Cahaya Negeri

By romanceholic

17.2K 3.9K 1.4K

💙 Cryptic Ops. Vol. 3 Sejak dulu Kristal sudah tahu kalau seumur hidup dirinya hanya akan mencintai satu lel... More

Blurb
Prolog
Bagian 1 : -Kebenaran Pahit-
Bagian 2 : -Surreptitious Affair-
Bagian 3 : -Dirty Tricks-
Bagian 4 : -Malicious Tactics-
Bagian 5 : -Lone Wolf-
Bagian 6 : -Reconnaissance-
Bagian 7 : -Bajradaka-
Bagian 8 : -Source Of Distress-
Bagian 10 : -Rumah Danau-
Bagian 11 : -Naivete-
Bagian 12 : -Machiavellianism-
Bagian 13 : -Ad Libitum-
Bagian 14 : -Perburuan-
Bagian 15 : -Pelindung Cahaya-

Bagian 9 : -Omega-

923 225 73
By romanceholic


Kristal membuka mata dan menemukan sosok Wolf tertidur di sampingnya tanpa sehelai benangpun ditubuhnya. Bukan berarti mereka sudah melakukan sesuatu. Wolf memang terbiasa tidur tanpa pakaian, lelaki itu akan melepas apa pun yang menempel ditubuhnya yang suhunya selalu panas dan cukup puas bergelung di bawah selimut tipis yang menyejukkan.

Sementara Kristal, entahlah. Wolf mungkin bergairah terhadap semua wanita, tetapi tidak terhadap Kristal. Buktinya mereka cukup sering tidur bersama―dalam artian benar-benar tidur― dan Kristal menemukan dirinya tetap aman.

Pengendalian diri Wolf sungguh luar biasa, bahkan sampai detik ini lelaki itu tidak pernah menatapnya dengan tidak pantas meskipun Wolf sudah pernah melihat sekujur tubuhnya. Kristal tidak bisa menyalahkan Wolf karena ia sendiri yang telah membuat Wolf kebal dan bahkan jijik. Bagaimana tidak, Wolf lebih banyak melihat tubuh Kristal dalam kondisi tidak menarik seperti saat kondisi tubuhnya sedang melemah, atau saat tubuhnya memiliki luka yang mengerikan seperti sekarang.

Kristal mengerjap, memperhatikan dada berotot Wolf yang naik turun secara teratur. Lelaki itu tidur dengan sebelah tangan menutup matanya sementara tangannya yang lain berada di bawah kepala Kristal.

Kristal mengulurkan tangan dan mengibaskan tangannya di depan wajah Wolf, tetapi lelaki itu sama sekali tidak bergerak.

Sebuah ide gila terlintas di pikirannya. Kristal tidak pernah memikirkan ide ini sebelumnya karena ia terlalu pengecut, terlalu takut mengambil langkah, terlalu khawatir Wolf akan membencinya. Namun, sekarang berbeda. Terutama karena ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhir bagi Kristal. Wolf akan segera menikah dengan Emily dan setelah menikah sudah pasti Wolf tidak akan merawat Kristal seperti ini mengingat lelaki itu harus menjaga perasaan istrinya. Lagipula Kristal tidak akan rugi apa-apa. Wolf tidak menginginkannya, dan ia tidak menginginkan lelaki lain selain Wolf. Kristal hanya butuh melakukan ini sekali atau ia akan penasaran seumur hidup.

Kristal bergerak pelan, menyangga tubuhnya dengan siku, lantas mencondongkan wajahnya mendekati wajah Wolf yang tertidur pulas. Tatapan Kristal terpaku pada bibir lelaki itu, ia menahan napas dan semakin mendekat. Wangi tembakau bercampur musk menerpa wajahnya. Sejenak Kristal terdiam untuk menikmati embusan napas Wolf yang menenangkan.

Kristal benar-benar idiot karena mencintai lelaki yang tidak menginginkannya. Namun, sekeras apa pun Kristal mencoba menjadi wanita berdaya seperti yang Mila dan Meridian katakan, tubuhnya tidak bisa berbohong. Bahkan setelah rasa sakit yang Wolf timbulkan, Kristal tidak bisa menghilangkan reaksinya setiap kali berdekatan dengan Wolf. Mungkin karena usianya yang masih muda, tetapi mungkin juga tidak karena ia tidak bereaksi seperti ini terhadap lelaki lain.

