Khaniffa

By Bumimaars

410 119 48

cinta yang tepat diwaktu yang tidak tepat, ini masih cerita yang sama. Cerita cinta yang masih bertahap di ci... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4 (Sore Hari Itu)
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 9 (PART 2)
BAB 9 (PART 3)
BAB 10
Bab 11

Bab 5 (Menjaga Jarak)

20 11 5
By Bumimaars

Sejak dua hari yang lalu, setelah aku mendengarkan cerita dari Niffa tentang wajahnya hari itu, aku jadi semakin geram kepada Baim dan juga Niffa. Aku kesal, kenapa Baim selalu mengambil opsi memukul Niffa hanya karena kesalahan sepele yang Niffa buat dan aku juga kesal kenapa Niffa masih mau bertahan dengan Baim padahal dia tahu Baim seperti apa.

Sekarang, aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan hanya untuk sekedar menghajar balik Baim atas perbuatannya kepada Niffa pun aku sudah tidak bisa sebab Niffa melarangku untuk membalas pukulan-pukulan yang Baim berikan kepadanya, katanya Atta sudah menghampiri Baim sore hari itu, dia tidak terima kakaknya dipukuli dan Atta langsung menghampiri Baim.

"Anjir banyak nyamuk amat."

Aku nyaris berdecak saat melihat Yasa yang terus-menerus menepuk lengannya. Padahal aku sudah mengatakan padanya agar dia tidak usah mengikutiku untuk mengawasi Niffa dari jauh, tapi dia kekeuh memilih untuk mengikutiku jadi terima saja akibatnya.

Aku berada dipinggir jalan, disebuah ruko yang sudah tutup, aku dan Yasa duduk mengampar disana. Aku masih memperhatikan ruko tempat Niffa bekerja, toko pakaian wanita itu sedang bersiap-siap untuk tutup. Biasanya aku akan mengamati Niffa dari halte, tapi halte terlalu jauh saat ini untuk memperhatikan Niffa jadi aku memilih ruko di sebrang ruko tempat Niffa bekerja untuk menungguinya.

Aku menghirup oksigen yang tercampur polusi dan menghembuskannya. Lalu berdecak, saat lagi-lagi aku mendapati Yasa yang bergerak dengan berisik seraya terus menepuk-nepuk anggota tubuhnya yang digigit oleh nyamuk. Cowok itu memang tidak bisa diajak menjadi susah, ada saja tingkahnya.

Tidak mau terlalu memperdulikan Yasa, aku lebih memilih mengeluarkan rokok dan pematiknya dari dalam saku jaketku. Aku tidak menawarkan Yasa tapi cowok itu dengan cepat mengambil satu batang rokok dari dalam bungkus rokokku kemudian menyalakannya, kami masih harus menunggu disini sampai jam sebelas lewat tujuannya hanya agar aku tahu kalau Niffa baik-baik saja dan agar aku tahu siapa yang menjemput Niffa malam hari ini.

Jalanan Jakarta sudah cukup sepi, tidak banyak orang yang berlalu-lalang membuat aku lebih mudah mengawasi keadaan toko disebrangku. Aku melihat ada beberapa pemulung yang lewat, ada juga tukang gorengan dan sekoteng yang sedang mengobrol, pun dengan sebuah mobil sedang berwarna putih yang sejak tadi berdiam di depan ruko tempat Niffa bekerja juga tidak luput dari pandangan mataku.

Kuperhatikan lagi mobil itu, ketika Niffa keluar dari rukonya dan sedang mengirim pesan yang entah kepada siapa, seseorang dari dalam mobi itu keluar dan menghampiri Niffa. Dia menggunakan hoodie hitam, topi hitam dan masker berwarna hitam pula. Membuat aku tidak bisa mengenali wajahnya namun ketika dia menghampiri Niffa dan Niffa mulai merasa tidak nyaman serta kulihat sekarang mereka sedang berdebat kecil aku tahu siapa laki-laki itu, laki-laki yang memakai pakaian serba hitam malam hari ini.

Dia adalah Baim.

