The Thing Between Us

By Janeloui22

51.8K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara

[18-2] Aksara

735 87 37
By Janeloui22

•Aksara•

Summary: For Aksa, the world would feel extremely empty without Ara. Then, what will happen when it does actually happen to him?

Cast:
Jaehyun Jung as Aksa
Roseanne Park as Ara

“I am an inconsistent creature. Perhaps it is the pressure of my past, and not my own perverse mind, that has made me into this contradictory being. I am all too well aware of this fault in myself. You must forgive me.”
—Natsume Soseki—

Ara selalu kelihatan sangat cantik. Selain itu, mungkin yang paling terlihat jelas, adalah antusiasme yang dia miliki terhadap dunia hukum internasional. Tiap kali membicarakan hal itu, senyumnya selalu merekah, dan Ara selalu kelihatan paling cantik ketika tersenyum.

Tapi, belakangan ini, senyum cantik itu perlahan menghilang. Intensitasnya begitu rendah; dia hanya mengukir senyum tipis yang terkesan dipaksakan. Mungkin Ara memang sedang banyak pikiran. Mungkin juga hanya lelah. Dia punya lebih banyak pekerjaan daripada biasanya; ditambah sekarang merupakan tahun terakhirnya. Dalam empat bulan, setelah viva, Ara akan resmi menyandang gelar Doctor of Philosophy.


Adryani Tamara
Sayang
Aku pulang ke rumah malam ini
Kamu masak nasi?

Yeps
Aku goreng ayam
Masih ada tiga potong lagi

Dada?

Iya
Aku baru beli sauce Samyang juga
Kamu kan suka pedes

Oke. Thanks.


Ada sesuatu yang absen dalam sikap Ara akhir-akhir ini. Dia terasa jauh, dingin, dan dipenuhi kesedihan. Memang tidak ada yang berubah dari caranya berkomunikasi. Tapi, entah kenapa, saya bisa merasakan hilangnya ketulusan yang selalu terpancar begitu kuat dari sikapnya. Ara yang saya kenal perlahan menjauh; dia berjalan ke tempat yang sama sekali enggak visible apalagi bisa dijangkau. Ironisnya, saya enggak paham alasan Ara bersikap demikian. Satu hal yang saya yakini: selama ini saya udah melakukan yang terbaik.

Sambil menunggu Ara, biasanya saya bakal main game bareng temen-temen, baik yang di Indonesia maupun yang sama-sama tinggal di Inggris. Kerja 9 to 5 di negara yang menjunjung tinggi work-life-balance tetap aja bikin stress; dan Ara selalu jadi satu-satunya orang yang bikin perasaan lega. Sebab di antara semua orang, Ara merupakan sosok yang sangat tulus dan penuh kasih sayang. Meskipun, sampai saat ini, cara Ara mengekspresikan diri memang tidak seluwes Hani. Lalu, kendati kami sudah ada di tahap saling terbuka terhadap satu sama lain, Ara selalu berusaha untuk menyembunyikan sisi rapuhnya. Hani juga punya kecenderungan yang sama; tapi hanya tiga bulan setelah mulai pacaran, dia menanggalkan sisi satu itu dan jadi sangat terbuka.

Hingga saat ini, meskipun kami sudah sering membicarakan tentang pernikahan, Ara sama sekali nggak pernah menyinggung tentang beban utama yang membuatnya kelimpungan: keluarganya. Seharusnya saya enggak mengharapkan hal ini, tapi sedikit aja, saya berharap Ara bisa jadi selembut Hani. Kalau pikiran itu sampai lolos sedikit saja dan ketahuan oleh Raditya (teman dekat sekaligus flatmate saat kami kuliah dulu), dia mungkin bakal menghajar saya habis-habisan.

Raditya, di antara banyaknya orang yang menyimpan rasa maupun cuma sekadar jatuh hati pada Ara, pria tinggi satu itu bisa dibilang sebagai yang paling ugal-ugalan. Radit enggak akan ragu buat menyuruh Ara mutusin saya. Dia juga selalu bilang kalau saya kelihatan enggak tulus dan cuma berusaha memenuhi peran dan menciptakan persona sebagai ‘pacar yang baik’ aja. Dulu, apalagi saat kami bertiga tinggal di rumah yang sama bersama tiga orang lainnya, tuduhan itu memang valid. Bahkan jauh di lubuk hati terdalam, saya enggak akan melihat itu sebagai tuduhan. Perlakuan yang saya berikan terhadap Ara dulu memang bukan yang paling baik; tapi bukan haknya Radit untuk mencampuri. Lagipula, Ara selalu sangat pemaaf.