Sedikit lagi dan aku akan mencicipi surga, batin Kristal saat ujung hidungnya bersentuhan dengan hidung Wolf. Kedua tangannya terkepal dengan gugup di sisi kepala lelaki itu.

Namun, suara ponsel di nakas sebelah Kristal tiba-tiba berbunyi. Kristal yang terkesiap, buru-buru menjatuhkan dirinya ke bantal dan pura-pura tertidur.  Ia mendengar Wolf mengerang, lalu merasakan tubuh lelaki itu bergerak dan menindih tubuhnya untuk meraih ponsel. Kristal menahan napas dan berharap Wolf tidak segera menarik tubuhnya yang liat dari atas Kristal.

"Ya, halo?" Kristal mendengar suara seorang wanita sedang bicara di ujung sambungan telepon.

"Apa maksudmu, Erika?"

Erika? Ck, siapa lagi Erika? pikir Kristal sebal saat Wolf bangkit dan duduk membelakanginya.

"Kirim aku lokasimu. Aku akan segera ke sana." Kristal melihat Wolf turun dari ranjang dan mengenakan celana jinsnya.

"Kau mau pergi?" tanya Kristal kecewa, ia bahkan tidak sanggup menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sedih.

"Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak melakukan apa-apa padamu. Sumpah!" ujar Wolf sambil mengangkat kedua jarinya.

Menyedihkan, padahal Kristal menantikan Wolf  lepas kendali. Setidak menarik itukah dirinya di mata Wolf?

"Siapa Erika? Apa kau akan pergi menemuinya?"

"Ya, aku harus pergi menemuinya." Wolf mengenakan kaus, lalu jaket bombernya dengan cepat.

"Bagaimana kalau aku tidak ingin kau pergi?"

"Aku tidak punya kewajiban untuk menurutimu. Aku tetap akan pergi. Aku akan menemuimu lagi nanti." Wolf mengambil tas ranselnya kemudian menenteng sepatunya menuju pintu.

"Wolf!"

"Ck, apa lagi?" Wolf menoleh dengan tidak sabar. "Cepat katakan! Aku tidak punya banyak waktu untukmu."

Kristal menelan ludah, kemudian menggigit bibirnya gelisah. "Tidak apa-apa," ujarnya menunduk seraya meremas selimut di pangkuannya.

"Buang-buang waktu saja."

Kristal berdeham. "Maaf," cicitnya dengan suara pecah.

"Jangan meminta maaf, sialan. Aku akan membunuhmu kalau kau mulai menangis."

"Aku tidak menangis!" Kristal menatap Wolf jengkel.

Wolf membalas tatapannya cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. "Itu lebih baik. Kita bicara lagi nanti," ujarnya sesaat sebelum lelaki itu menghilang dari pandangan Kristal.

Akan tetapi, nanti yang dimaksud Wolf tidak pernah terjadi. Sudah hampir seminggu Wolf menghilang tanpa kabar. Kristal bahkan sudah pulih dan sudah bisa mengikuti latihan fisik rutin di markas CO. Sayangnya, Kristal juga tidak bisa menemukan Wolf di sana.

"Apa kau tahu di mana Wolf?" tanya Kristal kepada Bear.

"Entahlah," Bear mengangkat bahu sembari memeriksa tumpukan berkas kasus di meja ruang pertemuan. "Bukankah biasanya juga begitu? Wolf tidak akan muncul kalau tidak ada sesuatu yang penting."

Ya, Wolf memang begitu, renung Kristal. Hanya saja dulu ia tidak terlalu memusingkan hal itu. Kristal tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dadanya terasa sesak ketika ia tidak tahu di mana keberadaan Wolf. Terutama karena Kristal tidak tahu ke mana harus mencari. Ia juga tidak pernah tahu di mana lelaki itu tinggal.

"Apa kau tahu di mana Wolf tinggal?" Kristal menatap Bear penuh harap.

