Hai, hai, halo pembaca terkasih!
Sebelum aku mulai bab ini aku mau tahu priorita hidupmu siapa?:)
Senang menerima respon kalian, tolong dijawab, ya ....
***
—Kamu Prioritas Utama
"Paspor udah ada, kan?"
Ini pertanyaan Teresa yang kesekian. Ivan sudah berhenti menghitungnya di pertanyaan ke lima belas.
"Udah, Sayang."
Teresa memutuskan untuk menghargai setiap waktu yang ada di antara mereka sebelum akhirnya Ivan pergi dua hari lagi dan itu membuatnya luar biasa takut akan banyak hal.
"Oke. Ini apa, Van? Perlu dibawa juga?" Teresa mengangkat beberapa lembaran kertas dengan bahasa yang kurang ia pahami.
Ivan mendekat dengan tangan yang ia lingkarkan di pinggang Teresa.
"Oh ... ini sertifikasi program bahasa asing."
"TOEFL?"
"Iya, salah satunya."
Teresa mengangkat sebelah alisnya.
"Waktu itu dari sekolah ada program bahasa asing, aku ikut dan tinggal di Shanghai kurang lebih enam bulan."
Teresa membelakak tak percaya. "Berarti lo bisa bahasa mandarin?!"
"Wo ai ni," ucap Ivan spontan.
"Wihh ... apaan itu artinya?"
"Itu kalimat informal, artinya gue keren banget." Ivan berbohong sambil tertawa dalam hati.
"WO AI NI!" teriak Teresa di depan Ivan dengan begitu gagahnya.
Yang mengerti artinya hanya bisa terkekeh. "Wo ye ai ni, Teresa!"
"Udah, udah ... lanjut beres-beres lagi."
Teresa kembali memilih pakaian yang hendak dimasukkan ke koper Ivan dan berulang kali mengabsen satu per satu kebutuhan kekasihnya.
"Udah malem. Kamu ga mau pulang?" tawar Ivan.
"Sisanya bisa aku beresin sendiri, kok."
Teresa sedang mengangkat dus berisi buku-buku pelajaran Ivan dan tak sengaja menyenggol vas bunga di atas nakas sampai pecah dan berserakan di lantai.
"Sa!"
"Astaga, maaf, maaf ... awas biar gue yang beresin!"
Ivan yang hendak membantu malah didorong Teresa perlahan.
"Maaf, ya. Maafin gue ceroboh banget," ucap Teresa lagi.
Kemudian Teresa mengambil serpihan kacanya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Hey ... kenapa?" Ivan menyentuh lengan Teresa, memintanya duduk di atas sofa.
Teresa hanya menggeleng sambil berusaha menahan air matanya.
"Maaf, ya ... maaf gue jatuhin vasnya."
Ivan tahu bukan karena itu Teresa menangis. "Gak papa."
"Maaf."
Air mata yang tidak kuat gadis itu tahan luruh juga.
"Kenapa, Sa? Ada apa?"
Tanpa sebab, Teresa meninju bahu Ivan sambil terisak.
"Lo jahat!"
"Lo ga kasih tahu gue soal rencana lo kuliah di luar negeri dan lo ga sadar kalau ini nyakitin hati gue!"
Pukulan itu dilayangkan lebih keras ke dada Ivan.
"Lo bikin gue takut seharian dan lo ga pernah bilang maaf soal ini! Gue ga suka jadi orang kesekian yang tahu soal keputusan besar lo! Gue ga pernah minta—"
Teresa terdiam sejenak sebab tenggorokannya terasa sakit.
"Gue ga pernah minta banyak hal ... gue cuman mau jadi yang pertama tahu soal lo, Van. Gue ga mau jadi orang yang ga tahu apa-apa karena jadi orang yang ga tahu apa-apa itu ga menyenangkan."
Perlahan Ivan mendekat, mendekap tubuh Teresa.
Erat dan lebih erat lagi ke dalam pelukannya.
"Maaf. Maaf udah buat kamu khawatir."
Teresa menangis semakin kencang dan memeluk erat lelaki di hadapannya.
"Selain karena aku masih marah soal Raven. Alasan utamanya adalah karena aku takut aku berubah pikiran. Aku takut keadaan buat aku milih ... karena keputusan ini aku mungkin ga akan ketemu kamu dan itu yang kadang buat aku berubah pikiran."
