membuat tubuh Xenna lemas seketika.

Janu bisa saja sudah terlanjur membacanya, pikir Xenna. Maka dari itu, lantaran tak siap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya, Xenna lekas melempar pelan ponselnya ke atas kasur dan beranjak meninggalkan kamar. Tujuannya adalah dapur, sekadar mengambil segelas air putih ketimbang tak melakukan apa-apa. Pikirnya barangkali dapat sedikit mengurangi kepanikan.

Xenna yang menumpukan satu tangan di meja makan pun mengetuk pelan dahinya dengan kepalan tinju, merutuki diri sendiri karena kebodohannya. Bego. Bego. Bego. Kenapa gue malah ngajak vidcall, sih ....

Kendati demikian, Xenna tersadar bahwa ia tak mungkin bisa kabur seperti ini. Mau tak mau, Xenna memang tetap harus menghadapi hal tersebut. Karenanya gadis itu pun menghela napas dalam-dalam dan ia embuskan perlahan. Setelahnya ia pun kembali ke kamar meski keraguan masih memeluknya.

Lantas Xenna meraih ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur, menyalakannya dengan takut-takut. Dan, notifikasi yang muncul lekas membuat napasnya tertahan.

Mas Janu
[Missed video call]
Angkat.

Rupanya dugaan Xenna benar. Janu memang sudah sempat melihatnya. Dan tanpa diduga, jika dilihat dari bagaimana aksinya, lelaki itu langsung setuju tanpa banyak alasan.

Pada detik berikut, di saat Xenna masih betah memandangi apa yang terpampang di layar ponsel, ia tersentak dan nyaris melepas ponsel dari tangannya ketika benda itu sekonyong-konyong berdering dengan getaran panjang.

Janu kembali menghubunginya. Untuk melakukan panggilan video.

Panik kembali menyerang. Namun, bedanya kali ini Xenna tak lagi lari. Xenna malah secepat kilat beranjak ke hadapan cermin guna merapikan rambut serta memastikan hal lainnya agar penampilannya tak terlihat buruk di mata Janu. Setelahnya Xenna pun buru-buru beranjak menuju meja belajar, menyandarkan ponsel pada buku yang bertumpuk. Kini gadis itu sudah menjatuhkan bokong di kursi. Lantas, dalam satu kali usapan di layar, panggilan video akhirnya terhubung. Tanpa peduli bahwa jantungnya sudah nyaris meledak saat ini.

Sial, Xenna seketika mengumpat dalam hati seiring dengan napasnya yang tertahan. Pemandangan yang ia tangkap dari layar ponselnya membuat keadaan makin memburuk lagi.

"Diangkat juga akhirnya," Janu di seberang sana berucap pelan. Ia tampak tengah terduduk di sofa di sebuah ruangan yang kemungkinan adalah kamarnya--sebab Xenna sama sekali belum pernah melihatnya. Janu masih mengenakan setelah serba hitam yang terakhir ia kenakan saat menjemput Xenna tadi. Rambutnya yang tampak lembut dan sedikit bervolume jatuh menutupi dahi. Sepasang iris legam di balik lensa kaca tertuju pada laptop di hadapannya--Xenna dapat sedikit melihat keberadaannya. Lelaki itu kemudian mengembuskan napas pelan, sebelum akhirnya menengok dan menatap lurus ke ponsel.

Gemuruh di balik dada Xenna kian menggila saja karenanya. Entah mengapa Janu terlihat berkali-kali lipat lebih menarik sekarang, dan Xenna tak bisa menahan diri untuk tak kembali jatuh dalam pesonanya. "M-maaf, Mas, tadi aku lagi ke dapur sebentar," Xenna hanya mampu beralibi. Senyumnya mengembang kaku. Tubuhnya bahkan bergerak dengan canggung sebab ini memanglah yang pertama kali. Ditambah lagi, Janu masih belum juga memutus pandangannya.

Lelaki itu kemudian manggut-manggut, sebelum akhirnya berpaling dan kembali fokus dengan laptopnya. "Saya pikir kamu sengaja. Padahal, kamu sendiri yang minta," sahutnya dengan begitu santai.

"Aku nggak minta, Mas. T-tadi aku salah ketik, makanya langsung dihapus," sangkal Xenna yang lagi-lagi hanya berisi kebohongan.

Janu melirik Xenna sekilas. "Mau pindah ke Zoom?"

"Nggak mau."

"Ya sudah, nggak usah banyak alasan kalau gitu."

