Hai, Selesai.

By Itssitiiiw

28.7K 2.4K 368

[Completed] FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA! ............ Jatuh cinta itu tidak salah, hanya jatuh kepada si... More

00. PROLOG
Hai, Selesai. [01]
Hai, Selesai. [02]
Hai, Selesai. [03]
Hai, Selesai. [04]
Hai, Selesai. [05]
Hai, Selesai. [06]
Hai, Selesai. [07]
Hai, Selesai. [08]
Hai, Selesai. [09]
Hai, Selesai. [10]
Hai, Selesai. [11]
Hai, Selesai. [12]
Hai, Selesai. [13]
Hai, Selesai. [14]
Hai, Selesai. [15]
Hai, Selesai. [16]
Hai, Selesai. [17]
Hai, Selesai. [18]
Hai, Selesai. [19]
Hai, Selesai. [20]
Hai, Selesai. [21]
Hai, Selesai. [22]
Hai, Selesai. [24]
Hai, Selesai. [25]
Hai, Selesai. [26]
Hai, Selesai. [27]
Hai, Selesai. [28]
Hai, Selesai. [29]
Hai, Selesai. [30]
Hai, Selesai. [31]
Hai, Selesai. [32]
Hai, Selesai. [33]
Hai, Selesai. [34]
Hai, Selesai. [35]
Hai, Selesai. [36]
Hai, Selesai. [37]
Hai, Selesai. [38]
Hai, Selesai. [39]
Hai, Selesai. [40]
Hai, Selesai. [41]
Hai, Selesai. [42]
Hai, Selesai. [43]
Hai, Selesai. [44]
Hai, Selesai. [45]
Hai, Selesai. [46]
Hai, Selesai. [47]
Jakarta, 2018. [01]
Jakarta, 2018. [02]
Jakarta, 2018. [03]
Hai, Selesai. [48]
Hai, Selesai. [49]
Hai, Selesai. [50]
Hai, Selesai. [51]
Hai, Selesai. [52]
Hai, Selesai. [53]
Hai, Selesai. [54]
Hai, Selesai. [55]
EPILOG [√]
EXTRA PART

Hai, Selesai. [23]

330 33 0
By Itssitiiiw

FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA!

HAPPY READING!

Dalam pekarangan rumahnya, Disyaa melihat seperti banyak kejanggalan. Saat gadis itu sempurna turun dari angkutan umum sepulang sekolah, netranya terfokus pada dua motor yang berjejer di halaman rumahnya, dan salah satu motor itu, tampak tak asing dari pandangannya.

Dengan langkahnya perlahan, gadis itu masuk sambil terus mengedar pandangan pada sekeliling rumah. Jemarinya tergerak, menarik knop pintu rumahnya untuk kemudian terbuka sempurna.

Pandangan yang semula terarah pada halaman rumah, kemudian beralih menuju ruang tamu rumahnya. Namun, langkahnya tertegun, di ambang pintu masuk ia dibuat kaku. Dengan arah pandangan yang seketika nyalang, gadis itu mendengus kesal di tempatnya.

"Ngapain lagi ke sini?" tanya Disyaa dengan ketus. Bahkan, bola matanya malas untuk melirik pada dua objek yang ia kenali sedari kecil.

Tidak ada jawaban. Membuat Disyaa memilih berlalu, berjalan tanpa peduli pada orang-orang yang kini duduk di ruang tamu. Ia hendak menuju kamarnya, tanpa ingin banyak tahu sesuatu yang sudah tak pernah ia hiraukan lagi sedari dulu.

"Kemas barang-barang lo sekarang." Perintah itu keluar, dari seorang remaja yang terpaut usia jauh dari Disyaa.

Dia, adalah sosok laki-laki yang tak pernah Disyaa nantikan lagi kepulangannya. Bahkan mungkin, sudah tak pernah Disyaa anggap ada sejauh ini.

Sejak saat dirinya hilang tanpa kabar, dengan asumsi pribadinya, Disyaa menyimpulkan bahwa laki-laki itu memang sudah bahagia tanpa ingat pada adik kandungnya, juga ibunya. Itu menjadi alasan kuat, mengapa Disyaa tidak pernah mengingat sosok yang kini hadir di rumahnya, bahkan mungkin, rasanya ingin ia hapus saja dari ingatannya.

"Siapa lo ngatur-ngatur gue?" balas Disyaa. Tak ada nada ramah, seolah secara terang-terangan ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada kehadiran laki-laki itu.

