Rengkuh Sang Biru

Af Lalanaraya

79.9K 9.5K 3.6K

Renjana Sabiru harus menerima fakta tentang kepergian kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi yatim piatu... Mere

Awal || intro
Karakter tokoh
Bab.1 || Awal kisah, Di Balik Sebuah Janji
Bab.2 || Kembali Pulang, Bersama Segenggam Hangat
Bab.3 || Pengakuan Dan Harapan
Bab.4 || Harap Yang Patah
Bab.5 || Porak-Poranda Dalam Diam
Bab.6 || Dingin Yang Tidak Terbaca
Bab.7 || Setumpuk Amarah Dan Seberkas Iri.
Bab.8 || Langkah Pertama Menuju Petaka
Bab.9 || Perisai Dingin Yang Membentang
Bab.10 || Ketika kecewa dan patah mulai melebur
Bab.11 || Perihal Kecewa Dan Amarah
Bab.12 || Patah, Hancur Lebur, Tercerai Berai.
Bab.13 || Ketika Asa Tidak Lagi Tersisa.
Bab.15 ||Sederhana Yang Patut Disyukuri
Bab.16 ||Sudut-Sudut Ruang Hampa
Bab.17 || Dua Sisi Koin Yang Berbeda
Bab.18 || Tawa Yang Kembali Terenggut
Bab.19 || Yang Telah Putus Tidak Bisa Dibenahi.
Bab.20 || Ketika Hujan Kembali Menyamarkan Tangis.
Bab.21 || Jutaan Rasa Sakit Absolute.
Bab.22 || Sunyi Di Antara Riuh Semesta.
Bab.23 ||Secercah Harap Berselimut Fana
Bab.24 || Sepasang Binar yang Kembali Berpendar.
Bab.25 || Badai yang Belum sepenuhnya Usai
Bab.26 || Rengkuh Hangat Untuk Sang Biru
Cerita baru

Bab.14 || Bagaimana Pahit Terasa Manis.

2K 281 101
Af Lalanaraya


Follow IG : Lalanaraya
_________

Malam itu, saat angkasa yang begitu pekat di taburi eksistensi ribuan bintang serta sapuan sinar bulan purnama, Bapak kembali mengajak Biru untuk menghitung konstelasi-konstelasi yang ada di langit.

Selalu seperti itu. Meskipun hidup dengan ekonomi pas-pasan yang terkadang masih harus berhutang sana-sini, Bapak termasuk tipe orang yang santai dan selalu berusaha meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan Biru dalam satu hari.

Setiap malamnya, selepas salat Isya, Bapak pasti akan mengajak Biru keluar saat langit sedang cerah, tidur beralaskan tikar di teras rumahnya untuk melihat ribuan bintang dan konstelasi yang di buatnya. Lalu menanyai Biru seputar hari yang ia lalui. Seperti bagaimana Biru berangkat setelah mengantarkan susu di pagi hari, bagaimana Biru yang membantu Ibu menjajakan kue tradisional buatannya di kantin sekolah, juga seperti apa hari yang Biru lalui di sekolahnya.

"Bapak tuh, kayak orang bener kalo lagi bahas konstelasi dan tata surya. Padahal cuma kuli, tapi seneng banget sama saints."

Biru berujar setelah Bapak menjelaskan tentang konstelasi bintang Cassiopeia. Salah satu rasi bintang yang paling terkenal di Galaksi bimasakti.

Jika sudah membahas saints dan segala isinya, Bapak seolah lupa jika Biru masihlah bocah kelas tiga sekolah dasar yang belum mempelajari hal tersebut.

"Jangan salah, Ru. Bapakmu ini dulu tuh selalu wakilin sekolah buat Olimpiade saints. Otak pinternya kamu, ya dari bapakmu yang kuli ini," tukas Bapak yang kala itu masih cukup bugar dan sehat.

"Terus kenapa Bapak jadi kuli? Bapak bilang kalo pinter bakalan jadi orang bener," ucap Biru dengan tatapan polosnya.

Meskipun sedikit tertohok, Bapak masih mampu mengumbar tawa seraya mengusak gemas surai pekat Biru.