Xenna mengerjap. Apa ini? Apakah Janu tahu kalau Xenna hanya mengada-ada saja sejak tadi? Sebab jika memang demikian, itu berarti Xenna memang betul-betul payah dalam berbohong seperti yang selalu Janu katakan padanya.

"Sekarang kamu siapkan catatan," Janu kembali bersuara sebelum Xenna sempat membalas, "atau sekalian aja buka laptop kamu kalau mau langsung diperbaiki."

Mendengar itu, secara otomatis Xenna mengambil laptopnya dari dalam tas khusus. "Iya, Mas," balasnya dengan patuh. Seraya mengaktifkan laptop, ia melontarkan tanya, "Tapi, emangnya Mas Janu udah selesai bacanya?"

"Sedikit lagi." Kedua mata Janu tahu-tahu saja kembali tergerak ke arah layar ponsel, menyorot dengan serius. "Tapi, saya sudah langsung menemukan kesalahan waktu saya buka sekilas file bab tiga."

Sontak Xenna pun tercenung. Tampaknya ini merupakan pertanda buruk, dan Xenna mulai was-was karenanya. "Mas," panggil Xenna perlahan. Laptop yang sudah menyala ia abaikan sejenak. Pandangannya betah tertuju pada Janu yang kembali terlihat serius membaca skripsi miliknya.

"Hm?" Janu hanya membalas dengan gumaman.

"Jangan galak-galak."

"Memangnya, kamu pikir saya bakal marahin kamu?"

"Ya, siapa tau aja Mas Janu malah lebih galak dari dosen pembimbing aku sendiri."

"Itu tergantung bagaimana hasil pekerjaan kamu."

"Ih, Maaas ...." Bibir Xenna pun mengerucut seketika.

Selama beberapa detik, tatapan Janu berpaling pada Xenna. Menguncinya, lekat. Sorotnya tak terdefinisikan bagi Xenna, tetapi tetap saja mampu membuatnya salah tingkah. Kemudian, lelaki itu meloloskan napas pelan, lantas dari bibirnya terlontar kalimat-kalimat, "Kamu berharap apa? Berharap cara saya bersikap bisa seperti Haidar? Itu alasan kamu lebih milih dia daripada saya?"

Xenna yang mendengar itu kontan mengerutkan kening sementara binar kebingungan bermain-main dalam bola matanya. Tanpa sadar, ia sedikit memajukan sedikit tubuhnya. "Kok jadi A Idar sih, Mas?" Ia menjeda sesaat. "Sebelumnya aku milih sama A Idar kan karena emang dia baik banget dan udah jelas bersedia buat bantu aku. Nggak kayak Mas Janu, yang nggak bisa langsung kasih kepastian."

Janu lekas memicingkan mata. "Jadi cuma karena itu? Cuma karena itu juga kamu langsung berani nunjukinnya secara terang-terangan?"

"Huh?"

"Secepat itu bagi kamu?"

"Cepat ... apanya ...?"

"Kamu bahkan baru sekali bertemu Haidar."

Perkataan Janu membuat Xenna makin tak mengerti lagi. Ke manakah arah pembicaraan mereka yang sebenarnya? "Bentar, Mas. Itu nunjukin apa sih, maksudnya? Emangnya tadi aku ngapain? Aku cuma--" Xenna mendadak menghentikan ucapannya kala sepenggal ingatan sekonyong-konyong terputar dalam benak. Xenna pun kembali mengulang apa-apa saja yang telah ia lakukan saat dalam perjalanan pulang di saat Haidar masih bersama mereka. Pikirnya, sama sekali tidak ada yang salah. "A-aku kan cuma nanya-nanya aja ke A Idar, Mas, soalnya aku pengen tau karena--" Lagi, Xenna berhenti bicara di saat benang kusut dalam kepalanya mulai terurai dan berhubungan erat dengan apa yang Janu sampaikan. Kedua mata gadis itu pun kontan melebar. "Mas, jangan bilang kalau ...."

"Kalau apa?" Janu menyahut agak ketus setelah ia menghela napas dengan berat. Selanjutnya ia berpaling, tak lagi memusatkan atensinya pada Xenna melalui lensa kamera ponsel.

"Mas ... Mas Janu salah paham, ya? Aku beneran nggak ada maksud apa-apa, kok, serius deh. Jangan berpikiran kalau aku cewek murahan, please ...." Tatapan memohon Xenna layangkan. Kedua telapak tangannya saling menempel. Bibirnya bahkan tampak menekuk ke bawah. Percakapan yang pernah ia lakukan dengan Janu beberapa waktu lalu membuat Xenna khawatir jika apa yang telah dilakukannya tadi berhasil mengubah pandangan Janu terhadapnya dalam waktu singkat.

