Swastamita di Cakrawala ( On...

By PenulisAmatir085

1.9K 1.2K 1.3K

8 tahun berpisah akhirnya penantian Elia selesai. Elia Alzena cewek mungil yang selalu menunggu Aska-nya kemb... More

Prolog
1. Dari waktu ke waktu
2. Cuma mirip
3. Harapan
4. Belum jadi mantan
5. Nathan berubah
6. Bingung mau sedih apa senang
7. Karena gibran
8. Emang jujur susah?
9. Lomba 🏆
10 Bertemu kembali
11. Areska
12. Bukan salah elia
13 Nathan tuh kenapa?
14. Jadi yang mana?
15. Elia kambuh
16. Nathan 's problem
17. Hampir kehilangan
18. Problem again
19. SMA Garuda vs SMA Galaksi
20. Yang nathan rasakan
22. Limitation

21. Marahnya Elia

62 27 98
By PenulisAmatir085

Elia turun dari motor, tidak lupa mengucapkan terima kasih pada supir ojol barusan. Lalu masuk ke dalam rumah.

Bahunya merosot seraya menghela napas pelan, wajahnya sembap akibat menangis tadi di rooftop sekolah. Teringat kembali soal perkataan Nathan.

Begitu ia masuk langsung mendapati ayah dan papah yang sedang mengobrol, membuat Elia menatap sang ayah dengan geram.

"Udah pulang? Sama siapa?" tanya Kala menatap ke arah luar rumah mencari seseorang.

Elia mengepalkan tangannya. Menatap Kala dengan wajah sembap juga bibir yang sudah bergetar menahan tangis.

"Lo mau gue gimana? Jujur? Gue tuh kesel El, sama semuanya, sama cara papah yang ngatur hidup gue, terus ayah yang ngeharusin gue banget buat gue pulang bareng sama lo, dan lo yang cuma diem aja, nurut sama mereka padahal lo tau gue gimana"

"Iya, karena penyakit lo kambuh di tempat yang jauh. Padalah lo sendiri yang nekat pergi sendirian dan minta gue buat nggak usah anter karena lo balak di jemput Aska, akhirnya apa? gue lagi yang kena marah sama papah juga ayah." 

"Lo egois El,"

"Lagian ayah tuh harusnya nggak punya hak dalam hidup gue cuma karena dia bantu papah yang hampir bangkrut."

"Nggak, El pulang sendiri." jawab Elia dengan berani, sengaja memancing emosi Kala.

Alhasil ayah langsung berdiri sedangkan papah mengecek hpnya hendak menghubungi Nathan. "Suruh siapa pulang sendiri, Nathan mana?" 

 "Kenapa? Ayah mau marahin Nathan lagi?" tanya Elia ketus. Ayah langsung menyerngit tak suka.

"Papah juga ngapain sih? Call Nathan? Ngapain?" 

Zena, mamah Nathan yang baru keluar dari dapur menyengit bingung. "Ini kenapa nih?"  

"Ya ayah salah-in Nathan, karena itu tugasnya Nath--"

"Persetan sama tugas! Ayah tuh udah ngekang dia tau nggak." sentak Elia marah. "Papah juga sama aja!" untuk pertama kalinya Elia membentak sang ayah.

"El?" ayah berjalan mendekat. Membuat suasana jadi makin mencekam dan mamah memilih menghampiri papah yang hanya diam.

"Minggu lalu aku di rumah sakit, iya kan? Nanti bisa aja aku kecelakaan atau mati tiba-tiba, dan Nathan nggak bisa selalu ada di samping aku. Ayah sama papah mau salahin dia juga?!"

Ayah bungkam, seakan kehilangan kata untuk bicara. Dan papah langsung diam berfikir soal putranya.

"Yah! Pah. Nathan tuh punya kesibukannya sendiri, dia hidup tuh punya tujuan! bukan robot yang harus ikut semua perintah dari ayah dan ikut aturan dari papah. Nathan nggak bisa terus ada di deket Elia, papah sama ayah mau salahin dia juga?!"

"Senggaknya ayah bisa tenang kamu di samping Nathan, ataupun sekarang ada Aska yang ikut jagain kamu."

"Aku yang nggak tenang. El malu, El kesel, El pengen marah karena liat Nathan yang cuma bisa diem aja di marahin ayah atau papah. Dan lagi nggak usah bawa-bawa Aska ke dalam masalah kaya gini! Cukup Nathan, jangan ada lagi. Aku muak sama semuanya." 

Ayah akhirnya duduk lagi, menunduk dan menutup wajahnya karena tertampar dengan kalimat yang Elia lontarkan. Raga yang berada di kamar sampai keluar untuk melihat.

Elia makin menangis kejer, tak bisa memungkiri perasaannya sangat terpukul dengan kalimat yang dilontarkan Nathan di sekolah. Mamah berjalan mendekat ke arah Elia agar ia jauh lebih tenang.

"El pengen kaya temen yang lain, bisa jalan-jalan, main sepulang sekolah, apa-apa bisa tanpa laporan ataupun di temenin Nathan. Pengen kaya mereka yang nggak harus pulang tepat waktu lah, berangkat wajib di anter, pulang harus banget di jemput. Sekalinya El bilang pulang bareng temen, ayah selalu interogasi mereka."

Mamah jadi meringis kasihan, langsung menarik Elia ke dalam pelukannya. "Dah dah, udahan."