“Hi love,” ucap Ara begitu melangkah masuk ke dalam apartemen. Sosoknya sontak mengaburkan pikiran tentang Radit, tentang Oxford, dan tentang Hani. Tangannya bergerak sangat cepat hanya untuk menahan pelukan yang hendak saya berikan. Katanya, “Aku mandi dulu. Tadi di kereta ketumpahan jus.”

“Kok bisa?”

“Anak kecil,” jawabnya lugas.

Meskipun enggak ke kampus tiap hari, tapi akhir-akhir ini saya semakin mengagumi pengorbanan Ara buat commute dari London ke Cambridge karena kami tinggal bersama. LDR bukan jenis hubungan yang bisa dijalani dengan mudah karena saya selalu membutuhkan kehadiran Ara secara fisik dan mental. Ara sebenarnya pandai mengatur waktu dan digital communication bukan hal yang dia anggap rumit. Tapi itu hal yang rumit bagi saya. Lebih tepatnya, saya enggak bisa tinggal terlalu lama dalam jarak kelampau jauh tanpa presensi Ara. Lagipula, kalau kami tinggal di tempat yang sama, selain lebih hemat, efisiensi buat menjangkau satu sama lain juga jadi lebih mudah. Wah, Ara memang selalu berkorban sebanyak ini; fakta yang telat saya sadari.

Sejak satu jam yang lalu, pandangan saya terpaku pada Ara yang sibuk dengan laptopnya. Dia enggak bersuara—tampak begitu fokus dan baru menutup laptop pukul 11.20. Lengguhan napasnya diwarnai kelegaan—begitu pula dengan senyum yang terulas saat dia mengangkat kedua pundaknya secara spontan.

“Still busy?” saya bertanya sambil berbaring menyamping di tepian kasur. Ara bilang tidak. Lantas kedua tangan saya terentang, sementara mulut mengatakan, “Hug and cuddle, love.”

Ara menelusup ke dalam selimut—membiarkan saya memeluknya dengan erat. Suaranya agak serak, tapi anehnya, dia kedengaran sangat ceria. Mungkin untuk saat ini, satu-satunya hal yang bisa menarik semua antusiasme dan keceriaan Ara memang hanya studi. Tak apa, selama itu membuat Ara bahagia.

“Sayang? Boleh cium?”

Mata ini sontak memicing. “Ara sayang, kenapa harus nanya? Kayak orang baru pacaran aja. Come, give me as many kisses as possible.”

Entah saya memang secara bodoh bercerita atau bagaimana, tapi sejak tahu kalau Hani senang memberikan banyak ciuman, Ara memutuskan untuk tidak melakukan hal serupa. Bahkan ketika tahu kalau alasan saya menyukai perempuan berambut pendek adalah karena Hani selalu punya potongan bob, Ara memutuskan untuk tidak pernah punya potongan rambut pendek sebahu. Tapi, andai Ara sadar, dia selalu cantik dengan potongan rambut apapun. Sekarang perempuan berambut bob bukan lagi tipe saya; sebab tipe saya adalah Ara dan akan selalu Ara.

Sentuhan bibir Ara begitu lembut dan tangannya terasa hangat. Lalu sorot matanya yang cantik tak ubahnya ombak yang menggulung dan menyeret saya masuk hingga ke dasar samudera. Aroma dari sudut lehernya begitu harum—tercium seperti campuran pir dan madu yang manis. Ara selalu melayangkan protes tiap kali saya meninggalkan jejak kemerahan di lehernya; tapi protesnya pun kelihatan sangat lucu dan menarik. Saya bakal menanggapi dengan tawa kecil sebelum meninggalkan kecupan lembut.

Banyak ‘kali pertama’ dalam hidup Ara yang dilakukan bareng saya; dan sebagian besar merupakan hal yang sangat signifikan. Saya adalah pria pertama yang Ara beri hadiah. Saya adalah pacar pertama yang ulang tahunnya dia rayakan. Saya adalah pria pertama yang Ara buatkan makanan. Saya adalah ciuman pertama sekaligus satu-satunya pria yang pernah menyentuh sisi Ara yang paling rapuh.

Malam ketika kami melakukannya untuk pertama kali, Ara menangis tanpa suara. Kedua tangannya memeluk dengan erat—seolah takut kalau saya bakal menjatuhkannya ke dasar jurang. Tubuh rampingnya menggigil kendati penghangat menyala sepanjang malam. Itu adalah kali pertama Ara kelihatan sangat lemah dan diliputi setumpuk perasaan bersalah. Dan itu juga adalah kali pertama saya mengkhawatirkan seseorang sampai sedemikian rupa. Tanpa Ara sadari, ada banyak juga kali pertama yang saya alami dengannya, dan bukan dengan Hani.

Adryani Tamara, kamu adalah manusia paling keren. Bahkan karena kamu, manusia bermoral rapuh seperti Gesang Elok Aksara sekalipun mau berusaha memperbaiki diri supaya bisa pantas untuk bersanding di sampingmu.