Kali ini, justru Janu yang mendadak tampak bingung karena apa yang Xenna tuturkan. Membuatnya mau tak mau kembali berfokus pada Xenna. "Berpikiran ... apa? Kamu ini ngomong apa?" tanyanya dengan salah satu alisnya yang menukik rendah.

"Aku takut Mas Janu langsung mikir begitu setelah liat apa yang aku lakuin tadi."

"Kenapa juga saya harus mikir begitu?"

"Yaaa karena waktu itu aku bilangnya aku nggak ada maksud apa-apa, tapi tiba-tiba aku bersikap seolah mau deketin A Idar. Sumpah, Mas, aku nggak suka sama A Idar. Aku juga nggak berniat buat nyakitin April, kok. Justru aku tanya-tanya gitu buat dia juga ...."

Sesaat Janu hanya tergeming, berusaha mencerna penjelasan Xenna. "April? Jadi, kamu tahu?"

Xenna mengangguk singkat. "Tau, orang waktu itu dia nelepon aku, langsung marah-marah dan ngelarang aku suka sama A Idar."

Janu sempat tertegun, sebelum ia menghirup napas banyak-banyak seraya menyugar rambutnya ke belakang, lalu bergumam, "Astaga, anak itu ...."

Sejenak Xenna hanya diam memandangi Janu yang tampaknya tidak menyangka adik perempuannya telah melakukan hal tersebut. "Jadi ... Mas Janu beneran salah paham? Mas nggak beneran mikir aku cewek murahan, 'kan?" Kembali Xenna lontarkan pertanyaan tersebut, ingin memastikan sekali lagi agar dirinya dapat meraih kelegaan dengan bebas.

Embusan napas Janu terdengar. Kedua matanya lagi-lagi mengunci Xenna. Begitu lekat. "Dari waktu itu saya sudah bilang, saya nggak pernah sekali pun mikir kamu perempuan seperti itu," tukasnya dengan nada suara yang terdengar tenang dan tegas secara bersamaan.

Xenna mengerjap polos. "Berarti, cuma murni salah paham? Mas Janu ngira aku suka sama A Idar?"

Balasan dari Janu tidak segera datang. Lelaki itu malah dengan cepat mengalihkan pandangan pada laptop, membaca apa yang tertampil di layarnya. Namun, beberapa kali Xenna menangkap bagaimana ia berkedip secara tak natural. "Sudahlah, lebih baik kita mulai review-nya," tandas Janu yang tanpa ia sadari malah membuatnya terlihat makin jelas bahwa ia dengan sengaja menghindar.

"Mas Janu aneh." Kali ini, Xenna betul-betul tak bisa hanya menyimpan keheranannya dalam benak. Segala yang Janu lakukan akhir-akhir ini selalu sukses mengundang tanda tanya besar dalam benaknya.

"Apa lagi sekarang?"

"Aku cuma ngerasa kalau makin ke sini, sikap Mas Janu makin aneh, nggak kayak biasanya. Memang bukan dalam artian negatif, tapi ... tetep aja aneh."

Janu kontan menoleh. Lagi-lagi Xenna dan kata-kata yang meluncur dari bibirnya sukses menarik perhatian lelaki itu. Beberapa detik berselang, Janu tak berkata apa pun. Ia hanya meraih sebuah gelas dan meneguk isinya--air putih. Sampai akhirnya, secara terduga, kalimat yang ia utarakan kemudian adalah, "Lalu kamu prefer saya yang bagaimana?"

Sontak saja Xenna pun tertegun. Beberapa kali ia mengerjap dengan jantungnya yang mendadak berdegup kencang. Sama seperti Janu sebelumnya, kali ini Xenna benar-benar merasa tak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Oleh karenanya, Xenna pun lekas berfokus pada laptop yang sudah ia abaikan selama bermenit-menit lamanya.

"Ayo mulai sekarang, Mas."

Janu menghirup napas dalam-dalam, berusaha keras menelan sabar. Padahal belum mencapai pertengahan halaman di bab tiga, tetapi rasanya Janu sudah tak sanggup. Lelaki itu kini bahkan memandangi dokumen yang tertampil di layar laptopnya dengan sorot lelah. Satu tangan yang bertumpu pada pahanya ia gunakan untuk memijat pelipis perlahan. "Pusing saya baca tulisan kamu." Kalimat tersebut pada akhirnya tak bisa Janu tahan lebih lama lagi. Tanpa mengubah posisi, tatapannya kemudian beralih pada ponsel yang masih tersambung dengan milik Xenna. "Sebetulnya kamu baca pedomannya atau nggak? Bahkan sesimpel penomoran sub bab pun kamu masih salah."

