Surat Takdir Dari Tuhan ✔️

By sweet_juminie

24K 1.9K 284

[TAHAP REVISI] Setelah merasa bebas karena berhenti mondok dan melanjutkan pendidikan di bangku MA, Azlan pi... More

[1] Manusia-Manusia Ganteng!
[2] Saudara Paling Akur!
[3] Kelas Yang Sangat Rukun!
[4] Ada Bidadari!
[5] Jalan Menuju Mushola Sekolah!
[6] Rencana Makan Bakso!
[7] Seisi Kantin Jadi Heboh!
[8] Berterimakasih Itu Susah!
[9] Tempat Berteduh!
[10] Hukuman Di Lapangan!
[11] Majelis!
[12] Perihal Kesopanan!
[13] Saingan!
[14] Dia Datang!
[15] Menolak Menjadi Pecundang!
[16] Ada Yang Hilang!
[17] Kado Kecil Untuk Fyan!
[18] Takdir!
[19] Do'a!
[20] Kedekatan!
[21] Keputusan!
[22] Terimakasih !
[23] Ikhlas?!
[24] Acara 2 sahabat!
[25] Foto Lama!
[26] Ada Yang Mengejar Dan Ada Yang Berhenti!
[27] Martabat Seorang Wanita!
[29] Pondasi!
[30] Hari Kelulusan!
[31] Menyempurnakan Separuh Agama!
[32] Takdir Ilahi!
Surat Takdir Dari Tuhan [THE END]

[28] The Real Hijrah!

414 51 0
By sweet_juminie

***

Seluruh Murid 12C mendapat jam kosong di jam pelajaran Fiqih. Maka dari itu mereka sibuk dengan dunia sendiri sehingga kelas tersebut sedikit sunyi dari biasanya.

Nadhif melirik sahabat sebangkunya yang terlihat fokus mencoret-coret kertas polos berwarna putih. Agaknya Silmi sedang menggambar sketsa, itu merupakan salah satu hobi gadis itu.

"Coba gambar Gojo, ku traktir deh!" Tantang Nadhif.

Silmi berhenti sejenak, ia memicingkan mata curiga. "Berapa hari traktirannya?"

"Dih, satu kali doang. Ngarep satu minggu gitu?"

"Mauku sih sebulan." Ujar Silmi enteng.

"Dibaikin malah ngelunjak." Sindir Nadhif memberikan tatapan sinis khasnya.

"Hehe, boleh deh. Aku gambar Gojo, kamu gambar Itachi."

Nadhif mencibir, "tawaranku batal."

Hal itu membuat Silmi terkekeh renyah nyaris tertawa keras. "Santai, bos."

Kemudian gadis itu melanjutkan aktivitas menggambarnya, sedangkan Nadhif menidurkan kepalanya di meja kayu dengan tangan yang dilipat sebagai bantalan.

"Sil."

Silmi menoleh ketika seseorang memanggilnya. Lidya mendekat kearahnya dengan tatapan angkuh. Hal tersebut membuat Nadhif menyadari kedatangan gadis itu dan segera menegakkan tubuhnya.

Lidya menyilangkan tangan didada dengan wajah songongnya. Silmi menunjukkan raut wajah bingung melihat tingkah gadis didepannya.

"Lu deket ama Azlan?" tanya Lidya spontan.

"Hah? Maksudnya?"

"Ckckck, munafik. Terserah deh, ngeliat cewek cadaran modelan kek kalian berdua ini, nggak heran."

Silmi mengangkat bahu tak peduli. "Fitnah darimana yaa?" santainya.

"Kasian, pasti denger dari gosip orang-orang," timpal Nadhif.

Lidya tertawa namun diselingi nada kesal.

Tak lama seseorang juga datang.

"Nggak usah deket ama cewek bercadar yang kegatelan." Sindir Aika.

"Oh, Alhamdulillah nih, saya nggak gatel kok. Nggak liat ya? Saya nggak garuk badan tuh daritadi." Balas Nadhif membungkam keduanya.

Silmi melongo, ia memandang sahabatnya dengan pandangan takjub.

Aika dan Lidya segera pergi dari hadapannya. Melihat wajah mereka yang memerah padam, pasti amarah mereka sudah diujung tanduk namun tak tahu harus membalas perkataan Nadhif dengan kalimat apa.

"Dhif!"

"Biarin lah, sekali-kali. Biar mulutnya nggak nebar fitnah mulu."

