Pacaran [TAMAT]

By Lulathana

254K 38K 3.3K

Dari kecil Bella itu sangat suka bela diri, berbagai jenis dia pelajari. Namun, karena tragedi ditolak cinta... More

Pacaran
...
1. Drama
2. Tawuran
3. Takdir yang Tak Diinginkan
4. Cowok Seblak
5. Dia Kembali
6. Rumination
7. Semangat
8. Sandera
9. Percaya Diri
10. MTNI
11. Keluarga
12. Kedua Kalinya
13. Bengkel Bang Jo
14. Banyak Sisi
15. Malming
16. Drama
17. Pertemuan
18. Teman Billa
19. Teman Billa (2)
20. Tanda
21. Cantik dan Anggun
22. Jola
23. Serangan Tak Terduga
24. Rumah Gavin
25. Kanapa?
26. Sakit
27. Sakit (2)
28. Bimbang
29. Penculikan
30. Tidak Ingin
31. Bazar
32. Photobox
33. Sosok yang Sama
34. Dia Sebenarnya
36. Tidak Sungkan
37. Myth
38. Melarikan Diri
39. Optimis
40. Dua Arah
41. Terungkap
uwu
42. Mulai Membaik(?)
43. Konsekuensi
44. Garis Memulai
45. Tembok Penghalang
46. ¡Maldito seas!
47. ¡MALDICIÓN!
48. Sederhana
49. Pacaran (Tamat)

35. Menggemaskan

4.7K 735 76
By Lulathana

"Bella pas kecil?"

Gavin mengangguk. Venni merapatkan telapak tangannya dengan raut yang berubah penuh semangat.

Venni menarik napas dalam, bersiap menceritakan suatu hal secara panjang lebar. "Bella itu lahir dengan kondisi fisik beda. Bukan kuat, Bella punya batas lelah yang jauh daripada manusia umumnya. Jadi kekuatan yang dia punya sekarang, itu murni hasil kerja keras dia sendiri yang berlatih tanpa kenal lelah."

Gavin mengangguk-angguk, menyerap penuh informasi yang Venni beberkan. Venni sudah memberikan kepercayaan. Tak ada yang lebih berharga dari itu.

"Bella suka nolong orang. Nggak cuma anak jalanan, tapi perempuan yang memang mereka itu butuh bantuan." Venni sedikit memiringkan wajahnya. "Kamu pernah dengar istilah Anak Billa?"

"Belum, Tan." Dari segala cerita Komang, Gavin tidak mendengar itu. Gavin hanya tahu istilah teman Billa, apa Anak Billa juga punya kekuatan khusus? Bukan hanya sekedar arti dari kata. Karena jelas tidak mungkin 'kan Bella mempunyai seorang anak.

"Itu sebutan buat semua perempuan yang pernah Bella ajar. Bella nggak pernah nerima murid, tapi dia sendiri yang nunjuk siapa yang mau dia ajar. Yang ini juga nggak berfokus ke anak yang kurang mampu. Maupun orang miskin atau kaya, Bella liat dari sisi jika orang itu butuh Bella ajari agar bisa menjaga dirinya sendiri."

"Gavin nggak ngira Bella bisa punya organisasi kayak gitu."

Bella menaklukan semua preman, melumpuhkan geng motor meresahkan dan sekarang punya kumpulan yang bahkan tidak diketahui publik. Yang lain tunduk karena pernah Bella kalahkan, lalu apa kabar orang yang dia latih sendiri. Kekuatan mereka pasti tidak main-main.

"Dibilang organisasi pun kayaknya kurang tepat deh. Karena bisa aja sesama Anak Billa pun nggak saling mengenal. Billa ngangkat anak di waktu dan tempat nggak nentu, dia nangani sendiri secara privat."

"Berarti Bella benar-benar tulus bantu mereka ya."

Venni mengangguk-angguk. "Tante pikir Bella cuma ngajarin soal bela diri doang. Tapi suatu hari Tante nemuin banyak struk di tas Bella. Pembayaran air, listrik, belanja kebutuhan pokok, bahkan kwitansi sekolah. Hal-hal yang nggak wajar buat diurus anak yang bahkan baru masuk SMP kayak dia. Tapi dia lakuin semua itu. Bella benar-benar bertanggung jawab secara penuh atas mereka."

Gavin tidak tahu harus apa. Rasa kagumnya melejit tinggi hingga sudah tidak bisa diukur mana ujungnya.

"Bella ikut lomba sana-sini. Bella punya setumpuk sertifikat penghargaan, tapi nggak satu pun mendali yang dia simpan di rumah."

"Bella jual?" Gavin pernah mendengar pensiunan atlet yang melelang mendalinya, jadi mendali memang bisa dijual.