"Tau nggak Yov, gue pernah baca cerita hidayah, ada orang yang mati mengenaskan karena terlalu banyak gengsi semasa hidupnya."

Aku memilih untuk tidak langsung menjawab pertanyaan Yasa, mengabaikan kata-kata itu aku kembali menatap ke depan sambil terus memperhatikan kedua orang yang sedang beradu argumen itu. Harusnya Niffa dan Baim malu berdebat didepan umum dan diperhatikan oleh teman-teman kerja Niffa, tapi sepertinya memang tidak pernah ada kata malu bagi mereka.

Melempar rokokku yang tinggal setengah ke pinggir jalan, aku bangkit berdiri bersiap untuk menyebrangi jalan namun tanganku ditahan oleh Yasa.

Aku menunduk, lalu menepis tangan Yasa.

"Biarin aja."

Aku memang berniat membiarkan mereka, tapi risi juga lama-lama melihatnya.

Menekuk kaki kembali untuk ikut berjongkok disamping Yasa, menyugar rambutku dengan sedikit kesal i'm fine but Ya Allah Astaghfirullah Allahu Akbar kenapa perempuan yang aku sayangi harus diperlakukan seperti itu oleh orang lain? Kalau memang dia tidak bisa membahagiakan Niffa setidaknya perlakukan lah Niffa dengan baik.

Kupikir perdebatan itu akan berlangsung lama, atau setidaknya ada adegan extrime yang akan terjadi namun ternyata aku salah. Atta lebih dulu datang menjemput Niffa. Dia hampir turun dari motornya namun Niffa lebih dulu mendorong Baim dan bergegas menaiki motor Atta sebelum adiknya itu mengamuk pada Baim mungkin. Dan jangan berpikir Baim akan diam saja, alih-alih mengejar Niffa ke motor Atta, Baim justru masuk kembali ke dalam mobilnya, sepertinya bersiap untuk membuntuti Niffa dan Atta.

Aku menarik Yasa untuk segera berdiri.

Melihat Atta yang mengemudikan motornya dengan cepat, aku cukup kesal dengan gerakan Yasa yang terbilang lambat. Aku hampir saja ingin meninggalkan nya namun lupa kalau saat ini aku sedang menggunakan motor milik Yasa.

Jadi sekarang, aku lebih memilih untuk menunggunya.

"Astagfirullah!" Aku nyaris meninju Yasa, saat dia dengan santainya masih menepuk nyamuk sementara Niffa dan Atta sudah tidak terlihat. "Buruan Yasa!"

Dan alih-alih bergerak lebih cepat, Yasa justru masih tetap terlihat santai. Dia bahkan sempat mematikan rokoknya terlebih dahulu sebelum dia menaiki motornya dan menyuruhku untuk segera naik.

Anehnya, Yasa mengemudikan motornya berlainan arah dengan arah Niffa dan Atta pergi saat kutanya ini jalan menuju kemana dia hanya menjawab kalau aku harus percaya saja padanya dan percaya kalau kami akan tiba lebih dulu ditempat Niffa dan Atta dari pada Baim.

Dan benar memang, kami tiba lebih dulu dari Baim. Bahkan, Niffa dan Atta pun belum sampai di rumah mereka sementara kami sudah, sungguh ajaib temanku yang satu ini dia sangat tau jalan-jalan tikus kota Jakarta yang aku sendiri saja bahkan tidak tahu.

"Kita nggak kejauhan disini, Yas?"

"Enggaklah," Yasa menggeleng, kemudian berkata. "Kalau kita majuan dikit lagi aja, itu namanya udah bertamu ke rumah Niffa dan sudah bisa dipastikan lo akan duel lagi sama Baim."

"Gue nggak pernah duel sama dia."

"Yoi," Yasa menjawab dengan menyalakan rokoknya lagi. "Lo emang nggak pernah duel, cuma pernah dilabrak sama dia." Lalu dia terkekeh sendiri. "Dih, najis kaya cewek labrak melabrak, tai."

"Bacot."