"Kadang nih, ya, Ru. Meskipun kita udah berusaha dengan maksimal, Tuhan bakal nguji kita dengan kegagalan. Bukan karena Tuhan nggak adil, tapi itu bentuk dari proses pendewasaan dalam hidup, Ru. Tuhan pengen tahu sampai sekuat mana kamu bertahan, dan kalo kamu bisa bertahan sampe akhir, kamu bakal dapat hadiah dari kesabaran kamu."

"Jadi, kalo Biru sabar, Biru bakal dapat hadiah dari Tuhan?"

Bapak mengangguk pelan, janggut-janggut tipis di dagunya ikut bergoyang tersapu angin. Senyum tipis Bapak ikut terlihat segaris dengan bagaimana hangat tatapnya pada Biru.

"Bener, kuncinya itu sabar," jawab Bapak setelah mengambil jeda untuk sejenak. "Nanti kalo kamu udah beranjak dewasa, atau bahkan saat kamu masih berproses di masa remaja, kamu mungkin bakal dapat yang namanya ujian. Ya sama kayak ujian kelulusan sekolah, nanti kalo kamu berhasil ngerjain ujiannya dengan baik, kamu bakal lulus, dapet hadiah dari bapak. Sama kayak hidup. Anggap aja semesta lagi seleksi orang-orang yang kuat, kalo kamu berhasil lewatin ujian itu, kamu bakal dapat hadiah dari Tuhan."

"Hidup itu bukan sekedar tarik napas buang napas. Bukan melulu soal percintaan atau obsesi buat jadi orang sukses."

Bapak alihkan teduh tatapnya pada gugusan rasi bintang Cassiopeia yang katanya bisa Bapak lihat dengan mata batinnya, sebab yang Biru lihat di atas sana hanya hamparan bintang yang bertaburan di langit menyerupai ketombe di rambut Bapak.

"Hidup itu perihal menyambut dan melepas. Perihal datang dan pergi. Itu makna hidup yang sebenernya, Ru. Yang jarang orang-orang sadari."

"Kenapa gitu, Pak?"

"Ya karena manusia itu sejatinya fana. Manusia lahir di dunia dan di sambut dengan hangat, beranjak dewasa punya obsesi masing-masing yang bersifat duniawi. Tapi mereka lupa mereka itu di lahirkan untuk mati pada akhirnya. Tempat mereka pulang yang sebenarnya nanti ya setelah di kafani."

•••••

Malam itu, mendung di angkasa tidak lagi terlihat seperti malam-malam sebelumnya. Namun, mendung lain di wajah Biru masih sangat kentara dari bagaimana kosong tatapnya juga langkah tak tentu arah yang tidak memiliki tempat berpulang.

Biru masih melangkah tanpa tujuan sejak pulang sekolah tadi. Sampai senja mulai menghilang dan pekat malam mengambil alih, kaki mungil itu bahkan mulai kebas melangkah tanpa pasti.

Namun, kemana lagi Biru harus berpulang saat hadirnya di tolak di mana-mana. Kemana lagi Biru harus mengistirahatkan raganya yang lelah saat jiwanya tengah porak-poranda. Biru tidak lagi memiliki tujuan pasti. Harapnya, asanya. Semua sudah hilang, hancur lebur tak bersisa bersama kepingan hatinya yang patah berserakan, yang tidak mampu di benahi lagi.

Biru hentikan langkah gontainya di pembatas pinggiran jembatan.

"Bapak, ibu ... Biru kangen."

Bocah itu menatap sendu pada gugusan bintang yang berkilauan di langit malam, sebelum arah pandangnya turun pada tenang air sungai di bawah jembatan tempatnya berpijak.

"Bapak bilang Biru harus sabar terus sampai Biru lulus ujian biar dapet hadiah. Tapi sabarnya Biru harus sampai kapan, Pak?" Biru ucapkan baris kalimatnya setelah membasahi bibir keringnya.

"Bapak bilang masa remaja itu masa yang paling banyak kenangan, masa yang paling menyenangkan. Tapi kenapa buat Biru malah melelahkan? Biru masih kecil, kan ya Pak? Harusnya di puk-puk sama ibu sebelum tidur. Dia gendong sama bapak kalo capek jalan. Tapi kenapa kalian pulang duluan? Kenapa kalian pergi ninggalin Biru?"

"Biru udah nggak punya rumah, Pak. Biru nggak punya tempat buat pulang."

