Kosan 210

diaaprilia_ द्वारा

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... अधिक

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
10 | Waduh
11 | Perempuan Berbaju Putih
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories
16 | Hidup Kadang Kidding

07 | Siapa, tuh?

63 10 0
diaaprilia_ द्वारा


Minggu pagi ini terasa tenang buat Jazmi, entah kenapa. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 04.30 pagi. Seperti ada angin dari pantai Gunung Kidul yang berembus ke arah Jazmi hingga dia bisa bangun pagi dan melaksanakan shalat subuh tanpa disuruh siapa pun. Naufal yang baru saja pulang dari shalat subuh berjamaah di masjid terkejut saat melihat Jazmi yang wajahnya masih basah terkena air wudhu.

"Shalat lo?" Naufal bertanya demikian karena ini adalah hal yang langka baginya.

Jazmi cengengesan saja mendengarnya. "Alhamdulillah, Fal. Bangga nggak sama gue?"

Naufal manggut-manggut jadinya. "Bangga, Mi, Bangga! Semoga istiqomah!"

Setelah masuk kamar pun mood Jazmi sangat baik. Benar ternyata, selepas shubuh baiknya jangan kembali tidur. Ada banyak hal yang bisa dilakukan saat pagi hari. Seperti yang akan Jazmi lakukan di pagi ini, yaitu lari pagi.

IYA, LARI PAGI!

Jazmi sudah mengganti kaos putihnya dengan hoodie cream serta celana jogging. Dia juga sudah menyiapkan sepatu yang akan dia gunakan untuk lari nanti. Dengan wajah sumringah, Jazmi berjalan menuju ruang tamu sambil menenteng sepatu hitamnya.

Dua temannya yang sudah bangun, Devan dan Naufal dibuat tercengang dengan tindakan yang dilakukan oleh Jazmi di pagi-pagi buta begini. Devan bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali, karena haram bagi Jazmi bangun di jam segini apalagi biasanya anak itu tepar karena habis minum-minum.

"Lo mau jogging?" Devan menembak Jazmi langsung dengan pertanyaan.

Sementara yang ditanya masih berusaha fokus mengikat tali sepatunya. "Iya, mau jogging biar kayak orang-orang."

"Kesambet apa sih, Mi?" Naufal terheran-heran melihat Jazmi.

"Kalian ki ngopo, toh? Ndelok temennya bangun pagi yo, mestine seneng. Kok malah heran, gitu?"

Devan tertawa. "Momen langka, gila! Biasanya juga lo udah di mimpi jam segini. Semalem nggak minum-minum emangnya?"

"Ya, enggak, dong. Semalem turune gasik aku. Ben pola hidup e sehat!"

"Alkohol lo dikurangin juga sekalian." Devan mengingatkan kebiasaan buruk Jazmi itu.

"Mau ke mana maneh?" Farris dengan wajah khas bangun tidur itu menongol begitu saja dari depan pintu kamarnya.

"Liat nih kawan lo, Ris. Bangun pagi dia hari ini!" Devan berseru atas momen langka di rumah ini.

"Arek jogging maneh, Mi?"

Jazmi berdecak sebal mendengar pertanyaan yang sama itu. "Iya, Ris. Mau jogging ini aku, lhoooo! Wes, jangan pada nanya lagi. Nanti keburu siang malah nggak jadi jogging."

Sepeninggal Jazmi yang pergi untuk lari pagi, ketiganya masih dibuat heran. Jazmi ini bukan seorang yang bisa bangun pagi dengan mudah. Jazmi memang suka berolahraga tapi tidak dengan lari pagi. Anak-anak kosan tahu kalau Jazmi lebih suka pergi ke tempat gym langganannya atau pergi bersepeda sore hari ketimbang bangun pagi-pagi buta hanya untuk pergi lari pagi sendirian.

"Fix, lah. Kesambet manehna eta mah!" Farris bersungguh-sungguh dengan jawabannya yang langsung mendapatkan decakan dari Naufal.