Xenna di seberang terlihat sibuk memperbaiki kesalahannya dengan wajah yang sudah tampak tak keruan. Panik, cemas, tegang, semuanya bercampur jadi satu di sana. Sesekali Xenna menengok ragu-ragu meski pada akhirnya berakhir buru-buru membuang muka kala ia dapati Janu tengah menatapnya lurus-lurus. "A-aku baca pedomannya kok, Mas, tapi aku lupa buat edit setelah beres ngerjain ...," Xenna mencicit, berusaha berkilah. Entah ia jujur atau tidak, tetapi yang namanya salah tetap saja salah di mata Janu.

"Lupa, kamu bilang? Gimana bisa kamu lupa dengan hal penting seperti ini? Kamu betul-betul mau serahkan hasil pekerjaan kamu yang seperti ini ke dosen pembimbing kamu?" Janu sungguh tidak habis pikir dengan gadis itu. Ia lantas menegakkan badan dan mengembuskan napas panjang-panjang. "Ini bukan cuma soal penomoran sub bab. Kesalahan-kesalahan kamu yang sebelumnya juga nggak bisa dianggap sepele. Kenapa nggak kamu cek semuanya dulu dengan lebih teliti? Kenapa kamu nggak belajar dari revisi-revisi yang sebelumnya?"

"Mas, ih, jangan marah-marah ...," rengek Xenna dengan bibirnya yang tertekuk ke bawah. Kini ia bahkan tak berani lagi menatap Janu--meski hanya melalui kamera. Dengan sengaja gadis itu pun sedikit memajukan tubuh dan menggeser laptopnya agar dirinya sedikit tertutupi. "Iya aku tau aku salah, ini juga langsung aku revisi, kok. Tapi jangan marah-marah ...."

Mendengar itu, untuk sejenak Janu pun hanya terdiam. Padahal, baginya ini belum seberapa sebab ia masih berusaha keras untuk menahan diri. Tentu ia tak sejahat itu dengan sengaja menjatuhkan mental seorang mahasiswi akhir yang sedang berjuang demi kelulusannya. Terlebih karena yang sedang dihadapinya kini adalah seorang Xenna Adhika. Namun, mau bagaimana lagi? Sesi bimbingan mereka kali ini juga dilakukan agar dapat sedikit mengurangi beban gadis itu nantinya. Lantas, apakah caranya yang salah? Atau mungkin Xenna benar-benar berharap Janu mampu bersikap seperti Haidar?

Sungguh, Janu mendadak diserang rasa kesal karena mengingat kembali hal tersebut--walaupun sudah clear bahwa semuanya hanyalah kesalahapahaman. Sebab Janu masih dapat melihat dengan jelas kalau di mata Xenna, Haidar adalah laki-laki yang lebih baik dibandingkan dengan dirinya.

"Mas Januuu?"

Janu mengerjap. Yang ia dapati dari layar ponselnya kini adalah Xenna yang mengintip dari balik laptopnya. "Kenapa?"

"Aku panggilin dari tadi Mas Janu malah diem aja," balas gadis itu. Ekspresinya sudah tampak sedikit lebih rileks sekarang.

Embusan napas panjang lolos dari lubang hidung Janu. Lelaki itu kemudian menumpukan kedua siku pada paha dan berpaling pada layar laptopnya sendiri. "Kamu sudah sampai mana sekarang?"

"Terakhir aku revisi di halaman dua belas, bagian paragraf kedua, Mas."

"Ya sudah, kita lanjut lagi."

Setelahnya Janu kembali fokus membaca satu per satu kalimat dan lekas memberi tahu Xenna apa kesalahannya seperti yang ia lakukan sejak tadi. Bedanya, kali ini Janu berusaha untuk lebih berhati-hati lagi dalam menyampaikannya. Kendati hasil pekerjaan Xenna cukup berhasil membuat kepalanya pening, tetapi ia tak mau mengambil risiko jika gadis itu berakhir menangis nantinya. Janu pun dengan sabar menjawab hal-hal yang masih tak dimengerti oleh Xenna saat ia melakukan perbaikan. Tak jarang pula Xenna memperlihatkannya sendiri pada Janu agar lelaki itu dapat mengeceknya sendiri. Cukup repot, memang. Itulah mengapa Janu lebih memilih untuk menggunakan Zoom saat di awal.