"Disyaa!" sentak Dion. Sebagai salah satu kakak laki-laki Disyaaa.

"Apa?" Disyaa menantang, ia membusungkan dada, sama sekali tak memperlihatkan takutnya pada dua orang laki-laki itu.

"Kemas barang-barang lo, kita pindah rumah sekarang," ucap Dino.

Dino Dangga Putra. Laki-laki yang menyandang status sebagai kakak pertama bagi Disyaa, juga bagi Dion. Seorang yang dikenal dengan sifat arogannya, keras kepala, juga emosional.

Entah sudah berapa tahun silam, dirinya tak pernah pulang. Tanpa diketahui alasannya, semenjak kepergian sang papa yang menjadikan dirinya hancur, hilang arah, sampai akhirnya memilih pergi dari rumah dengan alibi bekerja. Padahal justru, ia mencari tenang yang lain, yang menurutnya sudah tak bisa ia temukan di rumahnya itu.

Lalu, hari ini, tepat di mana Disyaa sudah beradaptasi pada lingkungan Jakarta, tanpa sosok kedua kakaknya itu, mengapa harus tiba-tiba mereka kembali hadir? Seolah enteng, dengan dan tanpa permisi, tiba-tiba datang bersama perintah yang menurutnya memaksa. Siapa mereka? Bahkan saat Disyaa tumbuh dewasa saja, sosok keduanya tidak ada. Hanya sebatas kabar, kiriman uang, tanpa memperlihatkan raga dan jiwanya untuk saling merangkul dalam dekat. Seolah merasa tak ada beban, meninggalkan gadis kecilnya juga sang mama.

"Lo pergi selama itu, tiba-tiba datang dan nyuruh gue pindah, Bang? Segampang itu?" Disyaa menggeleng. Dirinya kecewa, benar-benar kecewa. Butuh waktu cukup lama untuk bisa kembali menerima kehadiran keduanya, yang selama ini telah menelantarkannya.

"Maaf," ungkap Dino. Seolah tak ada kata lain, menjabarkan segala alasan yang masuk akal mungkin? Mengapa dirinya seolah pasrah tanpa ingin memberi penjelasan agar semua terselesaikan?

"Hidup berdua sama Mama gak segampang itu asal lo tau," ucap Disyaa. Netranya memanas, mengingat segala perjuangan sang mama sampai akhirnya ia bisa berpendidikan di tingkat SMA.

"Lo gak tau, kan? Tiap malem gue harus bikin Mama tenang, karena depresi dengan kepergian lo!" Disyaa tak mampu menahan air matanya.

Masa lalu itu terlalu sakit untuk diingat. Segala tentang pergi, kehilangan, sudah benar-benar ia rasakan. Lalu mengapa, di saat dirinya sudah kembali bangkit bersama sang mama, dengan memulai lembaran baru di tempat tinggalnya saat ini, penyebab luka itu kembali hadir? Seolah tak merasa berdosa, atas apa yang telah mereka perbuat selama ini.

"Mama udah dibuat depresi dengan kepergian Papa, dan lo berdua malah bikin Mama tambah depresi tau gak!" tandas gadis itu. Sungguh, rasanya dua orang di depannya ini ingin Disyaa pukul saja. Terlalu sakit untuk banyak berucap, dengan alasan apapun, ditinggalkan tak pernah menyenangkan rasanya.

"Dan karena itu, gue jadi dikekang. Bahkan untuk pendidikan pun, Mama yang nentuin. Lo gak bakal tau gimana rasanya ngorbanin mimpi demi pilihan Mama." Disyaa tak bisa menahan air matanya, luruh seketika, layaknya hujan deras yang kini sempurna membasahi pipinya.

"Dari kecil gue gak pernah mimpi sedikitpun untuk sekolah di SMA itu, tapi sialnya, keadaan justru menuntut gue untuk jadi salah satu siswa di sana." Disyaa terkekeh, tawa hambar itu keluar, dirinya seolah mengingat sesal, tentang pendidikannya yang selalu bergantung pada pilihan sang mama.

"Tapi gak apa-apa, semuanya udah terlanjur." Disyaa menyeka air matanya, ia lalu melirik pada kedua laki-laki yang sedari tadi fokus mendengarkan emosinya.

"Dan gue akan selalu inget, kalau lo berdua penghambat mimpi gue," sambungnya penuh penekanan.

Detik jam dinding menjadi jeda, keheningan tercipta antara ketiga remaja kandung itu. Dua laki-laki yang semula tertunduk di atas sofa, kemudian berdiri, menghampiri gadis yang masih sibuk dengan air matanya.

