Memories in the Making

By dindaarula

55.9K 5.7K 881

[Cerita Terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

ā€ Introduksi
ā€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
ā€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
ā€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
ā€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
ā€ 05 - Tindakan Langka Janu
ā€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
ā€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
ā€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
ā€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna
ā€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
ā€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
ā€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
ā€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
ā€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
ā€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
ā€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
ā€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
ā€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
ā€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
ā€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
ā€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
ā€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
ā€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
ā€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
ā€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
ā€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
ā€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
ā€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
ā€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
ā€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
ā€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
ā€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
ā€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
ā€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
ā€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
ā€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
ā€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
ā€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
ā€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
ā€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan

ā€ 26 - Di Saat Janu Cemburu

1.2K 134 32
By dindaarula

ATMOSFER yang mengurung ketiga insan di sana sejatinya terasa cukup canggung, terlebih lagi bagi Radian dan Sheila yang baru pertama kali bersinggungan hingga terjebak dalam situasi yang sama.

Siang tadi, tak lama setelah Sheila selesaikan penjelasannya sampai berhasil mengundang hening panjang karena sibuk dengan isi pikiran masing-masing, keberadaan Xenna sudah lebih dulu ditemukan oleh Radian bahkan sebelum ia menghubungi gadis itu. Radian pun tampak tak menyangka dengan pemandangan yang ia tangkap sebab ia tahu persis masalah apa yang telah menimpa Xenna dan dua sahabatnya. Begitu pula dengan Sheila, yang memang sempat mengaku pada Xenna bahwa dirinya memiliki perasaan berlebih terhadap lelaki itu.

Yang Radian pikirkan hanyalah segera membawa Xenna pergi dari sana, mengira bahwa Xenna sesungguhnya merasa tak nyaman akan kehadiran Sheila. Xenna memang tidak memberikan penolakan, tetapi tanpa diduga ia malah turut mengajak Sheila untuk ikut bersamanya. Radian tentunya terheran-heran, sementara Sheila tampak tak percaya sebab Xenna tak lagi mendorongnya jauh seperti sedia kala. Di sisi lain Sheila pun merasa senang bukan main karena pada akhirnya, ia memiliki kesempatan untuk berada lebih dekat dengan sang lelaki pujaan.

Lantas ketiganya berakhir di kantin fakultas, berbincang-bincang dengan ditemani oleh minuman masing-masing--kecuali Radian yang memesan makanan berat karena ia belum makan siang. Percakapan pun hanya didominasi oleh Xenna dan Sheila. Xenna terus saja mengorek informasi terkait Arka dan Gia meski harus menahan nyeri yang kembali menyerang. Rasa ingin tahunya benar-benar tak bisa dibendung lagi. Sementara itu, Radian yang hanya mendengarkan tentunya ikut mengetahui apa yang terjadi. Tak tahan untuk tidak berkomentar, lelaki itu akhirnya bergabung dalam konversasi meski sebagian besar yang terlontar dari mulutnya hanyalah makian kasar.

"Lo yakin, Shei, Gia beneran nggak hamil walaupun mereka udah sampe tiga kali ngelakuin itu?" Kini Xenna bersama Radian dan Sheila sudah berada di lobi gedung fakultas mereka. Malam sudah menjemput, air hujan masih terus berjatuhan, tetapi Xenna tetap saja betah mengeluarkan pertanyaan tersebut saking tidak percayanya dengan informasi mengejutkan yang baru ia dapatkan. "Nggak mustahil kalau alasan Arka nggak bisa ngelepasin Gia karena dia harus tanggung jawab, 'kan?"

Sheila menghela napas pelan. Ia tetap sabar untuk menjawab rasa penasaran Xenna. "Sebetulnya gue nggak yakin, Xen. Tapi gue rasa Gia jujur, dan gue mutusin buat percaya aja." Ada jeda sesaat. "Waktu pertama kali memang tanpa persiapan karena Arka mabuk, dan Gia terlanjur terbawa suasana sampe dia sepenuhnya dikuasai nafsu. Beruntungnya, Gia bilang masih aman. Dan yang selanjutnya, Gia bilang mereka selalu main pake pengaman. Tapi ya ... siapa yang tau juga kalau bakal tetep jadi?"

