a/n: ini aku, yang abis muter otak gimana sebaiknya aku memulai chapter 91 setelah udah bikin ulah di chapter 90 sebelumnya
Dude, did I just turn CFYM into a piece of crap. Lucu banget aku selalu nge-proof read chapter CFYM sambil gumam-gumam "please don't be ugly please don't be ugly". And surprise surprise, it's still ugly nonetheless. Tapi aku seorang yang passionate! I ain't giving up! Terus bikin ulah dan bikin ulah sampe aku bisa bersanding dengan om tere liye//plak
Genre yang dibikin beda tapi yang penting sama-sama berniat ngehibur orang. Ye gak ye gak? ( ꈍᴗꈍ)
_________
Wistar berjalan ke arah halaman depan istana, rautnya cemberut mendapati suara Frey tadi masih terngiang-ngiang di benaknya.
Kenapa dia harus sedingin itu padaku tadi?
Wistar hanya sedang merasa sangat gembira melihat kedatangan kakaknya di dalam ruangan dia ingin mencerahkan suasana sedikit. Tapi begitu dia tau Valias tengah ada di Sinfhar Wistar jadi ingin merengek kenapa dia tidak diberitahu untuk ikut dengannya dan juga para mage.
Dia juga hanya sekedar penasaran apa yang dikatakan Valias sampai Frey mampu dibuat berubah pikiran. Dia hanya ingin tau.
Jangan ikut campur, katanya. Kekanakkan, katanya.
Wistar merasa kesal. Dia merasa Frey selalu saja memandangnya sebagai adik yang bodoh, Frey selalu tidak menyukainya. Apapun yang dirinya lakukan, rasanya selalu salah bagi Frey.
Haruskah dia berubah? Apakah Frey akan lebih senang jika dia bersikap seperti Dylan atau Valias?
Perutnya keroncongan dia ingin makan, tapi dia tidak ingin kembali ke ruangan itu. Tidak ketika Frey masih ada di sana.
Dia menyadari kehadiran seseorang sepuluh meter di belakangnya sesaat kemudian. Ketika dia menoleh yang dia lihat adalah Kalim. Pelayan pribadi kakaknya yang seumuran dengannya.
Keluarga Kalim adalah keluarga yang berasal dari Solossa tapi kemudian memilih untuk pergi menyelinap ke dalam Hayden. Berdasarkan cerita kakaknya, kakaknya itu tengah ikut dengan ayah mereka mengunjungi Arlern. Saat itu ada sebuah keributan, karena ada keluarga berbadan pendek yang menyelinap ke rombongan anak-anak Solossa yang akan dijual ke Hayden.
Keluarga Kalim diperbolehkan tinggal di Hayden di salah satu bagian wilayah kekuasaan Marquis Sera. Orangtuanya menawarkan Kalim untuk dipekerjakan oleh keluarga istana menjadi pelayan pribadi Frey dan waktu itu kakaknya menerimanya. Kalim kurang lebih sudah menjadi bagian dari cerita masa kecilnya bersama Azna dan Frey.
Wistar menghampiri Kalim dengan alis terangkat. "Kenapa kau mengikutiku?" tanyanya keheranan.
"Yang Mulia Frey memintaku," jawab Kalim apa adanya.
Wistar mengerutkan kening. "Kenapa?"
Kalim memandang Wistar.
Jika Kalim memikirkannya dia rasa dia tau alasannya. Tapi dia akan bersikap seolah dia tidak tau. "Aku tidak tau."
"Kalim. Ayo duduk di sini." Wistar mengajak Kalim untuk duduk di tangga area pintu masuk utama istana bersamanya. Dia ingin berbincang dengan pelayan seumurannya itu. "Kau tau kakakku. Kau bersamanya hampir setiap saat, kau lebih banyak ada di dekatnya dibandingkan aku dan Kak Azna bahkan ibu sendiri."
"Apa yang sedang mengganggunya?" Wistar menopang dagunya dengan bibir cemberut. "Tadi dia tiba-tiba bicara dengan cara seperti itu tanpa sebab padaku. Apa aku melakukan kesalahan?"
