Rengkuh Sang Biru

By Lalanaraya

81.7K 9.6K 3.6K

Renjana Sabiru harus menerima fakta tentang kepergian kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi yatim piatu... More

Awal || intro
Karakter tokoh
Bab.1 || Awal kisah, Di Balik Sebuah Janji
Bab.2 || Kembali Pulang, Bersama Segenggam Hangat
Bab.3 || Pengakuan Dan Harapan
Bab.4 || Harap Yang Patah
Bab.5 || Porak-Poranda Dalam Diam
Bab.6 || Dingin Yang Tidak Terbaca
Bab.7 || Setumpuk Amarah Dan Seberkas Iri.
Bab.8 || Langkah Pertama Menuju Petaka
Bab.9 || Perisai Dingin Yang Membentang
Bab.10 || Ketika kecewa dan patah mulai melebur
Bab.11 || Perihal Kecewa Dan Amarah
Bab.12 || Patah, Hancur Lebur, Tercerai Berai.
Bab.13 || Ketika Asa Tidak Lagi Tersisa.
Bab.14 || Bagaimana Pahit Terasa Manis.
Bab.15 ||Sederhana Yang Patut Disyukuri
Bab.16 ||Sudut-Sudut Ruang Hampa
Bab.18 || Tawa Yang Kembali Terenggut
Bab.19 || Yang Telah Putus Tidak Bisa Dibenahi.
Bab.20 || Ketika Hujan Kembali Menyamarkan Tangis.
Bab.21 || Jutaan Rasa Sakit Absolute.
Bab.22 || Sunyi Di Antara Riuh Semesta.
Bab.23 ||Secercah Harap Berselimut Fana
Bab.24 || Sepasang Binar yang Kembali Berpendar.
Bab.25 || Badai yang Belum sepenuhnya Usai
Bab.26 || Rengkuh Hangat Untuk Sang Biru
Cerita baru

Bab.17 || Dua Sisi Koin Yang Berbeda

2.1K 305 158
By Lalanaraya

Hai! Absen yuk, cantiknya Biru dari kota mana aja nih?

Em, ini mungkin agak sangat panjang, tolong jangan eneg ya:)

Follow IG : @lalanaraya
.
.


Bagi seorang Arayaksa Sebastala, menjadi anak tunggal dari seorang Renata Maheswari, yang merupakan aktris sekaligus model papan atas tanah air tidak membuat Arai bangga ataupun senang atas statusnya. Remaja limabelas tahun itu justru merasa terkekang oleh aturan yang Renata buat agar terlihat sempurna tanpa celah.

Hidup bergelimang harta dengan ketenaran nama sang Mama yang ikut menaikan namanya tak lantas membuat Arai bahagia. Selama hidupnya Arai habiskan untuk menjadi sosok sempurna yang Mamanya inginkan. Mendikte setiap langkah yang Arai ambil dan merenggut kebebasan Arai di masa kanak-kanak hingga beranjak remaja. Setiap apa-apa yang Arai lakukan harus sesuai dengan apa yang Renata inginkan.

Terlebih setelah sang suami diketahui berselingkuh dengan seorang wanita penghibur, Renata semakin berambisi untuk terlihat sempurna. Pun juga memberi pelajaran pada siapapun yang merusak citra keluarganya hingga hancur di mata publik.

"Kamu tuh udah nggak punya saingan lagi setelah anak miskin itu dikeluarin dari sekolah. Tapi kenapa nilai kamu masih segitu-segitu aja sih." Renata berujar dengan raut wajah tak ramah setelah melihat hasil ulang tengah semester Arai.

"Posisi Biru nggak akan bisa aku geser semudah itu, Ma," ucap Arai lirih. Kepalanya menunduk tanpa berani bersitatap dengan manik tajam Sang Mama.

Raut wajah Renata semakin mengeras dengan tajam tatap yang seolah mampu menikam Arai di tempatnya.

"Kamu masih kepikiran sama anak miskin itu? Udah mulai melenceng kamu dari rencana awal. Mama cuma suruh kamu berteman sama dia supaya kita bisa balas dendam sama dia dan keluarganya, sekaligus merebut predikat nomor satu di sekolah. Atau, kamu justru benar-benar menganggap dia teman?" Panjang kalimat yang Renata suarakan membuat Arai semakin tak berani mendongak.