"Papah juga sama aja! Nathan tuh anak papah kenapa harus selalu ikut-in apa peraturan papah. Papah yang hutang budi sama ayah kenapa harus Nathan yang balas dengan jaga Elia! Nathan juga punya kehidupannya sendiri, dia hidup bukan buat jaga-in Elia selamanya. Nathan bebas cari kebahagiaan dia seharusnya."

"Bilang-in sama ayah Mah..." Elia menangis keras. "Elia pengen bebas kaya orang normal, kalopun Elia ditakdir-in meninggal, mau kaya apapun ayah jaga-in Elia itu bakal percuma. El bakal tetep meninggal juga." 

"Hush jangan ngomong gitu,"

Ayah dan papah tertegun dengan kalimat itu. Sesak rasa sesak langsung menjalar ke dadanya karena merasa tidak berguna menjadi seorang ayah. Hal yang menyadarkan karena salah bersikap kepada Nathan.

"Satu lagi,"

"Jangan sampe ayah laku-in itu juga ke Aska, Elia bisa malu banget nantinya di depan dia. Ayah tau? Dari kecil El selalu suka Aska, lebih dari seorang sahabat." ungkapnya membuat mereka terkejut bukan main. Ayah langsung menatap kepala menatap putrinya, kaget saat mengetahui fakta ternyata selama delapan tahun terakhir Elia punya perasaan sebesar itu pada Aska.

"Kaget kan? Ayah tuh cuma sibuk jagain Elia biar baik-baik aja tapi nggak pernah tau El sukanya apa!" 

"El,"

"Buat papah, please nggak usah ganggu Nathan lagi mulai sekarang, papah tau anak papah kemarin hampir aja ilang kesempatan buat ikut turnamen yang dia tunggu dari tahun kemarin tau nggak?."

"Kalian tuh cuma peduli apa yang menurut kalian bener! Tanpa tahu apa yang harus selalu kita korban-in buat terlihat baik di depan kalian."

Elia menepis lengan mamah, lalu berlari kecil masuk ke kamar. Menutup pintu dengan kasar sampai menimbulkan suara yang kencang.









🌅🌅🌅







Kala masih duduk di sofa, padahal hari sudah sangat malam. Ia menunduk sambil melihat foto Sarah yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dengan pelan mulai melangkah masuk ke dalam kamar untuk menyimpan kembali foto itu. 

Lalu keluar lagi dan naik ke atas menuju kamar Raga. Mengusap pelan puncak kepala anak itu membuat Raga terusik. 

"Ayah..."

"Ssst, tidur lagi tidur," katanya tetap mengusap pelan rambut Raga.

Setelah memastikan Raga benar-benar tidur akhirnya Kala bernapas lega sambil keluar dari kamar, menatap pintu kamar di samping dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Hatinya hendak membuka lalu masuk dan memeluk gadis di dalam sana, tapi pikirannya menolak melakukan itu karena tahu kalau Elia sudah pasti masih marah padanya.

Tapi akhirnya tetap membuka pintu itu, tak sengaja melihat album di meja belajar Elia. Foto istri pertamanya Zara bersama Elia, Kala tersenyum kecil sambil meraih album itu dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa kamu harus tinggal-in kita Za? Aku masih nggak bisa jadi ayah yang baik buat Elia." ucap Kala lirih. Mengusap air matanya agar tidak mengalir. 

Pria berumur itu menarik kursi belajar milik Elia, terdiam di sana sebentar sembari memandang album foto Zara dan Elia. Tidak bisa dipungkiri kalo wanita dalam foto itu benar-benar baik sekalipun saat itu meninggalkan Elia bersama Kala. Sampai saat ini ia masih belum tahu alasan wanita itu.

Zara terlalu hebat menyembunyikan semuanya sendirian.



 "Berat bagi ayah agar bisa jadi sempurna El, ngurus kamu sebagai ayah juga seorang ibu." lirihnya sembari berjalan ke arah Elia yang tertidur lelap. "Maafin ayah, ayah terlalu takut kehilangan kamu." sambungnya. Mengecup pelan puncak kepala Elia sebelum akhirnya bangkit lalu berbalik pergi keluar dari kamar.









🌅🌅🌅



Baru saja menutup pintu. Ponsel di saku berbunyi, lengan Kala masuk ke dalam merogoh benda pipih berwarna silver grey. 

"Iya, halo Far?" sapa Kala pada orang si seberang sana.

"Obat yang kuning udah bisa di ambil Kal besok." 

"Gue besok ke sana jam 7 deh, ya." Ayah membuang napasnya pelan.

"Kondisi Elia gimana, Far?"

"Udah jauh lebih baik sih, lo bisa agak tenang. Tapi tetep jangan dibiar-in sendirian kalo bisa"

Kala mengangguk lalu menghela napas berat, baru saja ia mendapat teguran perihal ini dari Elia.

"Kal,  lo bisa nggak usah terlalu over protektif ke dia. Asal dia nggak terlalu cape itu aman, Elia juga nggak bakal terbebani jadinya."

Kala berdehem, menatap pintu bercat putih dengan nama Elia di sana. Lalu berjalan turun ke arah tangga, masih berbicara dengan dokter Farhan di telfon.

















Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 243K 59
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
1.2M 56.8K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
2.4M 139K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
3.6M 174K 64
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...