Melankolia

By NoonaTNC

673 115 6

Melankolia (dari istilah bahasa Yunani μελαγχολία - "kesedihan", secara harfiah empedu hitam), dalam pengguna... More

2. Sekotak Senja
3. Sekotak Prasangka
4. Sekotak Pertanyaan

1. Sekotak Hujan dan Jemima

316 36 5
By NoonaTNC


...



~It's the
Connection
We can't explain~








'Di dunia tipu-tipu, kamu tempat aku bertumpu' Radio pagi nyaring berbunyi, volumenya kian naik bersama suara fals yang coba ikut bersenandung bersama lagu milik Yura Yunita.


Kamar bercorak cream dengan hiasan dipenuhi Lego, penghuninya menggeram kesal sebab jam masih pukul lima namun rumahnya sudah riuh banyak bebunyian. Ingin coba tak perduli tapi rasanya mimpi sudah tidak bisa ia jemput, maka ia lekas bangkit dari ranjang, tarik handuk di atas kursi lalu lekas keluar kamar.


Pemandangan setiap pagi yang ia kesal kan namun tak bosan ia melihatnya, ayah dan bundanya sepasang suami istri yang sudah tak lagi muda namun jiwa muda dan menggeloranya masih penuh. Setiap pagi selalu dua orang itu habiskan bernyanyi-nyanyi kecil sambil diikuti gerakan dansa yang mungkin sudah biasa mereka lakukan sejak mereka muda dulu pun ditemani lagu milik Yura yang sepertinya tengah populer sebab sering sekali ia dengar lagu itu.


"Dek, kok bangun nya pagi sih?"



"Gimana nggak bangun sih Bun, kalau kalian mesra-mesraan sambil nyanyi-nyanyi gitu dengan suara keras?" Jeno Jericho, ia anak bungsu dari keluarga harmonis yang tidak kaya raya tapi juga tidak miskin, usianya menginjak dua puluh tahun, semester lima, jurusan komputer, Indek Prestasi semester kemarin tidak mencapai angka tiga.

"Sudah deh. Biarin aja kita. Ayah lagi nabung kangen nih sebelum berangkat tugas" Sepasang pasutri tersebut kembali teruskan tarian era antara sembilan puluhan atau dua ribuan awal.


Jeno menggeleng coba lumrah, kedua orangtuanya memang demikian apalagi mendekati tanggal ayah harus berangkat tugas di Bandung, maklum tentara yang sebentar lagi menjelang masa pensiun tapi masih senang berada diantara kawan dan kecintaannya pada dunia tentara.











Jeno paksakan mandi meskipun kelasnya nanti siang, ia paksakan tubuh dan organnya terbangun lewat guyuran air dingin. Nanti ia harus antarakan ayah ke tempat kawannya, mobil milik ayah di pakai si sulung (kakak Jeno) yang sedang sibuk penelitian untuk tugas akhir. Ngomong-ngomong, biar ayah ini tentara beliau tidak memberatkan anaknya untuk teruskan sebagai tentara, ya walaupun awalannya kecewa sih,


Ketika keluar dari kamar mandi sambil menggigil peluk handuk, aroma sayur kangkung dan ayam goreng menyeruak indra penciumannya "Menu ayah terus bund?" Tanyanya, selama ayah libur lauk tak jauh-jauh dari kangkung dan ayam goreng hanya sambalnya saja yang berbeda-beda setiap hari.


"Biar lah, kamu kan bisa tiap hari request sama bunda, ayah kan jarang. Jadi ngalah dikit lah sama ayahmu" Bunda dengan telaten susun meja makan, piring untuk Daniel juga di tata, padahal si pemilik bangkunya sedang tidak di rumah.


"Cepet deh pakai bajumu terus makan. Atau mau telanjang gitu sarapannya?" Tanya ayah yang bahkan sudah rapi, entah kapan beliau masuk ke kamar mandi belakang lalu bersiap lebih dulu daripada dia.