"Mending lo subuhan dah, Ris. Mumpung masih ada umur." Usai mengatakan hal itu, Naufal masuk ke kamarnya meninggalkan Devan dan Farris di ruang tamu.

Farris kemudian beralih menatap Devan yang sudah fokus dengan tab di tangannya. "Maneh nggak ikut masuk kamar juga, Pan?"

"Kagak. Pantang pagi-pagi buta balik rebahan di kasur. Ntar rezekinya dipatok ayam."

"Kumaha maneh, weh!" Farris beranjak menuju kamar mandi untuk segera mengambil air wudhu.

Devan ditinggal sendirian di ruang tamu. Hanya ada sepi yang menemaninya. Dia suka suasana di pagi hari. Di saat beberapa orang masih terlelap bergelung dengan selimut untuk menahan hawa dingin, Devan justru terbangun dan menikmati pagi sampai matahari terbit. Cowok itu akan melakukan aktifitas apa pun sampai cahaya kemerahan terlihat. Seperti sekarang yang dia lakukan dengan tab yang sedang menampilkan sebuah sketsa gambar yang belum terselesaikan.

Tadinya, Devan tergerak untuk ikut lari pagi bersama Jazmi. Tapi mendadak dia ingat kalau dia belum menyelesaikan gambarannya semalam. Jadi, dia mengurungkan niatnya untuk ikut lari pagi bersama Jazmi.

"Palingan jam tujuh juga udah balik itu anak."

Karena Devan tetaplah Devan dengan mulut tajamnya itu.

***


"Jadi berapa, pak? Tadi saya pesennya bubur, sate usus sama es teh manis." Rania baru saja menyelesaikan sarapannya di salah satu gerobak bubur ayam yang nggak begitu jauh dari kosan.

"Totalnya 15 ribu, Mbak." Pedagang bubur ayam itu menyahut ramah. Dia tersenyum saat Rania memberikan uang untuk membayar pesanannya.

Rania sengaja bangun pagi untuk menikmati semangkuk bubur ayam di depan gang kosannya. Beberapa hari ini, Rania kepingin makan bubur ayam itu tapi waktunya selalu nggak tepat. Beruntunglah di Minggu pagi ini, dia bisa segera bangun dan menghampiri tukang bubur ayam itu untuk sarapan.

Sambil menunggu bubur yang sudah dia habiskan barusan tercerna, Rania memilih jalan santai dan baru akan kembali ke kosan saat sinar matahari perlahan mulai terik.

"Ran? Raniaaaa?" Sontak saja, Rania langsung menoleh ke arah suara yang memanggil namanya itu.

Didapatinya Jazmi yang tengah menyengir lebar ke arahnya. "Ngapain lo?"

"Ya, lari pagi, dong! Nggak lihat setelan yang gue pake hari ini?"

Rania menghela napas panjang. "Bahkan sampe hari ini, telinga gue masih belom bisa nerima lo ngomong pake 'gue-lo'."

"Ya, menyesuaikan aja ini." Jazmi hanya terkekeh. "Abis sarapan bubur?"

Jazmi yang niatnya ingin lari pagi mendadak ikut jalan santai di sebelah Rania. "Iya, nih. Abis ini niatnya mau jalan santai aja sampe capek sendiri."

"Yowes tak temenin."

"Lagi ada angin apa sih, lo mendadak bangun pagi-pagi? Biasanya juga ngebo sampe siang."

Syukurnya Jazmi sudah terbiasa sama mulut anak-anak kosan. Setelah Letta, Rania ini juga sama mulutnya tajam banget! Kalau Devan sih, tetap ya berada di nomor satu. Jazmi kadang heran, apa semua orang Jabodetabek mulutnya pada setajam itu? Terus juga, kenapa Rania malah ikut-ikutan bertanya soal dia yang bangun pagi buat olahraga. Salahnya di mana, sih?

"Ya, pengen jogging tadinya. Semua anak kosan udah nanya begitu, lo malah ikutan nanya juga."

Rania tidak menggubris Jazmi, melainkan dia malah mengangguk sambil tersenyum saat Bu Nanik dan suaminya melewati mereka berdua dengan motor, yang bisa dilihat sepertinya habis belanja dari pasar.

