Pacaran [TAMAT]

By Lulathana

310K 42K 3.4K

Dari kecil Bella itu sangat suka bela diri, berbagai jenis dia pelajari. Namun, karena tragedi ditolak cinta... More

Pacaran
...
1. Drama
2. Tawuran
3. Takdir yang Tak Diinginkan
4. Cowok Seblak
5. Dia Kembali
6. Rumination
7. Semangat
8. Sandera
9. Percaya Diri
10. MTNI
11. Keluarga
12. Kedua Kalinya
13. Bengkel Bang Jo
14. Banyak Sisi
15. Malming
16. Drama
17. Pertemuan
18. Teman Billa
19. Teman Billa (2)
20. Tanda
21. Cantik dan Anggun
22. Jola
23. Serangan Tak Terduga
24. Rumah Gavin
25. Kanapa?
26. Sakit
27. Sakit (2)
28. Bimbang
29. Penculikan
31. Bazar
32. Photobox
33. Sosok yang Sama
34. Dia Sebenarnya
35. Menggemaskan
36. Tidak Sungkan
37. Myth
38. Melarikan Diri
39. Optimis
40. Dua Arah
41. Terungkap
uwu
42. Mulai Membaik(?)
43. Konsekuensi
44. Garis Memulai
45. Tembok Penghalang
46. Β‘Maldito seas!
47. Β‘MALDICIΓ“N!
48. Sederhana
49. Pacaran (Tamat)

30. Tidak Ingin

5K 719 36
By Lulathana

Bella pulang malam itu juga. Paginya Bella berangkat sekolah seperti biasa. Gavin yang menjemputnya beberapa kali menegaskan apakah Bella baik-baik saja seraya memeriksa suhu tubuh Bella. Bella pun tak perlu terlihat seperti orang yang pura-pura tegar, karena mamanya sudah mengatakan suhu tubuh Bella normal. Bella baik-baik saja. Jasi tidak perlu khawatir.

Dari desas-desus yang Bella dengar, hari ini pelajaran tidak akan terlalu efektif karena anak-anak OSIS dan MPK mulai mempersiapkan acara ulang tahun sekolah yang akan diselenggarakan besok pagi. Bella melihat beberapa orang di depan mengangkut barang-barang seperti keperluan panggung.
Belum lagi kelasnya dijuluki kelas Einstein karena paling banyak aktif di OSIS dan MPK, tak heran sekarang isinya hanya beberapa orang saja. Semakin membuat guru punya alasan untuk tidak mengajar.

"Gas."

"Bell."

Tidak ada kelanjutan lagi. Bagas dengan dunianya dan Bella yang merasa kurang mood memilih membaringkan kepalanya pada meja, jemarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel jenuh

"Tau gini, mending nggak sekolah."

Tiba-tiba ponsel itu menyala menampilkan pop up pesan masuk.

Zara:

Dia nyari Billa!

Tak ada ekspresi khusus yang kini Bella pasang, padahal Zara di seberang sana pasti mengetikkan pesan itu dengan tangan yang bergetar panik.

Oke.

Bella memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ini bukan masalah, tujuan awalnya memang untuk membereskan ini. Oke, setidaknya ada hal yang harus dilakukan, Bella tak perlu menjalani hari dengan diam seperti kemarin lagi.

"Ryn, hari ini nggak bakal belajar 'kan?"

"Nggak, gurunya pasti cuma ngasih tugas atau nyatet materi."

"Artinya nggak papa kalo gue keluar?"

"Ke kantin?"

Bella menggeleng. "Menyelamatkan dunia."

Feryn memberengut. "Dih, nggak jelas."

Bella hanya terkekeh kecil lalu melangkah pergi dari sana. Seperti yang diperkirakan, koridor ramai orang-orang. Terkhusus anak cowok, banyak yang mencoba mengambil perhatian dengan menyapa Bella. Namun, semua itu tentu hanya berakhir sepihak.