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin dia baik-baik saja." Bear menatapnya cemas. "Light, aku lebih mengkhawatirkanmu daripada Wolf. Kau bisa melakukan apa saja yang bisa membuat perhatianmu teralihkan."

"Menembak selalu membuat perhatianku teralihkan."

"Bagus, kau bisa berlatih di ruang tembak."

"Sayangnya aku sudah menghancurkan semua papan target menjadi serpihan kecil. Storm bilang kita kehabisan papan target."

"Kalau begitu berlatihlah di lapangan berumput."

Kristal meringis.

"Kau juga sudah kehabisan target juga ya?"

"Blast sedang memasak burung-burung yang sudah kutembak."

"Light," Bear tergelak, "aku tahu apa yang belum kau lakukan."

"Apa?"

"Pulanglah dan temui ibumu, Andara."

Kristal kembali meringis. "Itu bukan ide bagus. Ibuku hobi mengatur kencan untukku dan anak temannya."

"Sempurna. "

Pada akhirnya Kristal senang mengikuti saran Bear. Andara adalah tipe ibu-ibu yang tidak akan membiarkan suasana rumah menjadi sepi. Wanita itu suka bergerak dan berbicara. Setibanya Kristal di rumah Andara langsung memberondonginya berbagai macam pertanyaan sambil memasak makanan favorit Kristal.

Jauh berbeda dengan ayah angkatnya, Batara, yang lebih banyak diam sambil membaca jurnal-jurnal kesehatan saat berada di rumah, yang jarang sekali terjadi karena pria paruh baya itu lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit.

"Tumben papa di rumah." Kristal menghampiri ayah angkatnya dan duduk di samping pria itu.

"Setiap kali aku di rumah, kau tidak ada. Kita tidak pernah kebetulan bertemu sejak... Berapa ya? Lima tahun yang lalu? Kau sepertinya lebih sibuk dari papa." Kristal tersenyum. Ia memang tidak terlalu dekat dengan Batara, tetapi ia menghargai pria yang telah membesarkannya itu dan berupaya untuk tidak membuat masalah.

"Papa selalu bertanya-tanya kenapa selama tujuh belas tahun merawatmu kau hampir tidak pernah merepotkan papa. Apa kau masih segan menganggap aku ayahmu?"

Kristal menggigit bibirnya. "Eeeh, mungkin."

Batara menyipitkan mata di balik kacamata tebal. "Apakah selama ini kau sudah punya seseorang yang selalu kau repotkan setiap kali kau terkena masalah?"

Mau tak mau Kristal kembali memikirkan Wolf. Kristal sudah merepotkan lelaki itu sejak pertama kali mereka bertemu. Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, tidak heran mengapa sekarang Wolf tampak jengkel setiap kali melihatnya. Mungkin lelaki itu sudah muak berurusan dengannya.

Kristal menghela napas panjang. Ngomong-ngomong ia juga sudah muak memikirkan Wolf. Ia hanya ingin bebas dari perasaan itu. "Papa...."

"Ya, Sayang?"

"Apa kau tahu caranya melupakan seseorang?" Jika ada satu cara, apa saja, agar Kristal berhenti memikirkan lelaki itu, ia akan melakukannya.

"Pertama," Batara membuka kacamatanya dan menatap Kristal sungguh-sungguh, "bukalah hatimu terhadap semua kemungkinan."

***

"Aku akan mengajakmu ke tempat yang bagus."

Kristal menatap teman kencannya , berusaha tampak antusias. Tak lupa ia membiarkan seulas senyum tersungging di bibirnya yang semerah mawar. "Benarkah?"

"Tentu saja."

Pria itu bernama Saka, usianya hanya terpaut tiga tahun di atas Kristal dan merupakan dokter residen yang dibimbing langsung oleh Andara.

Raut muka Saka tampak menyenangkan, matanya hangat dan ramah, sementara mulutnya selalu tersenyum. Sesekali Kristal merasa pria itu seperti mengetahui sesuatu yang tidak Kristal ketahui.

Malam ini Saka mengenakan jas kasual berwarna cokelat di atas kaus putih dan dipadukan dengan celana gelap, sementara Kristal memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Ia menolak gaun-gaun cantik yang direkomendasikan Andara dan lebih memilih mengenakan kemeja hitam dan rok kulit yang juga berwarna hitam dan sepatu bot selutut.