Biru tatap bias cahaya bulan yang memantul pada tenang air di bawah sana. Manik cokelat madu milik Biru yang berbingkai kaca kian memerah menahan perih.

"Kapan Bapak mau jemput Biru? Biru udah mulai capek, Pak. Capek banget rasanya."

Bingkai kaca di kedua sabit Biru pecah saat sesak yang sejak awal ia tahan ikut tumpah bersama airmatanya. Sorot mata bocah itu benar-benar mati tanpa binar sedikitpun. Raganya seolah tanpa jiwa, tatapannya yang begitu kosong dan hampa tanpa asa yang ia miliki.

"Kalo Biru yang nyusul kalian duluan, Bapak bakal marah sama Biru nggak?"

Biru kembali tatap tenang air di bawah sana dengan tatapan kosongnya. Bocah itu benar-benar sudah tidak memiliki apapun yang tersisa, setelah asa yang ia miliki ikut di patahkan oleh semesta.

Tidak ada yang tersisa dalam hidup Biru. Segala isinya berantakan dengan kepingan hatinya yang bukan lain patah melainkan hancur menjadi keping halus yang tidak bisa di satukan lagi.

Biru hanya remaja yang baru saja menginjak usia lima belas tahun bulan kemarin. Bahkan di hari ulangtahunnya, bocah itu di hadapkan pada kehilangan kedua orangtuanya untuk selamanya. Pun setelahnya, tidak ada yang sudi menampungnya setelah rumah peninggalan sang bapak di jual oleh budenya.

Lalu saat Biru pikir semesta mulai memberinya harapan dengan sebuah uluran tangan yang Galaksi berikan untuknya kala itu, Biru justru di hadapkan pada kenyataan yang lebih pahit setelahnya.

Tentang bapak dan ibu yang ternyata menjalin rumah tangga setelah menghancurkan keluarga lain. Tentang dirinya yang ternyata lahir dari hubungan terlarang. Tentang Galaksi yang begitu abu-abu dan tidak bisa Biru terka. Juga bagaimana Oma dan Reksa yang secara terang-terangan menolak hadirnya.

Pun juga Tante yang ia percaya untuk membantunya, justru hampir menjerumuskan Biru pada dunia yang lebih keji. Dan sang Bude yang datang kembali setelah menjual rumah Bapak, yang Biru pikir tulus ingin menemuinya, ternyata hanya membutuhkan ginjalnya untuk sang anak.

Belum lagi tentang Arai, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Yang sudah Biru anggap sebagai saudaranya. Yang bahkan Biru percaya melebihi dirinya sendiri, ternyata menyimpan dendam begitu besar pada Biru. Biru yang berpikir jika Arai menawarkan pertemanan dengan tulus, ternyata hanya sebagai jalan untuk menjalankan balas dendamnya.

"Kalo mau mati, jangan lompat ke sungai. Kasian tim SAR yang cari mayatnya nanti."

Biru arahkan sayu tatapnya pada sumber suara berat laki-laki yang menyeletuk di sampingnya. Bocah itu menoleh ke samping, hingga manik cokelat madunya menangkap entitas lelaki tinggi dengan penampilan khas preman jalanan serta hoodie hitam yang membungkus tubuhnya.

Pemuda itu menyingkap tudung hoodie yang menutupi wajahnya hingga Biru bisa melihat jelas wajah pemuda tersebut. Wajah tampannya terbias sinar rembulan.

"Dari seragam yang lo pake, lo masih SMP 'kan?" Pemuda itu memindai Biru dari ujung rambut hingga sepatu usang yang Biru kenakan. "Masalah bocah seumur lo seberat apa sampe nyali lo gede banget buat nambah dosa?"

Sepasang cokelat madu Biru bertubrukan dengan sekembar jelaga hitam yang menatap Biru dengan tajam. Detik setelahnya, pemuda itu sedikit tersentak saat menatap netra sayu Biru yang telah kehilangan binarnya.

"Kamu nggak tahu apa-apa," tukas Biru setelah mengusap kasar bekas air mata di pipinya.

"Ya emang," jawabnya santai.

Pemuda itu kembali menatap Biru sembari menggedikan bahunya tak acuh. Arah pandangnya kemudian bergulir menatap tenang air sungai di bawah jembatan tempat keduanya berpijak.

Kemudian, hening mengambil alih di antara keduanya. Membiarkan sepi di sana melebur bersama suara jangkrik yang terdengar serta hela napas keduanya.