"Iya" Jeno mengangguk singkat lalu berlari menuju kamarnya,



Tak lama ia kembali, duduk di meja makan sambil mengantri disiapkan makan oleh bunda. Sesaat ia tatap kedua orangtuanya, menatap seisi rumah sampai pada sosok bi Marni yang mulai sibuk menata peralatan masak di dapur. Sejujurnya, ia penasaran mengapa ia hidup biasa saja. Maksudnya, iya dia tidak berada di bawah garis kemiskinan, ia bisa sekolah di tempat bagus, mengenyam bangku kuliah, mendapat kendaraan pribadi. Tapi, dibandingkan orang lain, harusnya ia kaya kan? Ayahnya tentara senior,


Apa ayahnya tidak korupsi? Sampai ia harus hidup bisa saja begini? Ia kenal banyak anak-anak jendral entah dari angkatan mana, tapi kalau dibandingkan dengan dia sih rasanya bagai bumi dan langit.


"Nanti antar ke rumah Om Tino saja lah dek" Ujar ayah tiba-tiba buat lamunan Jeno terhenti.


"Kenapa nggak sekalian aja yah?"


"Ada barang-barang ayah di sana. Sudahlah toh jauh juga kalau kamu harus putar balik ke kampus, nanti ngeluh capek terus mau bolos lagi" Jeno tertawa, dibandingkan kakaknya ia memang lebih senang berjalan tak tentu arah, belum temukan jalan hidup yang pas katanya.












Kehidupan kampusnya normal. Sebagai anak semester lima, banyak tugas tapi juga banyak waktu untuk sekedar nongkrong, banyak penjelasan dosen yang tidak masuk di kepala tapi Jeno tetap hadir kelas dan duduk di bawah AC bangku belakang agar tidak jadi sasaran dosen kalau ada pertanyaan.


"Kelas Pak Muh di ganti Sabtu" Jeno sudah lari terengah-engah menuju lantai tiga sebab dia kira telat tapi sosok ketua kelasnya menyambut di muka pintu "Kelas selanjutnya masih nanti setelah jam dua"



"Hah?" Jeno raih kursi dan dudukkan dirinya di sana "Kok lu nggak ngab-


-Gunanya smartphone itu ya memudahkan hidup, makanya jagan di mode pesawat"


"Nggak gue mode pes- Oh? Okay?"


"Woy!!!" Keduanya menoleh lalu temukan sosok Dino di ambang pintu, terengah-engah sama persis seperti Jeno tadi "Gila, anjing banget!" Keluhannya lalu duduk samping Jeno, tak lama sosok ketua kelas pergi melenggang begitu saja.


"Gue kira gedung tiga, ternyata lantai tiga gedung lima?" Keluh anak tersebut sambil mengambil buku dalam ranselnya untuk ia gunakan sebagai kipas, padahal AC kelas juga menyala "Dan anjing banget ternyata kelas kosong??"


"Ke kos Lo aja, kelasnya masih nanti siang" Jeno beranjak, kakinya melenggang lebih dulu bahkan tanpa tanggapan setuju dari pemilik kos yang akan ia datangi.


"Semalem Lo turun lagi?" Tanya Jeno. Awalnya ia kaget dengan kehidupan anak universitas yang berbanding terbalik dengan kehidupannya selama sekolah menengah atas dulu.



"Yoi, lumayan lima juta nih di kantong"


"Bersih?"


"Bersihnya tiga doang. Kepotong pajak tai kucing" Keduanya lantas tertawa sambil turuni tangga. Tawanya kencang sampai buat beberapa mata tertuju padanya, tapi keduanya mana perduli?


Bahkan ketika jalanan menuju basement parkiran nampak menyipak air yang tandanya jalanan di luar sana "Jericho!" Teriakan melengking memekakkan telinga baik Jeno maupun Dino.


"Alsa?" Keduanya menoleh kearah anak berpenampilan rapih lengkap dengan jas almamater "Nggak kelas Lo?"


