Something About You

By matchamallow

4.1M 572K 253K

18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Ka... More

INTRODUCTION
Sinopsis - Something about This Story
Part 1 - Something about Blackmere Park
Part 2 - Something about Rejection
Part 3 - Something about True Sadness
Part 4 - Something about A New Hope
Part 5 - Something about Beauty
Part 6 - Something about Dream
Part 7 - Something about Madame Genevieve
Part 8 - Something about Reputation
OFFICIAL ACCOUNT
Part 9.1 - Something About Kindness
Part 9.2 - Something About Kindness
Part 10 - Something About Manner
Part 11 - Something About Rules for Lady
Part 12 - Something About The Season
Part 13 - Something About Scandal
Part 14 - Something About Laugh
Part 15 - Something About the Reason
Part 16.1 - Something About That Man
Part 16.2 - Something About That Man
Part 17 - Something About Gentleman
Part 18 - Something About Heart
PART 19.1 - Something About Lisette
Part 19.2 - Something About Lisette
Part 20 - Something About The Way You Make Me Feel
Part 21.1-Something About Missunderstanding
Part 21.2 - Something About Missunderstanding
Part 22.1 - Something About Distance
Part 22.2 - Something About Distance
Part 22.3 - Something About Distance
Part 23.1 - Something About Gossip
Part 23.2 - Something About Gossip
Part 23.3 - Something About Gossip
Part 23.4 - Something About Gossip
Part 24.1 - Something About Proposal
Part 24.2 - Something About Proposal
Part 24.3 - Something About Proposal
Part 24.4 - Something About Proposal
Part 25.1 - Something About Purpose
Part 25.2 - Something About Purpose
Part 26.1 - Something About Plan
Part 26.2 - Something About Plan
Part 27. Something About The Truth
Part 28 - Something About Chaos
Part 29 - Something About Revenge
Part 30-Something About Another Woman
Part 31.1 - Something About Friendship
Part 31.2 - Something About Friendship
Part 31.3 - Something About Friendship
Part 32.1 - Something About Betrayal
Part 32.2 - Something About Betrayal
Part 33 - Something About Seduction
Part 34.1 - Something About The Fear
Part 34.2 - Something About The Fear
Side story/ POV Raphael
Part 35.1 - Something About Happiness
Bab 35.2 - Something About Happiness
Part 36 - Something About Boundary
Part 37 - Something About Carlisle
Part 38 - Something About True Sadness
Part 40 - Something About Lost
Part 41 - Something About Hopeless
Part 42.1 - Something About Keele
Part 42.2 - Something About Keele
Bab 43 - Something About Doubt
Part 44 - Something About Invitation
Part 45.1 - Something About Love and Confession

Part 39 - Something About Awakening

25.4K 4.8K 1.6K
By matchamallow

Just info, kalau kamu nggak bisa baca part 38, refresh dulu library kamu. Caranya ke perpustakaan dulu, biasanya ada di tengah bawah (lambang garis 3/ buku), tarik ke bawah sampai muncul loading. Coba buka lagi part 38 nya.

Kalau masih tak bisa, keluarkan cerita ini dari library/ perpustakaan. Terus tutup Wattpad, refresh hape. Buka Wattpad lagi. Cari cerita ini, buka part 38nya. Pasti bisa. 😄

•••

Jangan lupa tekan love

Jangan lupa komen

Jangan lupa follow akun penulis : Matchamallow

***

PART 39 - SOMETHING ABOUT AWAKENING

Blackmere Park, musim semi Maret 1854

"Ada apa dengan pelipismu, Rafe?" Derek bertanya luka di kepala Raphael tanpa rasa prihatin dan malah tertawa seperti kebiasaannya. Begitu pula George. Musim semi sudah tiba dan mereka kembali mengganggu Raphael di estatnya. Dan karena tidak ada orang lain di sana, mereka juga kembali memanggil dengan panggilan akrab satu sama lain.