Bella berjalan ke arah belakang sekolah. Tempat sepi yang bagi para pelanggar aturan punya cerita sendiri. Bella tidak melompat tembok sebagaimana yang lain lakukan, ia berjalan ke sisi kiri, menyibak sulur-sulur dari tanaman rambat dan menemukan pintu kecil yang berkarat.

Tak banyak yang tahu soal ini. Selain tumbuhan yang menutupi lebat, mereka yang terburu-buru tidak akan berpikir cerdas.

Alangkah kagetnya Bella, begitu ia menyibak daun rambat dari sisi luar, sosok Gavin malah berada di hadapannya. Cowok itu pun berekpresi kaget yang sama.

"Lo ngapain di sini?" tanya Bella. Gavin jelas musuh  dari penyamun sekolahnya. Kenapa di sini? Malah di tempat yang kemungkinan besar mereka bertemu.

"Mau ngasih ini. Kata Jola ini aman buat lambung tapi nggak bikin gendut."

Bella melirik kantong yang Gavin bawa. "Adek lo pasti kemakan iklan." Bella menggeleng kecil lalu menatap pada wajah Gavin lagi.

"Jadi cara lo masuk ke sekolah gue itu lewat belakang kayak gini?"

Gavin mengangguk yang membuat Bella mendesis, nyali dia di luar kapasitas. "Beneran ya lo itu."

Bella meraih tangan Gavin lalu membawanya pergi begitu mendengar suara ribut anak lain yang ingin kabur sepertinya.

Gavin melihat tangannya yang ada dalam genggaman Bella. Kakinya terkatuk-katuk karena salah fokus.

"Ke sini." Bella mendorong tubuh Gavin pada belokan. Membuatnya bersandar pada tembok dengan tangan menahan dada cowok itu. Sementara pandangan Bella mengawasi ke arah gang tadi.

Gavin merasa kerja paru-parunya terganggu, bukan karena Bella menekan dadanya dengan kuat, tapi posisi yang terlalu dekat membuat Gavin bahkan bisa mencium aroma shampoo yang dikenakan cewek itu. Gavin baru tahu jika aroma seperti itu terasa menyenangkan jika di tubuh orang lain, atau hanya karena ini dari Bella(?)

"Kayaknya mereka udah pergi semua deh." Bella menghela napas lega lalu mundur selangkah, memberi jarak dari Gavin.

Tak kalah lega, Gavin juga ikut menghela napas. Ia menggaruk kepalanya dengan wajah sedikit berpaling. Merasa aneh, hanya karena aroma shampoo saja dia berpikir serumit itu

"Ngomong-ngomong, kenapa kabur?" Gavin mengatasi kerancuan situasinya dengan sebuah obrolan.

Bella terdiam sejenak. "Mau daftar MNTI."

"Nggak bawa apa-apa?"

"Kalo tasnya dibawa, nanti guru tau gue kabur."

"Terus syarat-syaratnya?"

"Makannya ini mau pulang dulu buat ambil."

"Ya udah, gue anterin."

Bella menahan tangan Gavin yang hendak pergi. "Nggak usah." Bella menyunggingkan senyum manis. Yang membuat kuping Gavin secara spontan bersemu merah.

"Di kelas lagi nggak efektif, makanya tadi mikir daripada bengong, mending pake buat daftar. Tapi itu bukan urgent kok, karena kebetulan ketemu lo, pendaftarannya bisa dilakuin nanti lagi. Toh batas waktunya masih ada seminggu. Kita bisa lakuin hal lain. Lo bawa makan biar gue makan 'kan?"

"Eu ... iya."

"Ya udah, lo tau tempat buat kita nongkrong?"

"Warung langganan gue, mau?" Gavin ragu menawarkan karena itu bukan tempat bagus. Sayangnya itu yang paling dekat karena Gavin pun tidak membawa motor.

Bella mengangguk. "Boleh. Di mana?"

Gavin melihat tangan Bella. Ia sedikit membasahi bibirnya gugup sebelum kemudian memantapkan tekad dengan meraih tangan itu.

Tidak apa-apa, tadi Bella juga melakukan itu 'kan?

