The Thing Between Us

By Janeloui22

49.9K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-2] Aksara

[18-1] Aksara

628 87 15
By Janeloui22

•Aksara•

Summary: Following Tamara who must face the reality that loving someone doesn't always mean to stick together.

Cast:
Roseanne Park as Ara
Jaehyun Jung as Aksa

“You see, loneliness is the price we have to pay for being born in this modern age, so full of freedom, independence, and our own egoistical selves.”
—Natsume Soseki—

Ada satu titik di mana tumbuh kepercayaan kalau dunia ini berputar di sekitar kita—bahwa aku adalah pusat dunia. Setidaknya, di dunia seseorang, mungkin orang tua atau pasangan. Saya juga enggak tahu pasti. Tapi, kalau ditanya pengalaman personal, sejujurnya saya juga berpikir demikian. Bahkan hingga saat ini. Lebih tepatnya, saya hidup dalam fase denial yang tak kunjung usai.

Selama empat tahun pacaran, saya selalu mengira (kalau memang berharap dianggap terlalu muluk-muluk untuk dijadikan sebagai representasi pikiran maupun perasaan) kalau ada sepetak kosong dalam hati Aksa yang memang secara khusus diperuntukan untuk saya—kekasihnya. Satu petak yang meskipun kecil, tapi saya merupakan pusatnya. Akan tetapi, akhir-akhir ini, sebenarnya sudah sejak hubungan kami dimulai, saya mulai meragukan ketulusan perasaan Aksa yang makin ke sini justru semakin terasa kabur.

Mungkin, sudah saatnya saya mengakui, kalau Aksa memang tidak pernah benar-benar mencintai Adryani Tamara. Dalam tanda kutip, saya. Mungkin, sekali lagi, bagi Aksa, hanya karena selama ini kami selalu tinggal bersama, bukan berarti perasaan cinta yang saya dambakan itu dapat tumbuh. Mungkin, ini akan jadi yang terakhir, cinta itu memang tumbuh, tapi kecil. Bahkan juga sudah lama mati. Sebab saat ini, saya tidak lagi bisa menemukan pancaran rasa kasih dalam sorot mata Aksa. Bahkan di tengah tautan paling intim sekalipun.

Sejujurnya, enggak ada yang lebih menyakitkan dan lebih menyinggung daripada tercetusnya nama seseorang dari masa lalu ketika kalian lagi hangat-hangatnya bercengkrama. Di tengah obrolan, secara sadar Aksa akan mengucapkan nama ‘Hani’, dengan intonasi dan raut muka terluka. Saat itu saya mengatakan: It hurts me. You are not supposed to mention another woman’s name while holding me. Tapi, bahkan ketika hal yang sama terjadi secara berulang, saya tetap diam dan memendam semua rasa sakitnya sendirian. Alasannya karena saya mencintai Aksa. Sampai akhirnya, rasa cinta yang jadi landasan hubungan itu perlahan tergeser oleh rasionalitas yang berusaha ditumbuhkan meski dengan susah payah. Empat tahun—lebih tepatnya lima tahun—bersama Aksa terasa kayak sesi treadmill run yang amat menyiksa. Ada manfaatnya, tapi tetap menyiksa. Dan selalu ada waktunya buat berhenti.

Sorry telat, tadi sempet ngobrol lama sama Reihan dan Sabila,” kata Aksa begitu sampai di restoran.

“I haven’t waited for too long.”

Still, kamu masih tetap nunggu,” katanya lagi.

“I’m always used to it, remember?” saya kembali menjawab.

Kali ini Aksa menarik sebuah senyum. Tangannya mengusap pipi secara spontan. “Not this time, sayang. Aku lagi capek banget.” Aksa selalu bilang kalau saya itu dramatis dan senang memulai pertengkaran. Well, itu karena dia enggak pernah mau mengomunikasikan perasaan. Saya enggak cukup pandai untuk menebak-nebak. “Anyway, kamu dapat salam dari Putri. Dia mau ke sini bulan depan. That’s so cool, isn’t it? We can meet her in the crepes shop.”