Mengabaikan pertanyaan mereka, Raphael menatap ke luar jendela mengamati pekarangan yang sudah tidak sebecek sebelumnya akibat salju yang mencair. Matahari sudah mulai bersinar setiap harinya yang membuat pucuk-pucuk rumput kembali tumbuh menghijau. "Kapan kalian akan ke London?" tanyanya tanpa menoleh. 

"Itu pertanyaan yang amat sopan, Rafe. Kami baru saja sampai di sini," sindir Derek.

George terkekeh. "Sebenarnya kami baru saja dari London lusa lalu. Cukup mengejutkan karena suasana sudah ramai. Mungkin orang-orang sudah tidak tahan berada di rumah selama musim dingin. Beberapa orang malah sudah mengadakan pesta dan menyebarkan undangan."

"Dan di Bond Street orang-orang berbelanja gila-gilaan. Entah darimana mereka mendapatkan uang yang seakan tak pernah habis. Fairley's dipadati pengunjung seperti biasa, tapi ada juga pertunjukan di pertokoan yang membuat ramai."

"Pertunjukan lady berjalan itu?" 

"Ya, pertunjukan lady berjalan itu, George." 

"Apa mereka benar-benar lady?" tanya George lagi.

"Tentu saja bukan. Mereka orang-orang yang dibayar untuk berjalan dengan gaun seorang lady." Derek beralih pada Raphael. "Rafe, kau tidak ingin melihatnya?"

"Untuk apa?"

"Entahlah." Derek mengangkat bahu seraya berdiri menghampiri Raphael, ikut menatap ke luar jendela. "Semua orang haus hiburan baru. Kau menyukai bisnis, bukan? Pertunjukan itu membuat toko-toko di Bond Street begitu ramai."

"Aku tidak tertarik pada bisnis pertunjukan."

"Ia tidak akan menerima saran darimu. Dia hanya mengikuti Maximillian si dewa uang, Vaughan."

"Tidak." Raphael mengingat hubungannya dengan Maximillian yang masih dingin. Itu karena Raphael sendiri yang tidak menanggapinya. "Aku hanya tidak berniat membuat diriku bangkrut karena terlalu berambisi menghabiskan modal. Lagipula banyak hal yang harus diurus lebih dulu."

"Termasuk kuda-kudamu itu?" Derek mengedikkan dagu pada kandang kuda terbuka mereka dengan arena rintangan yang terlihat di kejauhan.

"Ya, termasuk mereka."

"Ascot tiga bulan lagi. Aku akan fokus melatih Merlin dan mencarikan joki terbaik untuknya. Sungguh, aku tidak sabar untuk kejuaraan itu."

"Memang sepertinya bakatmu ada pada kuda dibanding berjudi, Derek," timpal George.

"Ascot juga adalah judi, George," toleh Derek.

"Tapi setidaknya kau jarang kalah di sana."

"Benar." Derek menghela napas lelah. "Sayang sekali Ascot hanya diadakan setahun sekali."

"Atau mungkin kuda adalah bidangmu, bukan judi itu sendiri."

"Teh Anda sekalian, My Lord, Master George." Winston menaruh baki berisi teh dan scone hanya untuk formalitas kepada tamu. Ketiga orang di ruangan itu menoleh sejenak lalu mengabaikan Winston lagi tanpa ucapan apa pun termasuk terima kasih karena memang hal itu pantang diucapkan bangsawan kepada pelayan. 

"Sungguh hening di sini. Dan dingin." George menaruh koran dan menuang salah satu teh ke cangkir tanpa susu dan satu balok gula. "Estatmu benar-benar suram, Rafe."

"Tapi kalian tetap kemari."

"Kami khawatir kau kesepian di sini. Bukankah nenekmu masih di Harrogate?"

"Ya, ia masih di Harrogate hingga pertengahan musim semi."

"Lalu tahun ini tidak ada Miss Kaytlin yang menyemarakkan suasana lagi, bukan? Bukankah ia sudah di Carlisle?" timpal Derek.

