Story Written by You & The Su...

Por Yozora_MK

8.4K 967 1.6K

Berkisah tentang Johnny--dan Yuta yang senantiasa berdiri dalam pandangannya tapi tak mau memandang padanya m... Más

OPENING
01. View Stealer
02. Heart Stealer
03. To Get You
04. About You, About Me
05. That "Someone"
06. You Makes Me Feel
07. The Sense
08. Untouchable You
09. Rift
10. Bird in Cage
11. Fear
12. Never Been There
13. Will You Stay?
14. A Moment In Time
15. Till Sunrise
16. Reclaim
17. Make It Work
18. Happy Story?
19. Say The Word 🔞

20. Start Line (Last)

202 17 35
Por Yozora_MK

🌻 JohnYu 🌻

.

.

.

PLEASE READ!
Bagi kalian yg membaca chapter sebelumnya (ch.19) tidak lama sesudah diluncurkan, ada baiknya kalian baca ulang, karena sblm saya mempublikasikan chapter 20 ini, saya menambahkan sedikit scene tambahan di chapter 19. Silakan cek pembaruan terbarunya.
Terima kasih~
*deepbow*

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Semua berawal saat Jungwoo pertama kali muncul di tempat parkir universitas dan tak sengaja bertemu dengan Yuta dan Johnny.

Sesuai yang diperkirakan Johnny, Yuta memang tertarik dengan wajah manis Jungwoo, tapi itu bukan karena dia suka terhadap Jungwoo. Alasannya semata karena itu adalah pertama kalinya Yuta berinteraksi langsung dengan pemuda tersebut, dan dia sekedar memuji parasnya—karena ternyata Jungwoo jauh lebih rupawan jika dilihat dari dekat. Mungkin benar Jungwoo memenuhi kriteria sebagai tipe ideal Yuta, tapi pada saat itu Yuta betul-betul hanya sedang mengagumi. Sama sekali tak ada niatan baginya untuk mengenal lebih jauh apalagi mendekatinya.

Yuta tak mempermasalahkan kehadiran Jungwoo. Bagaimanapun, pemuda tersebut junior Johnny di klub voli sewaktu SMA. Bahkan, dia mungkin mengenal Johnny lebih lama daripada Yuta. Teman Johnny adalah temanku juga, itulah yang ada di kepala Yuta.

Akan tetapi, saat Jungwoo tak membalas senyumnya dan malah mengabaikannya dengan berpaling kepada Johnny, sesuatu terasa mengusik Yuta. Entah itu karena baru kali ini ada yang mengabaikannya secara terang-terangan di depan matanya, karena Jungwoo tak membalas senyumnya dan memilih memberikan perhatian kepada Johnny, atau justru karena Johnny juga memberikan interaksi yang sama ramahnya kepada Jungwoo.

Yuta tak tahu apa yang sebenarnya mengganggu dirinya kala itu.

Emosi yang dirasakan Yuta tidak seperti perasaan cemburu yang dulu dirasakannya ketika Lee Taeyong atau Dong Sicheng didekati orang lain. Yuta tidak yakin apakah ini juga perasaan cemburu.

Ada perasaan kesal, sedikit terkejut, tapi juga ada rasa takut. Emosi Yuta kala itu membuatnya bertanya-tanya. Dia tahu untuk beberapa waktu selanjutnya dirinya tak akan bisa mengabaikannya dan berpura-pura tak terganggu. Jadi dengan tujuan dirinya tak salah bersikap di depan Johnny, Yuta memutuskan untuk membatalkan rencana mereka pada hari itu.

“Aku mau langsung pergi latihan. Aku juga akan sibuk kerja paruh waktu sampai weekend.”

Demikian yang dikatakan Yuta.

Itu tidak bohong. Yuta memang langsung pergi ke akademi dan memulai pemanasan lebih awal. Karena, memang begitulah cara dirinya menenangkan pikiran, dia akan mencoba merenungi apa yang mengganggu pikirannya sambil berolahraga di lapangan.

Sayangnya, berlari dan menendang bola di lapangan pun tak berhasil membantu Yuta memecahkan pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Tak hanya sampai di sana, Yuta juga menyibukkan diri dengan bekerja lebih banyak dari biasanya, tapi ternyata itu pun tak kunjung membuatnya mendapat jawaban. Saat itulah dia semakin yakin bahwa memecahkan suatu masalah memang bukan keahliannya.

Yuta juga sempat meminta saran dari sahabat sekaligus teman serumahnya, Choi Seungcheol. Namun tak banyak yang didapatkan. Pemuda tersebut hanya memberi nasihat, “Kenapa tidak kau bicarakan saja ini dengan Johnny? Coba lihat reaksinya. Siapa tahu, mungkin kau akan tahu jawabannya.”

Agak tak membantu, tapi Yuta menerimanya. Kedengarannya memang layak dicoba.

Maka di hari yang sama, tak banyak memikirkan lagi Yuta menanyakan pada Johnny.

“Soal Jungwoo, aku memikirkannya ini berhari-hari. Kalau seandainya seseorang seperti dia muncul di antara kita, apa yang akan kau lakukan?”

Yuta ingin tahu apa jawaban Johnny. Apakah Johnny akan mengabaikan Jungwoo demi Yuta? Atau dia akan bersikap sama seperti saat mereka SMA?

Jauh di dalam hatinya, Yuta berharap bakal mendengar Johnny mengatakan bahwa dirinya tidak peduli. Johnny biasanya selalu begitu, bukan—menganggap eksistensi orang lain tak berarti ketika bersama Yuta? Dalam angannya Yuta membayangkan hal tersebut. Dia pikir itulah yang akan didapatinya. Mungkin dia terlalu berharap.

Johnny justru salah paham.

“Apa kau bertanya jadwal situasi ini mirip seperti saat Lee Taeyong dan Dong Sicheng masih ada bersamamu? Apakah itu yang kau pikirkan?”

Sialan, pikir Yuta. Kenapa Johnny malah tersinggung?

“Bukan begitu maksudku.”

Belum sempat Yuta menjelaskan maksudnya yang sesungguhnya, Johnny sudah lebih dulu berkata, “... aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi kalau kau tidak keberatan, aku tidak ingin membicarakan ini sekarang.”

Jawaban tersebut cukup mengecewakan. Akan tetapi, daripada merasa kecewa terhadap Johnny, Yuta lebih merasa sedih karena dirinya tak mampu membawa percakapan ini ke titik di mana benang kusut di kepalanya terurai. Hatinya terasa semakin berat setelah mendengar balasan Johnny.

Karena jawaban Johnny seperti sebuah peringatan bagi Yuta untuk melanjutkan lebih jauh, maka Yuta tak punya pilihan selain mundur.

“Maaf ...” Yuta berkata sambil menunduk.

Ketika momen selanjutnya Johnny memunggunginya, Yuta tahu bahwa Johnny betul-betul tak ingin membicarakan hal ini walau apapun alasannya—terutama saat ini. Mungkin bagi Johnny masalah ini terlalu sepele untuk dibahas. Yuta menyimpulkan bahwa, mungkin, memang dirinyalah yang terlalu membesar-besarkan perkara ini.

Sejak saat itu Yuta mencoba melupakan semua tentang Jungwoo dan segala perasaan yang mengganggunya. Daripada memikirkan apa yang menjadi penghambat antara dirinya dan Johnny, Yuta berusaha untuk lebih fokus terhadap bagaimana membuat hubungannya dengan Johnny menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Dia percaya Johnny pun juga demikian. Selama ini Johnny mengabaikan keberadaan orang lain di sekitar dirinya maupun Yuta dan benar-benar hanya memandang Yuta, kini giliran Yuta melakukan hal yang sama.

Jika Johnny bisa memusatkan seluruh dunianya kepada Yuta, kenapa Yuta tak bisa melakukannya juga?

Masalahnya, Yuta tidak memiliki kepercayaan diri sebesar Johnny. Dimulai dari sejak Johnny memutuskan untuk memperjuangkan Yuta, dirinya percaya akan mendapatkan Yuta suatu saat. Sedangkan Yuta, sampai detik ini dia belum yakin dirinya akan mampu membuat Johnny selamanya melihat padanya. Dia selalu menanamkan pikiran pada dirinya sendiri bahwa suatu saat Johnny yang juga manusia biasa pasti lambat laun akan bosan dan berpaling jika tak diberi balasan—sehingga pilihannya hanya dia membalas perasaan Johnny secepatnya atau bersiap kalau sewaktu-waktu Johnny berpaling pada seseorang yang lebih baik.

Dari awal keyakinan Yuta dan Johnny memang telah berbeda.

Momen itu kemudian tiba lebih cepat dari yang Yuta bayangkan, dan dia belum mempersiapkan diri untuk situasi tersebut.

Di hari itu, sambil duduk di atas motornya dan memegang ponsel yang menampilkan pesan dari Johnny, Yuta berpikir bahwa, inikah saatnya?

Tidak perlu datang. Aku masih harus bertemu dengan dosenku.

Itu yang dikatakan Johnny di pesan.

Johnny tidak sedang berbicara dengan dosennya, itu yang dilihat oleh mata kepala Yuta.

Johnny berbohong. Untuk apa? Dia melarang Yuta datang dengan alasan bahwa dirinya mesti bertemu dengan dosennya, tapi ternyata bohong. Untuk apa?

Apa alasannya?

Yuta tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri, tapi apa yang ada di hadapannya begitu sukar untuk diabaikan. Jawaban tersuguh tepat di depannya.

Semua itu karena Jungwoo.

Apakah juga demi Jungwoo?

Yuta tak mengerti. Karena tak mungkin mencari tahu jawabannya saat itu juga, maka Yuta berpura-pura termakan kebohongan Johnny. Dia tidak ingin muncul dan menangkap basah Johnny saat itu juga. Mungkin karena dia masih percaya bahwa Johnny punya alasannya sendiri. Atau, mungkin dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah.

Atau malah, mungkin Yuta sendiri juga takut jika seandainya dia muncul dan justru menemukan jawaban bahwa Johnny rupanya memang melakukan itu semua demi Jungwoo. Sebab, jika itu yang terjadi, maka situasinya akan kacau. Yuta tidak tahu bagaimana dia akan menyikapinya.

Apa yang harus dilakukannya jika benar itu yang terjadi?

Sudah pasti jawabannya bukan protes atau menghajar salah satu dari mereka. Yuta paling benci berselisih dengan orang terdekatnya.

Yuta pergi tak lama sesudah melihat Johnny berbicara dengan Jungwoo. Karena tak ada yang bisa dilakukannya di sana, maka dia mengirimkan balasan terakhir kepada Johnny sebelum kemudian menutup kembali kaca helm dan melajukan motor pergi.