Teresa melepas pelukan mereka, mendongak menatap Ivan. "Takut?"
"Karena ga ada yang bisa buat aku berubah pikiran di dunia ini, kecuali kamu. Aku takut perasaan aku buat aku berubah pikiran dan takut untuk pergi."
"Jangan bilang setelah lo lihat gue nangis lo jadi ga mau pergi," kelakar Teresa dengan wajah sembapnya.
"Jujur iya, kepikiran. Apa kuliah di sini aja, ya?"
"GILA! JANGAN! LO HARUS KE AEBS. Lo udah memenuhi kriteria buat kuliah di sana jangan disia-siain!"
Ivan terdiam menatap wajah Teresa lekat-lekat. Matanya memperhatikan setiap lekuk wajah Teresa.
"Gue bahagia lihat lo raih mimpi lo, Van."
Desiran tak karuan itu muncul di hati Ivan, dadanya terenyuh. Kemudian Ivan meraup pipi Teresa, mencium bibirnya untuk waktu yang lama. Kedua mata mereka saling menutup dan terlarut dengan kehangatan itu.
Teresa melingkarkan kedua tangannya di leher Ivan. Sementara Ivan mencengkeram pinggang Teresa cukup kuat sambil memperdalam ciuman mereka.
"I love you, Sa."
Teresa mengangguk sambil memandang Ivan, mendongak karena tingginya hanya sebatas bahu.
"Cuman ngangguk, doang?"
"Itu jawaban, loh."
Ivan hanya terkekeh kemudian mencium kening Teresa.
"Selama pacaran kamu ga pernah bilang I love you, aku cinta kamu atau apalah sejenisnya," keluh Ivan kesal.
"Manja banget. Cinta tuh ga perlu bilang I love you tiap hari ... yang penting itu aksi. Cinta itu kan dirasain sama dilihat, Van. Bukan didenger doang ...."
Ivan menggigit bibirnya, menimbang-nimbang. "Yaudah, deh ...."
***
Pukul 11 malam, Ivan baru kembali dari mengantar Teresa pulang.
"Lo bukannya banyak istirahat malah keluyuran malem-malem."
Ravendra sudah berdiri di depan sofa kulit dengan televisi yang masih menyala menayangkan seri Twilight.
"Bacot. Bukan urusan lo."
Lelaki dengan jaket denim army dan jogernya berjalan begitu saja melewati Ravendra yang sudah menunggu kepulangannya 2 jam lalu.
"Gue masak tahu lada garam, itu ada di meja makan."
"Bacot, anjir. Gue ga peduli," jawab Ivan.
Satu detik setelah kalimat kasar itu ke luar dari mulut Ivan, bunyi perut keroncongan terdengar jelas di antara mereka.
Ravendra refleks menahan tawa sambil menjeda filmnya.
Sialan kata gue, teh.
"Ga usah gengsi, makan aja."
Tanpa menoleh pada kakaknya, Ivan berjalan ke dapur dan melihat tahu lada garam yang sudah ditata dengan sangat cantik. Aromanya menguar masuk ke hidung. Ia buru-buru duduk dan melahap satu per satu tahu yang terdengar suaranya khas setiap digigit.
Tak ada yang menyangka Ravendra sepandai itu memasak.
Saat piring sudah bersih tak bersisa, suara derap langkah terdengar.
"Dua hari lagi lo pergi." Ravendra muncul dengan kaos oblongnya.
Ivan hanya diam sambil meneguk segelas air.
"Mau sampai kapan lo benci sama gue?"
"Lo kayak ngelakuin kesalahan kecil. ya. Sampai bisa semudah itu ngomong. Kalau perlu seumur hidup juga gue ga akan pernah maafin manusia kayak lo ...." Ivan memandang Ravendra. "Syukur gue masih mau nyebut lo manusia. Bukan hewan."
Ok. Kalimat itu sedikit menyinggung Ravendra sampai tangannya terkepal erat. Ivan bahkan tak sudi memandangnya lebih dari 3 detik karena setelah itu ia melenggang pergi begitu saja.
"Gue ga bisa bunuh mimpi gue, Van."
Kalimat itu menghentikan langkah seseorang.
"Gue ga bisa hidup untuk mimpi orang lain. Gue punya mimpi gue sendiri dan rasanya berat ketika gue ga dikasih ruang buat ngomong apa yang gue mau," jelas Ravendra sambil menatap punggung Ivan karena adiknya enggan menoleh.