"Mati nggak bakal bikin masalah lo selesai, bocah."

Baris kalimat itu terdengar setelah jeda panjang yang membentang di antara mereka. Pemuda itu masih tak menggulirkan arah tatapnya pada tenang air di bawah sana, kendati ucapannya memang tertuju untuk Biru.

"Gue nggak tau masalah lo seberat apa. Tapi seberat apapun masalah lo, jangan pernah berpikir buat mati. Mati nggak bakal nyelesaiin masalah lo. Yang ada lo nambah masalah sama Tuhan," celetuknya seraya mengalihkan tajam tatapannya pada Biru.

"Menurut lo, Tuhan mungkin nggak adil karena masalah yang lo hadapi. Tapi coba lihat keluar sana, banyak orang yang masalahnya jauh lebih berat, jauh lebih susah dari lo, tapi nggak pernah berisik dan ngeluh sama takdirnya."

Ada tamparan tak kasat mata yang memukul Biru untuk kembali pada kewarasannya yang masih tersisa. Bocah itu merasa tertampar akan kalimat yang pemuda asing itu suarakan.

Sepersekian detik sebelumnya, Biru hampir saja menyerah pada semesta karena masalah yang datang silih berganti. Biru hampir saja melakukan hal paling bodoh saat benar-benar kehilangan asanya.

Namun, kedatangan pemuda asing yang tiba-tiba menghentikan niat awal Biru, membuat mata dan pikiran Biru kembali terbuka lebar setelah sebelumnya tertutup kabut duka yang begitu pekat.

Pemuda asing berpenampilan bak preman jalanan itu benar-benar menyelamatkan hidup Biru.

"Abang donaaattt!"

"Bang Nathan!"

Arah pandang Biru beralih pada pekik nyaring yang meramaikan suasana jembatan yang begitu sunyi. Biru sedikit melongok ke arah pemuda asing yang baru saja memberinya petuah.

Hingga saat punggung lebar pemuda itu sedikit menyingkir, Biru dapati entitas tiga bocah laki-laki berpenampilan kumuh yang baru saja menyerukan panggilan untuk pemuda asing tersebut.

"Lo lihat mereka?" Pemuda itu menunjuk pada tiga bocah cilik yang berseru antusias sembari menghampiri keduanya.

Satu bocah yang mencangklong karung berisi botol-botol bekas. Satu bocah yang terduduk di kursi roda yang terlihat sudah tidak layak di duduki. Serta satu bocah yang paling pendek dan paling mungil yang memegang Ukulele kecil dan plastik bekas kemasan permen kopiko.

"Mereka itu contoh dari 'orang-orang yang nggak pernah berisik' yang tadi gue bilang," ucap pemuda yang tak mengalihkan tatapannya pada bocah-bocah cilik yang berlarian ke arahnya.

"Yang paling tinggi yang bawa karung bekas itu namanya Juna. Lo bisa ngeliat dia senyum lebar kayak gitu, tapi kenyataan dia bisu tuli. Umurnya baru sepuluh tahun tapi harus banting tulang sendiri buat makan."

"Yang duduk di kursi roda itu namanya Erren. Nggak usah komenin kursi rodanya, itu gue nemu di tempat pembuangan. Umurnya masih delapan tahun, dia korban tabrak lari dari orang nggak bertanggungjawab yang bikin satu kakinya harus di amputasi. Dia hidup di jalanan tanpa tahu siapa ibu bapaknya."

"Yang paling pendek itu namanya Hiro. Gue yang kasih nama keren itu ke dia waktu gue nemuin dia di tempat sampah lima tahun lalu, saat dia masih bayi merah yang bahkan belum di lepas ari-arinya."

Pemuda itu kembali menatap pada Biru yang masih tergugu di tempatnya.

"Mereka cuma satu dari sekian contoh buat lo lebih bersyukur sama hidup lo. Buat lo sadar, bukan cuma lo yang punya masalah di dunia ini."

Birai bibir kering Biru tampak kelu seolah seluruh baris kata yang ia miliki tidak mampu ia keluarkan sebagai bentuk pembelaan diri. Sudut hatinya yang paling dalam merasa begitu rendah dan payah karena sempat memiliki pikiran bodoh untuk menyerah.