"Ya, ia sudah di Carlisle."

"Bagaimana kabarnya?" Derek terkekeh. "Aku tidak bisa melupakan wajah paniknya setelah kau takut-takuti terakhir kali di Torrington House."

"Ia baik-baik saja," jawab Raphael. "Dan sepertinya begitu bahagia di sana," tambahnya mengingat surat Kaytlin yang ia baca. 

"Wajahmu menunjukkan kau tidak senang ia bahagia."

"Apa kau pernah melihat Rafe senang, Derek?" canda George.

"Rafe sebenarnya menyukai gangguan Miss Kaytlin, sama seperti ia menyukai gangguan kita. Ia sedang merasakan kehilangan gangguan itu."  Derek menyengir. "Benar bukan, Rafe?"

Raphael tidak tersinggung karena mereka juga sudah biasa menggodanya dengan hal yang sama semenjak pertama kali Kaytlin mengejar-ngejarnya di hutan. Hanya saja sekarang Raphael tidak bisa merasakan lelucon itu lagi dengan cara yang sama. Seandainya saja Kaytlin tidak begitu impulsif, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin Raphael tidak akan pernah mengenalnya, bahkan melihatnya pun tidak. Dan Derek serta George tidak akan berakhir menggodanya berkaitan dengan namanya seperti ini.

"Ya," sahut Raphael menjawab pertanyaan Derek yang sebenarnya tidak perlu ia jawab.

***

Raphael jarang mengikuti Derek dan George bersenang-senang di London, tapi kali ini ia mencoba. Sepertinya sudah begitu lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kelab pria seperti White's. Tentu saja Derek dan George tidak mengajaknya ke White's dan memilih kelab tanpa keanggotaan ketat yakni Brook's. 

Suasananya tidak jauh berbeda dengan White's di mana para gentleman duduk di sofa mengelilingi meja untuk berjudi dan minum minuman keras yang disediakan di bar. Beberapa langkah dari pintu masuk, terdapat buku taruhan yang berisi catatan dari taruhan-taruhan tentang situasi yang terjadi saat ini. Ada yang bertaruh siapa yang akan memenangkan duel besok antara dua orang gentleman, partai apa yang akan menang pemilihan selanjutnya, siapa di antara dua bersaudari Cahill yang akan menjadi Duchess of Torrington, bahkan taruhan konyol seperti jenis kelamin anak kambing Lord Warburton yang akan melahirkan. Herannya ada banyak nama yang berderet di bawahnya mengikuti jumlah taruhan konyol tersebut. 

Lalu Raphael menemukannya, sebuah taruhan bertuliskan apakah setelah setahun berlalu Sophie Lyndon akan melepaskan status jandanya. Sebagian besar bertaruh setuju dengan itu. 

"Kau sudah tahu ia sudah menjanda, bukan?" tukas Derek yang ternyata ikut mengamati di sampingnya. 

"Ya, aku tahu," sahut Raphael. 

"Itu berita gembira." George menyengir lebar.

"Tidak ada sesuatu yang menggembirakan dari kematian." Raphael menutup buku taruhan itu. 

"Kau sudah lepas dari kebangkrutan, kau punya teman-teman yang setia dan menyenangkan sepertiku dan George. Dan mantan kekasihmu sudah menjanda. Apalagi yang harus kaupikirkan dalam hidup? Ayo kita bersenang-senang." Derek mengalungkan lengan di leher Raphael dan mengajaknya masuk ke dalam. 

"Blackmere," sapa seseorang dari arah ruang judi. 

"Kimleigh ada di sini." Derek dan George bergumam berbarengan dan menyeringai geli. 

Raphael mengenal Kimleigh sebagai salah satu pengagum Kaytlin sekaligus juga kenalan lama yang tidak begitu akrab. Ia memiliki banyak teman karena sikapnya yang ramah, namun di saat yang sama juga banyak yang tidak tahan berada di dekatnya terlalu lama karena kepribadiannya yang narsis berlebihan. 