Aku baru akan naik kembali ke motor Yasa untuk duduk, tapi ponselku berbunyi. Sebuah nomor baru muncul dilayar ponselku, mengeryit sebentar aku akhirnya mengangkat panggilan masuk dari nomor itu dan langsung melemparkan sebuah pertanyaan tanpa basa-basi pada si penelpon.

"Siapa?" Tanyaku.

"Aku," balasnya santai. "Niffa."

Awalnya aku tidak ingin mempercayai kalau itu memang Niffa, tapi suara Niffa yang sudah aku hapal diluar kepalaku membuat aku akhirnya berpikir tentang hal lain. Niffa mengganti nomornya? Nomor yang sudah lama dia gunakan itu? Untuk apa?

"Kamu ganti nomor?" Tanyaku, tanpa basa-basi. Lagi pula, aku memang tidak pandai berbasa-basi.

"Iya." Niffa menjawab singkat.

"Kenapa?" Tapi sebenarnya aku lebih penasaran dengan hal lain, karena itu aku langsung bertanya padanya. "Kamu di mana?"

"Rumah kamu."

"Rumah aku?"

"Iya."

"Ngapain?" Balasku sedikit dengan nada tak enak. Ini sudah malam, di rumah hanya ada Ibuku. Dan, kalau Baim sampai bisa menyusul Niffa dan Atta ke sana lalu dia tahu kalau itu adalah rumahku, bukankah suasananya akan semakin tambah kacau? Alih-alih menghentikan masalah, Niffa justru akan menambahkan masalah baru jika sampai Baim tahu tentang hal itu.

Dan seolah-olah mengerti dengan apa yang aku pikirkan, Niffa lalu menjelaskan kalau dia dan Atta melewati jalan tikus untuk menghindari Baim. Dan berhasil, sebelum masuk ke dalam rumahku Niffa sudah lebih dulu mengecek sekitar untuk berjaga-jaga kalau-kalau Baim memang sampai berhasil mengikuti mereka sampai ke rumahku. Saat sudah yakin kalau Baim tidak bisa mengejar mereka, barulah Niffa dan Atta berani masuk ke dalam rumahku.

Dan terkahir, Niffa mengatakan kalau dia butuh tempat untuk berlindung karena itulah dia memilih untuk datang ke rumahku dan bertemu dengan Ibuku.

"Kenapa kamu ganti nomor?"

"Percuma juga pakai nomor itu, kamu udah nggak pernah chat lagi."

Kalau saja aku tidak langsung ingat jika yang sedang melakukan percakapan denganku melalui telepon ini adalah pacar orang mungkin saat ini aku sudah menarik sudut bibirku dengan begitu lebarnya, membentuk sebuah senyuman yang begitu bahagia. Namun sayang, yang sedang melakukan percakapan denganku ini adalah pacar orang dan dia pun sedang denial dengan perasaannya sendiri.

"Yovan?"

Aku kembali ke kesadaranku. "Ya, Nif? Kamu mau tidur di rumahku? Kalau iya, aku biar tidur di tempat Yasa."

"Enggak, aku pulang."

Aku mengangguk singkat, tanpa menjawab perkataan Niffa. Bodoh memang, padahal aku tahu Niffa tidak akan melihat anggukkan kepalaku tapi dengan bodohnya aku malah melakukannya.

"Udah makan?" Karena yang aku tahu, dia belum makan malam. Aku mengamatinya dari sehabis magrib, dan selama itu aku belum melihat Niffa keluar dari tempat kerjanya untuk membeli makan malam. Biasanya, dia akan membeli makan malam setelah isya. Tapi tidak ada tanda-tanda Niffa keluar dari tempat kerjanya, dan aku juga tahu kalau Niffa tidak akan pernah membawa bekal untuk makan malamnya.

"Belum. Tapi Mama lagi manasin lauk, kamu nggak mau pulang? Makan malam bareng sama aku, Atta dan Mama. Walaupun ini lebih cocok makan tengah malam, sih. Hehe." Aku memilih untuk mendengarkan, suara tawa Niffa setiap kali dia selesai berbicara aku selalu suka mendengarkannya.

"Aku udah makan sama Yasa."