Saka mencuri pandang ke arahnya sebelum pria itu kembali menatap jalanan. "Maaf kalau kau merasa terpaksa mengikuti kencan yang diatur. Aku hanya tidak bisa menolak permintaan ibumu."

"Astaga," Kristal memutar mata. "Ini hanya kencan biasa, bukan berarti kita akan menikah besok. Jadi, tenang saja."

"Syukurlah." Saka pura-pura menghela napas lega, lalu mereka tertawa.

"Kita belum berkenalan secara resmi," ujar Kristal kemudian. "Namaku Kri...," Kristal berhenti sejenak untuk berpikir. "Ehm, maksudku Cahaya. Namaku Cahaya."

"Nama yang indah," Saka menoleh untuk menatapnya lagi. "Namaku Pusaka Abadi. Panggil saja Saka."

"Nama yang bagus." Kristal mengangguk pelan. Sebenarnya ia sedang malas bicara, tetapi saran Batara tentang membuka segala kemungkinan baru membuatnya terpaksa menjalin komunikasi dengan Saka. "jadi kau seorang dokter?"

Saka tidak langsung menjawab. Pria itu malah tampak berpikir keras. "Bisa dibilang begitu," ujarnya terdengar tidak yakin.

"Apa spesialisasi medismu?"

"Spesialisasi medis? Hm... Aku... aku belum memikirkannya."

"Belum memikirkannya?" Kristal menyipitkan mata curiga. "Apa kau dokter gadungan?"

"Gadungan?" Saka tampak bingung.

"Kau tahu ibuku dokter apa?"

"Dokter... gigi?"

"Kalau ayahku?"

"Dokter kaki!"

"Ck, kau pembohong payah!" Kristal mendengkus jijik seraya memperhatikan gerak-gerik pria itu yang tampak serba salah.

"Ya Tuhan," Saka mendesah pasrah, "ternyata aku memang tidak bisa membohongi wanita cantik, tapi ibumu dan Indira bilang aku bisa menghiburmu karena aku tampan dan pandai merayu."

"Tunggu, Indira?"

Saka tersenyum samar, lalu mengaktifkan alat yang Kristal kenal untuk menyamarkan percakapan. Jadi seandainya ada orang di luar sana yang mungkin sedang menyadap, mereka hanya akan mendengar suara statis.

"Ya, Indira. Bos besar kita semua," ujar Saka mengejutkan. "Aku mengenalmu, kau sniper terbaik dan tercantik dari tim Alpha A. Nama julukanmu Light. Artinya Cahaya seperti namamu."

"Tunggu! Apa maksudnya semua ini?" tanya Kristal terkejut dan bingung. "Kenapa kau tahu?"

"Aku prajurit CO dari tim Omega. Kau pikir, CO akan membiarkan prajurit terbaiknya sendirian begitu saja setelah peristiwa pengejaran yang membahayakan nyawamu? Indira merasa kami butuh menyelidiki siapa orang-orang yang mengejarmu dan kau butuh pengawalan oleh seseorang yang tidak dikenali siapa pun termasuk timmu sendiri."

"Kenapa tim Alpha tidak tahu tentang ini?"

"Karena ini hanya penyelidikan ringan sehingga tidak perlu melibatkan tim alphamu yang brutal itu."

Kristal mengerjap, mencerna semua informasi yang tidak terduga itu, lalu menatap Saka penasaran. "Memangnya apa bedanya tim Alpha dan Omega? Kenapa aku tidak tahu?"

"Kami divisi yang bertugas mengumpulkan bukti dan koneksi seperti para detektif di kepolisian. Sementara tugas divisimu adalah mengeksekusi para penjahat yang telah terbukti melakukan pelanggaran berat."

"Apa teman-temanku tahu tentang divisimu?"

"Snake tahu karena kami memberikan informasi lewat dia. Bear juga tahu karena dia pemimpin tim kalian. Meski begitu kami tidak pernah bertemu langsung. Ini pertama kalinya dan jujur saja..." Saka menatapnya sekali lagi. "Aku tidak menyangka akan bertemu dengan prajurit tercantik di CO. Kau jauh lebih cantik dari bayanganku."