"Vaughan, Sommerby," imbuh Kimleigh begitu sampai di depan mereka. "Aku tidak menyangka melihat Blackmere di sini." Ia tersenyum penuh percaya diri.

"Sudah begitu lama, bukan?" tukas Derek.

"Yah, sudah begitu lama. Ia pasti tidak tahu berapa jackpot yang telah kudapat di sini serta medali-medali kejuaraan polo yang kuraih." Kimleigh menyombongkan prestasi-prestasinya seperti biasa, entah apa itu. "Kau sudah lama tidak bersosialiasi, Blackmere. Selamat datang kembali dan kuharap kita lebih sering bertemu."

"Aku hanya ingin minum sedikit malam ini," sahut Raphael singkat.

"Ia merasa bosan di estat," timpal George.

"Mengapa baru sekarang kau sadar?" tukas Kimleigh. "Ah, bagaimana kabar Miss de Vere? Aku merindukan dirinya yang selalu antusias pada cerita-ceritaku. Aku yakin  ia juga sama rindunya padaku. Apakah ia sudah kembali dari rumah adiknya?"

"Entahlah, aku tidak yakin. Ia akan berada di London jika sudah berada di rumah kerabat Malton di Mayfair."

"Jadi Miss de Vere tidak akan berada di estatmu lagi?"

Raphael menggeleng. Ia sebenarnya malas menjawab pertanyaan itu. Bukan karena ia kesal pada Kimleigh yang mengungkit lagi seorang wanita yang ingin ia lupakan, setidaknya malam ini saja karena untuk itulah ia kemari. Wanita itu sudah terlalu banyak mengisi tempat dalam pikirannya hingga tidak menyisakan hal lain yang bisa Raphael pikirkan lagi.

Karena Kimleigh, ia jadi berandai-andai sesuatu yang lebih parah yakni apa yang akan Kaytlin lakukan tahun ini. Kaytlin sudah mengatakan tidak ada anak di antara mereka, tapi ia juga ragu apakah Kaytlin akan lanjut menjadi debutan dengan kondisinya sekarang. 

Tidak...sepertinya tidak...

Tapi ia juga tidak tahu apa yang akan dilakukan Kaytlin jika tidak menjadi debutan. Tidak ada gambaran sama sekali. Ia tidak menjadi debutan dan ia juga tidak ingin bersama Raphael. Lalu apa?

Raphael sudah menghabiskan tiga putaran permainan kartu saat akhirnya bisa melupakan pertanyaan itu sejenak. Ia akan memberikan Kaytlin waktu menjauh sebanyak yang ia inginkan. Raphael juga sadar secara tidak langsung ia memang telah meminta Kaytlin menjadi wanita simpanannya. Tapi ia tidak bermaksud seperti itu. 

Tuhan, apa yang sudah ia lakukan...

"Rafe, sudah cukup." Derek menahan tangan Raphael yang hendak meminum minumannya yang entah sudah gelas keberapa. Raphael tidak sadar dan tidak sempat berhitung karena sibuk bermain kartu. "Kau tidak pernah minum sebanyak ini."

"Apa ini lelucon? Biasanya kau dan George yang selalu menawariku menambah minuman."

"Itu karena kau jarang menerimanya." Derek mengambil gelas dari tangan Raphael dan menaruhnya. "Lagipula kita sudah kalah cukup banyak hari ini. Menurut standarku."

"Derek benar. Kurasa sudah cukup. Kita sudah menang banyak, dan juga kalah banyak." George menghela napas. 

Mereka sama-sama melihat meja kartu. Raphael menaruh kartunya dan memutuskan tidak melanjutkan lagi.

"Jangan bersedih. Ayo kita bersenang-senang di tempat lain." Derek mengajak mereka beranjak setelah melakukan perhitungan kekalahan dan kemenangan di meja kasir. 

"Kalian sudah akan pergi?" tanya Kimleigh yang begitu peduli pada mereka sejak tadi. 