Dia masih sibuk berbicara, menjelaskan tentang pertemuannya dengan beberapa teman yang sebagian namanya bahkan tidak saya kenal. Dua bulan tak bertemu secara langsung, bahkan mengobrol pun jarang, saya bisa melihat perubahan yang signifikan pada Aksa. Pria di depan ini kelihatan lebih kurus—seolah otot yang dia banggakan perlahan menguap di udara. Lalu rambutnya juga agak gondrong; hal yang tak biasa karena Aksa selalu senang maintain rambutnya tetap rapih dan pendek. Lalu matanya juga kelihatan lelah. Mata yang sampai detik ini sekalipun masih senang mencari kedamaian dan kenyamanan di tengah sorot mata saya yang perlahan redup tak bergairah. Ada sepercik kesedihan—Aksa seolah sadar kalau ada pecahan yang berubah dalam diri kekasihnya.

Hari ini tanggal 5 Juli. Tepat empat tahun lalu, pada hari yang sama, Aksa ngajak saya pacaran. Butuh seminggu buat mempertimbangkan satu dan lain hal; meskipun saya tahu kalau jawabannya akan selalu ‘ya’. Saya mencintai Aksa. Amat sangat mencintai Aksa. Bahkan saat ini, perasaan itu masih sama, dan mengakhiri hubungan selalu jadi hal yang saya takutkan. Aksa, kalau harus jujur, saya selalu mengharapkan kamu. Kalau harus jujur, saya hanya ingin menikah dengan kamu. Lalu, kalau harus kembali jujur, satu-satunya orang yang bisa saya bayangkan sebagai pasangan sampai akhir hayat memang hanya kamu. Tapi, kendati kamu punya pikiran dan harapan yang sama, apakah pernikahan dengan satu dayung akan bekerja?

“Konferensinya gimana?” tanya Aksa setelah kami selesai memesan.

“Lancar. Panelisnya juga keren-keren. Aku dapat tawaran buat ngerjain research bareng sama professor dari Yale.”

“You don’t look excited,” katanya. Empat tahun bersama sepertinya sudah cukup bagi Aksa buat mengenali jenis-jenis ekspresi yang biasanya saya layangkan. “Kamu selalu nyeritain riset kamu dengan menggebu-gebu. Tapi aku nggak lihat itu sekarang. You okay, love?

Love. Tolong… Aksa, jangan sebutan itu. Batin saya menjerit.

“No, I’m not, Aksa.” Itu kali pertama saya mengucapkan namanya dengan begitu jelas dan tanpa embel-embel apapun.

“Kenapa, sayang?”

Dan jangan dengan suara selembut itu pula.

“Kamu tahu setakut aku dengan perpisahan, kan? Bahkan saat kamu bilang kalau aku nggak seharusnya takut sama putus, I just could not help myself but felt terrified.” Kalimat itu terdengar begitu jernih. Lalu kali ini saya memandang Aksa, begitu dalam dan dibarengi seutas senyum yang merefleksikan rasa sakit serta berat hati. “Mungkin aku cuma takut kalau putus sama kamu; ide tentang putus nggak pernah terasa semenyeramkan itu sebelumnya. Tapi saat ini, aku memutuskan buat overcome rasa takut itu. Ayo putus, Aksa. Aku nggak sanggup buat lanjutin hubungan ini lagi.”

Ada jeda panjang karena mulut Aksa seolah dilumuri yang sangat kuat. Dia enggak bergeming—cuma memandang dengan tatapan kosong dan dipenuhi ketidakpercayaan. “Ara sayang, kayaknya kamu butuh istirahat. Ngomongnya mulai ngaco deh.”

“Tadi malam aku tidur delapan jam—tidur paling lama selama dua tahun terakhir. Ini bukan cuma pikiran impulsif, aku udah mempertimbangkan ini sejak lama.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kita memulai hubungan.”

Jawaban itu meninggalkan Aksa dalam keterkejutan.

“Aku selalu mikirin hal itu, lagi dan lagi.”

“Tapi kenapa? Semuanya baik-baik aja, sayang. Ara, sayangku Ara.” Aksa bangkit dan bergegas merengkuh tubuh saya yang memang jauh lebih kecil. “Kenapa? Kamu kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu?”