Di pesan obrolan mereka, Yuta menuliskan,

Oke.

Kalau begitu tidak akan pergi.

Kau tidak perlu repot datang ke akademi. Biar aku yang mampir ke tempatmu sepulang latihan.

Tadinya itu bukan kebohongan.

Yuta memang berniat mampir ke tempat Johnny sepulang latihan dan sebelum pergi bekerja paruh waktu. Namun pada akhirnya niatan tersebut diurungkan begitu dirinya berdiri di depan pintu apartemen Johnny. Pemuda yang satu ini tak juga memencet bel dan malah berdiri di sana dengan pikiran bimbang.

Johnny pasti tak akan mau membicarakan apapun yang berhubungan dengan Jungwoo. Entah apa alasan Johnny, tapi Yuta tahu itulah yang akan terjadi. Dia juga tidak mungkin muncul di hadapan Johnny dengan kepala yang masih penuh dengan banyak pemikiran. Johnny kelewat jeli memperhatikannya sehingga pasti akan langsung tahu jika Yuta menyembunyikan sesuatu.

Lama berdiam di sana, Yuta akhirnya mengirimkan pesan kepada Johnny dan mengatakan bahwa dirinya tak akan datang. Pada waktu itu dia tak tahu bahwa di dalam, Johnny sedari tadi telah menanti-nanti kedatangannya dengan harap-harap cemas.

Yuta mengatakan dirinya mengambil lembur di awal, dan itu pun bukan sebuah kebohongan. Dia langsung pergi ke kafe tempatnya bekerja dan menambah jam kerjanya di awal. Hal yang tak biasa tapi membuat bosnya cukup senang kala itu.

. . .

Di akhir pekan, saat Yuta akhirnya pergi menemui Johnny, hal yang sama kembali terulang.

Yuta baru saja tiba di area universitas, belum menuju tempat parkir karena masih ingin mengirimkan pesan kepada Johnny terlebih dahulu. Menghentikan motor sejenak, Yuta membuka kaca helm dan mengeluarkan ponsel.

Kelasmu sudah selesai?

Sesudah pesan tersebut dikirim, tak sampai beberapa detik Johnny rupanya langsung membuka dan membacanya. Balasannya pun masuk dalam kurun waktu kurang dari semenit.

Baru saja selesai.

Aku akan pulang sekarang.

Yuta pun tak lantas pergi menuju tempat parkir dan justru memutar gas ke arah gedung fakultas Johnny. Sambil berkendara pelan dia menelepon Johnny. Begitu panggilan tersambung, Yuta yang baru sampai di sisi taman gedung lantas menghentikan motor lagi untuk menunggu jawaban. Sesaat berselang nada sambung menghilang, tapi suara Johnny tak menyambut. Panggilan terputus. Terdengarlah suara mesin operator menginformasikan bahwa nomor yang dituju Yuta tak bisa menerima panggilan, yang itu artinya teleponnya baru saja ditolak.

Yuta cukup terkejut sebab ini tak pernah terjadi sebelumnya. Johnny tak pernah menolak panggilan Yuta dengan sengaja.

Jadi Yuta berpikir positif bahwa mungkin Johnny tak sengaja melakukannya. Dia yakin Johnny akan menelepon balik sesudah ini. Karenanya dia kembali melajukan motor perlahan sambil tetap memegang ponselnya. Namun saat baru mengitari taman, lagi-lagi dia menginjak rem.

Di saat itulah Yuta melihat Johnny, di kejauhan bersama dengan teman-temannya.

Yang tak diduga Yuta di sana ada Jungwoo.

Panggilan Johnny yang ditunggu Yuta masih belum muncul di layar ponsel, tapi di sisi lain taman terlihat Johnny memegang ponselnya. Ini bukan ketidaksengajaan. Johnny betul-betul menolak telepon Yuta dan sama sekali tak berniat menghubungi balik.

Kali ini alasan apa lagi yang akan Johnny berikan untuk mencegah Yuta datang? Dia bahkan tak repot-repot membuat kebohongan lagi lewat pesan singkat kepada Yuta.

Tak seperti sebelumnya, untuk yang satu ini Yuta tak bisa memberikan toleransi. Sesudah mengantongi ponsel, Yuta melepas helm sambil mulai berderap menuju Johnny. Langkahnya semakin cepat tatkala dilihatnya Johnny menggandeng tangan Jungwoo. Pikirnya, apa-apaan bajingan itu?

Yuta tepat waktu. Dia menerobos di antara para mahasiswi dan berhasil meraih Johnny sebelum sempat berjalan bersama Jungwoo. Semua menoleh seketika, sedangkan Yuta sontak menghardik kepada Johnny, “Apa-apaan kau?!”

Pada saat itu Johnny terlihat sangat terkejut sampai-sampai melepaskan genggamannya pada Jungwoo detik itu juga. “Yuta?” Tatapannya pada Yuta menyiratkan panik, bingung serta nyaris tak percaya. Dia pun bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”

Pertanyaan itu terdengar konyol bagi Yuta—dan jelas bukan reaksi yang diinginkannya. Apa yang Yuta lakukan di sini? Itukah yang bisa dikatakan Johnny sekarang? Yuta tak percaya Johnny si jenius bisa juga jadi sebodoh ini. Selagi teman-teman Johnny beringsut menjauh perlahan, Yuta yang tak ingin membuat banyak keributan hanya bertanya, “Kau bilang kau akan pulang?”

Intonasi dari pertanyaan itu pun terkesan seperti sebuah dakwaan. Suaranya terdengar bengis. Tatapannya tajam berkesan menghakimi. Dari mereka semua yang ada di sana, memang belum ada satu pun yang pernah melihat kemarahan Yuta.

Namun, ini semua tak lebih dari kesalahpahaman belaka. Ini hanyalah miskomunikasi. Semua tahu dan paham betul akan hal tersebut—termasuk Yuta sekalipun, yang oleh sebab itu dia menginginkan kejelasan sekarang juga.

“Aku memang akan pulang,” Johnny berkata. Dia tak sedang berkelit. Itu sungguhan. Hanya saja, dia kemudian merasa tak yakin harus bagaimana menjelaskannya. Sebelum sempat otaknya bekerja, Yuta sudah kembali mencercanya dengan pertanyaan menghakimi.

“Kalau begitu apa yang sedang kau lakukan? Mau ke mana kau?” kata Yuta cepat.

“Aku—” Sesaat Johnny melirik Jungwoo. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa dirinya hanya ingin berbicara empat mata dengan Jungwoo, itu akan membuat Yuta semakin salah paham. Johnny ingin meluruskan permasalahan ini, tapi itu artinya dia mesti menjelaskan semuanya secara mendetail—termasuk dirinya yang berbohong pada Yuta sehingga menciptakan rumor "cinta segitiga" ini serta apa alasan yang mendasari semua tindakannya tersebut.

Jika Johnny mengatakan bahwa dia hanya tidak ingin Yuta dan Jungwoo bertemu sehingga membuat mereka saling suka, maka itu amatlah konyol. Yuta tak akan percaya dan mungkin malah akan menertawakan. Johnny sendiri bahkan tak percaya dirinya memiliki gagasan bodoh semacam itu.

Karena masih belum menemukan cara untuk menjelaskannya kepada Yuta, maka Johnny memutuskan bahwa pertama dia mesti meredakan amarah Yuta terlebih dahulu.

Johnny pun mengusap wajahnya dan berkata pada Yuta, “Ayo kita pulang dulu. Aku akan jelaskan semuanya.” Dia ganti meraih tangan Yuta dengan maksud untuk mengajaknya pergi.

Akan tetapi Yuta menepis tangan Johnny dan lebih memilih untuk tetap menggenggam lengan pemuda tersebut. “Aku tidak peduli kau akan mengulur sampai sejauh mana lagi, tapi aku harus membereskan ini di sini.”

Yuta ingin mendapatkan jawabannya sekarang.

Lalu, tanpa melepaskan genggamannya Yuta beralih menoleh kepada Jungwoo.

Jungwoo sempat meremang. Diam-diam dia menelan ludah dan dalam hati sudah ketar-ketir, bahkan meski sesaat berikutnya ekspresi Yuta telah agak melunak.

“Jungwoo, aku benar-benar minta maaf, tapi aku harus mengatakan ini,” kata Yuta pada Jungwoo. “Aku menghargaimu sebagai teman lama Johnny di klub, jadi bisakah kau tetap berada di tempatmu seperti itu? Kau sudah tahu, bukan? Johnny sekarang berkencan denganku. Meskipun aku dan Johnny belum pacaran, bukan berarti kau bisa mendekatinya sesukamu. Mengganggu hubungan orang itu juga ada batasannya.”

Sesaat sesudah rentetan kata-kata itu terucap dari mulut Yuta, Johnny di memandang Yuta dan tercekat. Dia merasa tersentuh. Rasanya seperti Yuta sedang bersikap posesif padanya, dan Yuta belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Johnny hampir-hampir dibuat jatuh cinta lagi dan lagi.

Bahkan meski di tengah kekacauan ini pun, hati Johnny masih sempat bertanya-tanya, apa Yuta benar-benar cemburu?

Waktu itu Jungwoo tampak terdiam, entah karena kagum seperti Johnny atau karena tertohok sehingga tak bisa membela diri. Setelah sejenak turut terhipnotis, pemuda yang satu itu akhirnya bersuara, “Ma-maaf kalau aku membuat Sunbae kesal ... tapi, aku sungguh tidak sedang berusaha mendekati Johnny Hyung.”

“Kalau begitu kau mau menjelaskannya padaku?” Yuta bertanya sambil menahan diri agar tak murka betulan. “Kenapa kau jadi sering menempeli Johnny di kampus sejak akhir-akhir ini? Kau tidak mungkin setiap hari mengunjungi ayahmu di tempat kerja, kan?” Pertanyaannya pun diselingi tudingan.

“Aku tidak menempeli Johnny Hyung,” Jungwoo masih bersikeras mengelak.

Johnny akhirnya turut berkata, “Jungwoo sama sekali tidak punya perasaan apa-apa padaku.”

Walaupun masih belum ingin mengungkapkan motif awalnya—yakni tak ingin Yuta terlalu sering bertemu dengan Jungwoo sehingga membuatnya tertarik—Johnny merasa perlu melakukan sesuatu agar perkara ini segera tuntas.

Yuta menoleh pada Johnny. Sekalipun ekspresi di wajahnya tak juga berubah, dia bersiap menyimak kalau-kalau Johnny akan menjelaskan sesuatu—atau paling tidak memberikan pembelaan lagi, entah jujur atau bohong.