"Saya nggak ada masalah dengan isi skripsi kamu karena itu bukan ranah saya untuk berkomentar. Tapi, di beberapa bagian saya menemukan bagaimana kamu kelihatan berusaha sekali menjelaskan segalanya sampai-sampai kalimatnya terasa berbelit-belit. Selain kesalahan-kesalahan seperti typo dan sebagainya, kamu juga harus pikirkan kembali kata-kata yang mau kamu gunakan supaya lebih efektif." Mereka kini sudah benar-benar mencapai halaman terakhir, dan Janu segera saja mengulang kembali hasil pengamatannya terhadap skripsi Xenna. "Jangan malas buat buka pedoman EYD ataupun KBBI. Semuanya bisa diakses dengan mudah dan gratis. Itu bisa membantu kamu dalam menyusun kalimat ataupun melakukan parafrase."

Xenna di seberang sana segera mengangguk-angguk. "Iya, Mas," balas gadis itu sekenanya.

"Selagi masih ada waktu, kamu juga bisa lanjutkan sampai bab tiga ini benar-benar rampung. Nggak perlu banyak ragu. Penelitian ini kamu yang paling paham, jadi kamu cukup percaya aja sama diri kamu sendiri."

"Iya, Mas," Xenna kembali menyahut dengan cara serupa.

Karenanya Janu pun lekas memusatkan pandangan ke arah Xenna. "Jangan cuma iya-iya aja. Kamu paham nggak, apa yang dari tadi saya omongin?"

Decakan pelan kontan terdengar. Wajah Xenna benar-benar tampak merengut lantaran kesal sekarang. "Iyaaa, Mas, aku paham. Udah dong, jangan marah-marah terus."

Janu mendengkus samar. "Lama-lama saya bisa marah betulan kalau kamu nggak berhenti ngomong begitu."

Bibir Xenna segera mengerucut. "Ish, iya, iya, aku nggak ngomong gitu lagi," tukasnya seraya menegakkan badan dan membuang napasnya. Xenna kemudian menggeser laptop hingga pada akhirnya, Janu dapat merekam sosok gadis itu dengan sempurna. "Berarti, ini udah selesai 'kan, Mas?"

"Ya, kecuali kamu masih mau lanjut karena merasa belum puas."

"Ih, nggak mau. Yang tadi udah lebih dari cukup buat aku. Aku bahkan jadi nggak ngantuk lagi sekarang."

Janu tergeming sesaat. Sepasang netranya masih mengunci Xenna. Ia kemudian menghela napas, sebelum berujar, "Tidur, Xenna." Entah apa yang tengah merasukinya, tetapi intonasi yang lelaki itu gunakan secara tak terduga terdengar begitu lembut--meski tetap ada ketegasan di dalamnya.

Xenna berkedip dua kali. Ia sempat menggerakkan bola matanya ke arah lain sebelum kembali lagi tertuju pada Janu. Seraya menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga, Xenna tiba-tiba saja melontarkan tanya, "Umm, Mas Janu ada kerjaan lain sekarang?"

"Nggak ada."

"Mas Janu lagi ngantuk, nggak?"

"Nggak begitu."

"Kalau gitu ... mau temenin aku ngobrol sebentar?"

Janu sedikit memiringkan kepalanya. "Ngobrol? Soal apa?"

"Apa aja, Mas. Temenin aku ngobrol sampe ngantuk. Ya?" Binar penuh harap tampak jelas di kedua mata Xenna, dan kini Janu pun mendadak tak tahu bagaimana caranya untuk memberi penolakan.

"Ya, saya temani," Janu pun akhirnya setuju tanpa perlu berpikir panjang. Jika harus mengaku, sejatinya ia pun tak ingin panggilan video yang mereka lakukan segera berakhir walaupun tujuan utama sudah terlaksana. Jika harus mengaku lagi, berbicara dengan gadis itu telah menjadi salah satu hal yang paling disenanginya saat ini. Memang seringnya Xenna yang jauh lebih dominan dalam percakapan, tetapi Janu sama sekali tidak masalah. Mendengarkan suara halusnya melantunkan kata-kata pun termasuk salah satu sumber kebahagiaan sederhana bagi Janu.