Remaja limabelas tahun itu sejak kemarin tidak bisa fokus untuk belajar setiap mengingat apa yang ia lakukan pada Biru, sahabatnya.

Ah, lebih tepatnya mantan sahabat. Karena setelah apa yang Arai lakukan pada Biru, Arai tidak layak lagi disebut sebagai sahabat.

"Ingat tujuan kamu buat dekat sama dia, Arai. Kamu berteman sama dia buat hancurin hidup dia. Sama seperti tantenya yang udah hancurin keluarga kita," tutur Renata setelah mengambil jeda sejenak untuk mengontrol emosinya. Wanita anggun tersebut kembali menatap putra semata wayangnya yang sejak tadi tidak berani bersitatap dengannya.

"Atau Mama perlu bikin anak itu lenyap supaya kamu fokus buat jadi sempurna dan balasin dendam Mama buat wanita jalang itu?"

Detik setelah Renata perdengarkan tanya dengan seringai mengerikan, Arai mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Hingga manik kelamnya bersinggungan dengan netra tajam sang Mama.

"Ma ... please," lirih Arai dengan manik sayunya yang kian menyendu.

"Apa? Itu juga bagian dari rencana awal kita, Rai. Buat bikin satu persatu keluarga Mayang hancur dan bikin mereka lenyap dari dunia," tukas Renata yang membalas sayu tetap Arai dengan tajam tatapnya.

Renata benar. Tujuan awal Arai mengajak Biru berteman dan menjadi pelindungnya semata-mata hanya untuk membuat anak itu percaya padanya.

Awalnya, semua berjalan sesuai rencana Arai. Biru benar-benar polos dan begitu lugu hingga dalam pertemuan ketiga, bocah itu sudah menganggap Arai sebagai sahabatnya. Bahkan mungkin lebih dari itu.

Namun, seiring berjalan waktu. Arai justru merasa salah dengan apa yang ia lakukan. Berulang kali bocah itu berusaha melanjutkan rencananya, tetapi setiap kali menatap manik coklat Biru yang memancarkan keluguan itu, apa yang Arai siapkan selalu patah oleh pedulinya.

Biru mampu menyihir Arai yang sejak awal membenci Biru hingga membuat Arai benar-benar menganggap Biru sebagai sahabatnya. Bocah itu bisa membuat Arai benar-benar ingin melindunginya.

Dan sekarang, kepercayaan Biru padanya telah di patahkan hingga Arai sangsi bocah itu masih menganggapnya sahabat.

"Jangan lemah, Rai. Ingat apa yang jalang itu lakukan sampai keluarga kita punya citra buruk di mata publik. Ingat gimana Papa kamu yang milih buat pergi sama jalang itu. Ingat gimana anak miskin itu merebut posisi kamu yang selalu jadi nomor satu. Ingat gimana Mama yang akan selalu menghukum kamu setiap kamu gagal jadi nomor satu. Ingat itu semua, Rai."

Manik kelam Arai yang biasa terlihat tajam dan mengancam itu tak lagi terlihat menyeramkan. Bingkai kaca yang menyelimuti sekembar manik kelamnya seolah menjawab bagaimana Arai kehilangan asanya.

"Ma, please, berhenti sampai sini. Aku bakal berusaha buat jadi sesempurna yang Mama mau. Aku bakal berusaha buat Mama bangga dan nggak malu punya anak kayak aku. Aku bakal nurutin apa yang Mama mau," ucap Arai seraya menatap manik sang Mama yang seiras dengannya.

Bocah itu mengambil jeda guna mengurai sesak yang menyiksa. Sebelum kembali melanjutkan, "Tapi tolong, jangan jadi monster yang bikin aku kehilangan rasa hormatku buat Mama. Aku sayang sama Mama, tapi aku nggak akan bisa jadi penjahat cuma buat ngikutin egonya Mama."

"Kamu bilang Mama kamu ini monster?!" pekik Renata murka.

"Apa namanya kalau bukan monster, Ma?" Arai bertanya lirih. Menatap balik Renata. "Nggak ada seorang ibu yang nyuruh anaknya buat jadi pembunuh."