Xenna hanya tergeming usai mendengarnya, lantas ia loloskan napasnya dengan begitu berat. Pandangannya tertuju lurus pada hujan yang jatuh seolah tengah menerawang. Pikirannya benar-benar penuh oleh Arka dan Gia, tidak menyangka bahwa ia akan kembali mengalami hal yang sama seperti saat dirinya pertama kali mengetahui perselingkuhan mereka.

"Xen, tolong lah, lo jangan goblok kayak gini," Radian tahu-tahu menimpali karena gemas sendiri melihat Xenna.

"Radian, lo kasar banget," tegur Sheila dengan ragu-ragu. Keberadaan Radian betul-betul membuat nyalinya sedikit menciut.

Radian lekas mendengkus, menatap Sheila tanpa minat. "Bodo, gue nggak minta pendapat lo," balasnya sedikit ketus. Kemudian ia beralih lagi pada Xenna yang berdiri persis di sebelahnya. "Waktu itu gue udah pernah bilang, 'kan, kalau lo nggak perlu sibuk mikirin mereka? Udah terbukti perbuatan tolol yang mereka lakuin itu berdasarkan consent masing-masing. Mereka sama-sama sadar dan sama-sama mau. Seharusnya mereka pun udah tau konsekuensi yang harus dihadapi semisal keberuntungan nggak berpihak sama mereka. Dan, kalau beneran kejadian, itu semua sama sekali bukan urusan lo, Xen."

Senyum masam terkembang di bibir Xenna. Tanpa menoleh pada sang lawan bicara, ia hanya memandangi kedua kakinya yang dibungkus oleh sneakers putih. "Gue tau, Yan," tukasnya, "gue cuma ... masih nggak nyangka aja, kalau mereka beneran udah sampe sejauh itu." Xenna menghela napasnya sesaat. "Walaupun kejadiannya setelah gue putus, tapi entah kenapa gue rasanya kayak habis dikhianati buat yang kedua kali sama mereka ...."

Penuturan Xenna membuat Radian maupun Sheila kebingungan sendiri harus membalas apa. Agaknya Xenna sendiri pun sudah bosan jika harus mendengar kalimat-kalimat dukungan dan sejenisnya hanya untuk membuat hatinya terasa lebih baik.

"Lo mau pulang sekarang aja? Gue anter, mau?" Pada akhirnya Radian hanya mampu memberi tawaran demikian, barangkali gadis itu bisa menenangkan pikirannya dengan puas jika sudah berada di rumahnya sendiri.

Xenna menggeleng pelan. "Gue udah bilang gue dijemput, Yan." Saat ini Xenna memang tengah menunggu Janu, yang berkata bahwa ia akan datang menjemput ketika Xenna meneleponnya. Xenna sungguh tak bisa memikirkan siapa pun selain lelaki berkacamata itu yang sekiranya mampu membawanya pulang dalam keadaan seperti ini.

"Udah hampir setengah jam yang lalu lo ngomong begitu, Xen," sahut Radian yang disertai dengkusan samar. "Mana? Belum datang juga dari tadi orangnya. Beneran niat jemput lo nggak, sih?"

Decakan pun segera Xenna loloskan, menatap Radian kesal. "Ya sabar dikit sih, Yan. Udah tau lagi hujan begini, ya gue juga mana bisa maksa orangnya buat datang lebih cepet," tukas Xenna. Lalu seraya menggerakkan dagu ke arah Sheila, ia menambahkan, "Mendingan lo anterin Sheila aja, deh."

Lagi-lagi, hening sesaat. Sheila membulatkan mata tak percaya, sementara Radian lekas menyatukan alis.

Namun, belum sempat keduanya buka suara, atensi Xenna mendadak teralihkan oleh sebuah Vios silver yang melaju di jalan utama dan terhenti tepat di depan area gedung fakultasnya. Radian maupun Sheila mau tak mau turut mengikuti arah pandang Xenna.