"Lo bukannya nyapa, bu Nanik itu tau!" Rania memukul lengan Jazmi pelan.

"Mata gue kan minus, Ran!" Jazmi membela dirinya yang langsung membuat Rania tersadar kalau anak ini tumben sekali tidak memakai kacamatanya.

"Lo mau jogging nggak pake kacamata, konsepnya gimana, sih? Mau nabrak orang pas lari?"

"Makanya itu, gue nggak jadi lari. Mending jalan santai sama lo, kan?" Jazmi mengatakannya sambil tersenyum. "Tapi, emang gue lupa juga, sih bawa kacamata."

Keduanya diam. Rania ingin bertanya soal Kathrina yang mendadak bisa kenal dengan Jazmi. Iya, sih. Jazmi memang populer, harusnya Rania nggak perlu kaget kenapa mereka berdua bisa kenal begitu saja.

"Mi," Rania memanggil Jazmi pelan, membuat cowok itu langsung menoleh ke arahnya. "Apa?"

"Lo bisa kenal Kath dari mana?"

Dalam hidup Rania basa-basi itu ditaruh di nomor sekian. Kalau sudah kepalang penasaran, ya sudah. Ditrobos saja sekalian.

"Kath? Kath siapa?" Jazmi malah balik bertanya.

Rania berdecak sebal. "Sebanyak apa, sih, cewek yang lo kenal di Jogja emangnya?"

Jazmi jadi bingung sendiri tapi kemudian dia sadar siapa yang dimaksud oleh Rania. "Oh, inget. Dikenalin temen gue."

"Harus banget Kath, ya?"

"Hah?" Jazmi bingung sempurna. Maksudnya apa, sih?

"Dari sekian banyak perempuan di kota ini, harus banget pdkt sama Kath?"

"Gue nggak ada pdkt? Pure temenan aja, sumpah!" Jazmi berani bersumpah. Teman perempuannya memang banyak, cantik dari segala macam tipe cantik pun ada. Tapi memang Jazmi sama sekali nggak ada naruh perasaan di salah satu perempuan-perempuan yang dia kenal itu.

"Tapi temen gue beranggapan begitu. Brengseknya lo bisa nggak sih, dikurangin?" Rania jadi kesal sendiri.

Apa tadi katanya? Hanya berteman saja? Betulan brengsek, bukan?

"Ya Allah, Ran," Jazmi sampai menyebut. "Suwer temenan, tok. Niat mau ngebaperin aja enggak sama sekali."

"Mendingan jangan. Lagian lo berdua juga beda agama." Rania mengatakannnya begitu saja kemudian berjalan cepat meninggalkan Jazmi yang keheranan.

Senyum tipis tercetak di wajah Jazmi, dengan segera dia menyamai langkah kaki Rania. "Nggak usah cemburu, Ran. Nek arep diseriusin mbokan ngomong wae."

Rania melirik sinis ke arah Jazmi. "Apaan, sih?"

"Tenang. Kamu rumahku, kok."

Ada yang meleleh tapi bukan mentega di atas wajan yang panas, melainkan perasaan Rania. Rasanya aneh tapi sekaligus senang ketika mendengarnya. Dengan salah tingkah, Rania berlari meninggalkan Jazmi yang sedang terkekeh saat melihat raut wajah Rania yang sedang menahan malu.

***


Gretha baru saja selesai menjemur pakaian. Minggu ini sama sekali dia tidak menggunakan jasa laundry seperti biasanya. Tapi di hari ini, dia benar-benar mencuci seluruh pakaian kotornya sendirian!

Bersyukurnya, bu Nanik menyediakan dua mesin cuci untuk setiap rumah kosan. Untuk di kosan putri, tentunya mesin cuci itu terawat dengan baik. Berbanding terbalik dengan yang terjadi di kosan sebelah. Salah satu mesin cucinya sudah rusak. Keteledoran anak laki-laki soal barang elektronik di mana-mana sama saja. Yang berujung mereka berlima harus mengganti mesin cuci tersebut.