"Gue minta maaf," ungkap Dino. Selalu Dino. Karena dasarnya, memang ia yang selama ini tak pernah hadir. Bahkan untuk kali pertama usai perginya, ini adalah pertemuan yang langka bagi Disyaa.

"Gue gak bisa," balas Disyaa sejujurnya. Memang, sesuatu yang menyakitkan rasanya terlalu sulit untuk dimaafkan.

"Gue akan tebus semua kesalahan gue di masa lalu, Syaa," ucap Dino. Tampak serius.

Disyaa meliriknya, netranya terangkat, menatap wajah yang hampir asing selama ini, kemudian tertawa geli mendengar perkataannya.

"Oh ya?" Disyaa tertawa remeh. "Dengan cara apa?"

Meski sudah banyak planning yang Dino siapkan untuk upaya menebus kesalahannya, tapi, Dino tak menjelaskan semuanya di hadapan gadis itu saat ia bertanya. Dirinya juga bahkan tak yakin, Disyaa mau mengikuti apa yang sudah ia rencanakan sejauh ini.

"Diem, kan, lo?" Disyaa kembali tertawa remeh. Sangat disayangkan, pertanyaannya tak mendapat jawaban yang bisa membuatnya yakin pada janji Dino yang terucap.

"Bang Dino udah nyiapin rumah baru buat kita," celetuk Dion.

Dion kemudian menghampiri Disyaa dan Dino, dirinya menyampaikan hal yang memang tak mampu diutarakan oleh Dino.

"Beresin barang-barang lo sekarang, ya? Kita pindah dari sini, dan membuka lembaran baru di rumah baru itu," pinta Dion penuh kelembutan pada adiknya itu.

"Kita?" Disyaa terkekeh. "Sejak kapan lo kembali jadi keluarga di kehidupan gue?"

"Jaga ucapan lo!" sentak Dion yang cukup membuat gadis itu mengerjap kaget dengan respons nya.

"Udah-udah." Dino menyela amarah Dion. Cowok itu menepuk pundak Dion kemudian menggelengkan kepalanya, memberi isyarat untuk menyuruh Dion kembali duduk dan menenangkan dirinya.

Selanjutnya, Dino melirik pada Disyaa. Menatap dalam pada wajah gadis itu yang kini sudah tumbuh dewasa, tanpa dampingannya. Beribu rasa sesal tak mampu ia utarakan, cowok itu merutuki diri dalam hati, mengenai keegoisannya di masa lalu. Mengenai dirinya yang terlalu sibuk mencari tenang seorang diri, padahal banyak yang perlu ia tenangkan melalui dekapannya di masa itu.

Sialnya, tatapan lekat nan tulus itu seketika berhasil menghipnotis. Terlalu naif jika Disyaa berkata tidak rindu. Dengan segala kenangan indah di masa kecilnya, bersama dua orang laki-laki yang selalu menjaganya. Rasanya ingin ia dekap saja sosok itu, tapi, ego diri tak bisa ia pungkiri, dirinya terlalu sakit, jika harus langsung mendekap juga memberi maaf pada kesalahan fatal mereka menurutnya.

"Beresin barang-barang lo, ya? Gue Sama Dion tunggu di sini," ucap Dino dengan tuturnya yang lembut.

Disyaa terdiam sejenak, saat kedua pipinya ditangkup oleh tangan kekar milik Dino yang kini terasa dingin. Dia bahkan tak mampu berkedip, sejenak hanyut pada pandangan mereka yang bersitatap dengan segala sorot lekatnya.

Detik berikutnya, Disyaa menyudahi. Membuang pandangan dengan sinis, kembali pada mode awal di mana dirinya tak pernah menginginkan kehadiran Dion dan Dino lagi di kehidupannya.

"Gue gak mau," tolak Disyaa. Ia menyilangkan tangannya di depan dada.

"Gue gak mau lo nolak." Dion menyahuti. Laki-laki itu menyorot visus ada adiknya.

"Lo gila, ya, Bang?" Disyaa menatap Dion dan Dino bergantian.

"Setelah gue nyaman di sini, lo berdua datang nyuruh gue pindah? Pergi aja, kalau cuma mau ganggu kenyamanan gue," usir gadis itu dengan terang-terangan.

"Justru kita mau bikin lo lebih nyaman di rumah baru, Syaa!" tangkas Dion.