Rasanya, Biru malu sekali untuk menatap binar lugu dari ketiga bocah cilik yang kini menghampiri tempat Biru dan pemuda asing tersebut.

Biru bisa melihat bagaimana bocah bernama Juna itu mendorong kursi roda milik Erren dengan semangat, pun juga si paling pendek bernama Hiro yang melambai antusias pada pemuda asing tersebut. Hingga mereka sampai di hadapan Biru, dan Biru bisa dengan jelas melihat bagaimana penampilan bocah-bocah jalanan tersebut.

"Bang! Bang Donat! lihat! Ellen sama Hilo dapet bonusan selatus dali olang baik!"

Si kecil Hiro berujar dengan nada terlampau antusias setelah sampai di hadapan pemuda asing yang berada di samping Biru tersebut.

"Bang Nathan! Tadi Hiro nyolong roti, bang. Tapi udah di balikin sama kak Juna."

Bocah bernama Erren yang terduduk di kursi roda itu mengadu pada pemuda yang mereka panggil Nathan tersebut. Yang membuat Juna menempeleng pelan kepala Erren karena cepu.

"Bang Ellen mah cepu!" Seru Hiro dengan nada cadel nya.

Perdebatan kecil ketiga bocah cilik tersebut membuat pemuda bernama Nathan tersebut menerbitkan segaris senyum tulusnya. Senyum yang mampu membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

Sayangnya, senyum tersebut tidak bertahan lama sebab detik setelahnya, senyum miring bersama seringai jahil yang menggantikan senyum teduh di wajah tampan tersebut.

"Oh, gitu ya. Kalo gitu hari ini Juna sama Erren gak boleh dongengin Hiro buat hukuman karena udah nakal," ucap Nathan dengan nada jahil serta kerlingan yang mengarah pada dua bocah lainnya.

"Iiihh abang culaaaang. Hilo cuma minta lotinya dikit kok, tapi tantenya malah dolong-dolong Hilo sampe jatuh. Hilo ambil lotinya, tapi kak Juna malah balikin lagi." bocah cilik itu berusaha memberi pembelaan diri dari bagaimana panjang kalimatnya keluar meski dengan nada cadelnya.

"Erren gak tau kalo Hiro di dorong!" Seru Erren seraya meraih bahu adiknya dan memeriksa tubuhnya. "Kalo gitu tadi harusnya ambil aja semua rotinya. Kalo baik kita baikin, kalo jahat, musti di jahatin balik. Ya kan bang?"

Nathan tersenyum bangga akan ajaran sesat yang ia ajarkan pada ketiga bocah polos tersebut.

"Iya dong! Jangan mau di tindas biarpun kita cuma gembel jalanan. Ingat! Gembel juga punya hati!" Serunya dengan bangga seraya merangkul pundak Juna.

"Abang donat, itu siapa?"

Celetuk tanya Hiro membuat Nathan tersadar akan sosok asing yang baru saja hampir melakukan aksi nekat. Nathan beralih menatap Biru yang masih tergugu di tempatnya.

"Oh, dia cuma orang kurang kerjaan yang mau berenang malem-malem. Mangkanya abang kasih antimo," tukas Nathan seraya mengambil alih kursi roda Erren dari Juna.

"Antimo 'kan obat mabok bang. Antasida yang benel buat masuk angin."

"Hiro goblok! Antangin yang bener! Jangan ikutan bego kayak Bang Nathan deh." Erren si mulut pedas kembali berujar sewot.

Kalimat yang ia keluarkan benar-benar frontal tanpa saringan. Yang membuat mulutnya mendapat tabokan sayang dari Juna. Ah, Juna ini memang tipe kakak yang lebih suka physical attack daripada act of service.

"Udah-udah, ayo balik udah malem nih. Besok musti kerja lagi." Nathan melerai perdebatan kecil Erren dan Hiro serta serangan fisik Juna sebelum terjadi peperangan.

Nathan kembali beralih pada Biru. Yang masih setiap mengamati interaksi mereka. Kedua manik berbeda warna itu saling bersitatap. Antara hitam arang yang penuh misteri dan cokelat madu yang tanpa asa.

Bedanya, Nathan bisa menangkap binar yang kembali mengisi manik sabit bocah SMP tersebut. Jauh berbeda dari beberapa saat lalu. Saat Nathan tanpa sengaja bersitatap dengan manik cokelat Biru, Nathan hanya menemukan kekosongan serta keputusan asaan.