"Arayaksa!"

Plak

Wajah Arai terpaling saat telapak tangan Renata menampar keras pipi kirinya. Bocah itu hampir saja tersungkur jika tidak berpegang pada ujung sofa. Pipinya memerah menandakan seberapa keras tamparan Renata.

"Jaga mulut kamu, Arai!" seru Renata masih dengan wajah memerah menahan amarah yang semakin meluap. "Mama lakuin semua ini buat kamu. Buat masa depan kamu. Setelah papa kamu yang bajingan itu pergi sama jalangnya, Mama sendiri yang harus mengurus kamu dan membiayai hidup kamu. Dan sekarang kamu bilang Mama kamu monster?"

Ada rasa sesak yang menghujam ruang hati Arai saat mendengar nada kecewa Mama padanya. Sungguh, selama hidupnya, baru pertama kali Arai menentang Renata hingga wanita yang begitu ia cintai itu menatapnya dengan kecewa.

"Arjun!" Pekik nyaring Renata membuat salah satu pengawal menghampiri keduanya. Arjun, pengawal pribadi yang Renata pekerjakan khusus untuk mengawasi dan mendisiplinkan Arai.

"Bawa Arai ke ruang hukuman. Kasih dia hukuman disiplin lima puluh cambukan dan kurung dia di ruang hukuman sampai dia sadar kesalahannya," ujar Renata dengan tatapan dingin yang tertuju pada Arai.

"Jangan beri dia makan sebelum saya suruh," sambungnya tanpa iba sedikitpun.

"Dan kamu!" Renata tatap putra semata wayangnya yang masih mematung di tempatnya. Tidak ada raut bersalah yang Renata perlihatkan meski dirinya melihat bagaimana Arai yang memegangi pipinya. Dingin tatap Renata bersinggungan dengan sayu tatap Arai saat bocah itu mendongkak.

"Mulai besok jadwal les privat kamu Mama tambah. Setelah pulang sekolah kamu harus ikut les piano dan empat les tambahan sampai jam duabelas malam. Mama nggak akan biarin kamu seenaknya sekarang."

Tepat setelah Renata mengucapkan dingin kalimatnya tanpa bantahan. Wanita itu berbalik meninggalkan Arai di tempatnya. Tidak ada secuilpun iba yang ia tunjukkan untuk sang anak.

Pun, meski tubuh Arai diseret paksa oleh pengawalnya. Dan memasuki ruang hukuman yang selalu digunakan untuk menghukum Arai.

Hingga setelahnya, bunyi rintihan lirih Arai yang bersahutan dengan bunyi cambukan gesper dan penggaris besi yang terdengar dari sebalik ruang hukuman tersebut.

•••••••

Sudut-sudut ruang hampa di rumah Galaksi selalu mampu membangkitkan sesak setiap kali Reksa di tinggalkan seorang diri. Setiap Galaksi pergi, Reksa selalu merasa asing kendati ia telah bernaung cukup lama di rumah ini.

Hidup dengan tubuh lemah yang rentan terserang penyakit serta asma akut yang mendera tak lantas menjadikan Reksa sosok yang manja akan penyakitnya. Sebaliknya, jika dirinya masih bisa menangani rasa sakitnya seorang diri, maka Reksa akan berusaha sendiri sampai dirinya benar-benar membutuhkan orang lain.

Dering nada sambungan dari ponsel pintar Reksa yang diletakkan di telinganya masih menjadi satu-satunya yang menyisir sunyi di sana.

Bocah itu hampir menyerah. Benar-benar kehilangan semangatnya jika saja nada sambungan dari sebrang sana tidak berubah menjadi sapaan paling merdu dari wanita yang ia sayangi.

"Halo, Ma!" seru Reksa terlampau antusias.

Reksa bangkit dengan semangat dari posisi baringnya dengan senyum sumringah yang jarang bocah itu perlihatkan dari wajah judesnya.

"Ada apa Reksa? Kenapa telfonin Mama terus. Mama nih lagi sibuk."

Merdu suara yang sempat Reksa dengar di awal tadi berubah menjadi sapaan sinis yang membuat Reksa meringis tak enak. Ah, lagi-lagi Reksa mendapat respon kurang menyenangkan setiap kali bertelfonan dengan sang Mama.