"Ci Gre, abis jemurin?" Gretha baru saja menaruh keranjang cucian dikagetkan oleh Letta yang muncul tiba-tiba.

"Kamu ngagetin banget, Ta!" Gretha memegang dadanya. "Iya, abis jemurin. Itu pakaian yang kering udah aku masukkin ke keranjang, ya. Kayaknya ada punyamu kecampur sama pakaiannya Rania, maaf."

"Dih, nggak apa-apa. Makasih malahan udah mau angkatin." Letta tersenyum senang. Karena nggak perlu harus mengangkat cuciannya yang sudah kering, cewek itu sering lupa pada jemurannya sendiri. "Soalnya gue suka males ngangkatin cucian, Ci."

Gretha menggeleng maklum. Si bungsu itu memang selalu lupa dengan jemurannya sendiri. "Kebiasaanmu, Ta."

"Heheheh," cengir Letta lebar. "Maaf, Ci. Besok-besok diusahain inget sama jemuran sendiri, deh!"

"Jangan sampe pada jatoh baru kamu angkatin, nanti malah jadi nyuci dua kali."

Letta mengangguk-angguk paham. "Aman, Ci! Tenang aja pokoknya."

Gretha berjalan menuju kamarnya sembari membawa keranjang cucian keringnya itu. Sebenarnya Gretha juga sama ada malasnya. Iya, dia agak malas melipat pakaian. Karena baginya itu ribet! Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, dia tetap harus melipat seluruh pakaiannya. Sebab, cewek itu tidak suka melihat kamarnya berantakan.

"Gre!" sahutan dari pintu yang tiba-tiba dibuka itu membuat Gretha langsung menoleh. "Ada bakso langganan kita itu! Mau beli nggak?" Rania menyengir sambil memberi tawaran tersebut.

Gretha agak menimang pilihannya. Tak berapa lama dia mengangguk. "Boleh, deh." Pakaian keringnya dia tinggalkan lalu beranjak keluar dari kamar. Karena sepertinya makan bakso lebih penting dari melipat pakaian miliknya.

"Yuk!" Rania berseru paling semangat.

Ternyata tukang bakso keliling langganan mereka sudah sibuk membuat pesanan yang lain. Tampak Farris, Devan, dan Naufal yang juga sedang mengantre untuk membeli bakso gerobak itu.

"Tumben maneh beli, Gre?" Farris yang menyadari kehadiran Gretha langsung bertanya.

"Biasanya beli, Ris. Kamunya aja yang jarang liat pas aku beli," ujar Gretha sambil menaruh mangkuk yang sudah dia bawa dari dalam rumah. "punyaku kayak biasa ya, Pak! Nggak pake mie kuning."

Kelimanya memutuskan untuk makan bersama di ruang tamu kosan cewek-cewek. Siang hari ini terasa terik sekali. Cuaca yang sangat pas untuk menikmati semangkuk bakso langganan.

"Duh, urang lupa, euy! Beli es dulu kali, ya?" Farris menawarkan. Karena makan bakso tanpa minum es terasa seperti ada yang kurang.

"Ngggak usah. Ada es batu sama sirup kok di kulkas." Gretha bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah dapur.

"Bantuin sana, Ris bawain gelas!" Rania menyuruh Farris begitu saja. Farris sigap langsung bangun dari duduknya dan menyusul Gretha ke dapur.

"Galak bener lo, Ran." Devan berkomentar sambil tertawa pelan.

"Kagak, ege. Biar dia ada gunanya," jedanya sambil fokus memotong bakso di mangkuk. "Kemarin katanya Letta ada cewek nangis-nangis di depan rumah. Siapa?"

Naufal menaikkan sebelah alisnya. "Kapan? Gue aja nggak tau."

"Emangnya iya? Kok gue nggak denger apa-apa?" Devan juga sama bertanya.

"Nggak tau gue juga. Emang lo pada nggak ada di rumah pas kemarin?"

Devan dan Naufal kompak menggeleng.

"Ceweknya Aldo kali?" tanya Devan asal-asalan.