Xenna di sana secara otomatis menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyum lebar. Ia tampak hendak membalas, sebelum tiba-tiba saja mengangkat kedua alisnya seolah baru mengingat sesuatu. "Oh, bentar Mas, aku mau nyalain musik," ujar gadis itu. Kemudian ia sibuk dengan laptopnya selama beberapa saat, sampai akhirnya sebuah lagu yang sangat Janu kenali menelusup masuk dalam rungunya. "Wave to earth, kesukaan Mas Janu," Xenna berucap demikian masih dengan lengkungan indahnya yang terpatri di wajah, sembari menatap lurus ke arah layar.

Janu tak kuasa menahan ujung-ujung mulutnya yang secara otomatis tertarik. Garis lengkung tipis pun terpatri di sana. Rupanya, Xenna masih mengingat hal tersebut dengan baik. "Jadi, kamu mau ngobrol apa?"

Xenna terdiam sejenak. "Hmm ... kalau aku minta pendapat Mas Janu, boleh?" Ada sedikit keraguan yang Janu temukan ketika Xenna bertanya demikian.

"Ya, boleh," jawab Janu, lagi-lagi tanpa perlu lama berpikir sebab ia tak punya alasan untuk tak mengiakan.

Setelahnya Xenna kembali geming, tidak langsung membalas. Keraguan itu masih ada, tetapi terlihat jelas sekali berusaha gadis itu abaikan sebab pada akhirnya, ia berkata, "Mas, apa nggak bisa memaafkan kesalahan orang lain juga termasuk sebuah kesalahan?"

Dahi Janu sedikit berkerut, tidak menyangka Xenna akan meminta pendapatnya terkait hal tersebut. Perlahan Janu pun sedikit merendahkan tubuh sementara kedua sikunya bertumpu pada paha. Tatapannya tertuju lekat pada Xenna. "Apa yang melatarbelakangi kamu tanya seperti itu?"

"Soal itu ... aku cuma ngerasa kalau aku makin sulit buat maafin seseorang karena aku pikir, kesalahannya terlalu fatal buat dimaafin. Tapi di sisi lain, aku juga mikir kalau misal aku milih buat nggak memaafkan, apa itu termasuk pilihan yang salah?" Xenna menarik napas dengan berat. Pandangannya tertuju ke arah lain, tampak menerawang. "Bang Vandi bilang, yang namanya memaafkan itu gampang, yang sulit justru melupakan atau memercayai kembali. Makanya, kalau kita mau coba memaafkan, tujuan utamanya itu untuk berdamai sama keadaan. Terus, kalau misal aku kesulitan buat memaafkan, apa selamanya aku nggak bakal bisa berdamai sama keadaan?"

Selama mendengarkan dengan baik apa-apa saja yang Xenna sampaikan, sejenak Janu menyesap air bening yang sudah tersisa setengah dalam gelasnya. Janu kembali menjatuhkan pandangannya pada Xenna tepat setelah gadis itu selesai berbicara. "Kalau kamu tanya pendapat saya, saya akan dengan tegas bilang kalau itu bukan kesalahan," tukas Janu, lalu ia menambahkan, "tetapi jika ikut dibarengi dengan alasan-alasan yang jelas." Janu menjeda sesaat. "Nggak sedikit orang yang sama sekali nggak sadar di mana letak kesalahannya, sehingga permintaan maafnya nggak benar-benar tulus. Lebih parah lagi, kalau kesalahannya terlalu banyak dan bukan cuma karena perkara sepele, yang mungkin aja sampai berhasil meninggalkan trauma. Bahkan yang lebih jahat, ada pula mereka yang menggunakan permintaan maaf sebagai alat manipulasi agar mereka bisa mengendalikan emosi orang yang bersangkutan. Bagi saya, orang-orang seperti itu sama sekali nggak pantas mendapatkan kata maaf."

Xenna tergeming, tampak berusaha mencerna seluruh penjelasan Janu yang ia simak dengan begitu baik hingga hanya terdengar lagu milik wave to earth dari seberang sana. Janu bahkan baru menyadari bagaimana gadis itu menumpukan dagu pada dua tangannya yang berlipat, membuat wajahnya terlihat cukup dekat di layar. Dan, Janu sempat tak fokus sesaat karenanya.

"Sebaliknya, jika mereka memang pantas, kita nggak punya alasan buat nggak memaafkan mereka karena ada jauh lebih banyak alasan baik kenapa kita, sebagai manusia, harus bisa melakukannya," Janu melanjutkan penuturannya, kali ini tanpa menatap sang lawan bicara. Sepasang netranya hanya tertuju pada layar laptop yang masih menampilkan dokumen draf skripsi milik Xenna. "Dan, menurut saya, kamu bukannya nggak bisa. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu kesulitan, yang berarti kamu tetap mampu. Hanya saja, kamu harus lihat lebih dalam lagi supaya kamu tahu apa yang sebaiknya harus kamu lakukan. Kalau saat ini kamu memang masih kesulitan, itu nggak papa, sama sekali bukan masalah besar.