"Enggak. Hari ini emang nggak ada jadwal. Ngampus cuma ada keperluan sama organisasi aja" Jelas Haechan lalu ia berdiri diantara Jeno dan Dino cari kehangatan sebab hawa hujan menempel di jas almamaternya.


"Kalian nggak kelas emang?"



"Kosong, nih mau ke kos gue. Ngikut lu?" Tawar Dino. Ketiganya tidak sedekat itu untuk dikatakan akrab, namun setidaknya ada Jeno yang selalu jadi benang merah antara mereka. Jeno teman Dino dan Jeno teman Haechan sejak zaman sekolah dasar.



"Boleh?"



Setelah Dino mengangguk, ketiganya lantas berjalan menuju motor masing-masing, hujan hanya rintik kecil toh kos milik Dino tidak jauh jadi tidak masalah kalau harus menerobos hujan kan?



"Eh bentar!" Ketika Jeno coba cari kunci motornya, ia malah dapati kalau ponselnya tidak ada di saku. Teringat ketika tadi berbincang dengan ketua kelas ia keluarkan ponsel untuk menghidupkan data "Hp gue ketinggalan, duluan deh. Takut keburu ilang hp gue!" Jeno lantas berlari tak perduli apakah dua kawannya setuju atau tidak.












Jeno kembali ke kelas, menemukan ponselnya baru saja akan di ambil satpam saat akan mengunci kelas "Punya saya pak!" Jeno lekas hampiri satpam tersebut buat beliau menghela nafasnya.


"Sepuluh kali lah mas kalau lupa. Biar saya bisa jualin ke konter depan" Bukan kali pertama, sudah berulang kali Jeno tinggalkan ponsel di kelas dan sudah berkali-kali pula satpam yang sama pula yang temukan.



"Makasih pak" Jeno bungkukkan badannya singkat sebagai tanda terimakasih lalu lekas pergi, kedua temannya pasti sudah menunggunya.


Namun, malang tak dapat di tolong. Ketika tangga terkahir ia pijak seseorang berjalan begitu cepat buat ia tidak bisa jaga keseimbangannya, ponsel jatuh ke lantai suara jatuhnya bahkan renyah terdengar telinga namun sosok yang menabraknya malah sudah pergi entah kemana dan hanya tinggalkan selebaran kertas yang beruntungnya berisi nama, Nim, dan kelas anak tersebut.




"Anjing!" Kesalnya ketika lihat garis retak baru tertera ditas layar ponselnya, kemudian ia kembali melangkah menuju parkiran namun dapat ia lihat hujan turun begitu lebat buat ia malah cari kursi di depan gedungnya sambil tunggu hujan reda dan nikmati wifi kampus yang agak tersendat-sendat.







Aroma tanah menguar begitu pekat ketika hujan mulai reda meskipun masih sisakan gerimis, baterai ponsel milik Jeno sudah sentuh angka sepuluh dengan kondisi yang panas sebab ia gunakan untuk bunuh waktu selama hampir satu jam.

Pada akhirnya Jeno putuskan untuk susul Haechan dan Dino karena mereka sudah ribut menelfonnya berkali-kali.



Ketika motornya sudah sampai pada gerbang, ketika ia memilih tempat makan mana yang akan ia tuju untuk belikan makan siang untuk Haechan dan Yuya, ketika itu pula sebuah bayang curi perhatiannya.


Kalau tidak salah ingat dari pakaian, itu adalah anak yang sama seperti yang menabraknya tadi. Tengah duduk di halte yang sudah bocor hingga buat bangku ikut basah oleh sisa hujan tadi. Tadi rasanya ingin marah-marah dan minta ganti rugi perihal ponselnya, tapi melihat bahasa tubuh anak tersebut Jeno menjadi urung.



Motornya belok ke arah halte tersebut lalu berhenti tepat di depannya,

Hujan!" Jeno turun dengan membawa serta payung biru ditangannya, semoga bunda tidak marah. Anak tersebut mendongak menatap birunya payung yang begitu kontras dengan langit yang menggulung hitam "Hujan!" Ujarnya sedikit berteriak karena hujan begitu riuh.