"Ya, Kimleigh. Kami akan mencari wanita," sahut Derek.

"Mencari wanita apa?" tanya Raphael dengan kening berkerut dan mata tak fokus akibat terlalu banyak minum. 

"Tentu saja wanita penghibur. Aku tidak memiliki janji dengan istri seseorang akhir-akhir ini." Derek terkekeh diikuti George.

"Kurasa aku tidak bisa ikut. Kalian ke sanalah sendiri," tolak Raphael dengan tenang mengetahui Derek akan mengajaknya ke tempat prostitusi.  Ia tidak akan melarang mereka, tapi ia sendiri tidak pernah dan tidak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat itu.

"Ayolah, Rafe. Kau tidak mungkin bercita-cita menjadi santo, bukan?" ledek George. "Sudah berapa lama kau tidak bersama wanita? Setahun? Dua tahun? Atau mungkin tidak sama sekali setelah kau dicampakkan wanita itu?"

Seandainya mereka tahu itu tiga bulan yang lalu. Dan Raphael masih mengingatnya dengan jelas bahkan dalam kondisi kepala yang berputar pening akibat alkohol yang mengalir dalam darahnya. Ia masih mengingat rambut hitam itu, mata biru ekspresif itu, dan bibir merah yang selalu mencuri ciuman darinya dan mengucapkan selamat tidur setelahnya. Raphael tahu itu karena ia pura-pura tertidur. Ia tidak akan pernah bisa tidur sebelum wanita itu tertidur. Ia terlalu menyukainya, bahkan hingga membuat dirinya takut. 

"Tidak. Aku akan mencari kusirku dan pu__" Sebelum Raphael menyelesaikan kalimatnya, ia sudah ambruk ke trotoar.

Derek dan George menyimak Raphael yang tertidur dengan damai di kaki mereka, lalu saling bertatapan. 

"Kurasa ia memang harus pulang," ujar Derek santai sambil menarik sebelah tangan Raphael untuk memapahnya ke kereta. "Bantu aku, George."

***

Pagi harinya Raphael terbangun di tempat tidurnya dengan kepala berat bagai dihantam besi. Ia masih memakai pakaian bekas semalam, namun ia bertelanjang kaki yang berarti Winston sempat melepaskan sepatunya sebelum naik ke tempat tidur. Raphael tidak  begitu ingat.

Berapa lama ia melewati pagi hari bagai neraka seperti ini? Sebulan? Dua bulan? Ia bahkan sudah lupa sejak kapan. Ia harus berhenti atau ia akan berakhir sebagai pemabuk, di mana ia tidak menyukai itu. Ia jarang mabuk seumur hidupnya kecuali jika ada perayaan, itu pun bukan mabuk berat seperti saat ini. Dan rasanya begitu mengerikan saat tersadar. 

Sambil mengerang, ia memaksa tubuhnya untuk bangkit. Ia terduduk di pinggir tempat tidur untuk waktu yang sangat lama, menatap jendela yang semakin lama semakin terang. Perjuangannya belum berakhir karena ia masih harus pergi ke kamar mandi yang terasa begitu jauh. Tulang-tulang di tubuhnya seakan memberontak menginginkan ia kembali ke ranjang, namun Raphael yakin ini semua akan berakhir segera setelah ia berendam dalam air panas. 

Setengah jam kemudian, entah bagaimana ia berhasil melalui itu semua dengan selamat dan turun untuk duduk di ruang kerjanya. Semenjak hanya ada dirinya di estat, ia meminta Winston untuk menyiapkan sarapan langsung di sana. Kali ini ia meminta air dan secangkir kopi dibanding sesuatu yang keras, bahkan wine pun tidak, untuk menjernihkan pikirannya. 

Winston mungkin sedikit bingung dengan permintaannya yang tidak umum, namun kepala pelayan itu tetap melakukan apa yang Raphael pinta. Ia pergi ke dapur, dan kembali beberapa saat kemudian dengan secangkir kopi kental dan air dalam teko keramik. Raphael menerimanya dan langsung menyesap kopi tersebut begitu dihidangkan.

