Pacaran [TAMAT]

By Lulathana

254K 38K 3.3K

Dari kecil Bella itu sangat suka bela diri, berbagai jenis dia pelajari. Namun, karena tragedi ditolak cinta... More

Pacaran
...
1. Drama
2. Tawuran
3. Takdir yang Tak Diinginkan
4. Cowok Seblak
5. Dia Kembali
6. Rumination
7. Semangat
8. Sandera
9. Percaya Diri
10. MTNI
11. Keluarga
12. Kedua Kalinya
13. Bengkel Bang Jo
14. Banyak Sisi
15. Malming
16. Drama
17. Pertemuan
18. Teman Billa
19. Teman Billa (2)
20. Tanda
21. Cantik dan Anggun
22. Jola
23. Serangan Tak Terduga
24. Rumah Gavin
25. Kanapa?
26. Sakit
27. Sakit (2)
28. Bimbang
29. Penculikan
30. Tidak Ingin
31. Bazar
32. Photobox
33. Sosok yang Sama
34. Dia Sebenarnya
35. Menggemaskan
36. Tidak Sungkan
37. Myth
38. Melarikan Diri
39. Optimis
40. Dua Arah
uwu
42. Mulai Membaik(?)
43. Konsekuensi
44. Garis Memulai
45. Tembok Penghalang
46. ¡Maldito seas!
47. ¡MALDICIÓN!
48. Sederhana
49. Pacaran (Tamat)

41. Terungkap

4.2K 735 104
By Lulathana

Bella mengumpat tanpa suara. Ia berbalik lalu melihat sekitar dua puluh orang berjalan ke arahnya. Bella melirik pada Gavin bertanya, cowok itu pun menggeleng tidak tahu.

Bella menjatuhkan pisau yang berlumuran darahnya itu. Ia berteriak lalu menghampiri mereka yang bersiap menyerang. Gavin pun tak terelakan. Perkelahian 2 banding 20 itu terjadi, dengan 20 orang asing itu yang membawa senjata tajam. Dilihat bagaimana pun ini sangat timpang, tapi Gavin dan Bella terlihat mampu melawan mereka yang keroyokan itu.

Konsep bertarung Gavin dan Bella tentu dengan menghilangkan dulu senjata mereka, lalu menyerang. Bella menggunakan kaki untuk menepis dan Gavin menggunakan kekuatan tangannya. Mereka menjadi dua kelompok dengan Bella dan Gavin sebagai center. Mereka juga yang paling sibuk menepis serangan dari sekelilingnya.

Gavin sedikit oleng begitu kepalanya dihantam benda keras. Hantamannya cukup kuat hingga membuat Gavin merasa pening hebat juga penglihatan yang beberapa saat menjadi gelap.

Gavin menggeleng-geleng mencoba menyadarkan dirinya. Dia tidak boleh lemah, Gavin harus membantu Bella. Terlebih jika dia lengah, dia mungkin justru akan menjadi beban buat cewek itu.

Gavin meloncat lalu menerjang orang yang hendak menikam Bella dari arah belakang. Gavin menepis tangannya hingga pisaunya terlempar jauh. Tak memberi kesempatan, Gavin pun langsung menghujami pukulan pada orang itu hingga terkapar.

Hanya sekitar seperempat dari orang-orang itu yang masih terlihat mampu berdiri dan menyerang. Sisanya terkapar dan meringis kesakitan. Gavin melihat Bella yang masih berdiri dengan kokoh. Belum ada yang berhasil memberi serangan padanya. Kekuatan Bella benar-benar bukan untuk dibandingkan dengan siapa pun.

Gavin merasa sebuah cairan masuk ke dalam matanya dan membuat pandangannya buram. Saat mengusap, rupanya itu darah dari luka di kepalanya.

Gavin mengerang saat merasakan punggungnya disayat. Karena pandangannya terhalang, Gavin jadi tidak terlalu fokus.

"Brengsek!" Bella memekik.

