Putus berbayar

By Lulathana

31.4K 5K 703

Bermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia... More

Perhatian!
Putus Berbayar
1. Mission Accomplished
2. Beauty Privilege
3. Say Sorry
4. Two Brothers
5. New Teacher
7. Introvert
8. Amnesia?
9. Interogasi
10. Target
11. Yang Sebenarnya Terjadi
12. Pelarian
13. Hukuman
14. Intimidasi
15. Benci
16. Janji

6. Notebook

1.7K 236 35
By Lulathana

Tahu apa yang paling menyebalkan dalam hidup?
Ketika kita enggan melakukan suatu hal, tapi kita harus melakukannya. Setelah perdebatan juga perenungan yang panjang, Bia akhirnya mulai melangkah untuk mendekati Leon.

Kintan sudah menangani ketua kelas hingga yang mengumpulkan tugas dari Bu Marwa adalah Bia. Tugasnya dalam bentuk lembaran yang pastinya masih kurang untuk menarik rasa ingin membantu orang. Bia menambahkan dengan buku paket pelajaran terakhir. Alhasil lengan Bia sekarang seperti mau patah rasanya.

"Keluar sekarang, Bi," ucap Kintan setelah melakukan pengintaian dari jendela. Dengan kerja sama dari pihak Firly juga, sebentar lagi hal dramatis akan terjadi.

Bia mulai melangkah keluar matanya fokus pada mulut pintu sementara dalam hati dirinya mulai menghitung mundur.

Tiga
Dua
Satu

BRUK!

Kertas tugas beserta buku-buku tebal itu jatuh berhamburan ketika Bia bertabrakan seseorang yang melintas di depannya.

"Ya Tuhan, Bi. Sorry." Leon langsung berjongkok lalu memunguti buku-buku itu.

Bia menyunggingkan senyum satu sudut sebelum ikut berjongkok dan mengumpulkan kertas-kertasnya. Tenang, Bia tidak akan membuat scene seperti tangan yang saling memegang karena hendak mengambil benda yang sama. Ia hanya perlu menarik empati Leon saja.

"Sendirian aja, Bi?" tanya Leon seraya melihat ke dalam kelas yang sepi--Kintan sudah bersembunyi dengan baik.

"Iya, ketua kelasnya ada urusan, mau nggak mau gue yang bawa."

"Oh iya, Firly pernah bilang lo wakilnya ya."

Bia tersenyum manis lalu mengangguk. Matanya menilai baik-baik. Meski Leon membalas senyumnya, tapi sorot matanya tidak menunjukkan sedikit pun ketertarikan.

Dia secinta itu sama lo, Firly! Bia ingin sekali memaki. Senyumnya yang bahkan tak pernah gagal saja tidak mempan untuk Leon.

"Gue bantuin, kasian tangan lo udah merah-merah gitu." Leon mengambil semua buku paket kemudian bangkit berdiri. Sementara Bia memeluk lembar tugas dan mulai melangkah di samping cowok itu.

"Makasih ya."

"Nggak masalah," jawab Leon dengan tawa ringan. Dia memang punya pembawaan yang positif.

Koridor yang mereka lewati sepi. Hanya tersisa beberapa orang yang bersiap mengikuti ekskul. Warna sinar matahari yang memancar terlihat keemasan, membuat suasana menjadi damai dan tentram. Cocok untuk membicarakan sesuatu yang cukup istimewa. Yeah, istimewa.

"Lo pernah nonton konser nggak, Le?" tanya Bia di sela perjalanan mereka.

"Lo suka musik ya, Bi?" Leon malah balik bertanya. Terdengar jika dia cukup tidak menyangka dengan yang Bia bahas.

Jawabannya tentu tidak, tapi karena beberapa kali Bia punya klien yang suka musik, jadi Bia sudah tidak awam lagi dengan dunia itu.

"Nggak bisa dibilang gitu juga. Gue pernah pake filter AI dan nyantol sama sound-nya. Sampe gue jadiin lagu favorit. Nah, gue dapet info kalo mereka bakal konser di Jakarta." Bia menatap ke arah Leon yang sedari tadi menyimak ucapannya dengan baik.

"Yoasobi, lo tau?"