Sebelum ia menyemburkannya lagi keluar, berikut sumpah serapah yang mengikuti. 

"My Lord!!" Winston terperanjat kaget.

Raphael terdiam syok menatap kopi yang masih tersisa di cangkirnya. Rasanya luar biasa asin, membuatnya tersadar sepenuhnya dari efek mabuknya hingga tak bersisa. 

"Siapa...yang membuat kopi ini?"

***

"GRETCHEN!! GRETCHEN!! KEMARI KAU! JANGAN LARI KAU, ANAK IDIOT!!"

Itu adalah teriakan membahana Mrs. Dorie begitu mengetahui putrinya membubuhkan garam ke dalam kopi milik lord mereka. Gretchen keluar dapur dan berlari terbirit-birit menuju kandang ayam di belakang. Dorie yang bertubuh gemuk mengejarnya terengah-engah dengan pisau daging di tangan. Dan di belakangnya pelayan lain mengikuti karena khawatir Dorie benar-benar akan membunuh putrinya. 

"Berhenti kau! Memang ke mana kau ingin lari?!" ancam Dorie.

"Dorie berhentilah mengejar Gretchen!" Semua berteriak pada Dorie. Dengan mengerang kesal, Dorie pun berhenti dan mengentakkan kaki untuk berbalik. Ia bersandar di sebuah batang pohon, mengendalikan napasnya yang naik turun karena berlari. 

"Ibumu sudah berhenti, Gretchen. Jangan berlari lagi. Apa kau tidak mengasihani Mr. Basset?" seru Paul yang menuntun Mr. Basset berjalan paling belakang karena tidak kuat berlari. 

Gretchen berhenti dan berbalik. Ia menatap semua orang sebelum berteriak gusar. "Mengapa aku harus mengasihaninya?! Ia pun tidak pernah kasihan pada Miss de Vere atau siapa pun!" 

"Gretchen, kau harus mengerti kedudukanmu di sini." Paul menasehati. 

"Aku mengerti kedudukanku. Pelayan tidak boleh mencampuri urusan tuannya, bukan?" tutur Gretchen dengan mata berkaca-kaca. "Kalian bisa melakukan  itu, kalian bisa diam tidak peduli semua ini. Karena kalian tidak pernah bersama Miss de Vere dan mengetahui bagaimana dia! Tapi aku tidak bisa. Aku bersamanya setiap musim yang berganti, mendengarkan cerita dan impian-impiannya setiap malam..."

Gretchen membersitkan hidungnya yang ikut berair. Semua terdiam menatapnya prihatin. 

"Ia begitu baik dan tidak pantas mendapatkan semua ini..." 

"Gretchen...." Mr. Basset memejamkan mata, menghela napas, lalu membuka matanya lagi untuk mendapatkan kesabaran sehingga bisa berbicara dengan tenang. "Aku tahu kau ingin Miss de Vere menikah dengan His Lord. Tapi kau tidak berhak...sebesar apa pun keinginanmu, kau tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu adalah keinginanmu semata, bukan keinginan mereka. Apa kau mengerti?"

"Miss de Vere ingin menikah dengannya. Aku tahu seberapa besar keinginannya. Dan His Lord...untuk apa ia menerima perhatian Miss de Vere jika ia tidak menyukainya?! Ada sesuatu yang salah!"

"Kalau begitu hanya His Lord dan Miss de Vere yang bisa menyelesaikan sendiri masalah mereka."

"Ini sudah terlalu lama, Mr. Basset! Seseorang harus menyadarkannya!"

"Kau tidak bisa, Gretchen!" Dorie berteriak kesal dari pohon tempatnya bernaung. "Kita semua tidak bisa! Kau hanya membuat masalah dengan tingkahmu ini."