"Maaf, Ma. Aku cuma kangen denger suara Mama sama Papa. Udah lebih dari dua bulan kalian gak ngabarin aku," ucap Reksa yang kembali sungkan untuk berbicara.

"Ya kamu, kan, tahu Papa sama Mama lagi kerja. Kami lagi sibuk-sibuknya di sini. Kamu harusnya bisa ngertiin sebagai anak."

Lagi, ketus suara Mama membuat Reksa merasa asing kepada mamanya sendiri. Mama seolah tak pernah merasa senang setiap kali Reksa berhasil menelponnya.

Seorang anak selalu di tuntut untuk mengerti kondisi orangtuanya. Tapi orangtua terkadang enggan untuk mengerti sang anak.

"Ma, aku telfon juga gak sesering itu. Bahkan Mama baru sekarang angkat telfon aku. Lima menit aja, Ma. Luangin waktu Mama buat ngobrol sama aku lima menit aja. Aku nggak bakal nagih limabelas tahunku tanpa Mama sama Papa."

Sekembar netra kelam Reksa berbingkai kaca. Bocah itu berusaha mengurai sesak di dadanya. Setiap kali mengingat fakta bahwa kedua orangtuanya sama sekali tak memperhatikan tumbuh kembangnya sejak kecil, Reksa selalu merasa dadanya seolah di remat lebih kencang dari saat asmanya kambuh.

"Mama nih sibuk, Sa. Berapa kali Mama harus bilang. Mama nggak punya waktu buat ngobrolin hal gak penting sama kamu."

Buang napas panjang sejenak, Reksa meringis saat dadanya lagi-lagi terasa sesak. Sesak yang teramat nyata kali ini. "Aku tau aku nggak sepenting itu buat Mama. Aku cuma minta waktu Mama sedikit. Bulan lalu aku ulangtahun kalian juga gak pulang lagi. Tiap tahun aku cuma ngerayain ulangtahun sendirian tanpa kalian. Bahkan setiap aku collaps sampai hampir mati pun aku gak pernah ngeluh ke Mama atau Papa."

Namun, sepertinya Mama tidak sedikitpun terenyuh akan keluh yang Reksa suarakan. Mama seolah mati rasa, menutup mata atas tanggungjawabnya sebagai seorang ibu.

"Sa, Mama nih capek! Banyak kerjaan yang harus Mama urus. Mama juga capek di mintai uang terus sama Oma kamu buat biaya berobat kamu. Kamu juga kan udah sering masuk rumah sakit, buktinya gakpapa sampai sekarang. Jadi tolonglah, ngertiin Mama sedikit." Nada suara Mama diseberang sana terdengar kian meninggi.

"Emang selama ini aku kurang pengertian apa sih, Ma?" tanya Reksa lirih. Satu tangannya terangkat meremat dadanya yang kian di hujami rasa sesak absolute.

"Udah deh, Sa. Kalau kamu nelfon buat hal nggak penting gini mending Mama tutup aja."

"Apa ... Mama bakal nganggep aku penting kalo aku udah ngga ada? Apa Mama sama Papa bakal pulang, kalo aku udah mati?"

Reksa perdengarkan lirih suaranya yang bergetar, Mama terdiam cukup lama di seberang sana. Tidak ada sahutan bernada tinggi yang terdengar dari sebalik panggilan telepon tersebut.

Baik Reksa maupun Mama sama-sama terjebak dalam bisu yang tak berujung. Hingga setelah jeda panjang yang mengambil alih, terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.

"Mama capek, Sa. Mama tutup."

Hanya itu. Hanya kalimat singkat bernada sarat akan ketidaknyamanan yang menjadi akhir dari percakapan ibu dan anak tersebut.

Tepat setelah panggilan tersebut di putus sepihak oleh Mama, Reksa meluruhkan tangannya hingga ponsel di genggamannya terjatuh begitu saja. Satu tangannya masih meremat dadanya yang semakin menyesak, hingga membuat Reksa kepayahan untuk sekedar menarik napas.