"Saya pribadi agak kurang setuju sama perkataan abang kamu," aku Janu sembari menoleh sekilas pada Xenna. Gadis itu masih betah pada posisinya dan sibuk mendengarkan Janu. "Bagi saya, justru kita harus berdamai dengan keadaan dulu supaya mampu memaafkan. Memaafkan dengan hati yang lebih lapang karena kita sudah bisa menerima segalanya. Kedua hal itu pun sejatinya merupakan proses yang cukup kompleks, jadi wajar aja kalau membutuhkan waktu yang cukup lama dengan proses yang nggak mudah."

Masih tidak ada respons dari Xenna. Gadis berambut hitam panjang itu masih saja berusaha mencerna perkataan Janu dalam diam. Namun, Janu hanya membiarkannya sebab ia mengerti. Mengerti betul bahwa keadaan yang tengah Xenna hadapi kini memang cukup sulit. Maka dari itu, sedikit harapan Janu panjatkan agar segala yang terucap dari bibirnya dapat membantu gadis itu. Paling tidak, mampu meringankan beban yang menumpuk di hatinya.

Beberapa detik berselang, Xenna tampak menegakkan badan, kian menjauhkan wajah dari ponselnya. Ia menggigit bibir, terlihat ragu-ragu, sebelum akhirnya bertanya, "Kalau Mas Janu, gimana caranya berdamai sama keadaan?"

Janu menaikkan satu alisnya rendah. "Saya?"

Xenna menjawabnya dengan anggukan.

Lagi-lagi sesuatu yang tak terduga, pikir Janu. Namun, hal ini merupakan sesuatu yang masih mampu ia jawab. Oleh karenanya, Janu melemparkan ingatannya sejenak pada masa-masa pahit yang pernah dilaluinya bertahun-tahun yang lalu. "Dengan bersikap egois," Janu berucap dengan suara pelan, tetapi Xenna masih dapat mendengarnya.

"Bersikap egois?"

"Ya, tapi dalam artian yang sehat. Maksudnya, saya mementingkan diri sendiri bukan karena ingin menyakiti orang lain, tetapi sebaliknya, saya sengaja menjauh sejenak dari hal-hal yang paling berpotensi membuat saya kembali tersakiti. Saya hanya butuh ruang, di mana di dalamnya hanya berisi hal-hal baik untuk diri saya." Janu menghela napasnya berat. "Saya sempat memutus komunikasi dengan perempuan itu. Saya juga menghindari apa pun yang bisa mengingatkan saya sama dia. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan berfokus pada karir saya ataupun kegiatan positif lainnya, juga berinteraksi sama orang-orang terdekat. Dari situ saya pun sadar, hidup saya masih bisa berjalan begitu baik tanpa adanya dia sebagai pendamping yang awalnya saya harapkan. Harapan itu bahkan perlahan pupus, sampai ketika akhirnya saya bertemu dia lagi, nggak ada sesuatu spesial yang saya rasakan seperti dulu."

Usai menuntaskan kalimatnya, Janu lekas meraih gelas dan menandaskan isinya. Tenggorokannya terasa begitu kering sebab terlalu banyak bicara.  Setelahnya lelaki itu kembali menatap layar ponsel. Lagi-lagi didapatinya Xenna tampak menyimak dengan baik seluruh kalimat yang Janu lontarkan. "Apa sudah cukup buat kamu ngantuk?" Janu menaikkan sedikit satu sudut bibirnya. "Kalau dipikir-pikir, daripada ngobrol, kamu hanya sibuk dengar saya mengoceh dari tadi."

Xenna mengerjap, sebelum akhirnya menarik kedua sudut bibirnya yang perlahan kian melebar. "Kapan lagi coba, aku bisa dengerin Mas Janu ngomong panjang lebar kayak gini?" Tawa kecil gadis itu lantas menguar. "Aku malah makin nggak ngantuk jadinya, Mas."

Janu mendengkus pelan. "Jelas aja. Kamu malah mengundang bahasan yang cukup serius."