Leon terlihat tertegun begitu Bia mengatakan itu. Firly bilang Leon memang tidak mengekspos pada siapa pun, tapi dia dia punya playlist tetap tentang penyanyi duo itu.

"Lo mau nonton konser itu?" tanya Leon dengan kening yang berkerut-kerut samar. Matanya sedikit memicing seolah tengah melakukan penilaian yang  serius pada Bia.

Bia mengangguk-angguk dengan mantap. "Tapi gue belum pernah nonton konser gede yang kayak gitu, jadi gue nggak tau apa yang harus dilakuin."

"Lo beneran mau nonton?" tanya Leon seolah memastikan.

"Tentu."

Leon terlihat mengangguk dengan senyum kecil. "Nanti deh kita bahas, kumpulin tugasnya dulu." Leon menunjuk dengan dagu pintu ruang guru. Sementara itu dirinya melangkah ke ruang sebelahnya untuk menyimpan buku paket.

Bia menatap punggung itu. Semua berjalan mulus, tapi entah mengapa Bia merasa ada yang aneh dengan firasatnya. Banyak mendapatkan cinta dari orang-orang tak semata-mata membuat Bia berdagu tinggi dan menganggap semua pasti akan menyukainya. Leon ini ... Bia juga tidak mengerti cara untuk menjelaskannya.

Bia mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam ruang guru itu. Beberapa guru yang ada di sana menyapanya. Bia tersenyum dan mengangguk sembari menuju meja yang paling ujung. Meja Bu Marwa yang kini ditempati oleh guru muda--yang ganteng itu. 'Pak Zyan' yang menjadi topik obrolan di antara cewek-cewek.

"Permisi, Pak."

Pria yang seusia dengan kakak laki-lakinya itu. Terlihat mendongak. Ada sedikit kaget begitu dia melihat wajah Bia. Bia pun iseng dan menyunggingkan senyumnya. Zyan terlihat tertegun.

Bia pun mulai terpikir. Senyumnya masih manjur. Guru yang belum terlalu dikenal itu pun terpesona, tapi Leon tidak terpengaruh sedikit pun. Sepertinya langkah Bia sekarang akan cukup berat.

"Ini tugas dari Bu Marwa itu, Pak." Bia meletakan lembar tugas itu ke atas meja Zyan. Dengan senyum ramah yang masih sama. Bagaimanapun Zyan akan menjadi targetnya juga. Meski masih melabeli ide gila, sepertinya Bia tidak punya jalan keluar untuk menolak permintaan April juga.

"Terima kasih, Yihana."

Senyum Bia seketika luntur. "Bia aja, Pak."

Sebelah alis Zyan terangkat. "Kamu nggak suka nama kamu sendiri?"

"Kalo bisa, dari dulu saya udah ganti nama, Pak," jawab Bia dengan mood yang bisa dibilang jelek. Dari dulu pembahasan 'Yihana' memang selalu yang paling tidak disukai dirinya. Namanya itu terlalu aneh. Belum lagi posisinya terakhir dalam absen. Membuat apa-apa serba menunggu dulu. Bia cukup muak.

"Saya permisi dulu, Pak." Bia membungkuk kemudian berbalik ke arah pintu.

"Jawabannya masih sama."

Bia mendengar gumaman pelan itu dari arah belakang. Cukup mengganjal hingga membuat penasaran. Apa kalimat Zyan itu ditujukan untuk dirinya, tapi cukup aneh juga? Atau mungkin itu gerutuan untuk jawaban tugas?

Bia menggeleng. Untuk apa dirinya peduli juga. Ia pun memilih melanjutkan langkah. Pikirannya mulai merangkai apa yang harus dirinya lakukan sepulang sekolah ini. Bia memang sedang tidak ingin pulang langsung. Dia sudah izin pada ibunya. Sebaiknya, Bia pergi ke mana ya?

Bia nyaris memekik begitu mendapati Leon yang berdiri di samping pintu. Cowok itu terlihat seperti orang yang menunggu. Namun, tidak ada siapa pun di sini, tidak mungkin Bia 'kan?

"Bi, mau pulang sekarang?"

Bia mengangguk. Leon terlihat menyunggingkan senyuman. "Boleh gue anterin?"