Airmata Reksa meluruh tanpa kekang. Bocah itu sudah tidak bisa membedakan sesak karena asmanya yang kembali kambuh atau sesak karena sikap tak acuh Mama yang seolah tak menganggap hadirnya.

Reksa memang memiliki keluarga lengkap. Reksa punya ayah yang pekerja keras dan ibu yang mandiri. Tetapi, tidak semua anak yang memiliki keluarga lengkap juga memiliki bahagia lengkap, bukan?

Keluarga Reksa memang masih utuh, tetapi Reksa sama sekali tidak menemukan kehangatan di dalamnya.

•••••

Seseorang pernah berkata, jangan pernah menunjukkan sisi lemah kita pada orang lain. Buatlah cangkang agar dirimu tidak mudah ditebak. Bangunlah benteng setinggi mungkin agar orang lain sulit menerka dirimu.

Rupanya, hal itu benar-benar mengambarkan seorang Laksana Galaksi. Pemuda yang begitu dingin dan tidak mudah didekati itu telah membangun benteng cukup kokoh agar tidak ada yang mengetahui sisi lemahnya.

Galaksi yang selalu terlihat sempurna dan tangguh itu nyatanya hanya pemuda duapuluh lima tahun yang begitu pandai menyembunyikan kesulitannya.

"Ingat, Gal. Kamu itu anak laki-laki pertama. Kamu bakal gantiin peran Papa kalau Papa nggak ada. Kamu yang bakal jaga dan lindungi Mama dan adik kamu. Kamu yang bakal ngerawat Oma kamu kalau Papa udah nggak ada. Jadi, pundak kamu harus sekokoh baja. Karena beban yang kamu pikul sebagai anak laki-laki pertama itu berat, Gal."

"Kalau Papa nggak ada. Kamu yang bakal jadi tulang punggung keluarga ini. Jangan terlihat lemah supaya kamu nggak mudah diremehkan. Dan ingat, Papa bakal titipin Oma, Mama sama calon adik bayi ke kamu."

Tuntutan sebagai seorang anak pertama yang pernah Papa gaungkan seolah mendoktrin Galaksi untuk selalu terlihat sempurna dan menjadi pundak untuk keluarganya.

Namun siapa sangka jika pundak yang selalu terlihat kokoh itu nyatanya menyimpan beban berat yang ia pikul seorang diri. Punggung yang terlihat tegap itu nyatanya menyimpan ringkih dari sebalik perawakannya yang dingin.

Jam yang menempel pada dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Namun Galaksi masih berkutat di depan laptopnya dengan kacamata yang bertengger diwajahnya.

"Please Gal, seenggaknya datang sekali aja ketemu gue. Gue janji nggak bakal kasih tau siapapun tentang penyakit lo. Asal lo mau berobat, Gal."

"Ini udah bukan penyakit sepele lagi. Lo yang paling tau tubuh lo. Gue yakin lo udah paham separah apa penyakit itu."

Telinga Galaksi berdengung saat penggal percakapan telepon dirinya dan Sabian tadi sore kembali terngiang.

Pemuda itu menghela napas berat sebelum melepas kacamatanya dan mengurut dahinya yang berdenyut pusing karena terlalu lama berhadapan dengan laptop.

"Ssshh ..."

Galaksi meringis saat nyeri pada perutnya kembali menyerang. Pemuda itu membawa satu tangannya untuk meremat perut bagian kanannya dan satu tangan lain untuk membuka laci meja untuk mengeluarkan tabung obatnya.

Dengan gemetar, Galaksi meminum obatnya hingga air yang ia teguk tumpah membasahi kemejanya. Pemuda itu bernapas dengan berat setelahnya. Berusaha meredam nyeri yang masih terasa di perut kanannya.

Netra tajam Galaksi terpejam dengan kernyitan tak nyaman di keningnya yang di penuhi keringat. Tangannya semakin menekan perutnya saat nyeri disana masih cukup menyiksa.

"Oma cuma punya kamu sebagai harapan Oma satu-satunya. Jangan sampai kamu sakit kayak Papa kamu, Gal."

"Bang, gue cuma punya lo sebagai orang yang paling peduli sama gue. Tolong jangan pernah tinggalin gue kayak Mama sama Papa, bang."