Beberapa detik berselang, pintu sisi kanan mobil terbuka dan menampilkan sebuah payung biru tua, lantas disusul oleh sosok lelaki berpakaian serba hitam yang mulai menapaki aspal basah. Usai menutup kembali pintu, lelaki itu pun mengambil langkah lebar tepat menuju ke arah di mana Xenna berada. Xenna lekas menahan napas. Pemandangan seperti ini bukanlah yang pertama kali baginya, tetapi sensasi yang ia rasakan nyaris sama persis dengan hari itu--di mana mereka tak sengaja bertemu di tempat yang tak terduga. Mungkin dapat dikatakan pula sedikit berbeda. Sebab kini, Xenna menyadari bahwa rasa yang tumbuh di hatinya untuk lelaki itu makin bertumbuh setiap harinya.

"Siapa, Xen?" Sebuah tanya datang dari Sheila, tetapi tatapan gadis itu tampak takjub, hanya tertuju pada sosok laki-laki berkacamata yang tengah berjalan menghampiri mereka. "Penggantinya Arka?"

"Gue harap, memang dia penggantinya Arka ...," Xenna membalas dengan gumaman, tetapi Sheila maupun Radian tetap mampu mendengarnya dengan jelas.

Xenna menggigit bibir bawahnya kala menangkap Janu sudah menaiki undakan tangga kecil, hingga tak lama setelahnya, lelaki itu pun tiba di hadapannya. Tubuh Xenna malah serasa membatu, ia hanya mampu tergeming dengan sesuatu di balik dadanya yang mulai berdentum-dentum keras. Pandangannya tertuju lekat pada sepasang iris gelap di balik lensa kaca milik Janu yang juga terarah padanya, menyorot dengan teduh hingga menghadirkan rasa nyaman. Agaknya Xenna akan tetap berada dalam posisi tersebut jika saja Janu tidak lebih dulu bersuara.

"Ayo, pulang," kata Janu dengan suara berat khasnya, terdengar begitu tenang. Janu menurunkan payung ke lantai, lantas diraihnya jaket hitam--yang baru Xenna sadari keberadaannya--yang menggantung di lengan kiri. Kemudian, tanpa memedulikan presensi dua manusia lain di sana, Janu pakaikan jaket tersebut untuk menutup kepala Xenna.

Xenna mengerjap beberapa kali. Kedua matanya sedikit melebar, tidak menduga akan tindakan Janu barusan. Gadis itu masih saja tak mampu berkata-kata, setidaknya sampai rungunya menangkap sebuah dehaman yang datang dari samping kirinya. Radian.

Tubuh Xenna sedikit tersentak. Sejenak ia menengok pada Radian dan lekas mendapatkan kebingungan nyata dari rautnya. Xenna beralih lagi pada Janu, kembali mengerjap, lalu dari mulutnya terlontar, "O-oh iya, Mas ... omong-omong, ini temen-temen aku." Xenna menunjuk Radian dan Sheila secara kilat dengan senyum kaku yang terbentuk di bibir, berusaha mengusir kegugupan.

Mendengar itu, Janu segera mengarahkan tatapannya pada Radian dan Sheila secara bergantian sebelum berhenti pada Radian, lantas senyuman tipisnya pun tersungging. Lelaki itu pun mengulurkan tangan ke hadapan Radian seraya memperkenalkan diri, "Janu."

Radian mau tak mau menjabat tangan Janu, turut menarik sudut-sudut bibir sewajarnya. "Radian."

Janu tergeming sesaat, sebelum akhirnya manggut-manggut dan menarik tangannya. Ia lalu beralih pada Sheila dan melakukan hal serupa. Perkenalan super singkat itu pun berakhir.

"Ayo, pulang," Janu mengulang dua kata tersebut setelah kembali memusatkan tatapan pada Xenna.

Xenna pun mengangguk. Sementara Janu mengambil payungnya, Xenna berbalik menghadap Radian dan Sheila. "Gue duluan, ya," pamit gadis itu. Kemudian ia mengarahkan tatap pada Radian, menepuk pelan bahunya. "Anterin Sheila pulang," titahnya dengan santai, tetapi tetap terdengar setengah mengancam.