"Dengan pindah rumah, terus pindah sekolah? Terus nyuruh gue adaptasi lagi di lingkungan rumah dan sekolah baru? Lo pikir gak capek?" Disyaa bersikeras. Membayangkannya saja ia sudah malas, terus menerus menyandang status sebagai murid baru, dengan awal perkenalan yang tidak pernah indah. Trauma, mungkin itu simpulnya.

"Tapi lo bisa dapetin sekolah yang lebih baik di sana, yang sesuai sama kualitas diri lo," jelas Dino ikut bersuara. Membuat Disyaa melirik ke arahnya.

"Tapi adaptasi berulang kali gak segampang yang lo kira, Bang!" tandas gadis itu.

"Lo punya cita-cita, kan? Setidaknya ikutin kemauan gue buat capai cita-cita lo," ujar Dion.

"Peluang buat lo menggapai segala mimpi, besar di sana, Syaa. Dengan pembelajaran yang lebih efektif, bukan selalu jam kosong setiap hari," sambung Dion lagi. Ia sudah tau jelas, bagaimana SMA TB dari metode pembelajarannya.

Disyaa terdiam. Merenung sejenak, mencerna ucapan Dion yang memang benar pada faktanya. Selama ini, bersekolah di SMA TB hanyalah sebagai formalitas sebagai status pelajar, sementara pembelajarannya saja tidak efektif, bahkan nyaris setiap waktu selalu jam kosong.

"Pikirin lagi masa depan lo, karena kadang, kita emang perlu banyak mempertimbangkan segala hal, untuk mencapai satu tujuan besar," tutur Dion.

Kemudian, Dion beralih, menghampiri Dino untuk mengambil jaketnya. Sembari bersiap untuk pergi dari sana, Dion dan Dino sempat menghampiri Disyaa dulu, mengusap lembut surai rambut gadis kecilnya itu.

"Gue kasih waktu satu minggu buat lo berpikir, pertimbangin semuanya baik-baik, Syaa," putus Dion.

Selanjutnya, dua laki-laki itu berjalan beriringan menuju halaman rumah. Keluar dari rumah dengan segala kesederhanaan di dalamnya. Berdiri sambil memakai helmnya pada samping motor masing-masing. Di mana pergerakan itu, tak luput dari pandangan Disyaa yang tadi berlari kecil mengejar langkah mereka.

Disyaa berdiri di ambang pintu, dengan tanda tanya yang akhirnya ia suarakan lewat kata.

"Kalian mau ke mana, Bang?" tanya Disyaa, banyak kejanggalan rasanya melihat pergerakan kedua kakak laki-lakinya itu.

"Pulang," jawab Dion dan Dino bersamaan.

Sambil menaiki motornya, keduanya membunyikan klakson sebagai ucap pamit pada Disyaa, kemudian menancap gas secara spontan, yang langsung membawa mereka pada jalanan, dengan kecepatan cukup kencang, sampai tak lagi terlihat malalui arah pandang gadis itu.

Disyaa dibuat termangu dengan jawaban itu, seperkian detik berikutnya, ia menyunggingkan senyum miring, lalu berubah menjadi tawa hambar dengan tatapan nanar pada halaman rumahnya yang sudah kosong.

"Jadi selama ini, rumah ini emang gak pernah kalian anggap tempat pulang?" Disyaa berucap, nadanya bergetar pada kata akhir yang ia ucapkan.

"Pantes aja, berpuluh-puluh tahun gak pernah kembali, ternyata bukan di sini tempat pulangnya." Gadis itu tertawa, menggerutu rasa sakit yang memang tak pernah hilang selama beberapa tahun silam, sampai detik ini.

{ Hai, Selesai.}

• To Be Continued? •

Ada pesan untuk mereka?

Berikan kesan dan pesan untuk part ini!

Ingat ya! Jangan hanya stuck pada satu part, karena semua akan terasa lebih menyenangkan jika kita membaca sepenuhnya!

Sampai jumpa di part selanjutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

15.4K 2.6K 68
~• PART MASIH LENGKAP •~ FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA ______________________________________________ Datar, kasar, dingin dan antisosial in...
1.6K 1.2K 30
⚠️jangan lupa vote & follow⚠️ Ini tentang keluarga, persahabatan dan kisah percintaan yang nantinya akan berakhir sempurna. Semoga saja semesta meres...
129K 2.9K 86
CLOSE! Move ke Cover Request #3!
2.2K 393 28
🙌 Naskah terbaik Tantangan Menulis Rasi Publisher dalam tema kehidupan sekolah ✨ "Pernah nggak sih lo kepikiran, gimana kalau ada sesuatu yang dirah...