Kalim melirik Wistar. Mengarahkan pandangannya ke depan. "Aku berpikir Yang Mulia sekarang pasti sedang berada dalam tekanan. Pikiran tentang Hayden tidak akan pernah bisa dia singkirkan dari kepalanya. Dia perlu memikirkan bagaimana dia akan bersikap kepada para bangsawan, dia perlu memikirkan penobatannya."
"Yang Mulia... selalu bilang dirinya sebagai calon raja saat ini masih belum mempunyai kekuatan sama sekali," Kalim bergumam. "Itu sudah cukup menjadi sesuatu yang dapat membuatnya sering tenggelam dalam pikirannya sendiri."
Wistar semakin mencemberutkan wajahnya karena harus dia akui dia tidak bisa menyangkal. "Lalu menurutmu kenapa tadi dia bicara dingin seperti itu padaku? Apakah aku melakukan kesalahan? Dia sangat menyeramkan ketika dia sudah marah. Kurasa dia seperti itu juga karena sudah terbiasa menghadapi para penasihat? Dia harus menunjukkan sikap keras, terkadang dia jadi keras padaku dan Kak Azna juga."
Kalim menimbang-nimbang. Karena tadi pun, dia cukup dibuat terkejut dengan sikap Frey yang agak berbeda dari biasanya. "Mungkin... karena Anda membahas apa yang juga tengah memberatkan pikiran Yang Mulia Frey ketika beliau sebetulnya sedang ingin istirahat sejenak di waktu makan malamnya."
Wistar membuat bibir manyun. "Kupikir itu akan mencairkan suasana sedikit. Jika aku tidak mengatakan apapun maka tidak akan satupun dari kami yang mengucapkan sesuatu."
"Kak Azna sedang khawatir tentang para mage. Aku kira jika aku membahasnya Kak Azna akan tau kalau Kak Frey sebetulnya sudah membolehkan mereka sementara kembali ke kota mereka." Wistar menghela napas. "Lalu jika aku menanyakan alasannya, Kak Azna akan tau kalau Kak Frey mempunyai maksudnya sendiri. Dengan begitu jika pun ibu menegur Kak Frey, Kak Azna tidak akan terlalu merasa bersalah, karena Kak Frey membolehkan para mage kembali bukan sepenuhnya karena dia memintanya."
"Sejak ayah tidak ada suasana di ruang makan selalu agak membuatku kurang nyaman." Wistar membenamkan wajah di puncak kedua lutut tertekuknya. "Aku yakin Kak Frey dan Kak Azna tidak bersedih atas ketiadaan ayah, tapi kurasa Kak Frey jadi merasa kalau dia harus mengisi kekosongan tempat ayah. Ibu juga, dia menjadi sangat mengawasi gerak-gerik Kak Frey sepertinya Kak Frey juga dibuat semakin penat oleh itu."
"Aku ingin membantunya jika dia harus berhadapan dengan ibu tapi jika dia selalu menepisku pergi bagaimana aku bisa membelanya?"
Kalim mendengarkan ocehan isi pikiran Wistar. Dia mengerti apa yang sedang berlangsung di dalam keluarga kerajaan itu. Sebagai pelayan biasa yang tidak memiliki sangkut pautan dengan mereka dia tidak bisa membantu banyak. Dia hanya memberi saran. "Jika Pangeran merasa Yang Mulia Frey salah menangkap maksud Anda, berarti Anda harus menjelaskan pada Yang Mulia apa yang sebenarnya ada di pikiran Anda. Saya yakin ini hanya keterbatasan komunikasi."
(Yoggu: komungsingsasi )
Wistar cemberut. Kakaknya tampaknya juga lebih menyukai Kalim daripada dirinya. Pasti karena Kalim terkadang bisa bersikap bijaksana dan dewasa. Dirinya pasti tampak seperti adik yang sangat kekanakan di mata Frey.
Wistar dan Kalim sama-sama tidak mengatakan apapun ketika mereka sama-sama mendengar suara perut yang keroncongan. Sudah pasti itu berasal dari Wistar.
"Pangeran Wistar. Ayo kembali ke dalam. Di sini dingin. Tidak ada satupun dari kita yang bisa sampai sakit. Anda juga harus makan."
Wistar menghela napas menggerutu. Mengiakan yang dikatakan Kalim.