"Iya" Jawab anak tersebut sambil mengangguk lalu kembali tatap tanah seperti di sana ada hal yang lebih indah entah apa.


"Jadi kenapa sekarang masih di sini?"


"Nggak kenapa-napa"



"Hujan, dingin. Suasana ini terlalu sayang kalau lo habiskan dengan dunia lo yang kayaknya pelik?"



"Indomie goreng, Indomie ayam bawang kayaknya lebih cocok buat kondisi begini. Atau lebih senang di sini? Dengan dunia lo? Dengan pandangan aneh orang-orang?"


"Memang gue aneh" Ucap anak tersebut acuh tak acuh lalu kembali tatap ujung sepatu entah mengobrol apa dengan sepatu tersebut, kehadiran Jeno sepertinya benar-benar menganggu.



"Jemima?"


"Jaemin Jemima Lintang Odessa kan?"

"Iya, kenapa?" Kepala itu mendogak, bukan terlihat tidak suka atau kaget karena Jeno tau namanya, tapi lebih kepada reaksi sebal karena di ganggu.


"Semester tiga kan? Anak ekonomi? Gue senio-


Sosok Jaemin bangkit begitu cepat dari kursi, titik-titik air masih tersisa di wajahnya seperti anak itu memang sengaja biarkan hujan basahi tubuhnya dari tadi.



Jaemin bangkit lalu mendekat ke arah Jeno, ketika wajahnya sudah begitu dekat Jaemin lantas tolehkan kepalanya ke segala sisi yang mampu matanya lihat "Senior?"



Jeno mengangguk kaku sebab wajah Jaemin begitu dekat di depan wajahnya, hanya beberapa centimeter jaraknya bahkan deru nafas Jaemin bisa Jeno dengar dan rasakan.


"Jadi, Lo dapat taruhan berapa kalau bisa deketin gue?" Seketika itu pula Jeno jauhkan tubuhnya.



"Hah?" Jeno tatap sosok di depannya, apa Jaemin ini anak populer di angkatannya? Jadi primadona? Kalimat yang keluar dari mulut Jaemin seakan-akan ini bukan kali pertama terjadi.



"Kalau uangnya banyak, gue bisa pikirin dulu. Tapi nanti gue juga minta bagian" Anak tersebut tak berikan ekspresi yang bisa Jeno baca, tidak pongah, tidak marah, tidak pula terlihat senang, jadi hanya kerutan di kening yang bisa jadikan jawaban.


"Jemima!" Keduanya sontak menoleh pada mobil Range Rover yang berhenti tak jauh dari posisi keduanya. Kepala seseorang menyumbul dari sana, rambut sedikit beruban dengan kacamata hitam, oh ayahnya pikir Jeno sebab Jaemin lekas beranjak pergi tinggalkan posisinya.


"Anak orang kaya ternyata" Ujar Jeno ketika tubuh Jaemin masuk ke dalam mobil, ia lekas bergegas naik ke motor untuk temui kedua kawannya, sepertinya dia punya obrolan asik tentang anak yang baru ditemuinya ini, lebih-lebih lagi Jeno lupa kembalikan kertas milik Jaemin.














Hai, aku dengan tidak tau malunya up cerita baru padahal Butterfly masih terbengkalai. Maaf ya, soalnya Butterfly tuh bikin aku agak 'tertekan' jadi dari beberapa waktu lalu aku malah asik nulis cerita ini (baru ada 14 chapter sih) hehe

Jadi untuk "sementara" aku putuskan buat berhenti dulu nulis butterfly (semoga)

Semoga kalian bisa nikmati cerita ini. Makasih 🫶

Continue Reading

You'll Also Like

166K 14.2K 25
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...
76.3K 7.6K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
458K 8.5K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
44.4K 6.1K 37
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...