"Lo ninggalin gue, Ven. Orang yang selalu antusias dengerin mimpi lo. Lo bikin gue nyari lo bertahun-tahun sampai gue lupa memprioritaskan kepentingan gue sendiri KARENA LO AKAN SELALU JADI YANG UTAMA! BAHKAN DI MATA GUE SAAT ITU!"
Seolah ada api yang membara di atas kepala Ivan. Dadanya nampak kembang kempis meski Ravendra hanya menatap punggungnya.
"Cuman karena selama ini gue mau .... Cuman karena selama ini gue ga pernah ngeluh soal tugas yang harus gue emban selama lo ga ada, bukan berarti hal itu ga berat di pundak gue."
"Di saat lo ga ada di rumah ini pun lo tetap jadi yang utama di mata mama-papa."
Ravendra berdeham sejenak dengan rasa bersalah.
"Kita ga pernah bisa ngontrol prioritas seseorang, Van. Kita ga akan pernah bisa nuntut seseorang buat prioritasin siapa pun ... itu keputusan mereka sendiri. Gue minta maaf kalau lo merasa ga diprioritaskan selama ini."
Ivan menatap anak tangga yang terpampang di depannya. Ia mencoba tak mengambil hati apa yang Raven ucapkan karena semua kalimat itu benar dan membuatnya ingin menangis.
"Tapi lo juga harus tahu kalau lo ga bisa selamanya nganggep diri lo manusia yang ga diprioritaskan siapa pun karena detik ini ... lo prioritas banyak orang, Bro. Lo yang terlalu dibutakan sama masa lalu sampai lo terus-terusan kasih label ke diri lo sendiri kalau lo manusia nomor kesekian yang penting di hidup setiap orang."
Ravendra selama ini membiarkan Ivan memaki dan menumpah-ruahkan keluh-kesahnya karena Ravendra tahu Ivan punya banyak kalimat yang ingin ia ucapkan selama 3 tahun tak berjumpa dengannya. Namun, Ravendra ingin bersuara, ia ingin meluruskan dan menepis beberapa hal yang salah dari kalimat Ivan.
"Teresa cerita sama gue kalau selama gue ga ada papa selalu minta lo buat nemenin dia ngobrol, lo selalu nolak dan menghindar karena lo sendiri yakin kalau lo selalu nomor dua setelah gue ... atau nomor sekian setelah gue. Padahal selama ini papa sepenuhnya ngasih usahanya buat masa depan lo, bahkan dia ngebebasin lo buat milih apa yang lo mau, kan?"
"Pikiran lo yang selalu hidup di masa lalu karena lo selalu meyakini lo adalah si setelah Ravendra. Padahal udah bukan lagi, Van. Lo bukan lagi nomor dua, lo nomor satu di hidup banyak orang."
Ivan menunduk, Ravendra melihat pundak adiknya bergetar. Menangis dalam diamnya.
"Lo prioritas papa, lo prioritas mama karena selama ini dia rela sibuk ke sana kemari buat urus kehidupan kuliah lo ... lo prioritas sahabat-sahabat lo terutama Teresa yang rela bohongin papa-mamanya demi nemenin lo sedih pas papa pergi. Dan ada yang sejak lama prioritasin mimpi lo sebelum mimpinya ...."
Ivan tahu dan sadar jelas kalimat terakhir adalah Ravendra.
"Stop benci gue, Van. Stop bikin gue benci diri gue sendiri karena gue juga tersesat, gue bingung harus menyikapi semuanya gimana. Tiga tahun lalu gue cuman anak delapan belas tahun yang dibebanin mimpi orang lain."
***
Brotherhood
Ravendra Geraldion Adhitama
Ivander Gabrian Adhitama
Carota's Notes:
Siapa yang relate?
Tapi sadar ga, sih? Kadang kita dibutakan sama kehidupan di masa lalu tanpa kita sadari setiap manusia berubah.
Jalan hidup kita berubah.
Keputusan kita berubah.
Banyak hal dalam hidup kita berubah seiring berjalannya waktu.
Jadi jangan selalu hidup di masa lalu, ya.
Jangan juga merasa kamu bukan prioritas siapa pun karena akan selalu ada yang memprioritaskan kamu.
Have a great day semuanya!