"Kau tipe seperti itu ya?" tanya Kristal jengah.

"Tipe seperti apa?"

"Perayu."

"Aku hanya suka bersenang-senang. Memangnya kau tidak?"

Kristal mendengkus. "Seseorang menyuruhku untuk bersenang-senang seolah aku tidak pernah bersenang-senang seumur hidupku hanya karena aku lebih suka menghabiskan waktu dengan senjata api."

"Kalau begitu, kau bertemu orang yang tepat, Cahaya." Saka mengedipkan sebelah matanya. "Aku akan mengajarimu caranya bersenang-senang."

"Ke mana kita pergi?"

"Sebuah kelab malam ekslusif. Aku baru saja berhasil mendapatkan kartu pass masuk ke sana."

"Aku tidak sabar." Kristal memaksakan sebuah senyuman. Sejujurnya kelab malam eksklusif membuatnya cemas, dan itu terbukti saat Saka memarkirkan mobilnya di pelataran parkir kelab malam yang pernah Kristal kunjungi saat ia sedang menyamar menjadi wanita penghibur. Saat itu ia juga melihat Wolf sedang bertarung tinju, lalu mencium gadis yang lebih muda dari Kristal dengan penuh gairah.

"Kau terlihat murung begitu kita sampai sini." Saka memandang Kristal penuh tanya.

"Aku punya kenangan tidak menyenangkan di sini."

"Kalau-kalau ini bisa mengubah suasana hatimu...," Saka bergerak dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Tempat ini termasuk target penyelidikan kami."

"Benarkah?" Wajah Kristal seketika berseri.

"Tentu saja, Cantik. Sini biarkan aku pura-pura memelukmu agar aku bisa menceritakan sebabnya." Saka membuka lengannya dan tanpa berpikir dua kali Kristal melemparkan dirinya ke pelukan pria itu.

"Apalagi yang kau tahu?" tanya Kristal sambil menyelipkan lengannya di pinggang Saka saat mereka berjalan menuju kelab.

"Kamera dasbor mobilmu berhasil menangkap plat nomor mobil yang mengikutimu." Saka merogoh saku untuk memperlihatkan kartu pass kepada seorang penjaga tanpa melepaskan pelukannya. Penjaga itu mempersilakan mereka masuk ke area kelab yang tampak ramai dan berisik.

Kristal menarik kepala Saka agar pria itu bisa mendengar suaranya. "Terus beritahu aku?"

"Kita cari tempat dulu," ujarnya sembari menarik tubuh Kristal melewati kerumunan orang yang sedang berjoget di lantai dansa, lalu duduk di kursi terdekat.

"Jangan jauh-jauh dariku, Sayang." ujar Saka saat Kristal memilih duduk di seberang pria itu. "Kau tidak akan bisa mendengar penjelasanku, di sini sangat berisik."

Karena tidak ingin melewatkan informasi apa pun, Kristal segera beralih tempat duduk ke sisi Saka.

"Kurang dekat, kita harus terlihat mesra."

"Kenapa harus begitu?" Kristal mulai merasa risih.

"Kecuali kau ingin diganggu para pengunjung lain. Ini bukan kelab biasa, wanita yang sendirian akan dianggap sedang mencari kesenangan." Kristal menepuk kepalanya, ia hampir lupa tentang hal itu padahal ia sempat bekerja di sini.

"Apa kau tidak risih kalau aku pura-pura bermesraan denganmu?" tanya Kristal ragu.

"Kenapa harus risih? Aku berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman."

"Oke." Kristal berdiri, lalu duduk di pangkuan Saka dan melingkarkan kedua tangannya ke sekeliling leher pria itu.

"Begini lebih baik," desah Saka seraya tertawa serak.

"Mengenai plat mobil tadi...." Kristal memulai.

"Ah iya, ternyata plat mobil itu palsu. Tapi kami akhirnya bisa mengidentifikasi pemilik asli mobil itu. Setelah diperiksa, pemiliknya sering mengunjungi kelab ini."

Kristal menatap ke sekeliling, lalu berbisik penuh rahasia. "Apa pemilik mobil itu Vasco?"