Hah?

oOo

Bia tengah menulis rencananya pada notebook kecil. Semua anggota keluarganya sudah duduk melingkar di meja makan. Siap melakukan makan malam.

"Udah ya." Jeya menarik notebook itu dan menutupnya. Wanita itu menyimpannya di atas kulkas berikut dengan ballpoint-nya.

Ibunya mengisi nasi pada piring Bia dan secara bergiliran dua saudaranya memberikan lauk. Hidup Bia enak? Tentu, di rumah dia pemegang tahta tertinggi.

"Bi, udah nentuin mau kuliah ke mana?" tanya Ganesh di sela makan mereka. Pria paruh baya itu menatap putrinya dengan cukup serius

"Belum. Masih semester satu kok."

"Tapi 'kan Bia udah kelas 12. Harus ada goal-nya, biar kamu bisa persiapin dengan baik."

"Sebenarnya Bia nggak mau kuliah."

Denting alat makan di ruangan itu seketika berhenti. Semua mematung lalu kemudian menatap ke arah Bia.

"Are you sure?" Nean yang pertama mengeluarkan suara. Tatapannya terlihat tidak menyangka

Bia mengangguk tanpa ragu. "Setelah dipikir-pikir dunia kerja semuanya dipelajari pas terjun langsung. Banyak materi yang sebenarnya nggak bakal diperluin pas prakteknya. Jadi buat apa buang waktu 'kan? Kalo sambil berjalan kita bisa dapet pelajarannya"

Jeya yang masih kaget dengan penyataan itu kemudian mengerjap. "Eu, Mama tau belajar itu nggak menyenangkan."

Perkataan Jeya langsung membuat kedua anak laki-lakinya menatap tidak setuju. Sementara Ganesh terlihat menahan tawa.

"Tapi gini loh, Bi." Jeya menautkan jemarinya dan menatap serius. "Kuliah bukan cuma buat belajar aja, tapi bisa buat kesempatan kamu cari relasi. Kamu mau bikin bisnis 'kan? Kamu bisa ketemu sama orang-orang yang juga sejalan sama kamu, itu hal yang baik buat ke depannya."

Ganesh mengangguk-angguk. Rautnya terlihat jelas jika ia bangga pada istrinya itu

"Bia mau bisnis? Bisnis apa?" tanya Kean yang malah ikut penasaran. Karena selain pemegang tahta tertinggi, Kean tahu pasti selama ini Bia hidup dengan tanpa punya tujuan apa pun.

"Rahasia," sela Bia dengan cepat.

Kean mengernyit tidak terima. Namun, suasana makan membuat dirinya tidak bisa mengeluarkan pendapat lebih lanjut. "Intinya Bia harus tetap kuliah. Nanti Kakang kasih referensi. Bia bisa pilih-pilih."

"Ih, dibilangin juga." Bia berdecak ketus.

"Bi ...." Ganesh memanggil dengan lembut. "Nggak harus buru-buru. Dipikirin baik-baik dulu ya?"

Bia menghela napas, sebelum mengangguk dan melanjutkan makan dengan wajah yang kesal.

oOo

"Yi, tipe cewek yang kamu suka itu gimana?" tanya Bia seraya menyimpan piring yang sudah Nean cuci pada rak. Hari ini jadwal Bia dan Nean yang bertanggung jawab atas kebersihan dapur. Tentu Nean yang banyak bekerja. Bia bahkan masih bisa bertopang dagu karena hanya memindahkan  piring dari tangan Nean ke rak saja. Se-simple itu.

"Ngapain nanya gitu?"

"Gabut aja. Lagian sepi nggak ada obrolan."

"Nggak penting." Nean mengangkat bahu dengan cueknya.

"Bentar lagi Ayi 17 loh. Nggak papa loh naksir cewek."

"Yang lebih tua di sini siapa? Udah pernah pacaran?"

Bia menarik senyumnya. "Emang bakal Ayi izinin?" Bia menarik turunkan alisnya. Ia kemudian terkekeh saat Nean hanya mendengkus tak bisa membantah.

"Yang mandiri. Yang selama dia bisa lakuin, dia nggak minta ke yang lain. Punya goal yang jelas dan komitmen yang kuat buat wujudinnya," papar Nean pada akhirnya.

"Itu tipe cewek apa lagi nyindir?"