Kontan Radian pun memutar matanya malas. "Iya, iya, astaga ...."

Setelahnya Xenna kembali berbalik, dan langsung menemukan Janu yang dengan sabar menunggunya. Xenna gegas ambil langkah mendekati Janu sembari dirapatkannya jaket yang tadi lelaki itu pakaikan. Lantas, dengan ragu-ragu Xenna mengikis jarak antara dirinya dengan Janu agar dapat turut terlindungi oleh payung. Namun, akibat lantai yang licin, Xenna nyaris saja terpeleset di tangga. Ia akan berakhir terjatuh jika saja tak refleks mencengkeram kuat lengan Janu yang tengah memegang payung.

Terdengar decakan pelan yang Janu loloskan, lalu segera disusul oleh, "Hati-hati."

"Hati-hati, Xen."

Ucapan serupa datang dari arah belakang, membuat Xenna lekas menoleh dan menemukan Sheila yang tersenyum penuh makna di sana.

Namun, tak lama setelah itu, dengan ekspresi yang tampak sendu dan lega secara bersamaan, Sheila melanjutkan, "Omong-omong, Xen, gue lupa bilang sesuatu. Gue tau lo belum bisa maafin gue, tapi ... makasih ya, lo udah bersedia buat ngobrol sama gue. Jujur aja, gue seneng banget hari ini."

Seketika saja Xenna pun tertegun, lalu tanpa sadar meremas lengan Janu yang masih berada dalam genggamannya. Apa yang Sheila katakan memang benar; Xenna belum mampu memaafkannya. Hanya saja ... tak bisa dipungkiri bahwa dengan melupakan sejenak perasaan kecewa yang memenuhi hati, berbicara pada Sheila menjadi tidak seburuk itu, seakan-akan tak pernah ada satu pun masalah yang hadir dan merusak hubungan mereka. Tak bisa dipungkiri pula bahwa Xenna turut merasa senang karena sejujurnya, ia begitu merindukan masa-masa di mana semuanya baik-baik saja, dan apa yang terjadi hari ini berhasil sedikit mengikisnya.

Ujung-ujung bibir Xenna pun secara otomatis tertarik meski hanya membentuk senyum tipis.

Jika berdamai dengan keadaan memang terasa semenenangkan ini, apakah Xenna tak perlu lagi meragu untuk berikan kesempatan pada Sheila guna memperbaiki segalanya?

"Loh, A Idar?!" Xenna cukup terkejut saat mendapati kehadiran satu orang tambahan di mobil Janu setelah dirinya masuk dan melihat ke jok belakang. Dan beruntungnya, ia ada seseorang yang sudah Xenna kenali betul.

Haidar yang duduk di jok belakang melepas tawa ringan. "Hai, apa kabar kamu, Dek?" tanyanya seraya mengarahkan tinju kanannya pada Xenna.

Xenna yang melihat itu lekas menabrakkan ujung kepalan tangannya dengan milik Haidar, melakukan fist bump. "Baik, A," gadis itu menjawab sekenanya. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum simpul. Seraya menurunkan jaket yang semula menutupi kepala, gadis itu menambahkan, "A Idar kok bisa bareng Mas Janu?"

Sebelum Haidar sempat membalas, ia terinterupsi oleh pintu mobil di sisi kanan yang tahu-tahu terbuka. Janu yang semula memutari mobil pun telah masuk dan segera menaruh payung yang sudah menguncup di dekat kaki Haidar. Setelah ditutupnya kembali pintu, Janu menyugar rambut ke belakang, mengacaknya pelan karena sempat terkena air hujan. Ia pun melepaskan kacamatanya sejenak, mengelap lensa kacanya yang sedikit berembun.

"Tadi teh pas kamu nelepon, kebetulan Aa lagi ngopi sama Janu, Dek," terang Haidar, menjawab pertanyaan Xenna sebelumnya. "Aa juga lagi nggak bawa kendaraan hari ini, makanya pulangnya teh ikut kalian begini."