"Ayo. Jalan dikit nggak papa?" ucapnya seraya menggenggam tangan itu dengan erat-erat.

Setelah beberapa saat berjalan di trotoar seraya bergandengan tangan, Gavin membawa Bella memasuki gang kecil lagi, lalu sampailah mereka pada sebuah warung.

Di sana ada sekitar 10 anak cowok dengan seragam yang sama seperti Gavin. Kulit kacang berantakan bercampur dengan kartu-kartu monopoli. Tawa mereka menggelegar seolah tidak takut ada guru yang akan datang dan memergoki.

"Wah Vin, siapa?" tanya salah satu dari mereka yang pertama menyadari kehadiran Bella dan Gavin. Ucapannya itu menarik perhatian yang lain hingga suara siulan pun terdengar bersahutan. Menandakan jika keberadaan Bella cukup spesial di sini.

"Ham, Gi, Dra, pindah." Gavin menepuk-nepuk bahu temannya menyuruh pindah hingga kini ada meja kosong yang bisa ditempati dirinya dan Bella.

"Nggak papa?" tanya Bella sedikit meringis melihat meja samping di mana cowok-cowok itu duduk di bangku panjang dengan saling berdempet-dempetan. Hanya ada 2 meja yang disediakan warung ini. Meski bangkunya panjang-panjang, tapi terlalu sempit untuk 10 orang dan terlalu luas untuk 2 orang.

"Di sini masih cukup kok." Bella tidak akan merasa terganggu hanya duduk satu meja dengan mereka.

"Nggak papa Bu Bos, santai aja." Cowok yang tadi Gavin tepuk pundaknya itu melambai-lambai.

"Udah, ayo makan." Gavin mulai membuka kantong yang sedari tadi dirinya bawa. Ia menyodorkan pada Bella. Tatapannya langsung terpaku, seolah menerangkan bahwa dia akan memastikan Bella memakan itu semua.

Bella mencicipinya sedikit, meresapi beberapa saat lalu mengangguk-angguk dengan senyum indah. Bella pun melanjutkan suapan dengan lahap. Gavin suka melihatnya, meski tiba-tiba hal yang tidak bisa dirinya tolak meminta perhatian di dalam otak."

"Yang semalam ulah Clara lagi," ucap Gavin setengah hati. Meski bukan kabar baik, ia harus menyampaikannya karena ini menyangkut Bella sendiri.

"Jadi dia lagi." Bella berujar biasa tanpa memotong sesi makan. Ia tak perlu pura-pura kaget lagi, justru harus menutupi rasa kaget atas Gavin yang lagi-lagi mendapat informasi dengan cepat.

"Gue tau gue yang jadi sumber masalah, tapi jangan pergi-pergian sendiri, lo bisa minta gue kapan pun itu."

Bella tahu pasti Clara tidak akan berulah lagi, tapi kalau Gavin diberi tahu, yang ada dia tidak akan mencari solusi.

"Bukannya lebih baik numpas akar masalahnya aja. Gue tau bukan selama ini lo nggak ada niat, tapi boleh kok dicoba lagi."

Bayar utang budi itu, maka hidup Gavin akan bebas dari Clara. Meskipun yang Bella pikirkan lebih kompleks dari itu, setidaknya pemaham Gavin cukup untuk sekarang.

"Itu ...."

"Vin, gue nggak mungkin selamanya jadi pacar lo 'kan?"

Gavin merasa dadanya dihantam. Lebih keras daripada soal utang budi itu diungkit. Tangan Gavin yang di atas paha terlihat mengepal.

"Lo juga nggak mungkin selamanya jadi bodyguard gue, jadi kita butuh solusi."

Gavin memalingkan muka. Dua hal yang barusan Bella utarakan seharusnya yang selama ini dia harapkan, tapi sekarang hatinya menolak. "Solusinya belum tentu berhasil, jadi jangan dulu jauh-jauh."

Bella terkekeh kecil. "Bakal berhasil kok."