Gretchen menatap nanar ibunya, lalu kembali pada Winston. "Mr. Basset, kau bisa! Ia menghormatimu. Kau bahkan lebih tua dari Marquess terdahulu. Ia pasti akan mendengar kata-katamu! Jika His Lord memiliki perasaan pada Miss de Vere, ia pasti akan mendengarkanmu. Tapi selama ini kau hanya diam__"

"Gretchen! Hentikan kelancanganmu!" teriak Dorie sekali lagi. "Apa kau tidak mengerti?! Kita semua adalah pelayan! Pelayan!"

"Mr. Basset..." Gretchen masih menatap penuh harap.

"Aku tidak bisa, Gretchen," geleng Winston. "Tapi aku akan mencoba berbicara pada His Lord tentang kopimu hari ini."

"Aku tidak perlu itu! Aku tidak takut ia akan memecatku!"

"Sudah beruntung jika His Lord hanya memecatmu dan tidak melaporkanmu pada polisi!" gertak Dorie.

"Cukup!" Winston menghentikan perdebatan ibu dan anak tersebut. Ia mengembuskan napas sekali lagi, lalu melanjutkan memerintah dengan kaku. "Semuanya kembali bekerja."


***


Winston berlalu dari halaman belakang dan membuat kopi sendiri di dapur sebelum membawanya ke ruang kerja. Ia melihat Raphael terduduk di sofa dengan sebelah kaki terangkat dan pandangan menatap ke luar jendela. Meja kerja sudah dibersihkan dari tumpahan kopi namun Winston memilih mendekatinya dan menaruh kopi itu di meja kecil sofa. 

"Gretchen yang membuat kopi. Ia masih muda dan belum mengerti. Jiwanya masih berapi-api. Jika Anda ingin memecatnya itu wajar, tapi__"

"Gretchen..." Raphael terlihat berpikir. "Biarkan saja kalau begitu."

"Pardon me?"

"Benar, Gretchen, bukan? Biarkan dia." Raphael memejamkan mata dan mengistirahatkan kepalanya ke sandaran sofa. "Itu hanya garam."

"Baik...My Lord."

Entah benar atau tidak, Winston menduga Raphael ingat bahwa Gretchen adalah pelayan Miss de Vere saat di sini. Bagaimana ia bisa ingat betul, padahal Raphael tidak pernah hapal nama-nama pelayan lain selain Winston sendiri?

Gretchen tidak tahu masalah yang terjadi tidak sesederhana dengan hanya hubungan antara Raphael dan Miss de Vere. Gadis itu tidak mengerti tentang masa lalu Raphael. Tentang ibu Raphael sang marchioness, ayahnya marquess terdahulu, wanita simpanan sang marquess, dan juga Sophie. Tapi Winston tahu segalanya. Ia juga tahu bagaimana terakhir kali Raphael berbicara dengan Sophie. Dan ia memilih bersikap netral terhadap hal tersebut karena hal itu bukan hal penting yang menyangkut kelancaran pekerjaan di estat. Di samping kedudukannya sebagai pelayan yang membuatnya tidak boleh ikut campur segala urusan pribadi mereka.

Namun jauh...jauh di lubuk hatinya ia menyayangi Raphael seperti seorang anak. Winston ingin mendekapnya saat kematian sang marchioness, ia ingin memeluknya saat anak itu menangis kehilangan kudanya di Smithfield Market, ia ingin memeluknya dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja saat Raphael ditinggalkan dalam kebangkrutan dan sejumlah besar utang oleh almarhum ayahnya. Berkali-kali, Winston ingin melakukannya...tapi ia menahan diri...Dan ia juga tidak yakin Raphael memerlukannya, karena selama ini anak itu selalu bisa menyelesaikan segalanya seorang diri. 

Ia tidak yakin Raphael akan memerlukannya lebih dari seorang pelayan.

Tapi, sekali lagi Winston berpikir. Ia tidak pernah melihat Raphael sebahagia terakhir kali, tersenyum, dan tertawa di meja makan. Dan Winston ingin melakukan sesuatu untuknya dalam sisa hidup yang tidak seberapa...