"Loh ... jadinya aku ganggu, dong?" tukas Xenna dengan bibir mengerucut, sedikit merasa tak enak. Kemudian ia berpaling pada Janu yang kini tengah menyalakan mobil. "Mas Janu kok nggak bilang sih, kalau lagi ngopi bareng A Idar?"

Tanpa menoleh pada sang lawan bicara, Janu malah bertanya balik, "Memangnya kenapa?" Kaki lelaki itu sudah menginjak gas dan kedua tangannya mulai menggerakkan setir, membawa mobilnya meninggalkan pekarangan Universitas Bimantara. Fokusnya pun hanya tertuju pada jalanan di depan.

"Ya kalau tau gitu kan, aku pulang sendiri aja tadi ...," cicit Xenna.

Janu mendengkus pelan. Ia pun menoleh sekilas pada Xenna, melayangkan tatapan malasnya. "Saya bisa turunin kamu sekarang kalau kamu memang mau pulang sendiri, atau sekalian aja minta antar sama teman kamu. Gimana?"

"Ish." Xenna kontan merengut usai mendengarnya. Lekas saja ia alihkan pandangan ke arah kaca di sampingnya seraya mendekap jaket milik Janu. Dinginnya hawa di dalam kendaraan beroda empat tersebut pun membuatnya sibuk mencari kehangatan dari sana. "Iya, iya, aku pulangnya sama Mas Janu, nggak mau sendiri," Xenna menyahut agak ketus lantaran kesal.

Haidar yang hanya menyimak di belakang kontan saja menggeleng-geleng heran, pun sedikit tidak menyangka Janu tetap dapat bersikap demikian pada seorang gadis yang telah berhasil memikat hatinya. "Tadi emang kami udah mau pulang kok, Dek," pada akhirnya Haidar memainkan peran sebagai penengah, "jadi kamu santai aja, nggak usah ngerasa nggak enak."

Perkataan Haidar membuat Xenna segera menengok kembali pada lelaki itu. Haidar selalu saja berbicara dengan tutur yang lembut, dan di situlah salah satu letak perbedaan yang paling menonjol antara ia dengan Janu. Kemungkinan, hal tersebut pula yang menjadi salah satu alasan mengapa April bisa menyukainya, pikir Xenna. "Omong-omong, tadi A Idar sama Mas Janu cuma berdua aja?" Xenna dengan sengaja melontarkan pertanyaan demikian untuk sedikit menghidupkan suasana di sana.

"Ya iya atuh, Dek. Dion sama Eja kan nggak di Bandung," Haidar menjawab seadanya. "Oh, tapi tadi pas kami mau pergi, ada Amanda juga sih, yang baru datang. Cuma ya gimana, dia udah terlambat pisan."

Mendengar nama itu, seketika saja Xenna termangu selama beberapa milisekon. Tanpa sadar, kedua matanya kontan tergerak ke arah Janu yang tetap menyetir dalam diam, tampak seakan tidak peduli. Namun, siapa yang tahu apa yang sesungguhnya lelaki itu rasakan usai kembali bertemu dengan perempuan yang pernah mengisi hatinya? "Kasian dong A, Kak Manda, jadi batal buat ngumpul sama kalian?" Tak ada yang Xenna dapat Xenna lakukan selain bersikap seperti biasa, seolah nama itu sama sekali tidak memengaruhinya.

"Iya sih, tapi salah dia sendiri nggak bilang dari awal kalau mau datang." Kemudian Haidar mengibaskan tangannya dengan santai. "Udah Dek, kamu nggak perlu repot mikirin dia."

Xenna menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk pelan. Embusan napas berat pun ia loloskan. Sejatinya ia hanya berbohong saja. Sebab bagaimana mungkin tidak ia pikirkan setelah tahu bahwa sebelum ini, Janu baru bersinggungan dengan Amanda?

"Oh ya, Dek," tanpa diduga, Haidar kembali melanjutkan percakapan mereka dengan topik berbeda, "tadi kamu teh emangnya ngapain di kampus? Sampe malem begini, lagi."