“Aku capek.”

“Kita selalu bisa ngomongin ini baik-baik,” suaranya dipenuhi permohonan. “Ara, aku gak tahu gimana caranya hidup tanpa kamu.”

Aksa selalu kayak gini. Tiap kali ada hal yang enggak sejalan sama keinginannya, apalagi kalau personal, dia pasti nangis. Dan dalam situasi kayak gini, entah kenapa, saya selalu enggak bisa berempati. Mungkin karena tangis itu memang cuma dijadikan senjata.

“Kamu punya puluhan teman. Bukannya kamu seneng menghabiskan waktu sama mereka? Look, Aksa, selama ini kamu hampir nggak pernah meluangkan waktu buat sekadar dengerin cerita-ceritaku. Selain saat itu, apa kamu pernah secara sengaja ngajak aku buat quality time? Ada sih. Lima kali, selama empat tahun kita pacaran. Cuma itu waktu yang murni kita habiskan tanpa melibatkan sex di dalamnya. You were right all this time Aksa; I deserve someone’s better. A man, who is not you.”

“Sayang, aku bilang gitu empat tahun yang lalu. Saat itu kita baru pacaran selama dua bulan.” Air mata Aksa keluar semakin tak terbendung.

Jawab saya sambil menahan air mata, “Dan aku baru sadar itu sekarang.”

“Ara... I’ve tried, and I will always try. Give some time and trust.”

“I did. But you’re just incapable of doing so.”

“Ya Tuhan, Ara…” tangisnya mulai terdengar—diwarnai perasaan bersalah dan lemah yang entah bagaimana bisa menggaung begitu jelas. “Aku mohon, sayang…”

“Aku merasa tidak dicintai,” kata saya pada akhirnya. “Dan itu perasaan yang konstan terus aku rasain. Aksa, kayaknya aku cukup jarang bersikap egois. Tapi sekarang aku mau pakai jatah egoisku. You’ll be free from me. No more Ara. You have plenty of time; and you don’t need to share it with me.”

I’ll make more time with you, love. Aku mohon Ara, aku mencintai dan menyayangi kamu…”

“Begitu pun aku.”

Tatapan kami akhirnya bertemu dan terkunci cukup lama.

“Tapi kamu mencintai Hani di samping aku; dan sayangnya aku nggak sepemurah itu buat berbagi kekasih sama wanita lain. Aksa, hanya karena kita saling mencintai, bukan berarti kita harus bersama. Cinta kita itu epitome dari hubungan toxic; I want to put an end on it. Ini keputusan yang sulit, tapi harus kita lakukan. Stare at me as much as you want, Aksa. Because after this, like what I always say, I don’t want to see you ever again in my life.

Malam ini Soho terasa lebih sepi daripada biasanya. Toko dan restoran masih beroperasi—mungkin jam malam di London memang selalu lebih larut daripada kota lain. Langkah kaki tiba-tiba terhenti. Perlahan, wajah mendongak dan sorot mata tertuju lurus ke arah langit. Setelah itu saya berjongkok; kemudian menangis sekeras mungkin.

Orang-orang tidak akan berhenti untuk membantu, London memang selalu seperti ini. Dan saat ini, saya memang berharap kalau dunia akan bersikap abai lalu membiarkan dada yang sesak ini mengeluarkan bebannya sendiri. Hati ini sangat sakit. Tapi di lain sisi, saya juga merasa lega. Sebab hubungan yang menyiksa itu telah resmi berakhir. Kepada bapak, maaf, karena Ara sudah banyak menghancurkan kepercayaanmu dalam beragam aspek. Maafkan Ara. Tapi, sekarang, Ara merasa bebas.

Fin

This story is specifically for those who want to cut the ties which has hold too tight; it is okay to cut it off. It's painful, it's hard, but everything will eventually healed.

Much love to you all. Thank you~~~

🧡💗❤️💖💙💝💚💘🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

443K 4.6K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
455K 8.4K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
306K 23.3K 106
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
93K 17.7K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...