Tangan Gavin mengepal lebih kuat. Entah mengapa Gavin tidak suka keoptimisan Bella itu.

oOo

Gavin duduk terdiam dengan pikiran yang kosong. Jangankan angin malam, Gavin bahkan merendam kakinya pada kolam di saat cuaca dingin seperti ini, dan dia tidak peduli. Entah sudah berapa lama, jika kakinya diangkat akan terlihat kulitnya yang mulai berkeriput.

Hanya kalimat sederhana. Gavin menjadikan Bella pacarnya tanpa pikir panjang, tapi kini saat dibayang-bayangi harus melepaskannya Gavin merasa sangat berat sekali.

"Jola katanya nginep di sekolah ya?"

Gavin menoleh dan mendapati Chandra, ayah Gavin berdiri di sampingnya.

"Iya, tadi Gavin udah anterin selimut."

Pria paruh baya itu mengangguk lalu duduk bersila di sisi Gavin.

"Gimana sama hari-hari kamu?"

"Masih dimarahin guru BK."

Chandra tertawa. "Jadi kapan tobatnya?"

Gavin menggeleng lemah. Chandra memperhatikan raut putranya itu baik-baik. Tidak biasanya Gavin pasif. Biasanya dia dengan bangga menceritakan keberhasilannya menguras kesabaran guru-guru itu. Menceritakan kegagalan-kegagalannya dalam pelajaran hingga hal remeh lainnya.

"Ada masalah?"

Gavin menunduk, menciptakan hening untuk beberapa saat.

"Bantuan dari Om Alfian, kita ... bisa mengembalikannya?" tanyanya dengan hati-hati. Meskipun dulu dia masih kecil, tapi Gavin tahu jika bantuan dari ayah Clara bukan main-main.

"Kamu udah lelah ya sama Clara." Chandra bertanya dengan wajah yang setengah mendongak pada langit malam.

"Nggak, bukan...."

"Uang itu nggak sedikit."

Gavin mengepal. Apa artinya mereka tidak bisa membayar sekarang? Gavin bingung karena di lain sisi ia juga tidak ingin Bella terus diganggu Clara.

"Tapi bukan berarti kita nggak bisa bayar." Chandra tersenyum lembut.

"Sekarang kita udah baik-baik aja. Papa cari uang juga buat kalian, buat apa numpuk harta kalau kamu malah terkekang."

"Jadi bisa?"

"Papa belum bisa pastiin. Karena ya kamu tau Om Alfian ...."

"Tapi bisa diusahakan 'kan, Pa?"

Chandra merangkul bahu putranya. "Tentu. Kita coba."

oOo

"Ditolak?" Bella mengulangi perkataan Zara di seberang sana. Ia mendengkus kesal dengan tangan yang mengepal di udara.

"Kita harus apa?"

"Apa lagi?" Bella berujar menusuk.

"Billa." Zara terdengar memperingatkan, tapi di lain sisi dia juga tahu suaranya tidak akan bisa mempengaruhi keputusan Bella.

"Cepet atau lambat gue harus ngelakuin ini."

"Billa punya opsi buat nggak ikut campur."

"Nggak." Bella menginterupsi dengan dingin. "Toh dia udah tau keberadaan gue."

"Tapi--"

"Seenggaknya, bangkainya dimakan sendiri dong."

"Maksudnya?"

Bella tak menjawab. Ia menurunkan ponselnya lalu mendongak pada langit. Menatap satu titik bintang.

oOo

23 September 2023

Continue Reading

You'll Also Like

399 92 16
Banyak sekali kejadian tak terduga yang terjadi membuat Feya ingin sekali menghilang dari dunia ini. Kehidupan nya tak pernah berarti sejak kecil. Ia...
819K 23K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
4K 597 39
πŸ’œ LavenderWriters Project Season 08 ||Kelompok 02|| #Tema; Ghosting Ketua : Hanifah Wakil : Dini & Lintang 🎬🎬🎬 Berawal dari kisah cinta yang t...
49.8K 9.3K 43
Rival Lomba. Itulah yang dapat menggambarkan hubungan Alvino dan Carren. Sebagai rival lomba, tentu saja mereka sering beradu mulut. Tiada hari tan...