"Kalau soal mendidik, sepertinya Tante kalah telak dari Bella. Anak didikannya udah banyak yang sukses. Entah jadi pramugari, pengusaha, mereka yang nggak punya apa-apa sekarang bisa berdiri sendiri." Venni menunduk. Sudut-sudut matanya terlihat berair penuh haru.

"Tapi Tante orang tua terhebat, karena punya anak seperti Bella. Bella sampai seperti itu pasti karena dukungan dari Tante"

Venni menggeleng. Menyeka air yang hampir jatuh di sudut matanya. "Mau Tante ceritain hal lucu?"

"Apa itu?"

Venni menatap nyalang ke depan. Sudut bibir ya sedikit tertarik jenaka. "Bella pernah diculik waktu masih kecil. Mungkin saat anak sebayanya bahkan belum ngerti fungsi uang. Kami semua panik, bingung harus nyari ke mana, hingga sebuah telepon masuk ke hp papanya. Tapi bukannya minta tebusan, penculik itu malah mohon-mohon biar Bella segera dibawa pulang."

"Bella pukulin mereka?"

"Kedengaran nggak masuk akal ya?" Tawa Venni renyah terdengar.

*Tante juga nggak tau karena nggak pernah ketemu sama penculiknya. Mereka hanya nyebutin lokasi yang ketika didatangi hanya ada Bella dengan saku penuh uang dan makanan satu kantong besar. Saat Tante tanya apa yang terjadi. Billa yang bahkan belum lancar bicara bilang ..."

"Billa mau helikoptel, Billa bilang nggak bakal ikutin Om lagi kalo Billa dikasih uang buat beli helikoptel."

"... Tante spontan bilang kalau uang segitu nggak cukup beli helikopter dan saat itu Tante sama Om kewalahan sampe pagi nahan Bella yang ngamuk pengen nyari penculik itu lagi."

Gavin menunduk, ia menutup seluruh wajahnya, tak kuasa menahan tawa. Ternyata dia menyukai cewek yang ajaibnya luar biasa.

"Dari tadi kita bahas bagusnya Bella. Tau nggak kenapa kami biarin Bella keliaran di jalanan padahal masih kecil?

"Bukan karena dukung niat baiknya, karena saat itu kami belum tau. Tapi biar mengurangi biaya renovasi rumah. Ya daripada dia rusak isi rumah yang entah udah berapa kali diperbarui karena ulahnya, mending izinin dia keluar.

"Kita hanya bisa percaya bahwa Bella bisa menjaga dirinya meskipun nggak pulang berbulan-bulan?"

"Berbulan-bulan?" Kelopak mata Gavin melebar.

"Ada yang Bella sebut dengan istilah penyisiran. Kalau Bella habis menang turnamen, punya uang lebih, dia suka berkelana di jalanan, nyusuri kota ke kota buat nyari anak yang bisa dia bantu. Itu bisa makan waktu berbulan-bulan."

"Terus gimana sama sekolahnya?"

"Untungnya kepala sekolahnya adek Papa Bella. Kalau bukan Tante juga nggak tau mau gimana. Jadi Vin, kalo Bella payah dalam bidang pelajaran, harap maklum ya."

"Gavin juga bukan anak yang pinter kok, Tan." Gavin menggaruk belakang kepalanya. Malu. Dirinya semakin tidak punya nilai plus jika disandingkan dengan Bella. Tapi perasaannya tetap bersikeras untuk tidak tahu diri.

"Um, Tante tau soal 'teman Billa'?"

"Temen Billa?" Venni merenung sejenak. "Bella nggak mau nyebut anak-anaknya temen sih, jadi temen yang dia maksud pasti Rista sama Jeya."

"Dua?" Gavin agak kaget mendengar ini.

"Iya, mereka temenan dari TK. Tapi itu pun mereka nggak pernah main lagi sejak keluar SD. Bella yang batasin, karena takut mereka kena imbas orang-orang yang punya niat buruk ke Bella. Tapi mereka suka kadang-kadang bikin acara sembunyi-sembunyi di rumah. Tante juga bingung apa tujuannya, padahal Bellanya juga udah berubah, tapi dia tetep kasih batasan.

"Memang ada anak perempuan yang suka pulang-pergi sekolah sama Bella, tapi ya sebatas itu. Dia nggak tau siapa Bella. Kalo kamu cari teman yang kayak gimana anak-anak sekarang, Bella nggak punya, Vin."

Tangan Gavin meremas, dadanya merasa sesak. Saat di jalanan Bella mungkin tak butuh teman karena banyak orang yang bisa dia temui, tapi setelah berubah, apa dia benar-benar sendirian?

"Lalu apa yang bikin Bella berubah, Tan?" Gavin berucap dengan leher yang tercekat. Hal yang menjadi center dari segala hal yang Gavin pikirkan tentang Bella. Kenapa dia mengganti nama, kenapa dia meninggalkan kehidupan hebatnya dan memilih menyiksa diri seperti sekarang.