Namun Jungwoo rupanya belum selesai membela diri. “Bukan Johnny Hyung,” anak lelaki tersebut tiba-tiba berkata.

Secara otomatis semua menoleh kembali pada Jungwoo. Tatapan yang diberikan pun tak ada yang tak terlihat bingung.

“Orang yang ingin kudekati bukan Johnny Hyung, tapi Yuta Sunbae.”

Seketika itu semua kian terdiam.

Raut marah di wajah Yuta pun tahu-tahu telah lenyap, tergantikan oleh ekspresi linglung. “Ha?” Dia merasa bodoh, seolah-olah otaknya mendadak gagal memproses.

Hal yang tak berbeda jauh juga dialami oleh teman-teman Johnny yang sedari tadi berdiam sebagai penonton—beserta Johnny itu sendiri.

“Eh?”

“Eh?”

“Hee?”

Salah seorang mahasiswi bahkan berbisik pada ketiga temannya yang masih merapat bersamanya. “Apa yang barusan anak itu katakan?”

Karena semua yang ada di sana terlihat tak percaya, maka Jungwoo sekali lagi memberikan pernyataan jelas, “Orang yang kusukai itu Yuta Sunbae.”

Begitu pengakuan keluar tiga kali dari mulut Jungwoo, secara ajaib ekspresi garang yang beberapa saat lalu ada di wajah Yuta kini terlihat di wajah Johnny. “Apa katamu?!” Pemuda jangkung tersebut sontak ganti memegang lengan Yuta dan menariknya mundur sehingga berada di belakang tubuhnya.

Yuta sempat dibuat terperanjat akan reaksi Johnny.

Sementara Jungwoo malah. mengatakan, “Kalau yang kusukai itu Johnny Hyung, aku pasti sudah mendekatinya dari dulu-dulu.”

“Bukannya kau juga sudah tahu aku dari dulu?” Yuta mengintip dari balik punggung lebar Johnny.

“Tapi kita tidak pernah berbicara langsung,” Jungwoo membalas. “Saat kita bertemu di tempat parkir waktu itu, aku baru tahu kalau Yuta Sunbae sangat manis.”

“Ha?” Yuta kembali dibuat bingung. Pertama, karena baru kali ini dia dipanggil manis oleh seseorang yang tak benar-benar dekat dengannya. Kedua, karena pemuda tersebut punya pemikiran sama seperti dirinya. Di saat pertama kali bertemu, Yuta juga berpikiran demikian tentang Jungwoo.

“Jadi,” kata Johnny menggugat, “alasanmu mendekatiku hanya agar kau bisa dekat dengan Yuta?”

Jungwoo mengangguk.

Percakapan tersebut memancing Yuta untuk kembali menanggapi. “Apa itu masuk akal?” dia menimpali sambil menunjuk-nunjuk ke arah Jungwoo, yang langsung dibalas oleh Jungwoo dengan argumen, “Kalau aku langsung meminta nomor dan alamatmu, pasti kau akan melihatku aneh karena kita tidak dekat.”

“Tidak, sejak pertama kita bertemu kau itu memang sudah aneh. Waktu itu kau tidak mau bicara denganku,” kata Yuta.

“Itu karena—” Jungwoo menggigit dan berdehem, “—aku gugup. Sunbae, kau sangat manis sampai rasanya aku mau mati.”

Melihat Jungwoo yang malu-malu selagi mengucapkan kata-kata yang memalukan, Yuta dan Johnny tak bisa untuk tidak mencibir bersamaan, “Apa-apaan?”

Yuta juga menambahkan, “Sudah kuduga kau itu benar-benar aneh.”

“Jadi itu sebabnya kau meminta nomor dan alamatku juga—agar kau bisa mencari-cari kesempatan?” Johnny bertanya lagi, dan Jungwoo pun sekali lagi mengangguk.

Sedangkan Yuta mengerutkan kening mendengar itu. “Apa itu?” dia berkata, lalu menarik bahu Johnny dan menatapnya dari samping. Nada suaranya kembali pula menanjak. “Oi, kau sejak awal sudah sadar Jungwoo mendekatimu?”

Sial, Johnny kelepasan bicara.

“Bukan itu intinya di sini!” Johnny segera membantah.

Johnny masih saja belum menemukan kata-kata yang pas untuk mengungkapkan bahwa, sejujurnya, dia memang menyadari gelagat Jungwoo, tapi sama sekali tak terpikirkan di kepalanya bahwa Jungwoo ingin mendekatinya. Dia sejak awal mewanti-wanti Jungwoo agar tak dekat dengan Yuta—tapi itu pun karena dia mengira Yuta bakal tertarik pada Jungwoo, bukan sebaliknya.

Yuta yang sejak awal memang salah paham lantas menonjok bahu Johnny sambil sekali lagi menuntut, “Kau tahu Jungwoo mendekatimu tapi kau membiarkannya dan malah menghindar dariku? Kau juga memberinya nomor telepon dan alamatmu? Apa sebenarnya maumu, Johnny?”

“Aku tidak memberinya alamatku, Yuta! Meskipun aku memberinya nomorku, aku juga tidak pernah berhubungan dengannya, kan? Kau tahu sendiri itu!”

“Mana aku tahu! Siapapun kalau jadi aku pasti akan salah paham. Bukan hanya Jungwoo, tapi kau juga aneh—kalian berdua sama-sama bersikap aneh!”

Melihat Johnny dan Yuta yang kini mulai bertengkar, keempat teman Johnny mulai tak tega menonton saja.

“Hei, hei, berhenti bertengkar.”

“Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”

Bahkan Jungwoo sekalipun terlihat ingin melerai meski ragu-ragu juga. Sebab, mereka takut kalau-kalau dua pemuda tersebut akan berkelahi sungguhan jika dibiarkan terus menerus. Johnny memang tak terlihat seperti orang yang mudah melayangkan pukulannya, apalagi terhadap seseorang yang dianggapnya penting, tapi Yuta—siapa tahu saja.

Untungnya, Yuta sendiri juga bukan orang yang suka melampiaskan emosi tanpa alasan. Jadi karena tahu dirinya tak akan mendapatkan penjelasan apa-apa saat ini, maka dia pikir memang tak ada gunanya memaksa Johnny bicara terus terang.

Yuta benci situasi ini. Dia benci bertengkar dengan dengan orang-orang terdekatnya.

Jadi Yuta pun mengambil satu langkah menjauh dari Johnny. “Ayo bicarakan ini nanti saja,” putusnya kemudian. Dia pikir ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

“Yuta,” Johnny sempat memanggil dan menggapai lengan Yuta. Dia ingin setidak-tidaknya mengatakan maaf, tapi pemuda tersebut melepaskan genggaman Johnny sembari berkata, “Aku akan menemuimu.”

Kedua kaki Yuta pun melangkah.

Baru beberapa meter berjalan, Jungwoo masih saja berulah dengan menyerukan, “Sunbae! Aku serius suka padamu!”

Langkah Yuta spontan terhenti mendengar teriakan Jungwoo. Pikir Yuta, apa lagi?

“Kim Jungwoo!” Johnny memperingatkan, tapi Jungwoo hanya menoleh padanya sebentar tanpa mau banyak menggubris.

Selagi Johnny dan kawan-kawannya menoleh dengan raut menggugat, Jungwoo mengabaikannya dan lebih memilih untuk menyampaikan kata-katanya kepada Yuta. “Selama kau belum jadi pacar Johnny Hyung, aku akan tetap suka padamu dan aku sudah memutuskannya! Aku akan mendekatimu juga!”

Kini Yuta memutar badannya. Raut wajahnya datar dan tak ada kata-kata yang diberikannya untuk membalas Jungwoo, seakan-akan dia memberikan kesempatan terakhir pada Jungwoo untuk menyelesaikan pengakuannya.

“Kalau kau suka anak yang manis, aku bisa jadi semanis yang kau mau! Kalau kau suka pria gentleman, aku juga bisa jadi lebih gentleman dari Johnny Hyung! Aku tidak masalah kau mau berada di atas atau di bawahku!”

Terdengarlah salah satu mahasiswi teman Johnny terbatuk gara-gara pidato Jungwoo membuatnya tersedak. Disusul pula Shinwon yang berkomentar, “Anak ini benar-benar tidak bisa membaca situasi.”

Samar-samar terdengar pula Yuta mendesis, “Dasar sialan.”

Sedangkan Johnny malah sudah terlihat makin berang dan hendak menghampiri Jungwoo, tapi kemudian dicegah oleh teman-temannya. Tentu tak ada yang ingin teman mereka tersebut memukuli putra semata wayang dosen mereka, bisa-bisa skandal ini jadi bertambah parah.

Lalu, Yuta mulai berjalan mendekat. Dada Jungwoo pun berdebar kencang dan semakin kencang lagi di tiap Yuta mengambil langkah padanya. Sementara Johnny di sisi lain mengeraskan rahang dengan perasaan tak tenang nan was-was.

Begitu berada di hadapan Jungwoo, Yuta tak berbasa-basi meraih kerah seragam pemuda tersebut sehingga membuat siapapun yang melihat menahan napas. Dengan tatapan membunuh nan tajam serta suara rendah mengintimidasi, Yuta mengecam, “Pergi dan jangan pernah lagi muncul di hadapanku sampai kapanpun.”

Jungwoo membeku seketika itu juga, persis seperti habis terkena serangan jantung.

Sesudah berkata-kata, Yuta melepaskan cengkeramannya pada Jungwoo dan kembali membalikkan badan. Kini dia melenggang dan tak pernah menoleh lagi. Selagi terus melangkah dengan pelan dia menyumpahi Jungwoo seorang diri, “Dasar bocah ingusan tidak tahu malu.”

Yuta kesal setengah mati kepada Jungwoo. Bukan hanya mengusik hubungannya dengan Johnny, tapi anak lelaki tersebut juga mempermalukan dan merendahkan Yuta di hadapan Johnny beserta teman-temannya.

Sambil naik ke atas motor dan mengenakan helm, Yuta masih pula menggerutu, “Sok sekali mau berada di atasku, padahal puber saja juga belum. Memangnya bisa apa anak kecil sepertinya?”

Pada saat itu Johnny rupanya berlari menyusul Yuta.

“Yuta!” Tanpa disadari Yuta, lelaki tersebut telah berada di tak jauh darinya. Saat ditoleh, Johnny berkata, “Maafkan aku.”

“Kenapa minta maaf?” Yuta membalas selagi memasang pengait helm dan menyalakan motor. Entah ini bentuk sarkasme atau sungguh-sungguh.