"Vasco?" Saka sontak menoleh dan menatap Kristal takjub. "Kau tahu soal Vasco? Dia penjahat keji yang paling sulit dibuktikan kejahatannya. Sudah bertahun-tahun kami mencari bukti, tetapi tidak menemukan apa pun."

"Jadi memang Vasco yang mengejarku?"

Tanpa terduga Saka menggeleng. "Bukan. Sayangnya itu bukan Vasco, tetapi kami menduga orang itu mengenal Vasco. Ngomong-ngomong kenapa kau tahu tentang Vasco? Apa kau terlibat masalah dengannya?"

"Aku...." Saat itulah Kristal melihat Wolf muncul dari ruangan lain mengenakan kemeja dan celana denim yang rapi sambil menggandeng seorang wanita cantik dan seksi. Hanya saja, wanita itu bukan Emily.

Sial! Kenapa lelaki itu ada di sini bersama wanita selain Emily?

Dasar bajingan tengik! Rupanya lelaki itu tidak memberinya kabar selama ini karena terlalu sibuk bersenang-senang dengan para wanita.

Kristal memperhatikan dengan sakit hati pasangan yang berdiri beberapa meter di hadapannya itu. Beberapa saat kemudian si wanita tampak bergelayut manja di leher Wolf sebelum dengan agresif mencium bibir lelaki itu. Tak lama kemudian, Wolf tampak membalas ciuman itu dengan ciuman khasnya yang tampak seperti orang kelaparan.

Kristal membuang muka dan pandangannya langsung bersirobok dengan mata gelap Saka yang menatapnya penasaran. "Kau belum melanjutkan ucapanmu yang tadi."

"Lupakan saja." Kristal menghela napas panjang, lalu sebuah ide gila melintas di benaknya saat tatapannya tertuju pada mulut Saka yang tampak bersih, harum permen karet, serta deretan giginya yang terawat. "Apa kau mahir berciuman?"

"Berciuman ya, berkomitmen tidak. Kenapa?"

"Apa kau bisa mengajariku berciuman?"

"Apa?" Saka menatapnya tidak percaya.

"Ayolah, kau berjanji akan mengajariku cara bersenang-senang. Cium aku seperti orang kelaparan, lalu beritahu aku apa yang harus kulakukan untuk menyenangkanmu."

Saka berdeham dan menatap Kristal dengan tuan nyaman. "Kau tidak jatuh cinta padaku kan? Kita baru pertama kali bertemu lho."

Kristal tertawa. "Tentu saja tidak, bodoh. Kau tampak seperti pria yang tidak puas mencintai satu wanita saja."

"Kau wanita pertama yang memahamiku. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman kalau terikat secara emosional dengan seseorang."

"Kau benar. Rasanya sangat memuakkan." Kristal menyetujui. Ia sudah muak terikat secara emosional dengan lelaki yang tidak menginginkannya dan hanya bisa menyakitinya.

Saka mendekatkan wajah mereka. "Kumohon, kalau kau tidak menyukai ciuman ini, jangan muntah di depanku karena egoku sangat rapuh."

Kristal terkikik geli, "jangan khawatir," ujarnya, lalu mereka pun berciuman. Rasanya biasa saja. Seperti ujian praktik menembak dan Kristal bersemangat untuk mendapatkan skor tinggi.

Beberapa saat kemudian, Saka tersenyum di bibir Kristal, "pelan pelan saja. Jangan lupa bernapas."

Kristal menurut.

"Sekarang buka mulutmu, dan biarkan lidahku masuk. Semua pria menyukai ciuman semacam itu."

"Baiklah," Kristal terkikik dan membuka mulutnya dengan sukarela. Hanya saja, belum sempat ia mendalami teknik berciuman yang melibatkan lidah, seseorang tiba-tiba menarik leher kemeja Kristal sampai lehernya tercekik dan ia tidak bisa bernapas.

"Jangan mencium pria seperti pela*cur pada kencan pertamamu."

Kristal terbelalak menatap Wolf. "Lepas-kan. Aku-tidak-bisa-bernapas."