"Nama Gue Jonathan, orang paling ganteng se-jabodetabek," ucap Nathan memperkenalkan diri, netranya menangkap name tag sekolah Biru yang masih terpasang di atas saku baju seragam Biru.

"Nama lo Renjana Sabiru, kan?" celetuknya setelahnya mengeja nama panjang Biru. "Setelah ini lo harus pulang ke rumah lo, cuci kaki, cuci tangan minum susu. Tidur di kamar."

"Ingat, apapun masalah lo. Jangan pernah ngambil jalan pintas. Lo cuma bakal nambah masalah baru dengan jalan pintas yang lo ambil. Hadapi masalah lo dan buktiin kalo lo bukan manusia lemah yang gampang nyerah."

Ada hangat yang diam-diam merayap dalam sudut hati Biru yang sebelumnya membeku. Baris kalimat yang Nathan suarakan persis seperti nasehat Bapak pada Biru di setiap malam-malam selepas salat Isya.

"Oke, gue harus ngurus tiga kecebong gue. Jadi, gue harap lo juga bakal pulang ke rumah lo," ucap Nathan setelah menyerahkan kantong plastiknya pada Juna.

"Gue duluan."

Pemuda itu berbalik memunggungi Biru seraya melangkah ringan. Ia dorong kursi roda milik Erren dengan Juna yang menggendong si kecil Hiro di punggungnya.

Keempat sosok itu berlalu dengan renyah tawa yang saling bersahutan serta hanga obrolan ringan seputar pencalonan capres dan cawapres.

Biru pandangi punggung mereka dengan lamat. Ia seolah menemukan potongan dirinya yang telah lama hilang. Biru bisa mendapatkan tenangnya, dan Biru bisa kembali mendapatkan asanya karena kata-kata Nathan.

"Tunggu!"

Nathan bersama ketiga printilannya itu menghentikan langkahnya saat nyaring seruan Biru terdengar lantang di telinga mereka.

Nathan menoleh, kembali menatap Biru yang menunduk menatap sepasang sepatu usangnya.

"Aku nggak tahu harus tidur di mana malam ini. Aku nggak tahu mau neduh di mana kalau hujan. Aku ... aku udah nggak punya rumah buat pulang."

Biru suarakan baris kalimatnya yang cukup panjang untuk kali pertama di hadapan Nathan. Bocah itu berujar dengan kepala tertunduk serta tangan yang saling mengepal di kedua sisi.

Biru cukup sadar jika dirinya mungkin saja lancang untuk seseorang yang bahkan belum berkenalan secara resmi. Namun, Biru ingin kembali merajut asanya yang semula padam. Biru ingin mencoba mengais sisa-sisa kebaikan semesta yang masih mampu Biru kecap. Barangkali malam ini, semesta sudi memberinya atap untuk sekedar bernaung dan terlelap dalam pejam.

Biru mendongkak, bocah itu mengarahkan manik cokelat madunya menatap tepat pada manik sehitam arang milik Nathan serta ketiga manik polos bocah jalanan di sisi Nathan.

"Boleh nggak, aku ikut pulang sama kalian?"

to be continued.

Ini manis, oke. Kemarin pada minta yg manis manis nih.

Mas Gala masih belum muncul ya. Chapter depan mungkin baru muncul

aku udh bilang, aku tipe yg nulis tanpa outline, jadi kalo gk ada draft, yaudah nunggu dapet cahaya ilahi aja😭
Jadi sabar sabar aja kalo sama aku, para pembaca lama pasti dah hapal😭

Dah ya. ❤

Mas Gala masih libur ya gaes
.
.

Bang Nathan baru nongol gaess
.
.

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

33K 1.9K 11
Aku merindukan kalian. Adakah keajaiban yg bisa membuat kita seperti dulu ?. Jika ada aku harap itu akan terjadi walau aku harus menunggu hingga bert...
53.8K 6.6K 29
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
Adopted Child Af k

Fan Fiktion

201K 31K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
586K 73.1K 38
[FAMILYSHIP, NO ROMANCE] Karena kamu adalah Angkasa. Yang begitu tangguh di pelukan semesta. Yang datang dengan warna berbeda, dan akan tetap menjadi...