“Untuk semua yang terjadi hari ini dan kemarin-kemarin,” Johnny berkata.

Yuta tak segera melepaskan tangannya dari tuas kopling hanya untuk meluangkan waktu sejenak berbicara dengan Johnny. “Aku tidak marah padamu. Aku hanya tidak mengerti, kenapa kau tidak mengatakannya padaku tentang Jungwoo sejak awal? Minggu lalu aku sudah mengajakmu membicarakan ini, tapi kau menolaknya. Padahal kau sendiri yang mengatakan kalau ini bukan hanya hubungan satu pihak.”

“Aku ...” Johnny sempat ingin mengatakan seluruh pembelaannya, tapi kemudian dia menelannya kembali dan hanya mengucapkan, “Aku tidak punya pembelaan apa-apa lagi. Maaf, ini salahku.”

“Jangan minta maaf dengan mudah,” Yuta membalas, kedengarannya kesal.

Johnny tahu pemuda tersebut kecewa padanya. Dia pun mengaku, “Aku hanya menyadari—kalau Jungwoo benar-benar mengingatkanku pada Lee Taeyong dan Dong Sicheng. Aku merasa jika kali ini aku membiarkannya berada di sekitarmu terlalu lama, dia akan bisa merebutmu dariku seperti saat kau memilih Lee Taeyong dan Dong Sicheng daripada aku.”

Sekejap Yuta sempat diam sambil menatap Johnny. Ekspresi di wajahnya tak terbaca oleh Johnny karena tertutup helm full-face yang dikenakannya, tapi entah mengapa sesuatu dari sorot mata itu membuat Johnny merasa menyesal atas ucapannya.

“Kenapa kau tidak memberitahuku, Johnny?” Yuta kembali mempertanyakan. “Saat kau bilang kau tidak ingin membicarakannya, kukira kau sama sekali tidak memikirkan Jungwoo. Aku berusaha untuk tidak terus-terusan menanyakannya padamu karena aku kira hanya aku yang khawatir soal ini.”

Aku tidak ingin kehilanganmu sebelum memilikimu.

Jawaban itu terdengar lebih kekanakan.

“Aku merasa sangat bodoh,” Yuta berkata.

Johnny sejenak menunduk dan memejamkan mata. Mau tak mau dia mengakui bahwa pemikirannya tentang Yuta yang mungkin tertarik dengan Jungwoo memanglah bodoh. “Aku salah,” ujarnya, sebelum kemudian kembali menatap Yuta. “Aku hanya berpikir aku bisa mengatasi ini sendirian tanpa melibatkanmu. Maaf, aku tidak memikirkan perasaanmu.”

“Aku selalu percaya padamu, Johnny—bahkan saat aku sendiri merasa ragu, aku mencoba untuk tetap percaya—tapi saat ini, aku merasa kau tidak percaya padaku.”

Kata-kata tersebut membuat dada Johnny sesak. “Aku percaya padamu, Yuta,” Johnny berkata.

“Mungkin itu benar,” kata Yuta sembari memalingkan wajah dari Johnny, “tapi kalau kau seperti ini, bagaimana aku bisa tahu?”

“Yuta ...” Johnny ingin menggapai Yuta, tapi entah mengapa tangannya kemudian terhenti di udara.

Sedangkan Yuta kemudian menutup kaca helmnya karena merasa kedua matanya mulai berair. Sambil melepaskan tuas kopling dan memasukkan gigi, pemuda yang satu itu sempat mengatakan beberapa kata, “Aku sudah memilih untuk bersamamu, Johnny—kau harusnya percaya. Apa kau pikir aku orang yang semudah itu membuat komitmen?”

Akhirnya Yuta pergi tanpa memberikan kesempatan pada Johnny untuk berkata-kata lagi.

Tersisalah Johnny yang dicekam perasaan bersalah. Sambil menyisir surainya menggunakan jemari, dia menghela napas nan panjang dan menggeram.

Sementara itu di sisi Jungwoo, anak lelaki yang satu itu masih terpukul dan kini telah dikelilingi oleh teman-teman Johnny. Dari wajahnya, dia terlihat begitu syok. Tentu saja. Yuta adalah cinta pertamanya, dan diperlakukan sekejam itu oleh cinta pertama pastilah menjatuhkan mental Jungwoo. Namun, itu juga salahnya sendiri. Dia pun mendapatkan omelan dari kawan-kawan Johnny.

“Kenapa kau lakukan itu? Dasar bodoh.”

“Apa sih yang kau pikirkan?”

“Bisa-bisanya kau berkata seperti itu pada Yuta.”

“Kau harusnya tidak mengganggu hubungan orang.”

“Sudah, jangan menangis. Noona akan menghiburmu.”

. . .

Sore sesudah keributan hari itu, Johnny berpikir untuk mendatangi Yuta sendiri. Seharian ini Yuta tak lagi memberikan kabar, jadi meskipun Yuta telah mengatakan akan menemuinya, Johnny tidak tahu apakah pemuda tersebut akan mampir ke tempatnya hari ini.

Selagi matahari masih belum menyentuh ufuk barat, Johnny bergegas keluar. Dia mengunci pintu sambil menelepon sang ibu. “Mom, apa kau masih di rumah?”

Di seberang, Michelle menjawab, “Yes, Honey. Mommy baru akan keluar. Apa kau mau dibawakan sesuatu?”

“Tidak, jangan ke mana-mana. Biar aku yang ke rumah.”

“Eh, kenapa? Tumben sekali.”

“Aku ingin pinjam mobil. Apa Daddy sudah pulang?” Johnny bertanya selagi mengantongi kunci dan berjalan.

“Ayahmu sedang pergi ke London, tapi mobil ada di rumah. Kau mau ke mana?”

“Hanya menemui teman. Aku sudah dalam perjalanan,” Johnny menjawab. Dia mempercepat langkah kaki.

“Yuta?” Michelle menebak, yang sama sekali tak meleset.

Namun Johnny sedang tak ingin bermain tebak-tebakan dengan ibunya hari ini. Jadi dia hanya menjawab, “Pokoknya aku ingin meminjam mobil untuk hari ini dan besok.”

“Aah! I know. Kau ingin mengajak Yuta kencan.”

Johnny pun menggeram. “Mom, aku sedang tidak ingin bercanda.”

So I am,” Michelle berkata. “Yuta juga baru saja dari sini, kok. Makanya aku bilang aku tahu. Apa kalian punya rencana berdua untuk besok?”

Seketika itu kedua kaki Johnny terhenti. Dari sekian kata-kata sang ibu yang terdengar seperti gurauan, dia yakin satu yang bukan lelucon. “Yuta datang ke rumah? Kenapa?” dia bertanya-tanya. Pikirnya, tumben sekali? Untuk apa Yuta tiba-tiba mengunjungi rumahnya di saat dirinya tidak ada?

“Kalo soal itu, Mommy tidak bisa bilang. Aku sudah janji kepada Yuta untuk tidak memberitahumu—toh, kau pasti juga akan tahu sendiri nanti. Mommy hanya menebak kau mungkin ingin mengajak Yuta kencan sebagai balasan kencan kalian ke akuarium.”

“Eh, Mommy tahu aku dan Yuta pergi ke akuarium?” Johnny semakin dibuat keheranan.

Terdengarlah suara tawa sang ibu di seberang. “Tentu saja,” Michelle berkata. “Mommy mendengarnya langsung dari Yuta—dan lagi, Mommy yang menyarankan padanya untuk mengajakmu ke akuarium. Yuta tidak cerita?”

“Tunggu,” kata Johnny cepat. “Apa ini bukan pertama kalinya dia ke rumah sejak aku pindah?”

“Wow, Yuta benar-benar tidak menceritakannya padamu, ya?” tanya Michelle, hampir tertawa lagi. “Yuta sering datang ke sini. Makanya, meskipun kau dan Yuta tidak bilang apa-apa, Mommy tahu kok.”

“Tahu ...?” Johnny kehilangan kata-kata. Dia merasa kata "tahu" yang disebutkan sang ibu bukan hanya ditujukan untuk hal-hal kecil darinya atau Yuta, dan itu membuatnya tak tahu bagaimana mesti bersikap.

“Yuta beberapa kali berkunjung ke rumah dan dia pasti selalu bertanya tentangmu jika datang—Leo dan Theo juga senang bermain dengan Yuta. Jika kalian hanya berteman, tidak mungkin Yuta melakukan ini, kan?”

So ... Mom, about Yuta ...”

Johnny berpikir sang ibu mungkin akan memberinya nasihat atau beberapa saran yang bersifat larangan, tentang bagaimana selayaknya dua laki-laki berteman. Dia bahkan bersiap akan kemungkinan terburuk dan juga telah siap untuk berargumen.

Ternyata tidak. Ketika Johnny belum berkata-kata lagi, Michelle mengatakan, “It's okay, Honey. You don't have to feel ashamed. I got you.

So ...” kata Johnny hati-hati, “You didn't upset?”

Lagi-lagi Michelle tertawa. “Untuk apa?” katanya. “You're just simply falling in love. Apa kau pikir ibumu ini tidak pernah jatuh cinta? Kau pikir kenapa Mommy mau jauh-jauh pindah dan tinggal di Korea kalau bukan karena Mommy sangat mencintai ayahmu?”

“Tapi ... aku dan Yuta ... kami ....”

For me ... there's nothing wrong about love. Jadi, kau sama sekali tidak mengecewakan Mommy, okay? Kalau Yuta adalah orang yang bisa memberimu kebahagiaan, maka Mommy akan sangat senang melihat kalian berdua bahagia.”

Mom ... I don't know what to say,” Johnny berkata, lalu terkekeh dan menunduk sembari mengusap matanya yang hampir berair. Dia tidak ingin menangis saat ini, di tempatnya sekarang. Jadi dia hanya tersenyum dan berbisik, “Thank you.”

Michelle tertawa kecil. “Kau bilang ingin menemuimu temanmu, kan? Yuta mungkin sudah menunggumu.”

Kali ini Johnny ikut tertawa bersama sang ibu.

Setelah mengambil mobil di rumah, Johnny langsung pergi menuju tempat latihan Yuta. Sayangnya, meski telah bergegas, ternyata dia masih kurang cepat. Sesampainya di sana, salah seorang teman Yuta mengatakan bahwa anak lelaki berdarah Jepang tersebut baru saja pulang. Padahal Johnny cuma sedikit terlambat.

Maka Johnny kemudian menyusul ke kediaman Yuta.