Setelah makan di area para juru masak bekerja dia berpisah dengan Kalim dan pergi ke kamarnya sendiri. Dia sudah berpikir Frey saat ini pasti sedang ada di ruang kerjanya lagi, dan dia pasti tidak ingin Wistar ada di ruangan itu bersamanya. Malam hari adalah waktu untuk Frey diam sendirian di ruang kerjanya. Bahkan Kalim pun tidak bisa ada di sana. Azna kakak perempuannya pasti sedang ada bersama dengan ibunya. Wistar juga sedang hanya ingin langsung ke kamarnya dan berpikir tentang dirinya sendiri.
Mungkin dia harus membuat pertimbangan apakah dia benar-benar akan mulai meniru bagaimana Kalim, atau Dylan, atau Valias bersikap. Jika memang itulah yang lebih disukai kakak sulungnya, Wistar pikir maka dia akan mencoba. Meskipun alasan dari awal mengapa dia bersikap selayaknya seorang adik yang manja ini pun adalah karena dia merasa keluarganya perlu setidaknya satu orang yang dapat banyak bicara menurunkan tensi yang seringkali menyelimuti mereka. Tapi jika memang bukan seorang bungsu seperti itulah yang dibutuhkan keluarga kerajaannya maka Wistar bisa merubah sikapnya.
Wistar menekan kenop pintu kamarnya, sudah menduga pelayannya akan sudah menunggunya di sana, siap membantunya berganti pakaian lalu pergi. Seperti biasanya.
Tapi dia harus diam terperangah karena pelayannya itu tidak ada, dan sebagai gantinya yang ada di dalam kamarnya duduk di pinggir tempat tidurnya justru adalah salah satu sosok yang dia tidak pernah sangka untuk akan ada di dalam sana.
Kak Frey....?
Frey ada di sana tengah melihat ke arahnya. Terlihat sekali kalau dia habis menunggu kedatangannya.
Wajah Wistar masam. Dia belum ada di kondisi dimana dia bisa melihat kakak tertuanya itu dengan cara yang biasanya. Pikirannya masih agak berantakan.
"Wissy." Suara Frey terdengar memanggilnya. "Duduk di sini. Ada yang harus kukatakan."
Wistar menurut dengan setengah enggan tapi dia juga selalu melihat ke arah lain, kemanapun asalkan dia tidak bertemu pandang dengan Frey.
Frey pasti menyadari penghindaran yang dibuatnya itu dia menggerutu. "Wissy, aku ... aku harus minta maaf untuk yang tadi. Yang tadi itu kesalahanku."
"Tapi kau juga, kau mengangkat topik di saat yang tidak tepat, di depan orang-orang yang tidak tepat, dan di tempat yang tidak tepat. Aku belum ingin siapapun tau tentang aku yang merubah keputusanku. Itu tidak baik untuk citra calon raja."
"Kau juga menyebut Valias." Frey membuang helaan napas yang sebelumnya tertahan. "Yang mendengar akan memulai pembicaraan tentangnya, lalu jika orang tau kalau aku merubah pikiranku karena sesuatu yang dikatakan seorang putra bangsawan itu akan sangat merusak pandangan orang-orang terhadapku. Aku tidak bisa membiarkannya."
"Kau mengakui keteledoranmu?" tanya Frey.
Wistar terdiam. Dia tidak menyadari itu sebelumnya. Yang ada di pikirannya tadi hanya Azna. Jika dia mengingatnya lagi memang benar yang tadi itu adalah sebuah kecerobohan yang bisa mengancam reputasi kakaknya.
Wistar bergumam. "Hm. Aku baru menyadarinya. Maafkan aku. Itu tidak akan terulang."
Frey memandangi adik bungsunya itu dari samping. Dia berusaha mengira-ngira apa yang kira-kira tengah ada di pikiran Wistar saat ini. Dia berkata seraya memandang kosong ke depan. "Wissy. Ingat ketika kita bertiga dengan Azna bersembunyi di ruang baca, bersembunyi dari ibu?"
Wistar bergumam mengiakan tanpa melihat pada Frey. "Iya."
"Saat itu kita bertiga sudah tau." Frey bicara bergumam. "Kita bukan anak biasa. Sedari awal kelahiran kita adalah untuk kerajaan ini. Hidup kita bukan sepenuhnya untuk diri kita sendiri melainkan untuk Hayden."