"Harusnya tadi aku bimbingan, A, tapi dosbing aku tiba-tiba batalin jadwal karena ada kendala. Mana aku udah keburu nyampe kampus lagi, kan nggak mungkin kalau aku langsung pulang lagi. Jadinya aku kumpul aja sama temen-temenku. Eh, pas sore malah hujan gede dan aku kejebak sampe malem di sana."

"Wah, ternyata sekarang pun masih ada dosen pembimbing macam begitu, ya? Kirain teh cuma di jaman Aa doang."

"Iya A, tapi ya aku coba buat maklum aja karena nggak ada yang tau kapan urusan penting itu bisa datang. Cuma tetep aja aku kesel karena terlalu mendadak, mana aku juga lagi pengen serba cepet karena ngejar ketertinggalan dari yang lain."

"Hmm ... kamu emangnya udah sampe bab berapa?"

"Baru sampe bab tiga, A, tapi itu juga belum selesai satu bab full karena aku masih banyak ragunya."

Sejenak Haidar pun terdiam, berpikir. Sebelum akhirnya sebuah ide muncul dalam benak dan segera ia lisankan pada Xenna. "Gimana kalau Aa bantu cek dulu sebelum kamu bimbingan, Dek? Maksudnya, biar bisa ngurangin beban revisi kamu, dan semoga juga bisa bantu kamu biar cepat selesai. Selain karena Aa udah ngerasain yang namanya skripsian, dulu kebetulan Aa pernah jadi asdos juga, Dek, jadi ya Aa cukup paham untuk urusan beginian."

Kedua mata Xenna segera membulat, tampak berbinar. Mau dipikirkan bagaimana pun, ini sungguh merupakan sebuah tawaran yang menarik. "Beneran, A? Aa bisa bantu aku? Kalau emang beneran, aku mau banget!" seru Xenna dengan semangat yang mendadak membara.

Di saat Haidar hendak membalas, tiba-tiba saja Janu berdeham pelan, membuatnya segera tersadar bahwa ia nyaris saja melewati batas tak kasat mata antara dirinya dan Xenna. Dan, tentu saja Janu tidak akan tinggal diam karenanya. Pada akhirnya Haidar pun tersenyum kaku, sebelum akhirnya membalas, "Bisa, Dek, bisa banget. Tapi ...." Lelaki itu melirik sejenak pada Janu yang tetap fokus mengendarai mobil. "Kalau dipikir-pikir, Janu juga lebih dari mampu buat bantu kamu. Kalau Janu yang lebih dekat juga bisa, kenapa harus Aa? Iya nggak, Nu?"

Xenna mau tak mau turut menengok pada Janu. Ia tidak tahu mengapa Haidar mendadak berubah pikiran. Ia pun tidak tahu apakah Janu benar-benar bisa dan bersedia melakukan hal tersebut. Maka dari itu, terlebih dahulu ia pun memastikan, "Emangnya Mas Janu mau?"

Tentu saja. Dalam hati Janu memang dapat langsung menjawab demikian. Namun, ia tak mungkin mengungkapkannya begitu saja kepada Xenna. Tanpa menoleh pada gadis di sampingnya, jawaban yang pada akhirnya Janu berikan hanyalah, "Saya harus lihat situasi dulu."

Dengkusan sebal segera Xenna loloskan. Ia sungguh tidak suka dengan jawaban tak pasti seperti itu, terlebih lagi hal ini terkait dengan skripsinya. Dengan cepat ia pun kembali beralih pada Haidar, menatapnya penuh keyakinan. "Aku mau sama A Idar aja."

Di saat itu, Janu tiba-tiba saja mengerem mendadak. Perkataan yang lolos dari mulut Xenna saja sudah sangat mengganggunya, ditambah pula dengan pengendara motor yang seenaknya menyelip di depan mobilnya. Rasa kesalnya memuncak, tetapi tak bisa ia lampiaskan semaunya, sehingga ia hanya mampu membuang napas dengan kasar.

"Nu, sabar, Nu, inget lo bawa dua nyawa lain di sini," ujar Haidar dengan satu tangan berada di dada lantaran kaget.