Lagi-lagi, sesampainya di sana pun tak ada yang membukakan pintu walau Johnny berkali-kali memencet bel. Amat mengecewakan, tapi memang inilah yang kerap terjadi apabila pergi tanpa bertanya atau—setidak-tidaknya—mengkonfirmasi terlebih dahulu pada Yuta.

Johnny pun mencoba menelepon Yuta.

Tak berapa lama telepon langsung diangkat dan terdengar suara Yuta menjawab, “Johnny.”

“Kau dimana? Aku ada di apartemenmu, tapi tidak ada orang sama sekali di sini?”

Sejenak Yuta tak langsung menjawab.

Tentu saja tak ada orang di sana, sebab saat ini Yuta dan Seungcheol memang tengah berada di apartemen Jimin. Di tempatnya kini, dengan kedua sahabat yang juga berada di hadapannya, Yuta berkata kepada Johnny di telepon, “Iya, aku dan Seungcheol ada di tempat jimin.”

Sejenak Seungcheol mengerutkan kening sebab menyadari sesuatu. Dia pun bertanya, “Kau mabuk?”

“Tidak,” Yuta menjawab. “Aku hanya minum sedikit.”

Suara Yuta serak dan agak berat.

Johnny agak tak suka itu, tapi dia merasa tak berhak untuk memarahi atau melarang-larang. Ditambah lagi, Yuta minum-minum dengan kedua temannya dan bukannya pergi ke kelab malam atau semacamnya.

Hanya menghela napas, Johnny kemudian bertanya, “Bisa kita bertemu?”

“Sekarang?” Terdengar Yuta menggumam. Pada momen selanjutnya dia mengatakan, “Maaf, sekarang ini aku tidak bisa. Aku akan menemuimu besok.”

“Kau masih marah?”

“Sudah kubilang aku tidak marah.”

“Kalau begitu, apa kau belum memaafkanku?”

“Kau tidak butuh maaf dariku, Johnny. Aku hanya sedang tidak bisa bicara denganmu sekarang, maaf.”

“Apa yang kau—”

Belum selesai kalimat Johnny terucap sepenuhnya, sambungan telah lebih dulu terputus. Yuta menutup panggilan tanpa berpamitan.

“Sial.”

Sambil memasukkan ponsel ke saku, Johnny berbalik dan pergi, tapi bukan untuk pulang. Belum mau menyerah, dia berniat menyusul Yuta ke tempat tinggal Jimin.

Di waktu yang sama, Yuta baru saja meletakkan ponselnya kembali ke meja. Saat itulah Jimin yang duduk di sebelahnya bertanya, “Kenapa kau tidak mau menemuinya?”

“Besok saja,” Yuta menjawab, lalu kembali mengangkat kaleng bir yang sebelumnya sempat dia abaikan. Ini baru kaleng keduanya. “Kalau aku bicara dengannya sekarang, kami mungkin akan bertengkar.”

Seungcheol yang berada di sofa turut menyahut, “Aku mengerti kau tidak suka bertengkar dengannya, tapi lebih cepat kalian bicara lebih baik.”

“Kau tidak tahu, bicara dengan Johnny itu sulit. Aku benar-benar tidak mengerti dia,” Yuta mengeluh, lalu menenggak birnya lagi.

“Paling tidak coba saja,” kata Jimin, yang lantas diangguki oleh Seungcheol.

“Kalau dipikir, kalian memang baru kali ini bertengkar, kan?”

“Kami tidak bertengkar,” Yuta membantah. “Aku saja yang marah-marah padanya. Padahal kalau dipikir lagi, Johnny itu tidak salah. Kalaupun sekarang aku merasa kecewa padanya dan mengatakan apa yang aku mau, kesannya seperti aku ini egois sekali padanya.”

“Maksudku,” kata Seungcheol, “kalian belum pernah bertengkar. Kalau sekarang kalian bertengkar, itu wajar. Mana ada pasangan yang tidak pernah bertengkar.”

“Menurutku kau itu tidak egois,” kata Jimin. “Lagi pula, egois kepada pasangan itu bukan hal aneh. Aku dan Yoongi Hyung kadang begitu, tapi kami selalu membicarakannya baik-baik.”

“Pasangan memang begitu,” Seungcheol menambahkan di akhir.

Yuta kembali meminum birnya hingga habis. Sambil meraih kaleng bir yang masih baru, dia menggumam, “Pasangan, pasangan, pasangan. Aku dan Johnny bahkan bukan pasangan.”

“Apa kau merasa cemburu Johnny dekat dengan Jungwoo?” Jimin bertanya.

Sambil membuka tutup kaleng bir, Yuta menjawab, “Daripada cemburu, aku lebih merasa khawatir.”

“Kenapa?” Jimin dan Seungcheol bertanya bersamaan. Seungcheol akhirnya turun dari sofa sambil membawa kaleng bir di tangannya. Perhatiannya masih tertuju pada Yuta dan jawaban yang akan diberikan.

Yuta meminum birnya, lalu berkata, “Kalian pernah bilang kalau aku terus mengabaikan Johnny, suatu saat dia akan bertemu seseorang yang lebih baik dan menjalani hidupnya dengan bahagia tanpa mengingatku lagi. Rasanya seperti aku melihat langsung bayangan itu saat Johnny bersama Jungwoo—karena mereka benar-benar serasi.” Lalu di kembali menenggak bir sekali lagi.

“Itu bukannya cemburu, ya?” Jimin bertanya-tanya.

Yuta masih mengoceh, “Aku kesal, tapi bukan pada Johnny. Aku kesal karena—kalau dengan Jungwoo—aku merasa tidak bisa bersaing.”

“Tidak ada yang menyuruhmu bersaing dengan Jungwoo,” Seungcheol berkata. “Memangnya ini perlombaan?”

Yuta hanya meneguk bir, lagi dan lagi, sebelum kemudian bertopang dagu ke meja.

Hening. Percakapan tak berlanjut. Mungkin Yuta mulai merasa pusing sehingga berdiam sejenak. Jimin yang di sebelahnya mendadak buru-buru berkata, “Hei, hei, jangan menangis!”

Seketika itu Yuta menoleh. “Aku tidak menangis!” balasnya, sebab dia betul-betul diam hanya untuk memenangkan kepala.

Merasa bingung memberikan saran atau solusi, Seungcheol berseru memanggil satu orang lagi yang bersama mereka di rumah tersebut, “Min Sonsaeng-nim!”

Terdengarlah suara menimpali, “Tidak usah teriak. Aku tidak tuli.” Seorang pria berkacamata muncul dari sebuah ruangan dan berjalan menuju dapur sambil membawa cangkir.

Seungcheol masih saja berteriak-teriak, “Tolong beri nasihat pada murid Anda yang sedang patah hati ini!”

Yuta dan Jimin pun kompak melempari Seungcheol dengan kaleng bir yang telah kosong. Keduanya beranggapan bahwa Choi Seungcheol sudah mulai mabuk sehingga berteriak-teriak.

Tak lama berselang, Min Yoongi telah kembali dari dapur sesudah mengisi cangkir kopinya. Kini dia berhenti sambil memandang tiga pemuda di ruang tengah. “Pertama, aku bukan lagi guru kalian, jadi berhenti memberiku beban seperti kalian masih menjadi muridku. Kedua, tidakkah menurut kalian ini masih terlalu awal untuk minum-minum? Matahari bahkan belum tenggelam.”

Tiga pemuda itu menatap saja dengan tampang tanpa dosa, hingga sesaat selanjutnya Yuta membalas, “Ini juga masih terlalu sore untuk minum dua cangkir kopi, kan?”

Kata-kata Yuta membuat Yoongi menunduk melihat kopi di tangannya. Tak berkeinginan—atau mungkin memang tak bisa lagi—membalas, maka pria kecil yang satu itu hanya berdecak dan masuk kembali ke ruangannya.

Namun sesaat kemudian Yoongi muncul lagi di pintu dan memanggil, “Yuta.”

Semua menoleh, termasuk Yuta tentunya, dan Yoongi lantas berkata, “Jadi egois itu tidak selalu salah—tergantung situasi dan kondisi. Jangan takut mengambil risiko. Kalau kau merasa menemukan apa yang menjadi milikmu, kau boleh mengklaimnya.”

Setelah itu, Yoongi kembali masuk ke kamar. Entah Yuta mencerna betul-betul nasihatnya atau tidak.

Memasuki jam makan malam, Johnny akhirnya tiba di apartemen Jimin. Dia menelepon Yuta lagi sesudah sampai di lobi, tapi tak mendapat jawaban hingga panggilan yang ketiga. Selagi berada di lift dan berjalan di koridor, dia juga sempat berpikir untuk menghubungi Park Jimin atau Choi Seungcheol, tapi tak dilakukannya. Dia hanya mempercepat langkah kaki.

Hingga kini tibalah Johnny di depan pintu apartemen Jimin. Dia memencet bel, dan tak berapa lama pintu dibuka.

Sosok yang tak diduga membukakan pintu. “Oh, Johnny? Apa kau mencari Yuta?”

Sekejap Johnny menatap tak percaya dan terkejut. Dia mengangguk sebagai jawaban, tapi kemudian bertanya, “Min Sonsaeng-nim, kenapa Anda ada di sini?”

Sambil membukakan pintu Yoongi hanya membalas. “Mereka tidak memberitahumu, ya?”

Mereka? Memberitahu? Soal apa? Johnny sama sekali tidak paham.

Selagi Johnny melangkah masuk sambil menutup pintu dengan raut wajah yang kebingungan, Yoongi berkata, “Kau tidak perlu memanggilku sonsaeng-nim. Aku bukan lagi gurumu dan kita tidak sedang berada di sekolah.”

Itu yang aneh, pikir Johnny. Satu kali pun tidak pernah terlintas di benaknya bakal bertemu dengan sang guru sesudah lulus SMA di rumah temannya—dan bahkan diminta untuk tidak menggunakan panggilan formal. Pikirnya, apa yang sudah aku lewatkan?

Sementara itu Yoongi telah berjalan masuk sambil mengajak. “Yuta ada di dalam, tapi aku tidak yakin kau akan bisa menemuinya,” dia berkata.

Mengabaikan tanda tanya di kepalanya Johnny berjalan masuk dan lantas mengerti akan perkataan sang guru barusan. Di ruang tengah terlihat Yuta, Jimin dan Seungcheol yang duduk mengelilingi meja. Tampak kaleng-kaleng bir berserakan di meja. Pemandangan tersebut cukup tak mengenakkan bagi Johnny.

“Yuta, Johnny datang,” Yoongi memberitahu, sebelum kemudian menyuruh Jimin dan Seungcheol untuk mulai berberes.