Ia langsung menerjang orang yang melukai Gavin itu. Ia menduduki dadanya lalu memukuli wajahnya tanpa ampun. Kencangnya pukulan yang Bella berikan membuat orang itu berdarah bahkan beberapa menciprat wajah Bella. Rahang Bella mengetat ia mengangkat tinggi tangannya, bersiap memberikan pukulan terkuat meski orang itu sudah tidak sadarkan diri.

"Bell." Gavin menahan kepalan tangan Bella.

Bella menoleh dengan amarah yang masih tergambar jelas di wajahnya.

"Mereka pergi, setelah denger kembang api itu."

Bella pun melihat sekeliling. Benar yang dikatakan Gavin, semua orang itu pergi meski dengan tertatih-tatih.

Bella menepis tangan Gavin kemudian bangkit berdiri. Ia berjalan menjauh dengan napas yang terengah-engah. Bukan karena capek, tapi emosi pada orang yang menjadi satu-satunya yang tertinggal itu.

Polanya terbaca, yang diincar itu dirinya, jadi kenapa harus melukai Gavin!

Ponsel Bella tiba-tiba berbunyi. Telepon dari nomor yang tidak tersimpan.

"Hallo Billa sayang. Kita 'kan udah lama nggak ketemu. Papa tuh khawatir sama kemampuan kamu, jadi Papa sedikit kirim tes kecil. Ternyata kamu masih luar biasa."

Bella melihat sekitar lalu menemukan mobil yang pastinya milik Alfian. Tangan Bella mengepal kuat.

"Gavin juga oke. Bocoran aja, yang Papa kirim itu profesional kalau kamu mau tau. Gavin kayaknya bisa masuk di kelas dua. Kelas satu juga bisa sih, meski nggak bakal menang kalo lawannya kamu."

Bella mematikan sambungannya. Ia menatap tajam mobil itu. Bella melihat sebuah tangan melambai dari jendelanya sebelum mobil itu berlalu pergi.

Bella menghela napas. Ia melihat wajahnya yang terpantul pada layar ponsel yang mati. Berantakan sekali. Banyak noda darah di sana. Satu-satunya luka yang ia dapat hanya saat menangkap pisau tadi, artinya sebrutal itu tadi dia menyerang mereka.

Bella merasakan pundaknya disentuh, dia pun menoleh.

"Lo nggak papa?" tanya Gavin.

Bella memperhatikan wajah itu. Wajah cemas Gavin yang jelas bukan diada-ada.

"Bukannya lo yang harusnya ditanya gitu?"

"Gue nggak papa. Hoodienya cukup tebel kok."

Bella langsung mengait leher Gavin agar membungkuk ke arahnya, cepat-cepat ia memeriksa punggung cowok itu. Bella termenung untuk beberapa saat, itu bukan luka yang kecil. Darahnya banyak keluar meski tidak terlalu terlihat karena pakaian dia yang berwarna hitam.

Bella mengetikkan beberapa angka lalu menghubunginya.

"Hallo?"

"Jembatan waktu itu, ada yang terluka."

"Billa?"

Bella kembali memasukkan ponsel pada saku. Tanpa kata, dia pun berjalan pergi. Hanya saja Gavin pun malah mengikutinya.

"Lo nggak denger yang barusan gue bilang apa? Diem di sini, bentar lagi dokter datang."

"Lo juga terluka."

"Ini bukan masalah."

"Gue juga nggak papa."

"BISA NGGAK KERAS KEPALA NGGAK SIH?" Bella memekik dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak bisa mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya lagi. Napasnya semakin terengah-engah.

"Di ujung belokan saja, ada klinik 24 jam. Kita berobat di sana," ucap Gavin dengan lembut. Ia. hendak meraih tangan Bella, tapi dengan cepat cewek itu menepisnya.

"Heh brengsek!" Bella menarik bagian depan baju Gavin.

"Berhenti ikutin gue. Berhenti peduliin tentang gue. Berhenti suka, cinta atau apalah omong kosong itu. Jangan pernah temuin gue lagi!" seru Bella dengan begitu tajam. Gavin dibuat terdiam untuk beberapa saat. Dia mencoba menyunggingkan senyum meski sedikit berat.