Janu hanya mengarahkan sorot tajamnya pada Haidar melalui kaca spion di tengah. Setelahnya lelaki berkacamata itu pun menoleh ke samping, dan segera ia dapati Xenna dengan raut paniknya tengah mencengkeram seat belt. Janu mengerjap. Pemandangan tersebut pun seketika membuat amarahnya teredam. Namun, ia tetap tak berkata apa pun dan hanya meloloskan karbondioksida dari hidungnya dengan perlahan.

Selama beberapa menit ke depan, suasana di dalam mobil berubah begitu hening sebab konversasi yang terhenti begitu saja. Dalam diamnya, Xenna malah memikirkan kembali tawaran dari Haidar yang sudah pasti akan membantu banyak dalam prosesnya menyelesaikan skripsi. Namun, di satu sisi, Xenna mendadak teringat akan April serta apa-apa saja yang terucap dari mulutnya beberapa waktu lalu. Jika saja April mengetahui bahwa Xenna masih berhubungan dekat dengan Haidar, tidak mustahil jika April akan mengamuk kepadanya, bukan?

Xenna kemudian menengok ke arah jok belakang. Ia menemukan Haidar yang tengah memainkan ponselnya. "A Idar," panggil gadis itu pelan.

Haidar dengan cepat menoleh. "Iya, Dek?" sahutnya lembut seperti biasa. Ia bahkan sampai melupakan ponselnya sejenak. Tubuhnya yang semula bersandar pun ia tegakkan.

"A Idar udah punya pacar, belum?" Pertanyaan tersebut terucap begitu santai dari bibir Xenna. Sebab memang tidak ada maksud tertentu di baliknya. Xenna pikir, mungkin dirinya dapat sedikit membantu April dengan mencari tahu informasi mengenai Haidar.

Namun sayangnya, Janu tidak beranggapan serupa. Haidar tentu sadar akan hal tersebut, sehingga dirinya mulai tampak was-was.

"Belum, Dek." Senyum Haidar mengembang kaku. "Kenapa emangnya?"

Xenna menggeleng pelan. "Nggak papa, aku cuma pengen tau aja." Xenna belum selesai sampai di situ karena setelahnya, satu pertanyaan tak terduga lain pun meluncur, "Terus, A Idar suka cewek yang kayak gimana?"

Sontak Haidar tampak tertegun. Dengan cepat ia melirik ke arah Janu. Lelaki berkacamata itu memang tampak mengendarai mobil dengan tenang, tetapi Haidar bisa melihat bagaimana jari-jemari panjang itu bergerak tak nyaman dan berakhir mencengkeram setir begitu erat. Haidar menelan ludah. Mendadak ia pun bergidik ngeri. "Hmm ... Aa nggak pernah punya tipe yang spesifik sih, Dek," cukup berhati-hati sekali Haidar bertutur agar ia tak salah menjawab dan nantinya takkan terjadi hal yang tidak ia inginkan. "Kalau misal Aa udah ngerasa cocok di awal, Aa bakalan coba buat kenal dia lebih jauh lagi, sampai Aa yakin kalau memang dia orang yang tepat."

Xenna tampak manggut-manggut mengerti. Namun, masih ada satu hal yang belum membuatnya puas, sehingga ia kembali melontarkan tanya, "Berarti, Aa nggak masalah sama perbedaan umur, dong?"

"Perbedaan ... umur?"

"Iya. Misalnya ... yang lebih muda, gitu."

"Yang lebih muda? Semuda apa, tapinya?"

"Umm, sekitar seumuran aku?"

Lalu, tanpa disangka, Janu lagi-lagi menginjak rem secara mendadak.

Haidar kembali menelan ludah. Sungguh, sudah dapat dipastikan ia takkan selamat kali ini.

Tanpa berminat menengok ke belakang, Janu hanya menatap Haidar melalui kaca spion. Kedua sorotnya tampak begitu tajam. "Nggak turun?" ujarnya dengan datar.