“Sayang?” ucapnya dengan suara serak. Dia membiarkan tangan kanan saya membelai pipinya yang kemerahan—bahkan dia juga membiarkan dirinya ditarik turun untuk sebatas menerima kecupan. Napas Ara tertahan, keningnya sedikit berkerut, sementara kedua tangannya segera memeluk saya dengan erat.

“Kenapa sayangku?”

“Kalau aku hamil,” kalimatnya terhenti, “… kalau aku hamil, kita harus gimana?”

“Itu pertanyaan aneh. Tentu aja kita bakal jadi orang tua.”

Raut wajahnya menjadi semakin murung. “Lalu menikah?” itu pertanyaan yang selalu Ara layangkan.

“Kita bakal menikah,” jawab saya serius. Mungkin karena selama ini saya selalu menanggapi topik tentang pernikahan dengan santai, keraguan perlahan melahap keyakinan yang selama ini Ara miliki.

“Do you ever love me, Aksa?” dia bertanya sebelum buru-buru menimpali dengan ucapan yang punya arti berbeda. “Forget I’ve ever asked. Please, just hug me tightly.”

Setelah itu, Ara enggak pernah menyinggung tentang pernikahan lagi. Bodohnya, saya menganggap sikapnya sebagai sesuatu yang melegakan dan penuh pengertian. Saya enggak memahami makna keseriusan yang didambakan Ara; saya bodoh karena menyamakan karakter Ara dengan Hani. Mereka jelas berbeda. Hani merupakan perempuan yang saya temui di awal usia 20-an; sosok yang entah berapa kalipun berkhianat akan selalu saya maafkan. Sedangkan Ara merupakan wanita yang saya temui lima tahun kemudian di tengah gemuruh ketidak pastian masa depan. Saat saya bertemu Ara, hubungan cinta yang terjalin selama lima tahun bersama Hani baru saja berakhir, dan dia menyaksikan semua itu dengan sikap sangat dewasa. Ara bertemu dengan versi paling suram Aksa; dan dia masih tetap jatuh cinta.

Ketika mengajak Ara pacaran, sebenarnya saya sedang bersikap impulsif. Dia cantik dan pintar, saya menyukai kedua sisi itu. Menyukai Ara adalah yang yang mudah, saya bisa melakukannya setiap waktu. Tapi menjalin hubungan itu lain cerita. Saya tidak sepenuhnya mempercayai Ara; dan itu berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Sampai akhirnya saya melihat ketulusan yang memang tidak Ara tunjukan secara brutal. Meskipun telat, tapi saya jatuh cinta pada Ara tepat di bulan keempat kami menjalin kasih. Dan sejak saat itu, saya selalu mencintainya. Sudah diputuskan, saat Ara pulang dari Amerika, saya bakal melamarnya.

Sampai akhirnya, hari itu datang.

“Ayo putus, Aksa. Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini lagi.”

Tunggu…

“Ara sayang, kayaknya kamu butuh istirahat. Ngomongnya mulai ngaco deh.” Saya berusaha mencari kebohongan dalam sorot mata Ara yang teduh. Saya benci orang yang berbohong. Tapi saat ini, saya berharap kalau Ara sedang berbohong.

“Tadi malam aku tidur delapan jam—tidur paling lama selama dua tahun terakhir. Ini bukan cuma pikiran impulsif, aku udah mempertimbangkan ini sejak lama.” Ara mengatakan itu dengan mantap. Dia sedang menahan air mata; ini hal yang sangat berat untuknya.

“Sejak kapan?”

“Sejak kita memulai hubungan.”

Tenggorokan seolah dipadati oleh batu besar yang menyumbat pernapasan. Ara tidak berbohong. Ara tidak pernah berbohong. Dalam situasi apapun.

“Aku capek.”

“Kita selalu bisa ngomongin ini baik-baik,” suara yang keluar dipenuhi permohonan. Saya memandangi Ara selama mungkin. Ketakutan akan kehilangan Ara mulai mewujud menjadi monster yang membuat ketakutan. “Ara, aku gak tahu gimana caranya hidup tanpa kamu.”

Aku enggak tahu gimana caranya bahagia tanpa kamu.

“You were right all this time Aksa; I deserve someone’s better. A man, who is not you,” kata Ara dengan suara lirih. Dia kembali berbicara, dan saya menanggapi. Saya memohon agar Ara tetap tinggal.

“Ara... I’ve tried, and I will always try. Give some time and trust.”

Ara, Tamara sayang...

“Aku merasa tidak dicintai,” kata Ara. “Dan itu perasaan yang konstan terus aku rasain. Aksa, kayaknya aku cukup jarang bersikap egois. Tapi sekarang aku mau pakai jatah egoisku. You’ll be free from me. No more Ara. You have plenty of time; and you don’t need to share it with me.