Seungcheol dan Jimin bangkit dengan agak sempoyongan, lalu hanya mengangkat tangan untuk memberikan sapaan kepada Johnny. Mereka terlihat tak terkejut akan kehadiran tiba-tiba Johnny di sana.

Sedangkan Yuta yang kala itu duduk di lantai lantas mengangkat kepala. Dia terlihat lebih mabuk dari dua temannya, terbukti dari caranya menatap Johnny yang mesti menyipitkan mata untuk mengenali. “Kau,” katanya, “kenapa di sini?”

Johnny berjalan mendekat hingga berada tepat di depan Yuta. “Ayo pulang,” katanya.

Tak menanggapi Johnny, Yuta justru menunduk dan menghela napas. Tadinya dia tidak berharap bakal bertemu dengan Johnny malam ini juga, tadinya dia berencana mengulur waktu sampai besok. Namun sekarang Johnny telah berdiri di hadapannya.

Johnny yang merasa menginterupsi acara minum-minum tersebut sejenak menoleh kepada Seungcheol dan Jimin. “Tidak apa kan aku membawa Yuta pulang sekarang?” dia bertanya. Paling tidak dia perlu meyakinkan dua pemuda tersebut bahwa sahabat mereka berada di tangan yang bisa dipercaya.

Jimin dan Seungcheol pun bertukar pandangan. Entah mengapa mereka merasa seperti pasangan suami istri yang sedang dimintai izin oleh calon menantu. Dengan kikuk keduanya pun mengangguk. “Iya, tentu,” Seungcheol menjawab.

“Ayo,” Johnny kembali berkata pada Yuta.

Karena Johnny sudah telanjur datang, maka tidak mungkin bagi Yuta untuk mengabaikannya. Saat Johnny mengulurkan tangan padanya, tanpa banyak bicara dia meraihnya dan berdiri. Pijakannya goyah dan dia sempat terhuyung, tapi Johnny kemudian memeganginya.

Yuta rupanya lebih mabuk dari yang Johnny kira.

“Kau bisa membawanya pulang?” Yoongi bertanya selagi Johnny memapah Yuta.

Johnny mengangguk, tak ingin membuat Yoongi cemas. “Aku membawa mobil.”

Dan Yoongi memutuskan, “Aku akan membantumu sampai tempat parkir.”

Sesaat Johnny hendak mengatakan bahwa dirinya bisa melakukannya sendiri. Lagi pula, Yuta belum benar-benar tak sadar, dia masih bisa berjalan meski tak mampu berdiri tegak. Akan tetapi, Johnny merasa tak enak menolak. Ketika Yoongi tanpa diminta langsung menghampiri dan ikut memapah Yuta dari sisi lain, menolak bantuan tersebut pun menjadi terasa tak sopan bagi Johnny.

Beberapa lama selanjutnya, Johnny dan Yoongi telah berhasil mendudukkan Yuta di kursi sebelah kemudi. Setelah menutup pintu mobil, Johnny kemudian membungkukkan badan untuk menyampaikan terima kasihnya kepada Yoongi.

Pada saat itu Yoongi sejenak melihat ke arah Yuta yang tidur di dalam mobil. Begitu pandangannya berganti pada Johnny, dia berkata, “Kau tidak keberatan mengobrol denganku sebentar?”

Sekarang Johnny paham bahwa ada alasan lain bagi lelaki tersebut untuk berdiri di sini saat ini. Ada yang ingin dikatakan Yoongi kepada Johnny. Karena tak bisa memberikan banyak saran kepada Yuta di kesempatan sebelumnya, kini Yoongi berpikir untuk memberikan beberapa nasihatnya kepada Johnny.

“Aku dengar semuanya, tentang kalian dan apa yang terjadi hari ini,”  Yoongi berkata sembari berjalan menuju belakang mobil, sedikit menjauh dari tempat di mana Yuta berada.

Johnny turut mengayunkan kaki mengikuti sang guru. “Yuta ... menceritakannya pada Anda?” dia berkata, tak tahu reaksi apa lagi yang bisa diberikannya selain ini.

Yoongi menyandarkan dirinya ke kap bagasi mobil dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Aku tidak sengaja mendengarnya saja,” ujarnya.

Johnny belum mengerti apa tujuan gurunya tersebut mengatakan hal ini kepadanya.

“Kau ingat rumor tentang Yuta yang pernah menyebar saat kalian kelas tiga?”

Sesaat Johnny termangu mendengar pertanyaan tersebut. Dia bahkan tidak tahu mengapa dirinya harus terkejut. Seorang guru yang mendengar desas-desus di kalangan murid tentu bukan hal yang mengherankan. Hanya saja, entah sejauh mana pria tersebut tahu. Soal masa lalu Yuta saat SMP, Johnny sudah pernah mencari tahu sendiri, tapi memang belum mendengarnya langsung dari Yuta.

Meski tak tahu kenapa Yoongi menyinggung perkara tersebut dalam pembicaraan ini, Johnny mengangguk.

Yoongi lantas mengimbuhkan, “Yang itu aku bukan tak sengaja mendengar. Aku memang tahu—dan bukan hanya aku, tapi juga semua guru.”

Johnny pun bertanya, “Apa ... Anda juga tahu soal yang kejadian sebenarnya?”

Yoongi mengangguk. “Semua guru tahu soal ini sejak kepala sekolah menandatangani surat penerimaan Yuta sebagai siswa—bahkan, Yuta langsung mendapatkan konseling di sekolah sejak pertama kali pindah.”

“Kalau begitu ...”

“Kami tahu, tapi kami berusaha merahasiakannya dan berpura-pura tidak tahu demi Yuta,” kata Yoongi. “Intinya, kau mengerti, kan? Yuta punya trauma yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusia kalian.”

Johnny diam dan perlahan menunduk. Tentu dia tahu akan hal itu.

“Aku dengar kau sudah menyukai Yuta tidak lama setelah dia pindah. Itu artinya ini sudah hampir tiga tahun. Mungkin tidak adil jika sekarang kau masih disuruh bersabar lagi—tapi kau harus tahu, Yuta sebelumnya pernah mengecewakan dan dikecewakan oleh orang-orang yang disayanginya. Baginya, akan lebih mudah kalau dia menyukai seseorang secara sepihak—dengan begitu dia hanya perlu berurusan dengan perasaannya sendiri.”

“Apa itu alasan kenapa dia sulit menerima perasaan orang lain?”

“Kenapa kau pikir Yuta tidak memiliki perasaan yang sama denganmu?”

Kata-kata Yoongi membuat Johnny terkesiap. “Apa maksud Anda?”

“Yuta itu, meskipun kelihatannya penuh percaya diri, dia sebenarnya meragukan dirinya sendiri lebih dari siapapun. Dia selalu takut mengambil risiko—dan aku mengatakan ini bukan atas pendapat pribadi.”

“Yuta seperti itu?” Johnny bertanya.  Bukan dia tak mempercayai perkataan sang guru, tapi karena memang apa yang didengarnya sungguh terdengar mustahil. Selama ini dia mengenal Yuta sebagai sosok paling percaya diri yang pernah dikenalnya.

“Kau tidak percaya, kan?”

“Bukan begitu, hanya saja—maksudku—kupikir Yuta bukan orang seperti itu.”

“Siapapun pasti memiliki rasa tidak percaya diri,” Yoongi berkata.

Johnny masih diam termangu.

“Seungcheol bilang Yuta tidak berhasil mendapatkan posisi striker di tim saat SMA—bukan karena kemampuannya kurang, tapi karena dia kadang tidak berani mempertaruhkan hasilnya. Daripada membawa bola dengan kakinya sendiri sampai ke gawang, dia lebih suka mengopernya dan mempercayakan hasil pada rekan satu timnya. Dua anak yang pernah disukai Yuta di SMA dulu juga—dua-duanya tidak berakhir pacaran dengan Yuta bukan karena mereka tidak membalas perasaan Yuta, bukan?”

Sejenak Johnny menelaah dan mengingat kembali. Hingga dia mengatakan, “Kupikir itu karena mereka memang tidak bisa bersama.”

“Pasti ada jalan kalau diusahakan, bukan? Sama sepertimu yang bersikeras mendapatkan Yuta meskipun selalu ditolak.”

Agak tajam, tapi Johnny tak bisa menyangkal fakta yang ada dalam kata-kata tersebut.

“Yuta tidak mengejarnya sampai titik terakhir karena dia pikir memang tidak ada jalan lagi. Kau pasti juga tahu sifatnya—dia tipe orang yang selalu mengikuti arus dan tidak pernah memaksakan keadaan.” Tatapan Yoongi lurus menatap Johnny. “Dan saat ini,” imbuhnya, “dia mengikuti arus yang kau ciptakan. Dia berjalan di jalan yang buat untuknya. Dia berusaha mengikutimu, Johnny.”

Harusnya kata-kata itu sanggup menghibur Johnny. Semestinya Johnny senang dengan apa yang disampaikan padanya tentang Yuta. Namun untuk suatu alasan dadanya justru terasa sesak.

“Yuta bilang dia tidak mengerti dirimu, tapi setidaknya dia berusaha. Dia bilang kau takut kehilangannya—dan apa kau tahu kalau justru itulah yang membuatnya kecewa?”

“Eh?” Johnny tidak tahu, sama sekali.

Sekejap Johnny teringat akan kata-kata Yuta siang ini.

“... saat ini, aku merasa kau tidak percaya padaku.”

“Mungkin itu benar ... tapi kalau kau seperti ini, bagaimana aku bisa tahu?”

Baru sekarang saja Johnny mengerti. Kenapa dia begitu lambat menyadarinya? Yuta tidak kecewa karena Johnny menyembunyikan interaksinya dengan Jungwoo. Yuta kecewa karena Johnny merasa Jungwoo bisa merebut dirinya—karena Johnny merasa terancam oleh keberadaan Jungwoo, seakan-akan Yuta akan benar-benar berpaling kepada Jungwoo.

“Aku bisa mengerti kenapa kau takut kehilangan Yuta—tapi percayalah, Yuta lebih takut kau pergi darinya, Johnny. Karena, sejauh ini, hanya kau yang bisa membuat Yuta jadi seegois ini.”

Yoongi memang tak begitu dekat Yuta secara pribadi, tapi sebagai mantan wali kelas yang pernah menangani rekam konseling muridnya, setidaknya dia tahu bagaimana keadaan pemuda tersebut secara garis besar. Dia ingin mempercayai bahwa Johnny adalah satu-satunya orang yang mampu membawa Yuta melangkah jauh melewati batasan-batasan yang selama ini mengikatnya, membuatnya melihat dunia sekali lagi—selayaknya saat dulu Yuta masih bebas tanpa keraguan ataupun cemas dalam dirinya.