Seolah tersadar, Wolf segera melepaskan cengkeramannya dari kemeja Kristal dan melangkah mundur. Di sisi lain, Saka melangkah maju dan memegangi tubuh Kristal yang limbung. "Apa kau baik-baik saja?" Saka menatap Wolf dengan tatapan bermusuhan, "kau kenal dia?"

Kristal berdeham, lalu mendelik marah ke arah Wolf. "Ya, dia... kakakku."

"Kakakmu?" Saka terkesiap, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat tatapan mengintimidasi Wolf tertuju padanya. Entah mengapa, tetapi Kristal yakin Saka hanya pura-pura dan berani bertaruh kalau pria itu diam-diam mengenali Wolf. "Maaf, mungkin Anda terkejut, tapi kami―"

"Tidak usah minta maaf." Kristal memotong. "Ini urusan pribadiku. Kau tidak berhak ikut campur," ujarnya pada Wolf.

Wolf menarik Kristal menjauh dari jangkauan pendengaran Saka. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah aku sudah melarangmu datang ke tempat ini?"

"Aku ke sini bukan untuk bekerja. Aku sedang berkencan."

"Kau pikir aku percaya? Kau sengaja memilih tempat ini kan? Untuk apa? Mencari Vasco lagi? Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak berurusan dengan pria tua itu lagi."

"Aku tidak tahu Saka akan mengajakku ke sini. Kalau saja aku tahu akan bertemu denganmu di sini, aku lebih suka diam di rumah sambil menyikat lantai kamar mandi."

"Jadi namanya Saka?" Wolf mendelik ke arah pria yang dimaksud. "Kau kenal dari mana?"

"Dari ibuku. Kau tahu ibuku suka mengatur kencan untukku."

"Itu karena ibumu khawatir anak gadisnya akan menikahi senjata api."

"Kau berengsek, Wolf!"

Wolf mengabaikan protes Kristal dan memilih mengamati Saka yang tampak tersenyum ramah pada setiap wanita yang melewatinya. "Dia tidak terlihat seperti pria yang setia."

"Memang tidak. Dia hanya ingin bersenang-senang denganku."

"Bersenang-senang?" Kristal bisa melihat rahang Wolf menegang.

"Ya, bersenang-senang."

"Cahaya? Apa semuanya baik-baik saja?" Kristal menoleh ke arah Saka yang tampak cemas atau geli. Entahlah, pria itu tampaknya memiliki bakat unik yang bisa membingungkan lawan.

Kristal tersenyum menenangkan. "Ya. Semua baik-baik saja. Jangan khawatir."

"Cahaya? Kau tidak pernah memberitahu orang asing tentang namamu yang itu," bisik Wolf di sebelahnya.

"Dia bukan orang asing lagi setelah menjelajahi mulutku."

Wolf mengumpat kasar. "Kau benar-benar idiot. Dia hanya memanfaatkanmu."

"Bagaimana denganmu? Apa Emily tahu kau mencium gadis lain?"

"Itu bukan urusanmu."

"Kenapa itu bukan urusanku sementara saat aku mencium pria lain itu menjadi urusanmu?"

"Kau tidak akan mengerti."

"Kalau begitu buat aku mengerti."

"Tidak akan pernah," geram Wolf final.

Kristal mengerang frustrasi. "Terserah apa katamu. Pokoknya aku tidak ingin kau membuatku terlihat seperti wanita menyedihkan di depan teman kencanku," ujar Kristal geram, kemudian berbalik menuju Saka. "Bisakah kita pergi dari sini dan mencari tempat yang lebih sepi?"

"Tentu." Saka tersenyum lebar. "Dengan senang hati."

"Tunggu!" Wolf tiba-tiba berdiri di antara Saka dan Kristal. "Kau akan pergi denganku," ujarnya kepada Kristal.

"Maaf, tapi Cahaya yang memintaku untuk pergi bersamanya," sela Saka.

Wolf berdecak seraya menatap Saka jengkel. "Kau pergi saja sendiri," ujarnya lantas menyeret Kristal agar berjalan bersamanya.

Kristal menoleh dan memandang Saka yang masih berdiri di belakang mereka. "Maaf," ujarnya tanpa suara.