"Aldo mana ada punya cewek. Baru sebulan pacaran yang ada malah ceweknya minta putus." Rania menyangkal. Hal yang sangat mustahil dilakukan Aldo adalah pacaran.

"Apa jangan-jangan mantannya si Farris?" Naufal menduga-duga. Dari yang Naufal dengar saat Farris menceritkan soal mantan pacarnya itu, kurang lebih yang Naufal tangkap adalah si mbak mantan ini masih tidak terima kalau hubungan mereka selesai.

Devan manggut-manggut setuju. "Atau bisa aja cewek yang baper gara-gara si Jazmi? Kan, pernah kejadian, tuh pas sore-sore ada cewek dateng terus nangis-nangis juga karena nggak terima ditolak sama si Jazmi?"

Rania yang mendengar nama Jazmi disebut-sebut mendadak salah tingkah sendiri. Berpura-pura tidak mau dengar, tapi ketika nama Jazmi disebut terasa nyantol sekali di telinga Rania.

"Iya, kali, ya." Rania menyahut sekenanya.

"Bukan mantan urang, anjir!" Farris tahu-tahu nongol sambil membawa teko berisi es sirup rasa jeruk itu.

"Ngomongin apa, sih emangnya?" Gretha yang baru duduk langsung ikutan bertanya.

"Lo tau kalo beberapa hari yang lalu ada cewek dateng ke sini, Gre?" Devan bertanya kepada Gretha untuk memastikan.

Gretha menggeleng. Seingatnya nggak ada cewek yang datang di minggu-minggu ini. "Nggak ada, deh. Emang kata siapa?"

"Katanya Letta ada yang dateng terus nangis di depan kosan anak-anak cowok." Rania kembali memastikan.

"Itu jam berapa? Atau nanti coba tanya Lia, deh. Siapa tau dia juga denger." Devan menyarankan.

"Iya kalo perempuan beneran. Kalo ternyata bukan gimana?" Naufal bertanya iseng. Siapa tahu apa yang dia katakan benar adanya.

Farris langsung menggeplak kepala belakang Naufal pelan. "Jangan nakut-nakutin, anjir! Masih siang ini!"

Devan terbahak. "Jangan-jangan iya lagi, Ris! Itu perempuan ngikut pulang pas lo abis balik dari kampus, kali."

Semuanya tertawa kecuali Farris. Bukan karena merasa tidak lucu, hanya saja Farris ini lumayan agak takut sama yang namanya hantu dan sejenisnya! Gimana kalau ternyata apa yang Naufal bilang itu benar? Nggak akan bisa dibayangkan kalau Farris mau tidur nanti.

Perasaan takut itu mulai menyelimuti dirinya.

***

Author notes :

kalo idenya lagi banyak, enak juga ya satset satset nulisnya.

Jadi, siapa yang diliat sama anak-anak kosan? Salah satu perempuan yang pernah Jazmi deketin, mantannya Farris atau perempuan jadi jadian??

Waduuuhhh.

Oke deh, see u. Semoga suka sama bagian ini, yaaa! ♥️


Yogyakarta, 21 Oktober 2023

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

4.2K 181 6
Her Ladyship Y/n ruled over a thriving village and owned a large estate for herself. For only a few months she had been fulfilling her role as a fair...
KALBE SAPLANAN OK Ebru द्वारा

किशोर उपन्यास

16.8M 649K 64
Bitmiş nefesi, biraz kırılgan sesi, Mavilikleri buz tutmuş, Elleri nasırlı, Gözleri gözlerime kenetli; "İyi ki girdin hayatıma." Diyor. Ellerim eller...
wlw oneshots 💋 morgan ‼️ द्वारा

किशोर उपन्यास

620K 2.4K 63
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!
620K 55.6K 35
𝙏𝙪𝙣𝙚 𝙠𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖 , 𝙈𝙖𝙧 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙢𝙞𝙩 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙃𝙤 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞...... ♡ 𝙏𝙀𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙀𝙒𝘼𝙉𝙄 ♡ Shashwat Rajva...