***

Hari ahad merupakan hari paling menyenangkan dan membahagiakan bagi para pekerja termasuk anak sekolahan. Hal itu berlaku jika hari ahad mereka tidak terganggu, sayangnya...

"Abi! Azlan masih mau tidur." Protes Azlan.

"Afnan juga!!"

"Masih mau tidur? Padahalkan kalian udah mandi, kok ngantuknya nggak ilang?" heran Marwan.

"Yaa nggak tau. Lagian kita mau kemana?" tanya Afnan.

"Pergi ke Sentral, kita beli baju." Jelas ibu mereka, Waida.

"Perasaan lebaran masih lama." Gumam Azlan heran.

"Ya toh!"

"Emang beli baju pas mau lebaran doang?" tanya Marwan dengan senyum simpulnya.

"Udah nggak usah banyak protes, ayo pergi aja." Ujar Waida.

"Yaudah..." jawab keduanya dengan lesu.

***

"Nggak boleh boros." Celetuk Azlan ketika Afnan mengambil baju kaos sembari mencocokkan dengan badannya.

"Iya-iya." Jengah Afnan. "Eh, ini keren nggak sih?!" seru Afnan ketika mendapati baju kaos berwarna hitam polos yang tergantung.

"Nggak boleh boros."

"Nuzul jingan! Gue belum milih apapun daritadi gara-gara lu ya! Nggik bilih biris, nggik bilih biris!" Cibir Afnan terlampau kesal.

Azlan menahan diri untuk tidak meledakkan tawanya disini, di Sentral terlalu banyak orang, bisa-bisa ia menjadi pusat perhatian.

"Bersyandaaa... Lagian ngapain lu nurut amat? Kan uang abi, bukan uang gue. Beli lah yang lu mau."

Afnan benar-benar ingin meninju wajah lempeng kakaknya sekarang. Tapi benar juga, kenapa ia sejak tadi malah menurut saja?! Tidak tahu! Afnan dendam dengan orang disampingnya ini.

Waida yang melihat interaksi kedua anaknya sejak tadi menampilkan senyum hangat dibalik cadarnya. Mereka tidak banyak berubah, sejak kecil sampai sekarang amat jarang akurnya.

Ia kemudian mendekat kepada keduanya, berniat membantu mencarikan baju yang cocok untuk anak-anaknya.

"Sini-sini, ummi bantu."

Waida tidak menghabiskan waktu yang lama untuk memilih. Tangannya dengan cekatan mengambil pakaian-pakaian yang menurutnya cocok.

"Tunggu-tunggu!" Tahan Afnan, ia mengernyit bingung. "Kok baju muslim semua? Lebaran masih jauh lo, umm!"

Azlan mengangguk setuju. "Bener, umm. Jubah, baju kokoh, peci, sorban.... Atau jangan-jangan, kita mau di suruh mondok lagi!!!"

"Ummi!!!" Teriak Afnan kaget. "Umm, kita susah-susah buat kabur dari pondok, kok mau dibalikin lagi kesana?!"

"Capek umm, pondok kek penjara narapidana!" Keluh Azlan.

Marwan mendekat dengan menenteng beberapa paperbag. Ia menggeleng maklum terhadap tingkah kekanak-kanakan kedua anaknya.

"Nanti kita bahas dirumah. Ayo pulang." Ajak kepala keluarga itu.

Waida mengangguk setuju. "Azlan sama Afnan nggak mau beli baju santai gitu?"

"Nggak, umm!" Jawab keduanya bersamaan.

"Kenapa?"

"Nggak mood!"

***

Azlan dan Afnan dengan acara mabarnya terlihat sangat fokus. Keduanya menindis segala tombol dengan emosi. Untunglah tak ada kata-kata umpatan yang keluar, kecuali

"Itu musuh, jingan!" Teriak Afnan.

"Terserah!"

"Main yang bener, goblok."

"Ini udah bener, as-"

"Astagfirullahalazim... Lisan kalian dijaga." Tegur Waida.

Agaknya kedua saudara itu tak memasang telinga. Terlalu fokus dengan dunia mereka hingga Marwan jengah dengan kelakuan mereka.

"Azlan, Afnan, berhenti sekarang!" Tekan Marwan.

"Bentar dul-"

"Se.ka.rang."

Dua saudara Atharauf itu dengan cepat menekan tombol mati daya dan meletakkan ponsel diatas meja.

"Maaf, abi." Ujar Azlan pelan.

Marwan mengatur nafasnya perlahan. Ia membalas permintaan maaf Azlan dengan anggukan.