I’ll make more time with you, love. Aku mohon Ara, aku mencintai dan menyayangi kamu…”

“Begitu pun aku.”

Tatapan kami akhirnya bertemu dan terkunci cukup lama. Saya menggenggam tangan Ara dengan erat—tangan yang selalu hangat dan membawa kelembutan.

“Tapi kamu mencintai Hani di samping aku; dan sayangnya aku nggak sepemurah itu buat berbagi kekasih sama wanita lain. Aksa, hanya karena kita saling mencintai, bukan berarti kita harus bersama. Cinta kita itu epitome dari hubungan toxic; I want to put an end on it. Ini keputusan yang sulit, tapi harus kita lakukan. Stare at me as much as you want, Aksa. Because after this, like what I always say, I don’t want to see you ever again in my life.”

Ara pernah bilang kalau kami putus, dia enggak akan pernah mau melihat saya lagi. Dia bakal menghapus segala hal yang berkaitan dengan Aksa. Bahkan dia bakal meminta teman-teman yang lain untuk tidak pernah menyebutkan nama Aksa. Itu adalah cara Ara memulihkan diri; dan dia memang melakukan hal itu. Semakin dalam cintanya, semakin kecil pula kemungkinan untuk bisa bertemu dengan Ara lagi.

Tangis Ara pecah. Dia menutup muka untuk menyembunyikan sisi rapuhnya. Wajah cantiknya ditutupi keputusasaan yang tak bisa dibendung. “Kalau kamu emang sungguh-sungguh, seharusnya kita sudah menikah, kan? Aku ingin kita menikah, Aksa. Tapi kita memang enggak ditakdirkan untuk bersama. Aku enggak bisa, aku enggak memahami kamu, aku selalu merasa enggak mengenalmu. Lalu… lalu… Demi Tuhan, Aksa, tolong selesaikan perasaanmu dengan Hani.”

Hubungan kami jelas tidak diakhiri dengan baik. Kami sama-sama terluka. Tiga tahun kemudian, perasaan terhadap Ara tidak banyak berubah. Saya selalu merindukan Ara; dan saya sangat ingin memeluk Ara seperti saat kami bersama.

Perihal sisa perasaan terhadap Hani, saya sudah menyelesaikan semuanya tepat dua tahun lalu. Ternyata hidup tanpa Ara bisa terasa semenyiksa ini. Saya merindukan Ara. Sekarang, sekadar mendambakan untuk saling mengucap ‘halo’ aja terasa seperti sebuah mimpi yang enggak akan bisa digapai. Saya hanya tahu dari Radit kalau Ara baik-baik saja. Dia baru menerbitkan buku pertamanya—buku dengan tulisan ‘Cambridge University Press’ di sudut bawah jilidnya.

‘You’ll find my name on Google someday because I will publish one of the best books about international policy ever! The crimes that were committed towards women during war need more assessment; hopefully, it will make that stupid UN awake! I need to slap them with knowledge and truth!’

Sekali lagi Ara kembali menepati janjinya. Dia membuktikan kalau hidup sendiri tidak selalu membawa kesedihan. Lalu, ini premis yang selalu dikatakan orang-orang, tapi seorang wanita memang kelihatan paling cantik ketika dia bahagia. Ketika melihat Ara yang sedang mengisi seminar umum di SOAS, meskipun dari kejauhan, tapi kecantikannya tetap terpancar dengan jelas. Ara kelihatan jauh lebih cantik. Dan jauh lebih bahagia. Untuk itu saya merasa senang—bahkan enggak bisa menahan senyum yang merekah begitu saja.

Saya berdiri—meninggalkan aula seminar dari pintu belakang. Sekaligus meninggalkan Ara yang telah pulih dan melanjutkan hidup dengan bahagia. Itu sudah cukup. Sekarang, mungkin ini juga yang Ara harapkan, saya akan kembali melanjutkan hidup.

Teruntuk Ara,

Ini akan jadi surat pertama yang aku tulis sepanjang lima tahun mengenalmu. Lalu, ini juga akan menjadi surat terakhir. Sepucuk surat yang tidak akan pernah mencapaimu.

Fin

I believe that some people are just not meant to be aja. Buat siapapun yang pernah atau lagi mengalami hal serupa kayak Aksa dan Ara, semangat terus ya!

Dan minta tanggapan terkait Aksa maupun Ara dums. Hehe

Thank you karena udah mampir dan baca. Love you all soon much!

💛💞🧡💗❤️💖💙💝💚💘🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

803K 58.9K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
206K 22.2K 42
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
88.6K 9.8K 30
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...
1M 76K 57
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...