Rasa sakit di masa lalu membuat Yuta takut kehilangan. Karenanya dia akan lakukan apa saja untuk membuat orang-orang yang disayanginya tetap berada di sisinya—dan sudah tentu Johnny termasuk di dalamnya. Yuta tak akan berani melakukan sesuatu yang berisiko membuat Johnny pergi, tapi Yoongi ingin Yuta tahu bahwa segala sesuatu memang memiliki risiko.

Jadi egois itu tidak selalu salah—tergantung situasi dan kondisi.”

Kali ini, Yoongi ingin muridnya tersebut lebih berani menghadapi risiko.

Setelah percakapan tersebut, di dalam mobil Johnny mencoba merenungi semua perkataan Yoongi. Dia tak segera menyalakan mesin dan justru diam dia kursi kemudi. Sambil memandang Yuta yang tidur di sebelahnya, dia mengingat lagi semua yang dilakukan Yuta sejak pemuda tersebut memutuskan untuk memulai hubungan ini.

“Yuta beberapa kali berkunjung ke rumah dan dia pasti selalu bertanya tentangmu jika datang...”

Kata-kata sang ibu.

Juga kata-kata Yuta sendiri saat mereka pergi ke akuarium.

Meskipun hanya kau yang mencari tahu tentangku, tapi bukan berarti aku tidak tahu apa-apa saja yang kau sukai dan tidak kau sukai.”

Kini semuanya masuk akal. Yuta mencari tahu itu semua dengan bertanya langsung kepada ibu dan kedua saudara Johnny, bahkan soal jalan-jalan ke akuarium juga. Yuta melakukan itu semua—demi Johnny.

Johnny merasa emosional, tidak tahu mesti merasa senang atau sedih. Dia tersentuh dengan semua usaha Yuta, tapi di saat yang sama juga merasa bersalah karena—meski sudah mengetahui itu semua—dia masih saja meragukan Yuta. Dia terlalu fokus menunggu Yuta menyatakan cinta padanya sampai-sampai luput melihat bahwa perasaan Yuta padanya lebih dalam dari yang dia ketahui selama ini.

Dalam keheningan, Johnny diam-diam meraih tangan Yuta. Dia genggaman tangan itu dengan lembut sehingga tak mengganggu tidur Yuta. Dengan lirih dia berkata, “Maaf ... dan terima kasih.”

Johnny tersenyum, tapi tanpa dia sendiri sadari, air mata menggenang di pelupuk matanya dan perlahan jatuh.

Jika Yuta tahu ini, entah akan bagaimana reaksinya. Tertawa? Panik? Atau, merasa bersalah? Selama ini Johnny tak pernah menangis di hadapan Yuta, bukan?

Johnny tetap membiarkan Yuta tidur selama berkendara. Ketika akhirnya sampai di area parkir apartemennya, barulah dia membangunkan Yuta. Dia keluar duluan dan berjalan mengitar untuk membuka pintu penumpang, sambil membungkuk dia memanggil, “Yuta.”

Yuta bergeming, jadi Johnny menyentuh bahunya. “Yuta, bangun.”

Suara Johnny terdengar demikian halus dan akhirnya menjangkau Yuta dalam mimpi.

Perlahan Yuta membuka mata. Sejenak dia masih diam, lalu dengan pandangan yang sayu melihat ke sekitar perlahan-lahan. Dia bertanya-tanya di mana dirinya, hingga suara Johnny kembali menyapanya.

“Kita sudah sampai.”

Yuta memandang Johnny linglung, sempat tak ingat bagaimana dirinya yang minum-minum bersama kedua temannya bisa berakhir bersama Johnny. “Dimana?” dia pun bertanya.

“Tempatku,” Johnny menjawab. “Kau bisa berdiri?”

Johnny mengulurkan tangan kepada Yuta dan diterima tanpa banyak bertanya lagi. Yuta meraih tangan Johnny, tapi kemudian diam karena kepalanya terasa bertalu-talu.

“Kau baik-baik saja?” Johnny bertanya.

Yuta mengangguk, tapi belum juga beranjak.

Jadi Johnny akhirnya memutar badan lalu menekuk lutut ke lantai. “Ayo naik,” katanya.

Selagi Johnny menawarkan punggungnya, Yuta sempat diam sesaat. Jika ini situasi normal tentu dia akan menolak, atau paling tidak akan mengoceh tentang ini itu terlebih dahulu sebelum menerima bantuan tersebut. Saat ini, Yuta tak mengatakan apa-apa dan naik saja ke punggung Johnny.

Sesudah menutup pintu mobil, Johnny menggendong Yuta pergi.

Sepanjang perjalanan dari tempat parkir, lift, sampai berjalan di koridor dan membuka pintu, yuta tak mengatakan apa-apa dan sungguh hanya diam. Johnny bahkan mengira pemuda tersebut kembali tidur di punggungnya. Namun sesudah Johnny melepas sepatunya dan berjalan masuk menuju kamar, terdengar suara Yuta yang berucap lirih di telinganya, “Johnny ... maaf ....”

Sejenak Johnny sempat berhenti melangkah, tapi kemudian berjalan lagi sembari menimpali, “Tidak apa. Aku yang salah.”

Begitu memasuki kamar pun Yuta berkata lagi, “Maaf, aku marah ... tapi, sungguh ... aku tidak marah padamu, Johnny ....”

Johnny melirik Yuta, lalu perlahan menurunkan pemuda tersebut di tempat tidur. Yuta tak langsung membaringkan diri dan duduk sambil mendongak menatap Johnny. Lagi-lagi dia mengatakan, “Maaf ...”

Sesaat Johnny menghela napas selagi memandangi Yuta. Pemuda di hadapannya tersebut jelas masih mabuk. Wajahnya merah, tatapannya sayu dan suaranya lirih. Sudah pasti Johnny tidak bisa mengajak Yuta berbicara serius saat ini. Dia pun mengulurkan tangannya dan mengusap surai Yuta. “Yang harusnya minta maaf itu aku.”

Ketika Johnny berbalik, Yuta tiba-tiba meraih tangannya. “Jangan pergi ...” kata Yuta, lirih dan pelan. Padahal, Johnny hanya berniat mengambil segelas air untuk Yuta.

Sekejap Johnny kembali teringat ucapan Yoongi beberapa waktu lalu.

“... percayalah, Yuta lebih takut kau pergi darinya, Johnny.”

Johnny juga menyadari tangan Yuta bergetar saat menggenggamnya.

Jadi Johnny akhirnya berbalik kembali kepada Yuta. “Aku tidak akan ke mana-mana,” ujarnya. Dia juga membelai wajah Yuta agar pemuda tersebut tahu bahwa kata-katanya barusan bukan sekedar bualan belaka.

Pada saat itu Yuta sejenak tertunduk, sebelum kemudian menarik Johnny dan meraih tengkuknya perlahan. Johnny menumpukan satu lutut ke tempat tidur, lalu Yuta mulai menciumnya.

Selagi satu lengan Yuta melingkar di lehernya, Johnny yang merasa tubuhnya tertarik secara otomatis turut mendorong Yuta hingga ambruk. Kedua lengannya refleks menahan diri di kedua sisi Yuta agar dirinya tak jatuh menimpa tubuh di bawahnya tersebut. Ciuman Yuta kali ini terasa seperti alkohol, tapi entah mengapa tetap terasa demikian lembut dan berkesan manis seperti biasanya.

Ketika ciuman berakhir pun Yuta tak juga melepaskan Johnny. Dia masih menarik tubuh Johnny untuk lebih merapat. “Yuta, tunggu,” Johnny berkata, tapi tak begitu didengarkan oleh Yuta. Dia tahu Yuta masih sangat mabuk, jadi sekalipun sekarang dia juga ingin mendekap Yuta untuk dirinya sendiri, dia tetap ingin menyadarkan diri. Dia tidak ingin mencumbu Yuta yang sedang mabuk untuk kedua kalinya.

Namun Yuta kemudian mencium rahang tegas Johnny dan berkata teramat lirih. “Kau mau mencobanya?”

Johnny yang hendak melepaskan diri dari Yuta sejenak menoleh. “Apa yang kau bicarakan?”

“Pacaran,” Yuta berkata. “Ayo kita jadian.”

Maka mematunglah Johnny seketika itu juga. “Hah?” Perlu waktu sejenak baginya untuk bisa memahami betul perkataan Yuta. Barusan, Yuta mengajaknya pacaran. Benarkah itu?

“Apa kau serius?” Johnny bertanya.

Akan tetapi, Yuta tak kunjung menjawabnya hingga detik-detik berlalu.

Jadi Johnny mencoba memanggil. “Yuta?”

Hanya sunyi. Begitu Johnny mendorong dirinya untuk bangkit, perlahan-lahan lengan Yuta di lehernya jatuh terkulai. Dilihatnya Yuta di bawahnya telah kembali menutup mata. “Yuta,” dia memanggil lagi, tapi tetap tak ada respons. Hanya ada deru napas teratur Yuta yang mengalun lirih.

Johnny pun tertawa, sebab Yuta ternyata telah tertidur kembali.

Sesudah memberikan ciuman di pipi Yuta, Johnny kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh pemuda tersebut. Dia mesti bersabar lagi sampai besok pagi kalau ingin meminta penjelasan.

. . .

Pagi-pagi terdengar suara bel yang mengusik tidur Johnny dan membuatnya membuka mata lebih awal dari yang direncanakan. Mulanya dia berniat mengabaikan siapapun itu yang ada di depan pintu dan kembali tidur, tapi ternyata suara bel tak kunjung berhenti. Jadi mau tak mau dia membuka matanya lebih lebar lagi.

Jam masih menunjukkan pukul enam pagi saat Johnny mengecek. Terlalu pagi untuk menerima tamu.

Meski dengan malas-malasan dan agak sebal, Johnny memaksa dirinya untuk bangkit. Sejenak dia menengok ke samping, dilihatnya Yuta masih terlelap di sisi lain tempat tidur. Johnny merasakan iri secara irasional sebab Yuta bisa tetap pulas tanpa merasa terganggu oleh suara bel.

Karena bel masih berbunyi ribut-ribut, Johnny segera turun dari tempat tidur dan buru-buru berjalan menuju pintu—sebelum penghuni lain ikut merasa terganggu.

Ketika dibuka, Johnny disambut oleh seorang pria dengan mengenai topi serta seragam bertuliskan salah satu jasa pengiriman yang menyapa, “Selamat pagi, kami memiliki paket untuk Tuan Nakamoto Yuta.”