Kembali, memoar Galaksi kembali mengingat penggal-penggal kalimat Oma dan Reksa yang singgah silih berganti.

Hitam jelaga sekelam arang yang tersembunyi dari sebalik kelopaknya itu terbuka perlahan. Tatapan dingin yang biasa terlihat berganti sayu dengan lingkar hitam dibawah mata.

Benar, Galaksi adalah pondasi keluarga setelah Papa tiada. Galaksi tidak boleh terlihat sakit. Galaksi tidak boleh mengeluh kendati raganya telah sepenuhnya berpeluh.

Ponsel Galaksi berbunyi. Menandakan pesan yang baru saja masuk dari ponselnya. Pemuda itu lekas membuka layar ponselnya, kemudian ia dapati pesan dari Regan yang cukup mampu membuatnya melupakan seluruh rasa sakitnya.

Regan

Gue barusan lewat jalan cempaka, nggak sengaja ketemu anak-anak jalanan. Nggak tau gue yang salah lihat atau gimana, tapi gue kayak lihat Biru di antara anak-anak jalanan itu, Gal.

Adek lo ... beneran tinggal sama budenya, kan?

•••••

Nathan menatap datar sekumpulan anak-anak remaja yang sibuk dengan ponsel mereka di depan tongkrongan toserba 24jam di samping tempatnya membeli nasi bungkus. Renyah tawa serta kelakar saling meninggikan ponsel keluaran terbaru milik mereka terdengar nyaring ditelinga Nathan.

Bocah-bocah tersebut memiliki nasib yang berbanding terbalik dengan adik-adiknya. Nathan merasa miris ketika mendapati perbedaan yang sangat kontraks tersebut.

Ternyata benar slogan yang kerap Nathan baca dibuku antologi bajakan yang kerap ia baca.Yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin. Kesenjangan sosial dinegeri ini memang sangat memprihatinkan.

"Jo, mbok ndak bisa ngutangin dulu yo hari ini. Dagangan mbok lagi sepi dari pagi."

Nathan alihkan atensinya pada sosok pemilik warung langganannya. Mbok Darsiti, wanita asal Solo yang telah lama hidup di Jakarta dan membuka warung makan kecil-kecilan.

Biasanya, jika Nathan benar-benar tidak memiliki uang cukup, Mbok Darsiti akan memberi Nathan keringanan untuk berhutang nasi bungkus. Atau jika dagangannya sedang ramai, Mbon Darsiti akan memberi Nathan tambahan lauk di masing-masing nasi bungkus yang Nathan pesan.

"Nggakpapa mbok. Jo yang minta maaf karena sering ngerepotin mbok. Tiga printilan di rumah lagi ketambahan satu personil mangkanya Jo nambah porsi," ucap Nathan dengan senyum menawan yang membuat wanita tua itu ikut tersenyum teduh.

"Mbok do'ain semoga kamu sukses, Le. Biar bisa nyenengi adek-adekmu." Mbok Darsiti kembali berujar dengan logat Jawa halus yang begitu kental.

"Amiiiin. Nanti kalo Jo berhasil nyaleg, Jo bakal ajak mbok ketemu pak Jokowi deh!" Seru Nathan bersama tawa renyahnya yang mengudara. "Yaudah, mbok. Jo pamit pulang dulu, kasian printilannya Jo kelaparan."

Wanita paruh baya tersebut mengangguk dan tersenyum hangat saat Nathan menyalami tangan keriputnya sebelum beranjak pergi. Ia tatap punggung tegap Nathan dengan sendu setiap kali mengingat nasib pemuda malang tersebut.

Pun disamping itu, tidak ada yang tahu jika dibalik punggung tegapnya, Nathan tidak lagi menunjukkan senyum dan wajah tengilnya. Pemuda itu menatap nanar satu bungkus nasi campur yang mampu ia beli. Hari ini benar-benar hari sialnya sampai hampir kepergok satpol PP.

Pemuda itu melangkah gontai menuju rumah berdinding tripleks dan spanduk bekas dibawah jembatan tempat anak-anak jalanan yang ia anggap adiknya itu bernaung. Manik kelamnya sedikit berair melihat tumpukan botol bekas yang ia yakini milik Juna.