"Ini juga alasan abi buat kirim kalian pergi."

Afnan dan Azlan melotot kaget. "Kemana?!"

"Mesir."

Waida meneguk ludah yang terasa pahit melihat reaksi anaknya yang terdiam bagai patung.

"Nak, pergilah ke mesir. Perbaiki hidup kalian disana, temukan jati diri kalian, temukan tujuan hidup dan hijrah yang sesungguhnya disana."

Marwan tertegun ketika dilihatnya Azlan menitikkan air mata. Anak sulungnya itu terlihat mengatupkan bibir menahan isakan.

Afnan sama terkejutnya, ia ingin bertanya namun mulutnya enggan mengeluarkan suara.

"Berapa lama?" tanya Afnan dengan suara yang serak.

Waida tersenyum simpul. "1 bulan. Cuma 1 bulan. Kalian balik ke Indonesia lagi saat hari kelulusan."

"Emang bisa memperbaiki diri dalam waktu sesingkat itu?" tanya Azlan heran.

"Kehendak Tuhan tidak ada yang tahu. Kalau kalian serius, tidak ada yang mustahil."

Saat itu, Azlan dan Afnan saling melempar pandangan. Mereka saling berkomunikasi tanpa suara, sunyi, namun pandangan yang terlempar memiliki banyak arti.

"Azlan bakal berusaha yang terbaik."

"Afnan juga."

***

Azlan mengetuk pintu kamar Afnan sejenak sebelum memasuki ruangan pribadi adiknya itu. Baru memasuki kamar tersebut, ia disuguhi pemandangan Afnan yang tengah menulis dimeja belajar.

"Oi."

"Assalamu'alaikum."

Azlan menyengir. "Wa'alaikumussalam."

"Napa, bang?"

"Nggak kenapa-kenapa. Gue...." Azlan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ia mengusap dadanya pelan. "Gue merasa, bakal banyak hal yang akan terjadi, kalau kita balik lagi ke Indonesia."

"Salah satunya, gue bakal nikah sama Nadhif." Timpal Afnan ceria.

"Aamiin!!!" Sorak Azlan bersemangat.

Afnan melipat satu kertas yang telah ia isi dengan bait-bait kata didalamnya.

"Buat Nadhif?"

"Kok tau?!"

"Nebak aja."

Afnan mengangguk pelan. "Gue nggak bisa pamit secara langsung."

Azlan mendudukkan diri di pinggiran kasur. Ia menyilangkan kedua tangan didada sembari menatap fokus pada Afnan.

"Kenapa?"

"Gue nggak bakal bisa pergi kalau ngeliat dia."

"Lo emang kekanak-kanakan."

Afnan melotot garang, ia bersiap protes.

"-Tapi, sekarang lu keliatan dewasa banget."

Bungsu Atharauf mengerjap salah tingkah. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum.

"Gue baru denger lu muji gue."

"Emang baru? Sebelumnya nggak pernah?"

"Kebanyakan ngumpat."

"Cih, sialan."

"Tuh, lu mulai lagi!"

Azlan mencebikkan bibir kesal. "Astaghfirullah..."

Tawa Afnan mengudara mendengarnya, ia meninju bahu kakaknya main-main.

"Lu nggak mau pamit sama Silmi gitu?"

"Nggak." Tegas Azlan.

"Kenapa?"

"Gue nggak bisa. Intinya gitulah..."

"Lu kapan mau jujur?"

"Tentang apa?"

"Tentang masa lalu kalian berdua."

"Gue mau dia inget sendiri."

















Tbc.

Follow IG :

wp.mejza_

Continue Reading

You'll Also Like

206K 11.8K 15
(Sekuel Dianggap Sang Pendosa) | Bisa dibaca terpisah Pertemanan yang seharusnya berjalan dengan baik harus terputus karena seorang Ning dari Pondok...
2.4K 284 15
Update 1 hari 2/1 kali! FOLLOW DULU SEBELUM BACA🙌🏻🙌🏻 "jika semesta berpihak, mari hidup bersama." Sosok perempuan cantik bernama Azalea Kayla Az...
1.3K 107 5
Adik kakak yang memiliki sifat yang nyaris sama, minim akhlak, bar bar, sama sama cantik, tapi mereka memiliki kepribadian yang saling bertolak b...
2.5K 1.1K 27
[SUDAH TERBIT, BAB MASIH LENGKAP] Anak perempuan yang sedang tertatih dalam upayanya untuk terus berusaha, bersabar dan beserah pada Sang Pencipta ya...