"Waktu akhir SMP, Bella naksir sama cowok keren di kelasnya. Dia ngungkapin perasaannya, tapi ditolak." Venni tersenyum kecut. "Nggak cuma nolak, dia juga ngata-ngatain Bella sampe Bella ... ya seperti yang kamu liat sekarang."

Bella berubah total. Menatap sinis semua cowok yang terlihat baik dari segi fisik lalu membuat tipe yang aneh. Cowok sialan, kalau sampai ketemu Gavin akan libas habis dia.

"Bella udah bakar semua foto lama dia kecuali pas kecil." Venni memegang tangan Gavin. Matanya menatap dengan sorot bergetar.

"Tante nggak bisa nunjukin ke kamu, tapi Bella itu nggak jelek, Vin. Tante berani bersumpah." Tatapan Venni seperti memohon. Membuat dada Gavin semakin panas. Tak hanya melukai anaknya, cowok brengsek itu juga membuat keluarganya terluka seperti ini.

"Gavin suka putri Tante, entah itu Bella maupun Billa. Gavin nggak bakal ninggalin Bella, bahkan ketika Bella ngusir, Gavin akan berusaha buat berada di sisi dia."

Venni menarik senyuman dengan bergetar. "Ah rasanya Tante mati sekarang pun bakal tenang."

"Tante jangan begitu."

"Hehe ... bercanda."

"Wih, yang lagi gosip."

Venni dan Gavin dikejutkan oleh suaran Bella. Cewek itu tengah berjalan menuruni tangga dengan seragam dan tas sekolah yang lengkap.

"Hati-hati Vin, lo cuma dijadiin pelarian soalnya Tante Ratih lagi insyaf, nggak bisa diajak gibah sama Mama,"  ucap Bella dengan raut wajah yang riang

"Ye ini anak. Bilang yang lain tukang gibah, sendirinya bermulut tajam."

Bella hanya memamerkan deretan gigi kemudian mengecup pipi kiri dan kanan mamanya. Gavin yang melihat itu memalingkan muka. Tiba-tiba ia teringat kejadian dua hari lalu.

"Belajar yang benar."

"Tenang, lulus KKM kok."

"Heh, Puteri Indonesia itu pinter-pinter."

"Yang ditanya juga cara pandang, bukan hukum termokimia."

"Yuk, Vin."

Bella meraih lengan Gavin yang membuat cowok itu membelalak kaget. Ia melihat tangannya yang digandeng lalu berdeham beberapa kali

"Lain kali nggak usah pagi-pagi. Kayak yang sekolah bener aja lo."

"Ta-tan, kita pamit dulu ya."

oOo

Demi menghargai panitia yang berjasa dalam acara kemarin lusa, sekolah pun dibubarkan setengah hari. Ini tentu menguntungkan bagi Bella yang hanya berlabel warga sipil. Secara mendadak anak-anak di kelasnya pun membuat acara. Ada yang shoping, nonton, hingga wahana bermain.

Bella?

Dia terlalu sayang pada diri untuk melakukan semua itu. Terakhir tes, Bella dinyatakan introvert. Entah kepribadian memang bisa berubah atau tes seperti itu memang tak berguna.

"Sekolah lo nggak mungkin dibubarin setengah hari," ucap Bella dengan mata menyipit penuh selidik begitu mendapati Gavin yang sudah siap di depan gerbang.

"Emang," jawab cowok itu santai seraya menyodorkan helm pada Bella.

"Gila ya, ngeri gue sama mata-mata lo di sini, garcep bener."

"Kayaknya gue perlu daftarin Jola jadi badan intelejen."

Bella menggeleng-geleng tak habis pikir. Meskipun mulutnya berucap yang bertentangan, tangannya bergerak memakai helm itu.

"Ke mana?"

"Bang Jo."

"Nggak ada tempat yang lebih keren?"

"Motor gue udah lama nggak checkup."

"Terus kenapa harus ada gue?"

"Udah, buruan naik. Gara-gara waktu itu gue ditandai sama cowok-cowok sekolah lo."

Bella melihat sekitar. Memang benar, banyak pasang mata yang menatap sinis ke arah mereka. "Bagus dong, udah ada yang berani hajar nggak?"

"Mau jadi tim hore-hore?"

"Kabarin aja kapan waktunya."

Gavin mengumpat kecil yang membuat Bella tertawa.

Bella naik pada boncengan. Ia sedikit mencondongkan wajahnya ke sisi kiri telinga cowok itu. "Nggak papa, 'kan gue hore-horenya di pihak lo," bisik Bella dengan lembut.