Ah, Nathan bahkan hampir melupakan presensi Biru. Ia genggam erat plastik ditangannya. Berusaha merangkai kalimat se-elok mungkin untuk meredam cacing-cacing yang bergaung di perut adik-adiknya. Terutama si kecil, Hiro.

Apakah satu bungkis nasi ini mampu mengenyangkan mereka berempat? Apa mereka bisa tertidur setelah berbagi sebungkus nasi berempat? Nathan bahkan tidak tahu apa yang mereka makan siang ini. Apakah Juna kembali dijahili oleh anak-anak jalanan lainnya. Apakah Erren kembali dipalak oleh preman seperti tempo hari. Apakah Hiro hampir tersesat dan terpisah dari kakak-kakaknya. Dan, apakah Biru kembali kehilangan asanya untuk hidup.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang bercokol di kepala Nathan membuat sudut hati pemuda itu terasa ngilu. Betapa kerasnya hidup di ibukota. Betapa malangnya nasib mereka yang begitu jarang berkeluh.

Nathan menarik napas panjang perlahan. Pemuda itu mengusap sudut-sudut matanya yang basah. Mendung yang sempat singgah di wajahnya berganti senyum merekah yang mampu mendustai orang lain.

Pemuda jangkung itu melangkah dengan percaya diri. Membuka pintu reot berbahan triplets keropos tersebut dengan perlahan.

"Abang Donaaaatt! Lama banget iih, Hilo udah lapal tau!"

Baru saja berhasil membuka pintu, tau-tau Nathan sudah dihadiahi pekikan nyaring Hiro yang mampu mengusir tikus diluar sana.

Tetapi tunggu!

Sepertinya ada yang aneh dari pandangan Nathan. Pun juga penciumannya yang tiba-tiba saja membaui aroma ayam bumbu yang begitu nikmat.

Netra kelam Nathan bergulir, menatap ke arah aroma lezat itu berasal. Kemudian ia dapati sosok ketiga adiknya bersama Biru yang tengah terduduk beralaskan tikar dan kardus bekas. Dengan banyak hidangan lezat yang tersaji di depan mereka.

Nathan melongo dengan rahang menganga. Lubang hidungnya masih berkedut geli digelitik aroma lezat ayam bumbu dan sate madura.

"Ini bukan hasil malak atau ngepet ya, Bang! Jangan suudzon." Erren dengan wajah sinisnya berujar ketus. Seolah bisa menebak apa yang akan Nathan suarakan.

"Ya terus? Darimana makanan sebanyak ini?" Nathan bertanya setelah tersadar dari keterdiamannya.

"Tadi kak Biru coba-coba buat lukisan dari alat yang kita pungut di TPA kemarin. Cuman modal beli kertas duapuluh ribu, baliknya langsung seratus ribuan," ucap Erren memberi penjelasan. "Kak Biru jago banget buat lukisan, bikin gambar-gambar sketsa wajah orang. Jadi banyak yang minta dibikinin. Hasilnya dipake buat party, hehe."

Telinga Nathan mendengar seksama penjelasan Erren. Netra pemuda itu kemudian beradu dengan manik cokelat madu Biru yang kembali berbinar. Ada hangat yang diam-diam membungkus ngilu di sudut hati Nathan yang sebelumnya singgah. Pemuda itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Nathan lantas mendekat, membawa langkahnya mendekat untuk kemudian ikut bersimpuh di hadapan Biru dan yang lainnya.

"Jadi, lo yang beli semua makanan ini pake duit lo?" Nathan bertanya pada Biru. Yang di balas anggukkan mantap dengan senyum sumringah dari Biru.

"Kalo itu duit lo, kenapa pake buat beli semua makanan ini? Harusnya lo tabung, buat lo cari keluarga lo atau cari rumah yang lebih layak buat lo tinggali. Jangan lo habisin buat hal gak penting kayak gini," ucap Nathan menatap tepat pada Biru.

Alih-alih tersinggung atau merasa marah akan baris kalimat tajam yang Nathan perdengarkan. Biru justru tersenyum hangat, teduh tatapnya seolah mampu memadamkan api dimata Nathan.

"Aku, 'kan udah bilang aku udah nggak punya rumah. Aku juga nggak tau mau pulang kemana," tukas Biru dengan tenang yang bertolak belakang dengan Nathan.