"Meski 24 jam, tapi makin malem perawatnya cuma dikit, kita harus buru-buru." Gavin meraih tangan Bella di dadanya itu. Ia memegangnya erat lalu mulai membawa pergi dari sana.

"GAVIN!" Bella menarik tangannya dan berhasil lepas. Ia mendekat ke arah Gavin lalu menangkup kedua sisi wajahnya.

"Liat gue! Liat baik-baik!" ucap Bella seraya mengarahkan wajah Gavin agar menghadapnya. Mereka bertatapan dengan wajah yang terpaut dekat.

"Cewek di hadapan lo bukan cewek baik-baik. Seumur hidupnya cuma ada darah, darah, dan darah. Apa yang lo liat dari cewek kayak gini hah?!" Bella berucap dengan garis rahang yang terlihat mengetat, sementara itu sorot bola matanya terlihat bergetar nanar.

"Lo orang baik. Lo banyak bantu orang. Kenapa gue harus nggak suka?" balas Gavin menatap dalam. Dadanya berdenyut nyeri melihat bagaimana tatapan Bella itu. Bella seolah kesakitan di dalam sana.

"BULSHIT!" teriak Bella. "Itu cuma omong kosong yang gue bikin sendiri. Lo sama sekali nggak tau siapa gue sebenarnya. Lo nggak tau orang seburuk apa yang ada di hadapan lo ini."

"Gue nggak peduli, gue tetep suka lo."

"Pake otak lo!" Bella menunjuk-nunjuk pelipis Gavin.

"Lo pasti kemakan ocehan manis soal hal heroik gue 'kan? Lo cuma liat sisi bagus gue doang 'kan?" Bella menggeleng-geleng. "Lo nggak boleh tertipu!"

Bella menepuk-nepuk kepala Gavin. "Lo pikir masuk akal gue ngurus banyak orang cuma dari modal menang kompetisi?" Bola mata Bella terlihat semakin bergetar. Amarah, luka, keputusasaan, semua bercampur menjadi satu.

"Lo bisa tanya nyokap gue sendiri. Gue nggak pernah dapat sponsor dari mana pun! Nyokap gue mantan atlet yang masuk blacklist yang otomatis kena juga ke gue. Meski gue beberapa kali wakilin ajang gede pun, gue cuma dapet apa yang emang disediain buat pemenang, nggak lebih!"

Bella menelan ludah dengan sukar. Tenggorokannya terasa tercekat, beriring emosionalnya yang semakin meningkat.

"Cuma mendali, itu pun laku di kisaran 10 juta. Lombanya setahun sekali. Lo pikir masuk akal gue kasih makan mereka, kasih tempat tinggal, sekolahin mereka dengan uang segitu? Jumlah mereka lebih dari seribu, ada ratusan anak yang harus gue urus di waktu yang sama."

Bella menunduk, ia mengambil napas yang dalam
"Gue hidup di jalanan yang mana insting bertahan hidup lebih banyak gue pelajari dari pada kasih sayang. Lo percaya gitu aja kalo alasan gue berubah cuma karena ditolak cowok?"

Bella menyugar rambutnya. Membuat darah dari tangannya berpindah ke sana dan membuat penampilannya semakin kacau.

"Lo mau tau sekotor apa cewek yang lo kejar-kejar ini?" Bella menepuk-nepuk dadanya. Senyumnya tersungging tapi bukan menyimbolkan kebahagiaan atau sesuatu yang menyenangkan. Mata Bella yang berkaca-kaca dan tang dia yang gemetar tidak bisa berbohong.

"Gue algojo yang ngabisin nyawa orang cuma demi uang. Mereka sama sekali nggak punya dosa, tapi gue yang ngilangin nyawanya demi kepentingan sendiri."

Gavin terlihat tertegun. Rahang Bella mencakup kuat menahan gejolak sakit di dalam dadanya. Pada akhirnya tidak akan ada yang bisa menerima dirinya.

Bella menunduk. Ia menggigit bibirnya kuat. Membiarkan air matanya berjatuhan langsung pada tanah agar tidak meninggalkan jejak di pipinya.