Saka tersenyum maklum kemudian membuat mimik lucu seperti seekor anjing sambil menunjuk Wolf. "Dia anjing penjagamu," balas pria itu tanpa suara. Kristal tergelak, lalu buru-buru tutup mulut saat Wolf melemparkan tatapan menusuk.

"Tunggu di sini. Aku akan membawa mobilku," ujar Wolf saat mereka tiba di bagian belakang gedung kelab. Kristal mengangguk patuh dan memandang punggung lelaki itu menjauh, kemudian menghilang.

Untuk ke sekian kalinya Kristal tidak bisa menolak perintah Wolf. Kristal tidak mengerti, padahal mudah saja baginya untuk mengabaikan Wolf dan pergi dengan Saka. Sayangnya, Wolf seolah telah mengikat jiwa Kristal sehingga ia semakin tidak sanggup berjauhan dengan lelaki itu.

"Sudah kuduga itu kau." Kristal terkesiap, lalu berputar mencari arah suara. Seorang pria berpenampilan perlente muncul dari kegelapan. Benaknya dengan cepat mencari ingatan yang terhubung dengan pria di hadapannya, tetapi sayangnya tidak berhasil.

"Kau tidak mengenalku ya?" tanya pria itu seraya tersenyum culas. "Sayang sekali, padahal aku mengenalmu meski rambutmu tidak biru."

Biru? Kristal terkesiap, saat itulah ia teringat seorang pria congkak yang suka membicarakan koleksi mobil-mobil mewahnya.

"Apa cicilan mobilmu sudah lunas?" Kristal menatap pria itu dengan berani.

"Kau jalang sialan. Jangan berlagak jual mahal, malam ini aku sudah melihatmu beralih dari satu pria ke pria lain dengan mudah. Tentu tidak sulit bagimu untuk ikut denganku."

"Sayangnya aku tidak berminat."

"Aku bisa membayarmu lebih."

"Aku tidak tertarik."

"Ah," pria itu menyeringai. "Apa kau ingin aku mengejarmu seperti malam itu."

Malam itu? Kristal bergidik ngeri. Sial! Sepertinya tanpa sadar Kristal telah membuat masalah dengan orang yang salah.

"Kau? Kau pelakunya?"

Pria itu tertawa jahat seraya menjentikkan jari. Tiga orang bertubuh besar tiba-tiba muncul di belakang Kristal.

"Bawa jalang tak tahu malu ini ke mobilku. Paksa dia asal jangan sampai mati," ujar pria itu, kemudian berlalu pergi sambil tertawa puas.

Kristal menatap ketiga pria besar di hadapannya dengan waspada. Ia bisa saja melawan karena pelatihan beladiri di CO cukup intens. Namun, ketiga pria besar itu memanfaatkan tubuhnya yang kecil sehingga mampu mengepungnya dengan mudah. Salah satu dari mereka bahkan mencekik leher Kristal hingga kedua kakinya terangkat dari lantai. Sesaat kemudian sapu tangan gelap membekap mulutnya. Kristal merasakan tubuhnya melemas sebelum akhirnya berhenti bergerak dan tak sadarkan diri.

___________________

Happy reading, Readers!

Yuhuuu... Karakter baru muncul lagi. Bagaimana menurut kalian mengenai bagian ini?

Silakan tinggal jejak apresiasi kalian di kolom komentar.

Terima kasih.

Continue Reading

You'll Also Like

32.6K 8.8K 11
-Matanya mengungkap rahasia masa lalu dan kebenaran masa depan- Sasyira lahir dalam anugerah para dewa. Menjadi yang terakhir dari kaumnya. Hanya saj...
1.6K 229 6
Kalau lagi kumpul keluarga besar, Eyang selalu tanya, "Jadi, habis ini siapa yang mau menikah?" Memangnya, hidup itu cuma soal menikah?
601K 28.8K 12
Bekerja di sebuah penerbitan besar dan ternama adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi Inggrid. Tapi kalau owner penerbitnya adalah Mika Dewangga? In...
1.1K 147 10
Di dimensi manapun kita hidup, ternyata selalu ada perjuangan. Baik untuk bertahan hidup, meraih keinginan, pun tentang cinta. Benar kata pepatah, "r...