"Kalau gitu kamu mau pulang jam berapa?"

"Kamu mau ketemu?"

Kudengar Niffa terkekeh. "Iya. Kamunya mau nggak ketemu aku?"

Aku menarik sudut bibirku, membentuk sebuah garis senyum samar. "Mau. Tapi kamu sebaiknya selesaikan dulu masalah kamu dengan Baim, aku nggak mau dia marah lagi ke kamu kalau tau kita masih ketemuan."

Kenapa aku tiba-tiba gugup begini? Hanya karena Niffa tidak langsung menjawab perkataanku saja aku langsung gugup setengah mati, padahal biasanya tidak begini. Mungkin karena sekarang statusnya adalah dia tahu perasaanku dan aku juga tahu perasaannya, kami sama-sama saling menyukai tapi sangat terlambat untuk bisa saling bersama.

"Aku sama dia udah putus." Aku mencoba bersikap tenang, tidak terlalu terburu-buru untuk menyuarakan suara bahagiaku pada sambungan telepon ini. "Tapi dia masih minta balik. Akunya udah nggak mau, Atta juga nggak suka aku sama dia."

"Kenapa nggak mau?" kataku, kudengar Niffa menghela napasnya pelan kemudian aku berkata lagi. "Bukannya kamu sayang dia?"

Lagi aku terdiam dengan gugup, menyadari. Kalau tidak seharusnya aku berbicara seperti itu kepada Niffa.

"Hm ... ngomong-ngomong kamu di mana ini?" aku benar-benar penasaran dengan jawaban Niffa atas pertanyaanku sebenarnya, tapi mendengar Niffa memilih untuk mengalihkan pembicaraan alih-alih menjawab aku menghargai kalau dia sedang tidak ingin membicarakan hal itu.

Maka, kuputuskan untuk menutup topik tentang Baim dan dirinya sebab nanti pun aku pasti akan mendapatkan jawabannya. "Di jalan, mau ke rumah Yasa habis itu baru pulang."

Lebih baik kujawab begitu, sebab kalau aku menjawab sedang berada di rumah Niffa pasti dia akan tahu kalau aku mengikutinya.

"Kamu lagi berhenti di jalan?"

Kemudian aku menceritakan tentang kenapa aku berhenti di jalan, meskipun ada beberapa kebohongan di sana demi Niffa tidak curiga tapi jauh di dalam hatiku ada sedikit rasa bersalah karena harus berbohong kepada Niffa.

Dan, anehnya lagi. Niffa tidak langsung menjawab perkataanku yang terkesan berbohong itu. Dia diam agak cukup lama dan hanya menjawab iya iya saja, seolah-olah dia memang tahu kalau aku berbohong namun dia lebih memilih untuk mempercayainya saja alih-alih langsung menanyakan kepadaku apakah aku sedang berbohong kepadanya atau tidak.

Aku lantas menggeleng-geleng menyadari kalau tidak seharusnya aku punya pikiran seperti itu, karena kalau sampai itu benar terjadi maka aku akan sangat malu untuk menghadapi Niffa sekarang. Aku tidak biasa berbohong padanya, bahkan hampir tidak pernah padahal status kami hanya teman. Baru kali ini aku berbohong padanya, dan rasanya tidak nyaman.

"Ya udah ya," kataku. "Aku mau ke rumah Yasa dulu, ambil motor terus pulang. Kamu, jangan pulang malam-malam dari rumahku kalau bisa dan hati-hati."

"Iya."

"Aku tutup telponnya sekarang, ya? Yah walaupun sebenarnya aku masih pengen banyak tanya dan banyak tahu tentang hal yang lagi kamu rasain sekarang, sih."

Niffa tertawa, padahal dari ucapanku barusan tidak ada yang lucu sama sekali bukan? "What do you want to know? Aku suka sama kamu? Harus aku akui, iya."

Aku terdiam beberapa saat, namun senyum masamku terbit entah kenapa. "Untuk seseorang yang baru aja putus cinta, cara frilting kamu oke juga."

•°•

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 127K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
324K 25.4K 24
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
5.1M 382K 54
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...