"My Lord..." Winston mengucapkan ragu, namun ia meneruskannya. "Mungkin aku tidak berhak mengatakan ini karena seharusnya pelayan memang tidak berhak mengutarakan pendapatnya. Tetapi selama ini Anda selalu mengambil keputusan pribadi yang mengutamakan kebahagiaan orang lain. Sesekali, Anda harus mengambil keputusan untuk kebahagiaan Anda sendiri."

Raphael terdiam tak melihatnya. 

Winston tidak berharap lebih dari itu sehingga ia berbalik dan pergi dari ruangan. Yang jelas ia sudah mengucapkannya. Dan ia tidak tahu dengan pasti apa sesungguhnya yang membuat Raphael bahagia. Apakah sama seperti bayangan semua orang di estat, atau tidak. 

"Winston..." Terdengar panggilan Raphael di belakangnya. Winston berhenti melangkah. 

Dan Raphael melakukan sesuatu yang selalu Miss de Vere lakukan dan sangat tidak Winston sukai.

"Terima kasih."

***

Saat Winston berderap memasuki dapur kembali, semua menoleh padanya dengan tegang. Terutama Gretchen yang sedang memotong sayur. Ia menatap Winston dan terdiam menunggu penuh harap.

"Bagaimana Mr. Basset? His Lord tidak memecat Gretchen, bukan?" tanya Dorie yang kini berbalik kasihan pada putrinya. Bagaimanapun juga dipecat tanpa referensi akan sulit untuk seorang pelayan menemukan pekerjaan di tempat terhormat lain.

Winston menatap Gretchen sekali lagi, yang seketika menunduk malu meneruskan pekerjaannya. 

Lalu Winston beralih pada Paul si kusir. "Paul, siapkan kereta untuk ke stasiun. His Lord akan ke Carlisle."

Gretchen terkesiap dan mengangkat wajahnya kembali. "Mr. Basset, kau sudah berbicara padanya?!"

"Teruskan pekerjaanmu," sahut Winston kaku.

"Oh!!" Gretchen menaruh pisaunya dan berlari untuk menghambur memeluk pria tua itu hingga semua terperanjat. "Mr. Basset, aku mencintaimu!! Aku amat mencintaimu!!"

Winston hampir menitikkan airmata sebelum bertahan untuk tidak menunjukkan kelemahan itu di depan semua bawahannya. Ternyata ia lebih berarti, lebih dari sekadar seorang pelayan di hati Raphael, dan ia tidak akan mengetahui kenyataan itu sampai mati jika bukan karena anak nakal yang sedang memeluknya sekarang. 

"Teruskan pekerjaanmu, Gretchen." Winston menepuk-nepuk bahunya. "Teruskan pekerjaanmu."

***

Angel Like You ~ Miley Cyrus

Bersambung part 40

KOMEN NEXT DI SINI!!!

Btw kalau tercapai vote 4000, aku up langsung part 40

Kalau tidak tercapai ya tak pa pa tunggu minggu depan. OK

Untuk yang mau baca cepat, di Karyakarsa sudah up. Harga 3ribu.

Besok di Karyakarsa jadwal up part 41 (kalau kelar juga 42)

***

Continue Reading

You'll Also Like

28K 7.3K 37
Bersama Hyeon Jun, Mi Rae merasa nyaman dan hidupnya terasa seperti petualangan. Dengan Do Hyun, Mi Rae merasakan cinta pertama yang menyapa hatinya...
58.3K 1.8K 37
(Usahakan vote dan komen sebelum membaca) Matthias, seorang pendeta manipulatif dan juga memiliki sebuah rahasia gelap yang di sembunyikan dari para...
336K 50.1K 76
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
10.7K 1.1K 8
Kisah Taeyong dan Doyoung, pasangan kakak beradik yang terpaksa harus menjadi tetangga karena perceraian orang tua nya. [brothership, bromance] © nat...