“Hah?” Johnny yang otaknya belum bekerja seratus persen terlihat kebingungan.

“Anda Tuan Nakamoto Yuta? Alamatnya benar di sini.” Si pria kurir pun ikut kebingungan melihat ekspresi Johnny dan sejenak kembali mengecek catatan pengiriman yang ada di tangannya. “Di sini tertulis dari Tuan Choi Seungcheol.”

Sedetik dua detik Johnny akhirnya sadar. “Tidak, bukan—maksudku, iya benar, ini alamatnya,” dia segera berkata. Bagaimanapun, Yuta memang berada di sini saat ini. Jika pengirimnya Choi Seungcheol, maka tak mengherankan dia bisa tahu di mana Yuta saat ini.

Sang kurir kemudian menyodorkan berkas kepada Johnny, “Kalau begitu silakan tanda tangan di sini.”

Johnny menandatanganinya tanpa bertanya-tanya. Selagi dia membubuhkan tanda tangan, pria di depannya juga berkata, “Maaf, ini harus dibayar oleh Anda.”

“Oh, iya—sebentar.” Sekali lagi, Johnny tak banyak bertanya dan kembali masuk untuk mengambil dompetnya.

Sesudah membayar biaya pengiriman, pria pengantar pun undur diri. “Terima kasih dan permisi!” Pria tersebut membungkukkan badan, lalu pergi.

Johnny kemudian menatap tiga buah kotak kardus yang kini ada di depan pintunya. Ukurannya tak terlalu besar, tapi tidak kecil juga. Sejenak memperhatikan, dia menyadari ada catatan kecil yang tertempel di salah satu kotak tersebut. Setelah dibaca, isinya berbunyi,

Kau meninggalkan ini di apartemen Jimin. Aku tidak mau repot-repot membawanya kembali ke rumah atau mengantar padamu, jadi aku menelepon kurir ekspres untuk mengirimnya langsung ke alamat Johnny.

Johnny bertanya-tanya apa isi dari semua kotak ini.

Dalam beberapa waktu berikutnya, Johnny telah memulai paginya dengan kegiatan memindahkan tiga kotak milik Yuta ke dalam rumah. Dia perlu membawanya satu persatu karena ukurannya yang tak kecil serta karena ternyata kotak-kotak itu lebih berat dari kelihatannya. Kini dia merasa agak kasihan kepadanya kurir yang mengantar paket tersebut, pria itu pasti sangat kerepotan membawa tiga kotak tersebut satu persatu dari tempat parkir sampai ke depan pintunya.

Sesudah kotak-kotak tersebut masuk, Johnny segera kembali ke dalam kamar. “Yuta!”

Johnny naik kembali ke tempat tidur dan menepuk-nepuk lengan Yuta untuk membangunkannya. “Yuta, bangun! Ada paket untukmu, dari Seungcheol.”

Yuta tak membuka matanya dan hanya menggumam, “Heumm...”

“Ayo bangun! Paket apa itu?” Johnny masih kembali menepuk-nepuk Yuta.

“Oh? Iya ... itu memang punyaku,” Yuta akhirnya menjawab dengan suaranya yang masih seperti orang tidur.

Johnny pun bertanya, “Apa isinya?”

“Itu ...” Yuta berkata, tapi kemudian tak berlanjut lagi.

Maka Johnny kemudian menggoyang-goyangkan tubuh Yuta. “Jangan tidur lagi! Bangun, Yuta!” dia memanggil dengan lebih keras.

Yuta yang tadinya setengah-setengah sadar akhirnya betul-betul bangun. Namun dia hanya beralih memunggungi Johnny dan menarik bantal untuk menutupi kepalanya. Suaranya pun teredam saat dia menggerutu, “Berisik, Johhny!”

“Kalau begitu jelaskan padaku,” kata Johnny sembari menarik bantal yang digunakan Yuta bersembunyi. “Tiga kotak sebesar itu, apa isinya? Apa yang kau beli? Kenapa kau mengirimkan paket sebanyak itu ke sini?”

Yuta kembali menggeram, terdengar sebal. Sambil sedikit menoleh dia menimpali, “Itu barang-barangku di apartemen. Aku memindahkan semuanya ke sini.”

Seketika itu Johnny menghentikan aksinya dan mengernyit. “Kenapa?”

Sambil kembali menutup mata Yuta menjawab saja, “Karena mulai hari ini aku akan tinggal di sini bersamamu. Kau senang?”

“Hah?”

“Jangan hanya 'hah', katakan kau senang, Johnny,” kata Yuta sambil berlagak merajuk.

“Kau serius?”

“Terserah padamu, tapi aku sudah minta izin pada ibumu—jadi kau suka atau tidak aku tidak peduli.”

Sejenak mengerjap dan memikirkannya baik-baik, Johnny tiba-tiba menarik kedua bahu Yuta untuk bangun dan menghadap padanya—saking kencangnya sampai membuat Yuta yang terkejut sontak membuka mata lebar-lebar. Kantuk Yuta kini hilang sepenuhnya.

Tak mengindahkan Yuta yang menatap terperangah, Johnny bertanya, “Apa ini ada hubungannya dengan yang kau katakan semalam?”

“Se-semalam?” Yuta bertanya-tanya. Tatapan Johnny membuatnya bergidik. Dia pikir pemuda tersebut marah sehingga kini dia mempertanyakan pada diri sendiri, adakah kesalahan yang sudah dilakukannya kepada Johnny selagi mabuk kemarin?

“Iya,” kata Johnny sambil mengangguk. “Yang kau katakan padaku kemarin.”

Yuta menelan ludah dan mencoba mengingat. Namun pada akhirnya dia masih saja bertanya, “Yang mana?”

Johnny begitu gemas karena mulai berpikir bahwa Yuta hanya pura-pura melupakannya. Jadi dia pun mengingatkan, “Kau bilang 'ayo kita jadian'—apa itu serius?”

Sekilas masa, ingatan Yuta tentang dirinya yang mengatakan kalimat tersebut akhirnya tergambar jelas di benaknya. Perlahan-lahan wajahnya mulai tampak merona. “Oh, soal itu?” Dia mencoba menyembunyikan rasa gugup serta malu dengan memandang ke arah lain dan menggaruk pelipis, tapi kelihatannya tak berhasil. Jawaban yang diberikannya singkat.

“Iya.”

Hanya satu kata.

Namun Yuta tak tahu betapa besar efek dari satu kata tersebut bagi Johnny.

Johnny tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengekspresikan rasa senangnya saat itu. Rasanya kata-kata saja tak cukup. Dengan raut amat bahagia dia lantas memeluk Yuta sehingga membuat pemuda tersebut terkejut untuk yang kedua kali.

Yuta sempat mengangkat tangannya, inginnya mendorong Johnny agar melepas pelukan, tapi tak pernah dilakukannya. Selagi dirinya dipeluk teramat erat, dia mendengar Johnny berkata, “Aku sangat senang.”

Rasanya Yuta enggan mengusik kebahagian tersebut. Jadi dia biarkan saja Johnny bertingkah semaunya.

Tak lama ketika Johnny akhirnya melepas pelukan, dia kembali memegang kedua bahu Yuta dan bertanya, “Jam berapa kau kerja hari ini? Kau kemarin tidak membawa motormu, kan? Jadi hari ini buat aku yang mengantarmu.”

“Itu tidak perlu,” Yuta berkata. “Karena kupikir aku masih perlu membereskan barang-barangku, jadi aku mengambil cuti hari ini.”

“Kalau begitu aku akan membantumu.”

Setelah berkata demikian, Johnny kemudian meninggalkan Yuta dan berjalan keluar kamar. Saat itu pun raut wajahnya masih memancarkan kegembiraan. Rasanya Yuta belum pernah melihat Johnny segembira itu. “Kita bisa melakukannya nanti, John!” Yuta berseru, tapi tak terdengar tanggapan dari Johnny. Barangkali lelaki tersebut tak mendengar.

Johnny tak lagi terdengar suaranya, tapi Yuta merasa masih bisa mendengar suara Johnny di kepalanya.

“Aku sangat senang.”

Bayangan wajah bahagia Johnny pun tak juga hilang. Yuta tak bisa menghapusnya dari dalam benaknya.

Senyum mulai muncul di wajah Yuta tanpa bisa ditahan. Semburat merah kembali menghiasi wajahnya juga. Jadi dia pun kembali menjatuhkan tubuh dan membenamkan wajah ke bantal. Semoga dengan begitu Johnny tak akan melihat wajah bodohnya ini saat kembali.

“Sialaaaan ...” terdengar Yuta mengumpat dengan suara terhalang bantal.

Yuta tidak tahu bagaimana dirinya akan bertahan dengan semua hal-hal manis tentang Johnny ini.

.

.

.

_Fin.

Yes! Beneran tamat akhirnya season 1, terhura akutuh

Ingat gak dulu aku pernah tanya kira2 siapa "you" yg ada dlm judul buku ini?

Aku kasih jawabannya sekarang.

"you" dalam judul Story Written by You & The Sun aslinya ditujukan kepada Yuta. Di summary cerita ini kan ditulis "Berkisah tentang Johnny--dan Yuta yang senantiasa berdiri dalam pandangannya tapi tak mau memandang padanya melalui jendela yang sama". Nah, cerita ini dimulai dari sudut pandang Johnny, dimana dia mulai suka sama Yuta di musim panas. Ini tentang Yuta dari pandangan Johnny, di mana dia merasa meski dia & Yuta ada di lingkungan yg sama, dia & Yuta rasanya memiliki pandangan yg berbeda.

Sun di sini ya beneran matahari. Emang bener di mata Johnny, Yuta itu cerah ibarat matahari. Tapi karena kisah ini dimulai di musim panas, makanya diibaratkan ini kisah yg ditulis oleh Yuta & matahari, ini kisah tentang Yuta di hidup Johnny yg dimulai dari musim panas.

Agak belibet, tapi gitulah intinya.

Makasih banyak buat kalian yg ikutin cerita ini dari mulai diluncurkan sampai sejauh ini, juga yg ikutin Yuta & Johnny dari mulai blm dipasangkan di Unlimited. Makasih juga terkhusus buat kalian yg kasih apresiasi & dukungan sampai di titik ini.

See you di season 2!! :D

Seguir leyendo

También te gustarán

4.7K 742 5
Suka sama sahabat sendiri itu memang sulit. Apalagi kalau sahabatnya seperti Jiandra, sudah tidak peka, gengsian pula. Itu kata Satria. Jatuh cinta s...
767K 77.7K 54
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
975K 59.3K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
919K 40.4K 97
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...