Cengiran segera terbit di wajah Xenna, kendati perlahan sedikit meluntur ketika gadis itu membalas, "Tapi, Mas, aku nggak tau mau ngomong apa selain bilang makasih sama Mas Janu." Bibirnya membentuk senyum simpul. "Selain penjelasan Mas Janu yang berhasil ngasih pandangan baru buat aku, Mas Janu juga udah bantu aku perbaiki skripsi aku. Yaaa walaupun banyak marah-marahnya, tapi jujur aja aku ngerasa terbantu banget, kok."

Janu turut menarik ujung-ujung mulutnya. Tersenyum tipis. Sesuatu kemudian mendadak terbesit dalam benak, membuatnya sedikit menelengkan kepala, lantas lekas melisankannya, "Tapi semuanya nggak gratis."

"Huh?" Xenna lekas mengernyit heran. "Ih, apa sih, Mas, kok tiba-tiba? Terus jadinya aku harus bayar, gitu?"

"Ya, tapi bukan pakai uang. Saya nggak butuh uang kamu."

"Terus pake apa, dong?"

Janu tergeming sesaat hanya untuk menimbang-nimbang sampai ia merasa yakin. "Tanggal 25 nanti, kosongin waktu kamu buat saya."

Xenna terlihat tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "T-tapi buat apa, Mas?"

"Nanti saya kasih tahu."

"Ih, Maaas, kasih tau sekarang, nggak? Jangan bikin aku penasaran!"

Bibir Janu sedikit berkedut oleh sebab menahan senyum geli melihat rasa keingintahuan besar yang terpampang jelas di wajah Xenna. "Jangan dipikirkan. Lebih baik kamu tidur sekarang."

"Ish, gimana aku bisa tidur kalau Mas Janu belum ngasih tau akuuu?!"

"Tidur, Xenna."

"Kasih tau aku dulu!"

Xenna yang terus mendesaknya membuat Janu segera mengembuskan napas lelah. Ia pun kembali merendahkan tubuh, sepasang iris gelap di balik lensa kacanya menyorot serius pada gadis itu. "Saya makin nggak mau kasih tahu kalau kamu terus maksa," tukas lelaki itu. "Sekarang kamu tidur," titahnya kemudian, tak terbantahkan. "Jangan dipikirkan. Termasuk hal-hal yang kamu tanyakan pada saya tadi, nggak usah kamu pikirkan berlarut-larut. Istirahat."

Wajah Xenna tampak merengut, sebelum diembuskannya napas sedikit kasar sebab mau tak mau ia harus menyerah kali ini. "Ish, iya, iya, aku tidur sekarang ...."

Setelahnya sepasang insan itu malah berakhir terdiam. Lagu yang masih terputar tetap setia mengisi latar belakang. Hening yang hadir mengundang Janu maupun Xenna untuk kembali bersitatap tanpa satu kata pun yang terucap dari bibir masing-masing. Wajah gadis itu membuat Janu tetap bertahan dalam posisinya seolah tak tahu bagaimana caranya mengakhiri panggilan yang mereka lakukan. Atau kalau boleh jujur, Janu justru enggan melakukannya.

Namun, di saat itu, Xenna yang lebih dulu memutus pandangan, sebelum ragu-ragu kembali beralih pada Janu dengan gerakan yang terlihat kaku. "K-kalau gitu aku matiin ya, Mas?"

Dengan sedikit terpaksa, Janu pun mengangguk kilat. "Ya, kamu matikan saja duluan."

"Sekali lagi makasih banyak, Mas," ujar Xenna. Lantas, ia kembali memamerkan senyum manisnya. "Selamat malam, Mas Janu."

Sontak Janu tertegun. Tentu ia tak menduga akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Xenna. Oleh karenanya, Janu turut menarik kedua sudut bibir hingga membentuk lengkungan yang lebih lebar dari semua yang sudah ia perlihatkan hari ini, sebelum akhirnya ia lontarkan balasan sebagai penutup salah satu malam dengan momen-momen berharganya yang takkan pernah terlupa sampai kapan pun.

"Selamat malam, Xenna."

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

BONUS

kuliah malam with mas janu ☺️💖

anyway mau bilang makasih banget buat wonu karena live-nya berhasil menghadirkan ide buat bab ini wkwkwk 😆🫶🏻

bandung, 7 desember 2023

Continue Reading

You'll Also Like

1M 154K 50
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.5M 213K 46
Jeno X Jaemin [โœ“] Yang mau baca ini tapi ga ngerti Rp, bisa baca chapter "Apa itu Rp?" Semoga membantu sih wkwk. Klo masih ga ngerti boleh nanya kok...
3.8M 55.9K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.2M 10.4K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...