"Gue bukan penolong, gue cuma bikin semua terlihat manis dengan cara kotor." Tubuh Bella bergetar. Sekuat tenaga dia menahan dirinya agar tidak terisak.

"Gue pengecut," ucapnya dengan lirih. "Gue bahkan nggak berani ngakuin kalo itu diri gue." Tangan Bella mengepal kuat. Membuat luka di telapak tangannya mengeluarkan darah banyak dan menetes-netes dengan deras.

"Gue nggak berani nunjukin ke siapa pun, bahkan orang tua gue sendiri. Gue bohongin mereka pake alasan bodoh, biar mereka nggak tau punya anak semenjijikan gue."

"Gue monster ...." Bella menggigit bibirnya dengan kuat. Bahkan sampai mengeluarkan darah.

"Jadi ... sekarang lo pergi."

Gavin menarik tubuh Bella ke dalam pelukannya. Bella mematung karena terlalu kaget. Gavin memeluknya dengan erat.

"Jangan takut lagi, ada gue di sini."

Tangan Bella mencengkeram lalu dia mulai terisak. Tangisannya pecah dengan erang-erangan menyakitkannya. Bella mengeluarkan semua sakit yang selama ini ditanggungnya sendirian.

oOo

Hai, lumayan lama aku ngilang. Pertama karena ada kendala buat akses wattpadnya. Kedua ada drama plagiat dulu dong. Meski sekarang udah beres, tapi bikin badmood banget.

Secara garis besar udah terungkap 'kan soal Billa ini. Setelah ini ada Flashback yang lebih jelasin gimana rincinya, tapi nggak bakal aku post di sini.

Wattpad bisa diakses siapa pun dan GRATIS.
Tapi sayangnya ada aja orang yang nggak bertanggung jawab.

Sorry aku marah-marah di sini, tapi hey tukang plagiat! Isi pikiran kalian apa sih? Aku sediain cerita gratis, aku upayain buat update cepet juga. Kenapa nggak duduk manis dan nikmatin aja sih? Kenapa harus nyuri kerja keras orang? Aku udah berusaha buat kamu, luangin waktu, sisihin hal lain di kehidupan nyata biar bisa rangkai kata buat bacaan kamu. Aku bahkan tetep up meski silent reader banyaknya berkali-kali lipat dari yang vote. But, Hey! I'M NOT ROBOT!

Buat part Flashback itu aku posting di Karyakarsa. Ada sekitar dua bab harganya 5K. Bukan aku itungan, tapi seenggaknya di sana jelas data email dari yang beli/baca.
Mungkin tukang plagiat mikir-mikir buat akses ke sana. Jadi kalo masih mau nekat plagiat pun, silahkan pikirin base masalah Billa ini sendiri.

Meskipun kasus kemarin beres. Beres ya cuma dia hapus cerita itu. Nggak ada tuh itikad kayak minta maaf, aku pun nggak bisa marah-marah karena dia hapus akunnya gitu aja. Kesimpulannya, ini masih menjengkelkan.

Di Karyakarsa aku postingan siang/sore.

Note: Buat yang nggak baca bagian flashback itu, kalian nggak bakal dibuat bingung banget kok seandainya nanti lanjut ke part selanjutnya. Kalian terka-terka aja dari bab ini. Masih bisa nyambung. Aku percaya kalian udah terlatih nebak-nebak.

See you~

17 Oktober 2023

Continue Reading

You'll Also Like

79.4K 4.9K 71
Apakah salah jika aku bukan gadis yang cantik? Apakah di dunia ini yang diutamakan hanya mereka yang berparas cantik dan good looking? Sementara yang...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
38.9K 5.3K 32
"Nggak mau minta maaf?" Shalka mendongak. "Maaf?" ulangnya bingung. "Maaf karena Io udah cium gue dua kali." Shalka melotot, apa cowok itu bilang?! ...
4.5M 361K 37
Nara memergoki pacarnya berciuman dengan sahabat terdekatnya. Sakit hati, rasa dikhinati, semua berkumpul memenuhi rongga dadanya. Belum lagi orang-o...