"Sekarang, rumahku itu ya kalian. Tempat paling nyaman buat aku pulang ya rumah beratap jembatan ini," sambung si bocah sembari menatap Nathan dengan teduh tatapannya.

"Abang nggak tau apa aja yang aku lalui sampe aku hampir nyerah sebelumnya. Tapi hampir aja aku nyerah, sebelum aku ketemu sama bang Nathan, dan ngenalin aku sama mereka bertiga. Yang bikin aku tau cara buat bersyukur sama hidupku. Aku seneeeng banget ketemu bang Nathan dan kalian bertiga. Seenggaknya, aku punya alasan buat nggak nyerah."

Biru kemudian beralih meraih plastik nasi bungkus ditangan Nathan. Dengan senyum mengembang riang, Biru buka bungkus nasi dengan sayur kangkung dan tempe goreng itu untuk dirinya. Sebelum membawa seporsi ayam goreng kecap dan satu porsi sate madura di hadapan Nathan.

"Biru makan ini, ya, Bang. Abang makan itu. Juna bilang bang Nathan suka banget sama sate madura."

Bocah itu tidak menunggu Nathan menyetujui hal tersebut. Sebab Biru sudah membuka nasi bungkus yang awalnya Nathan beli untuk dibagi tersebut.

Manik kelam Nathan memburam berbingkai kaca. Pemuda itu tidak menyangka bocah yang ia anggap labil hingga hampir menyerah tersebut bisa terlihat lebih dewasa dari umurnya.

"Ayooo abang, kapan makannya Hilo udah lapaaaalll..."

"Dasar perut babi! Sebelum bang Nathan datang juga kamu udah embat itu paha ayam satu potong!"

"Masih lapal ish!"

Biru tertawa renyah hingga nyaris terjengkang saat Erren dengan bar-barnya menggetok kepala Hiro dengan sendok hingga bocah itu memanyunkan bibirnya cemberut. Biru menetralkan tawanya sejenak sembari menyeka sudut-sudut matanya yang berair karena terlalu banyak tertawa. Bocah itu kemudian menatap Erren, Juna serta Hiro satu persatu.

"Udah, nggak usah ribut. Karena bang Nathan udah ada, jadii .... Mari makaaaan!"

Malam itu, dibawah jembatan beton yang terlihat kumuh tersebut. Gelak tawa serta ringan candaan terdengar hangat menghidupkan suasana suram di kolong jembatan tersebut. Rumah bawah jembatan yang berdinding spanduk bekas tersebut di sinari satu buah lilin hingga bayang empat sosok didalamnya tampak terlihat dari luar.

Disana, Renjana Sabiru kembali menemukan tawanya.

tbc....

Halo, aku kembali. Dengan lembar yang lebih panjang dari biasanya.

Buat yang baca keseluruhan chapter ini tanpa skip. Kira-kira ada nggak yg ada dikondisi salah satu dari mereka?

Mungkin, di posisi Arai si anak brokenhome yg di tuntut untuk selalu sempurna. Dan dapat kekerasan fisik sama ortunya.

Atau, diposisi Reksa, yg punya masih keluarga lengkap, tapi bukan keluarga cemara yg hangat.

Atau, ada di posisi Galaksi yang harus jadi tulang punggung keluarga yg ngesampingin diri sendiri demi keluarganya?

Atau mungkin, di posisi Biru, yg berusaha iklas dan nerima takdir yg Tuhan kasih. Dan belajar lebih bersyukur sama hidupnya dgn bahagia yg sederhana.

Komen dibawah ya! Biar aku juga dapat motivasi dari kalian. Karna sekarang, aku lagi ada di posisi Galaksi yg mencoba untuk ikhlas seperti Biru.

Sayang banget sama kalian pokoknya ❤

Jangan hilangin momen Arai sama Biru di hati kalian
.
.

Enaknya di panggil, Jo, Bang Donat, Nathan, atau... sayang?
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 922 22
Sudah tugas seorang kakak menjaga adik nya.
455K 4.8K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
250K 32.6K 39
Semua tentang Dunia Mars yang aneh dan ajaib.
1.4M 81.3K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...