Haidar mengerjap, lalu menyatukan alis. "Nu, serius lo? Tega pisan lo turunin gue di tengah jalan begini ...."

Janu memutar matanya malas. Kali ini, ia akhirnya menoleh pada Haidar. "Lo lupa sama rumah lo sendiri apa gimana?"

Seketika saja Haidar pun melemparkan pandangan ke luar kaca. Dan, rupanya benar saja bahwa mobil Janu sudah berhenti tepat di depan rumahnya. Letaknya yang persis berada di jalan besar--yang saat ini masih cukup ramai pengendara--membuatnya sama sekali tak menyadari hal tersebut. Cengiran pun lekas Haidar terbitkan. "Sori, nggak nyadar gue, Nu." Lelaki itu pun bersiap-siap untuk turun dari mobil. Tapi sebelumnya, tentu ia sempatkan berpamitan pada Janu dan Xenna. "Thanks ya, Nu." Haidar kemudian beralih pada Xenna. "Dek, Aa pulang dulu, ya. Nanti kamu kabari aja kalau emang mau Aa bantu cek skripsinya."

Janu yang mendengar itu sontak melayangkan tatapan sengit, dan karenanya Haidar terburu-buru turun dari mobil sebelum Xenna sempat merespons. Pandangan Janu bahkan terus mengikuti Haidar sampai kawannya yang satu itu menghilang di balik pagar. Barulah selepas itu Janu meloloskan napasnya panjang. Namun, alih-alih kembali melajukan mobil, ia malah tetap saja berada di posisi semula.

"Mas," Xenna yang melihat itu pun tampak kebingungan, "kok nggak jalan lagi?"

Yang dipanggil segera menengok hingga sepasang netra mereka saling mengunci. Perasaan kesalnya entah mengapa secepat kilat meluruh hanya karena wajah cantik yang tampak lugu milik gadis di sampingnya. Janu meraup oksigen banyak-banyak. Lantas, tanpa bisa dicegah, dari bibirnya pun terlontar, "Jangan sama Haidar."

"Huh ...?"

Jangan suka sama Haidar.

"Mas?"

Di saat Janu hendak membuka suara, ponsel dalam saku celananya mendadak bergetar pendek-pendek. Sejenak Janu pun terpaksa mengeceknya sejenak.

Haidar Rajaksa
Nu
Lo serem pisan kalo cemburu
Tapi kalo dugaan lo emg bener, bukan salah gue juga kan?

Sontak Janu mengeratkan rahang. Emosinya kembali naik, tetapi ia tak bisa berbuat apa pun.

Kalau tahu akan begini, seharusnya ia tinggalkan saja Haidar di kafe tadi, pikir Janu.

Pada akhirnya, Janu hanya membiarkan pesan Haidar begitu saja tanpa dibalas. Ia pun memutuskan untuk kembali mengendarai mobil. Namun sebelum itu, Janu menengok pada Xenna yang masih tampak keheranan karena sikapnya. Tatapan lekatnya pun kembali mengurung sang gadis.

"Kirim file skripsi kamu ke saya. Saya juga bisa dan bersedia buat bantu kamu."

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

dinda's note:

tinggal bilang suka apa susahnya mas januuu greget banget akutu 😭

cuma masalahnya cerita ini bakal cepet kelar kalo janu segampang itu buat jujur wkwkwk.

jadi sabar-sabar dulu aja yaa 🙃

bandung, 3 desember 2023

Continue Reading

You'll Also Like

387K 28.6K 46
|END| Evano, remaja delapan belas tahun itu selalu mendapatkan apapun yang ia mau. Marvin sang Daddy tak pernah menolak apapun permintaannya. Tumbuh...
1.3M 63.1K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
4K 92 5
[COMPLETE] [YEONJUN x KARINA AU] Kalau kata Karina sih concept photo Yeonjun di album FREEFALL untuk yang versi Melancholy itu B aja. [WARNING!] āœ“ Ye...
37.8K 3.2K 6
Spin-off Still into You. Mereka menikah. Bukan karena saling mencintai. Tapi karena keadaan yang mengharuskan pernikahan itu terjadi. Nathan harus me...