Nean terkekeh.

Bia mengetuk-ngetuk telunjuknya pada dagu. "Tapi ya, Yi. Bukannya cowok itu punya insting alami jadi pelindung? Ego buat jadi yang dominan. Yakin, mau cewek yang tipe Alpha gitu?"

Berdasarkan pengalaman Bia. Cowok itu justru malah mundur sendiri kalau dihadapkan dengan cewek yang lebih mandiri dari dia. Maka dari itu tak jarang Bia berpura-pura sangat bodoh agar mudah masuk pada ego mereka itu. Memang tidak semua, tapi sebagian besarnya begitu.

"Ya beda lagi. Mandiri bukan artinya nggak bisa clingy juga 'kan? Baik cewek maupun cowok nggak ada lah yang suka kalo pasangannya diktator. Bedain soal kepribadian dia sendiri, sama feed dia sebagai pasangan."

Bia mengerutkan keningnya. "Yi, beneran belum pernah pacaran?" Pikiran Nean sudah seperti orang yang pernah mengalami aja.

"Itu fungsinya otak pintar. Dan perlu belajar biar bisa jalan. Nggak perlu ngalamin, bisa nyimpulin dari apa yang terjadi di sekitar."

"Habis makan boncabe apa gimana? Ngulti mulu dari tadi." Bia mendesis ia pun memutuskan untuk pergi dari sana padahal masih ada satu piring lagi yang tengah Nean cuci.

Bia berniat mengambil notebook-nya, tapi dia langsung disuguhi hal mengejutkan saat notebook itu ada di tangan Kean dan tengan dibaca pria itu.

"Kang!" Bia segera berlari. Dia berusaha merebut bukunya, tapi dengan cepat Kean mengangkat tinggi tangannya.

"Balikin!" Bia mencoba menjangkau. Dia panik. Buku itu berisi tentang rencana bagaimana Bia mendekati para targetnya.

"Bi, apa maksudnya ini?" tanya Kean dengan raut yang tidak seramah biasanya. Dia terlihat marah.

"Bukan urusan Kakang, cepet siniin!" Bia mencoba memanfaatkan posisinya yang selalu diratukan. Dia mencoba terlihat galak meski dalam hatinya kini kacau penuh kepanikan. Yang dirinya jalani selama ini tentu bukan hal bisa diterima keluarganya. Apalagi kakaknya yang selalu over jika urusan cowok.

"Bi, kamu harus sampe ngelakuin hal kayak gini?"

"Tau nggak Kakang tuh lancang banget!" Bia tetap berusaha merebut buku itu. Padahal dirinya tinggi untuk ukuran cewek, tapi tidak bisa mengalahkan kakaknya.

"Bi, harus kamu deketin cowok duluan?"

Buku itu terambil dari tangan Kean, tapi bukan Bia, melainkan orang yang kini berdiri di belakangnya yang tingginya bisa menyeimbangi Kean.

"Emangnya kenapa kalo Bia ngejar cowok?" ucap Nean, orang yang merebut buku itu.

Bibir Kean sedikit terbuka tidak menyangka akan perkataan Nean. Dan Bia jauh lebih kaget karena dirinya yang paling tahu bagaimana kedua saudaranya itu melarang Bia dekat dengan lawan jenis.

"Bia bukan anak kecil, wajar kalo ngelakuin hal gini," kata orang yang paling muda di sana. Bia jadi bingung, mau mengkritik, atau tetap mempertanyakan Nean yang tiba-tiba aneh ini.

"Cepet, PR-nya dikumpulin besok 'kan?"  Nean menarik tangan Bia meninggalkan Kean yang masih dikelilingin penuh tanya itu.

oOo

21 Januari 2024

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
209K 23.9K 51
Nuansa Dwinasti Salim (Nuan) tidak pernah berpikir akan menjalani kehidupan sebagai istri seorang Rimba Allarick Thomas (Rimba). Karena keputusan geg...
171K 22.5K 26
Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah satu gangguan delusi di mana si penderi...
5.4K 2.2K 43
Holly Moon mengidolakan Nicholas Dirgantara, kapten klub basket di sekolahnya. Tapi karena terlalu sering menonton pertandingan basket Nicholas, Hol...