Gavin tercekat, dia menutup kaca helmnya dengan cepat. Tanpa kata lagi ia melajukan kendaraannya.

... diikuti pengendara berpakaian hitam yang sedari tadi memerhatikan di balik kaca gelapnya.

oOo

Gavin melepas seragamnya, menyisakan kaus hitam yang pas mencetak tubuh. Gavin punya perawakan bagus yang terlihat terjaga dengan baik. Tak heran otot-ototnya bisa memberi masa tinggi saat digunakan untuk memukul. Atau saat digunakan memutar kunci yang sedikit belepotan terkena oli, itu juga terlihat keren.

Sejauh ini Gavin adah anak SMA dengan proporsi tubuh terbagus yang pernah Bella temui.

"Nggak ada masalah, Vin. Tapi gua ada rekomen oli baru, bagus banget mau coba?" ucap Jo yang berperan tinggi dalam mengotak-atik motor Gavin.

Jo sudah lebih bisa mengatur dirinya dan bersikap santai meski belum punya keberanian untuk bertatapan dengan Bella. Bella sudah pernah mengingatkan untuk bersikap biasa, tapi Jo malah semakin gemetar kacau. Akhirnya Bella pun memilih tak banyak basa-basi daripada Gavin menyadari gelagat aneh Jo itu.

Ponsel Bella berbunyi. Pop up pesan muncul. Nomor tidak dikenal dengan dua patah kata.

Jauhin Gavin!

Siapa pun tahu kalau Clara orang di baliknya.

Nggak mau tuh.

Gue peringatin sekali lagi, jauhin Gavin!

Dia bukan cowok lo.

Lo bakal nyesel.

Ancamannya masih khas anak manja. Yang merasa hebat karena bisa menunjuk ini-itu. Bella tak menanggapi pesan itu lagi, selain terlalu remeh, sekarang Gavin tengah berjalan mendekat ke arahnya.

"Mau minum nggak?" tanya Gavin seraya menarik-narik kaus depannya. Peluh terlihat membasahi pelipisnya. Selain karena kegiatan yang dia lakukan, saat ini matahari tengah terik-teriknya.

"Itu emang udah beres?"

Gavin mengangguk. "Minuman yang waktu itu suka 'kan? Atau mau ganti?"

"Itu aja."

Gavin mengelap tangannya, menghilangkan noda-noda hitam secara asal sebelum beranjak pergi dari sana.

oOo

"Jo, ngerasa panas nggak?"

Gavin melupakan dompetnya, ia pun kembali. Tapi karena melihat pemandangan yang menarik, dia pun memilih bersembunyi seraya mengamati.

Jo terperanjat. "I-iya panas," ucapnya tergagap. Gavin menipiskan bibir menahan tawa. Ia baru melihat Jo secemen itu. Tidak perlu diragukan lagi jika cewek di sana memang Billa yang diagungkan itu.

"Terus kenapa diem aja?"

Jo terperangah. Ia menatap sekitar dengan bingung. Sebelum mengambil sebuah triplek dan mengipaskan ke arah Bella.

Bella mengerjap. "Lo kira gue Firaun?"

Gavin membekap mulutnya agar tidak terbahak.

"Hah?" Jo kebingungan.

Bella menghela napa lalu menunjuk ke arah jalanan. Jo mengikuti, ada jalanan, beberapa pejalan kaki lalu orang yang tengah mendorong gerobak sampah. Jo terlihat tidak menemukan jawaban yang Bella maksud.

"Eu a-anu Billa, maksudnya ...."

"Nggak ngerti, Jo?" Kalimat Bella mendayu, tapi cukup menusuk.

"Eng ...."

"Itu ibu-ibu dorong grobak di panas kayak gini lo masih nggak ngerti?"

"I-iya Billa!" Jo segera berlari ke seberang lalu membantu mendorongkan gerobak ibu itu.

"Nah gitu." Bella menekuk sebelah kakinya ke atas bangku. Tubuhnya bersandar dengan sebelah tangan direntangkan pada sandaran.

Gavin menutup keseluruhan wajahnya. Bella dengan mode premannya terlihat menggemaskan. Semua preman mungkin takut padanya, hingga tidak terlalu menyadari jika obrolan cewek itu cukup asyik dijadikan bahan canda.

Setelah selesai meredam tawa, Gavin melanjutkan niatnya untuk mengambil dompet, tapi matanya menangkap Bella yang dimasukkan seseorang ke dalam mobil.

oOo

28 September 2023

Continue Reading

You'll Also Like

72.7K 11.2K 39
Jangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begit...
1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
624K 24.6K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
4.5M 361K 37
Nara memergoki pacarnya berciuman dengan sahabat terdekatnya. Sakit hati, rasa dikhinati, semua berkumpul memenuhi rongga dadanya. Belum lagi orang-o...