"Ketika aku berumur tujuh belas tahun, Azna lima belas, dan kau tiga belas, ibu memberitahuku."
"Aku adalah anak laki-laki pertama di keluarga kita," Frey bicara dengan pikiran yang setengah kosong. "Yang akan menjadi penerus takhta setelah ayah adalah aku. Bukan Azna dan bukan kau. Kecuali sesuatu terjadi padaku lalu posisi penerus takhta itu akan secara otomatis berpindah kepadamu."
"Aku ingin menjaga kestabilan keluarga kita," lanjut Frey dengan pandangan mata kosong. "Untuk bisa menjaga kestabilan keluarga kita aku juga harus menjaga kesejahteraan Hayden. Aku, tidak bisa mengambil resiko seseorang melihatku goyah atau ragu atau punya kelemahan. Orang tidak bisa berpikir aku adalah boneka yang tidak berdiri sendiri. Orang-orang akan enggan mengikuti perkataanku."
"Jika pembicaraan di ruang makan tadi berlanjut, aku khawatir orang akan berkata bahwa aku ada dalam pengaruh Valias." Frey menggaruk pinggir telinganya. "Aku tidak bisa mengambil resiko itu. Orang-orang harus melihatku sebagai raja yang mengambil keputusan yang berdiri sendiri, tidak karena dipengaruhi oleh seseorang atau sebuah pihak."
"Lebih berhati-hatilah, Wissy. Aku yang masih belum punya kekuatan politik sudah kondisi yang cukup buruk. Aku tidak bisa memperburuk keadaan dengan muncul rumor calon raja Hayden ada di bawah pengaruh seseorang."
Isi kepala Wistar begitu kusut sampai dia tidak tau bagaimana dia harus bereaksi. Dia tidak bisa menemukan jawaban apa yang sebaiknya dia buat.
Di lain tempat Frey dapat menangkap apa yang kira-kira saat ini tengah berkelebat di pikiran adiknya. Dia berdiri meregangkan badannya. "Dengar, Wissy. Aku adalah calon raja Hayden tapi aku masihlah kakakmu. Aku juga memiliki tanggungjawab untuk melindungi keluarga kita. Di suatu waktu pasti aku menemukan apa yang seharusnya kulakukan. Beri kakakmu ini sedikit waktu. Mengerti?" Frey membuat seringai licik seraya dia berdiri mengharuskan Wistar mendongak untuk bisa melihatnya. Dia lalu memberikan jitakan pada kening sang adik. Berbalik pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Frey menutup pintu ruangan kamar Wistar di belakangnya. Dia menarik napas lalu menghembuskannya tanpa suara. Dia, tidak hanya harus berjuang untuk keselamatan Hayden tapi dia juga harus berjuang untuk keharmonisan keluarganya. Memikirkan cara berurusan dengan kepala bangsawan-bangsawan besar bukanlah satu-satunya hal yang rumit. Keluarganya, juga sebuah persoalan rumit yang dirinya lah yang harus mencari jalan keluarnya.
Tapi dia rasa dia sudah menemukan solusinya. Dan untuk sekarang ini dia hanya akan kembali ke ruang kerjanya.
Frey seperti biasa tengah melamun memikirkan setiap persoalan yang mengganggunya sembari bertopang dagu. Dengan otaknya dia memikirkan semua jalur yang bisa di tempuh dan setiap hasil yang akan dia dapatkan.
Ketika waktu sudah mencapai habuan seperempat hari sebelum tengah malam, lingkaran sihir di ruangannya berpendar menandakan seseorang akan segera hadir di atasnya.
Yang terlihat oleh matanya adalah sebuah kelompok berisikan enam orang. Dia merasa seperti dirinya mengalami sebuah dejavu.
Dia sadari semua dari keenam orang itu adalah mereka yang memiliki wajah-wajah yang familiar baginya. Dia diam menunggu salah satu dari mereka yang akan membuat sapaan pertama. "Yang Mulia. Anda masih terjaga di ruangan Anda seperti biasanya."
27 Efra, 1768
31/08/2023 14.58 1954
_________________
Yoggu: I may have turned CFYM into too close to home